Panglima, Cuak, dan RBT

Chik Rini

Mon, 4 March 2002

SAYA berkunjung ke Lhokseumawe empat hari sebelum malam Tahun Baru 2002. Tapi dengan cepat saya merasa bosan di situ dan memutuskan berkunjung ke Geudong, sebuah kota kecil 16 km sebelah timur Lhokseumawe.

SAYA berkunjung ke Lhokseumawe empat hari sebelum malam Tahun Baru 2002. Tapi dengan cepat saya merasa bosan di situ dan memutuskan berkunjung ke Geudong, sebuah kota kecil 16 km sebelah timur Lhokseumawe. Saya tinggal di Geudong sampai 22 Januari 2002 atau bertepatan hari kematian Teungku Abdullah Syafi’ie, pemimpin gerilya Gerakan Aceh Merdeka atau biasa disebut GAM.

Di Geudong saya numpang tinggal di satu rumah seorang pegawai Departemen Pekerjaan Umum. Istrinya masih kerabat dekat keluarga saya di Banda Aceh. Mereka orang asli Geudong. Orangtua mereka tuan tanah tempo dulu di daerah itu. Saudaranya banyak dan tersebar hampir di tiap kampung.

Keluarga itu punya tujuh anak. Dua anak gadisnya dipindahkan ke Banda Aceh sejak kondisi keamanan Geudong memburuk. Keluarga itu khawatir anak gadisnya terlalu sering bertemu dan bicara dengan tentara Indonesia yang markasnya dekat rumah mereka. Banyak kejadian, siapa yang dekat dengan militer Indonesia, dicurigai oleh GAM. GAM tak senang dan menganggap mereka cuak (mata-mata). Orang pun bisa dituduh macam-macam, walau sebenarnya cuma berbasa-basi, santun pergaulan, karena tak mungkin juga membawa sikap permusuhan dengan aparat Indonesia.

Dua tahun lalu, keluarga itu pernah punya pembantu perempuan keturunan Jawa. Atik namanya. Umurnya berkisar 27 tahun. Dia janda cerai beranak satu. Anaknya dititipkan pada kakaknya di Lhokseumawe. Atik berasal dari Medan. Dia hanya bisa berbahasa Aceh sepatah dua kata. Atik telah ikut keluarga itu selama dua tahun. Dia membantu mereka berjualan mi Aceh—mi kuning yang digoreng dengan racikan rempah-rempah dan rasanya pedas.

Atik agak teledor kalau ngomong. Atik suka memakai baju ketat. Dia sering ke markas brigade mobil—pasukan elit kepolisian Indonesia. Kabarnya Atik pacaran dengan salah satu anggota Brimob di sana. Entah apa, suatu hari Atik dibawa pergi seseorang yang dicurigai punya hubungan dengan GAM. Banyak orang melihat Atik dibawa pergi oleh tukang RBT.

RBT singkatan dari rakyat banting tulang—istilah yang agak dramatis buat tukang ojek di Aceh. Oleh si tukang RBT, Atik kabarnya dibawa naik “ke atas”—sebutan lokal untuk markas gerilyawan GAM di gunung. Atik tak ada kabarnya, sampai beberapa minggu kemudian seorang pengemudi RBT lain buka mulut.

Si tukang RBT ini juga turut dibawa ke atas. Dia punya salah karena sering terlihat ke tempat Brimob. Padahal dia ke situ mengantar belanjaan saja. Selama beberapa hari matanya ditutup kain hitam. Dia hanya tahu siang dan malam dari panas matahari yang jatuh di atas kepalanya. Si tukang RBT yang masih muda itu diikat di sebuah batang pohon. Dia menangis mohon ampun.

Suatu malam kain matanya dibuka. Saat itulah dia melihat Atik, yang dia kenal karena sering bertemu di pasar. Atik, si perempuan malang, diikat tangannya, hanya bisa merintih. Tangisnya sudah habis. Di hadapan si tukang RBT itu Atik dieksekusi. Mayat Atik ditanam dalam sebuah lubang.

Si tukang RBT beruntung. Dia dilepaskan karena seorang gerilyawan ada yang kenal baik dengannya karena masih sekampung. Dia pun diampunkan. Tapi melihat eksekusi Atik, dia sempat sakit tiga bulan. Stres. Setelah sembuh dia menjual sepeda motornya kemudian pergi ke Pulau Batam. Tak pulang lagi.

Tak ada yang menuntut atas peristiwa itu. Tak ada juga yang membuat aduan. Penyebab hilangnya Atik masih simpang siur. Orang-orang di Geudong hanya menduga-duga. Orang-orang yang kenal dekat dengannya memilih tutup mulut. Cerita tersebar dari mulut ke mulut. Ada yang bilang Atik dipotong lehernya, ada yang bilang dia ditembak kepalanya. Yang jelas sampai sekarang Atik tak ada kabar beritanya.

Selang beberapa bulan setelah Atik menghilang, keuchik (lurah) di kampung tempat saya tinggal, juga hilang. Dia hilang tak tentu rimbanya. Beberapa orang memberitahu saya keuchik Amir diambil orang GAM dan “dibawa ke atas.”

Apa kesalahan Keuchik Amir?

Rasa penasaran mendorong saya mendatangi rumahnya yang bersebelahan dengan markas Komando Rayon Militer (Koramil) Geudong. Istrinya, ketika tahu tujuan saya, menolak bicara. Istri Keuchik Amir takut. Peristiwa hilang suaminya sudah lama berlalu. Dia tak berani membangkitkan cerita itu lagi. Takut pihak penculik marah.

Saya hanya dapat keterangan dari orang-orang sekitar rumahnya. Keuchik Amir diambil ketika pulang dari kenduri selamatan orang naik haji di kampung tetangga. Tak jelas siapa yang mengambilnya. Tapi Keuchik Amir terlihat pergi dengan seseorang yang memanggilnya di jalan. Sejak itu dia tak pulang lagi.

Seminggu hilang, istri dan keenam anak yang masih kecil-kecil, hanya pasrah. Keluarga itu melaksanakan kenduri selamatan dan tahlil kematian untuk Keuchik Amir. Dari mulut ke mulut orang di Geudong beredar cerita, Keuchik Amir juga telah dipotong lehernya. Ada juga yang bilang Keuchik Amir dituduh cuak. Keuchik Amir dibicarakan sering nongkrong di markas Koramil. Kemungkinan lain ada seseorang yang dendam secara pribadi dengan Keuchik Amir. Sakit hati, orang itu melapor ke GAM, mengadu keburukan Keuchik Amir.

Di Aceh, orang bisa dengan sangat mudah menghabisi orang yang tidak disenanginya. Cukup dia memfitnah musuhnya kepada salah satu pihak, aparat Indonesia atau Aceh Merdeka. Tuduhannya ya sebagai mata-mata.

Atik dan Keuchik Amir hanya dua dari cukup banyak cerita yang saya dengar selama bekerja beberapa tahun di Aceh. Beberapa cerita tragis serupa saya dengar dari mulut orang-orang Geudong. Tapi ketika saya menjumpai keluarga korban, tak satu pun yang mau memberi pernyataan. Mereka menolak bicara karena saya wartawan. Mereka takut.

Kepada siapa? Tak jelas takut pada siapa. Tapi secara jelas saya melihat rasa takut di mata orang-orang di sana. Mereka takut salah omong. Lucunya mereka mau bicara kalau saya janji tak mengutip pernyataan mereka. Anak-anak muda yang mengobrol dengan saya selalu memastikan dulu bahwa saya tak menulis apa yang mereka ceritakan. Terkadang sambil bercanda mereka memeriksa apakah saya mengantungi tape recorder.

Sulit bagi saya untuk percaya atau tidak percaya apakah cerita tentang Atik dan Keuchik Amir benar adanya. Tapi ada pengalaman lain yang menarik. Suatu hari menjelang kepulangan saya, tetangga di belakang rumah tumpangan saya panik. Adiknya yang bekerja sebagai wakil camat di Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur diculik GAM wilayah Peureulak. GAM minta tebusan Rp 200 juta. Saya mendengar langsung dia bercerita hal itu kepada keluarga tempat saya tinggal.

Saya kasihan dan merasa sedih. Saya menawarkan jasa untuk mencari tahu kabar si adik. Saya berniat menghubungi juru bicara GAM Peureulak Ishak Daud yang sering berkomunikasi dengan wartawan. Paling tidak saya ingin memastikan si adik baik-baik saja.

Dengan ketakutan, keluarga itu minta saya tak ikut campur. Apalagi mereka tahu saya wartawan. Mereka minta saya tak melaporkannya di koran. Mereka takut, karena sudah diancam pihak penculik. Jika peristiwa itu diketahui orang lain, apalagi sampai dipublikasikan, si adik akan dihabisi. Karena itulah keluarga tak mau ambil risiko.

Saya hanya bisa prihatin. Beberapa minggu sesudahnya, saya mengetahui kalau keluarga itu hanya bisa membaca yasin, doa keselamatan yang biasa ditujukan untuk orang mati. Tak ada lagi kabar tentang nasib si adik. Tapi mereka masih menyimpan harapan si adik masih hidup.

DI GEUDONG saya menghadapi orang-orang yang takut bicara. Susah meyakinkan mereka bahwa bercerita yang benar adalah hal baik. Tapi ketika mereka bicara tentang keselamatan jiwa, saya juga tak bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak kematian yang mereka lihat. Tak tahu siapa musuh siapa kawan. Nyawa tak ada harganya di Aceh. Anak-anak di rumah suka bercerita kepada saya bagaimana mereka melihat mayat dibuang di sembarangan tempat. Ada yang lehernya dipotong. Ada yang kepalanya ditembak atau tubuhnya lebam-lebam akibat penganiayaan. Anak-anak itu pernah menemukan mayat laki-laki setengah telanjang yang dibuang di sawah depan rumah mereka.

Apakah benar GAM melakukan kekerasan?

Seorang anak muda yang punya usaha dagang di pasar Geudong bercerita. Setahun lalu dia hampir masuk ke GAM. Tapi melihat kelakuan kawan-kawannya dia urungkan niat itu. Dia melihat kawan-kawannya yang masuk GAM bukan lagi murni berjuang untuk kemerdekaan Aceh. Kawan-kawannya itu berubah jadi pemeras dan tukang culik orang. Mereka melarang orang berbuat dosa. Tapi dengan jelas dia melihat mereka bercimeng (isap ganja). Bagi anak muda itu tak heran jika GAM bisa berbuat kejam.

Perang di mana pun juga selalu membuat lapisan terburuk dalam masyarakat ikut peperangan. Banyak orang mengatakan mereka yang gabung ke GAM maling ayam, tukang mabuk di Geudong. Kebanyakan anak muda yang mau bergabung anak-anak kampung pedalaman. Mereka ini disebut-sebut sebagai GAM cantoy. Mereka pengangguran dan tidak sekolah. Tugasnya sebagai mata-mata. Memberi informasi kalau ada tentara lewat atau orang sipil yang berseberangan dengan GAM. Anak-anak itu juga jadi penagih uang yang disebut uang perjuangan dari orang-orang kaya. Pemuda cantoy tidak punya senjata. Tapi mereka punya pelindung yang punya senjata. Mereka berani dan nekat, walau senjata mereka rakitan.

Anak muda itu menyuruh saya pergi masuk ke kampung-kampung pedalaman. Di sana banyak cantoy. Umurnya masih muda-muda. Di pasar Geudong juga ada, tapi keberadaannya tak kentara. Tapi orang-orang di sana banyak yang tahu mana para cantoy. Orang-orang tak peduli, karena mereka tidak juga mengganggu.

Bagaimana mengenali mereka? Dulu mereka punya sandi-sandi. Suatu ketika mereka berpakaian rapi. Tapi kemudian mengubah penampilannya dengan pakai peci. Lalu berubah tanda dengan membawa sisir dan silet bermerek tertentu dalam dompet.

Banyak kasus orang diculik GAM. Biasanya kalau sudah dibawa naik ke atas, jarang ada yang pulang. Ini beda dengan orang yang diculik aparat Indonesia. Kalau mati, mayatnya dicampakkan di sembarang tempat.

Cuma yang jadi persoalan sekarang, dalam situasi keamanan yang tak menentu ini, banyak orang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau ada musuh, gampang menghabisinya, dengan fitnah. Meski itu masalah pribadi, tapi bisa disangkutkan dengan GAM. Orang bisa diambil kapan dan di mana saja, Bahkan di keramaian pasar.

PASAR Geudong tempat menarik. Di sana ada warung kopi Barona yang menjual makanan favorit saya: martabak durian. Yang jualan dua orang kakek yang sangat kompak kalau memasak. Yang satu membuat adonan, yang satu lagi memanggangnya di atas pemanggang besi lebar. Rasanya sungguh lezat. Saya bisa menghabiskan dua porsi sekali duduk. Harga per porsi Rp 2.500.

Martabak durian di situ sangat terkenal dan jadi semacam hak paten kedua kakek itu. Mulanya mereka hanya bereksperimen sekitar tiga tahun lalu. Martabak telur diganti martabak durian. Karena laris, pedagang lain ikut-ikutan. Tapi rasa dan lembutannya tak bisa menyaingi martabak barona.

Warung kopi Barona juga selalu ramai pengunjung. Selain jual martabak, ada juga sate kambing dan mi Aceh. Kebanyakan yang duduk di situ orang laki. Mereka datang untuk minum secangkir kopi dan bisa menghabiskan waktu sejam mengobrol dengan kenalan.

Biasanya di tiap warung kopi ada televisi yang memutar film VCD dan menyediakan suratkabar. Tapi di warung Barona tak ada televisi. Suratkabarnya hanya harian Serambi Indonesia yang sudah lecek karena berpindah dari tangan ke tangan.

Kalau sudah sore pasar Geudong itu jadi ramai. Di sana tak sedikit orang laki yang pergi belanja. Mereka mengayuh sepeda tua dari kampung-kampung yang jauh. Mereka membeli ikan. Jarang sayur. Orang di sana tak begitu penting makan sayur. Jalan depan pasar merupakan lintasan transportasi darat menuju Medan. Bus besar dan truk barang banyak yang berhenti di Geudong.

Di atas atap kios pedagang buah yang berderet di pinggir jalan, ada bendera-bendera merah putih kecil yang telah memudar warnanya. Pedagang kaki lima, warung rokok berserak di pinggiran jalan pasar. Kambing-kambing berkeliaran cari makan dari sampah-sampah yang dibuang pedagang. Beragam penampilan orang. Ibu-ibu berbaju kurung, kakek-kakek pakai sarung. Anak-anak muda bersepatu kets. Anak-anak gadis bercelana jins dan baju ketat tapi berjilbab. Kontras dengan beberapa anak muda berkopiah taliban yang duduk di beberapa warung kopi. Pasar itulah pusat keramaian di Geudong.

Di tengah keramaian pasar itulah Sersan Tarji Surbakti, pada Juli 2001, ditembak mati. Pada sore yang ramai, polisi yang berpakaian sipil itu, membawa kedua anaknya, satu kelas dua SD dan satu lagi baru berumur empat tahun, pangkas rambut. Di depan kios pangkas yang baru sesaat ditinggalkannya, saat hendak menghidupkan sepeda motor untuk pulang, seorang pemuda mendekat. Moncong pistol rakitan diarahkan tepat di kepala. Tembakan pertama kena sasaran. Sersan Taji masih bisa bereaksi merogoh pistol di pinggangnya. Tapi dengan cepat senjatanya dirampas si penembak. Dengan senjata rampasan itu Sersan Taji mendapat tembakan tambahan di perutnya. Sersan Taji tewas di tempat disaksikan anak-anaknya yang menjerit-jerit histeris, minta tolong. Tapi tak satu orang pun bergeming. Orang-orang justru banyak yang lari ketakutan, menjauh.

Peristiwa itu bagai menambah cerita orang-orang yang ditembak di keramaian pasar. Tahun sebelumnya seorang komandan Koramil Geudong berpangkat letnan dan seorang warga negara biasa mati ditembak disaksikan oleh banyak orang. Pelakunya melarikan diri dengan mudah.

Pasar Geudong memang ramai. Tapi keramaian itu lenyap begitu magrib tiba. Tak ada satu toko dan warung pun yang buka. Tak ada orang yang berkeliaran di sana. Orang-orang kampung sudah pulang ke rumahnya.

Malam Jumat, 10 Januari 2002, saya mendengar suara rentetan senjata tepat ketika azan magrib sedang berkumandang di mesjid-mesjid. Rentetan senjata susulan meletus bertubi-tubi. Tentara Indonesia di markas Koramil dekat rumah ikut melepaskan tembakan. Entah ke mana arah pelurunya, suara letusannya sangat kuat. Setengah jam suara tembak-tembakan itu terdengar. Kami tiarap dalam rumah takut peluru nyasar. Ketika keadaan kembali aman, saya dapat kabar markas polisi di pasar diserang GAM. Tak ada korban jiwa. Yang seperti itu sering terjadi.

DUA kali saya keliling masuk ke kampung-kampung di Geudong. Ada teman yang mau mengantar dengan sepeda motornya. Saya suka pemandangan desa yang saya lalui. Jika ke arah pedalaman saya jumpai hamparan sawah hijau membentang luas. Jika ke arah pesisir pantai saya jumpai deretan tambak-tambak udang.

Alangkah senangnya kalau Aceh aman. Suasana pedesaan sangat kental. Banyak rumah panggung. Ada pesantren dan balai pengajian. Anak-anak bermain di saluran irigasi dan perempuan-perempuan bekerja menanam padi di sawah.

Pemandangan menyedihkan saya tangkap saat mengunjungi situs peninggalan kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara. Letaknya tiga kilometer dari pasar Geudong. Komplek makam Malikul Saleh, sang raja, yang berukir kaligrafi indah, sunyi tanpa pengunjung. Dulu waktu Aceh masih aman, banyak turis dan anak sekolah berkunjung. Kini di situ hanya ada kawanan sapi milik orang kampung yang merumput.

Setiap saya melalui warung kopi atau gardu ronda, yang ramai orangnya, orang-orang memandang saya dengan tatapan aneh. Di satu kampung saya melalui pos penjagaan marinir. Jalan di depan pos dibarikade secara zig-zag. Pos itu rumah orang kampung yang ditinggal pergi pemiliknya. Pasukan marinir membangun benteng dari karung diisi pasir di depan pos. Dua moncong senjata besar mencuat dari balik benteng. Tiga prajurit marinir tertawa ketika kami menyapa tanda permisi. Mereka mengangkat piring kaleng yang mereka pegang. Mereka sedang makan siang.

Pemandangan sedih lain saya lihat di dua kampung. Bangunan sekolah di sana hangus dibakar. Satu sekolah terbakar tak bersisa. Satu sekolah lagi masih ada kelas yang terselamatkan.

Agustus tahun lalu, memang terjadi aksi pembakaran sekolah secara serempak di Aceh Utara. Siapa yang melakukannya, tak jelas. Yang satu menuduh pasukan Indonesia. Yang lain mengatakan GAM. Wallahualam. Hanya Allah yang tahu.

Saya berpikir, apakah GAM sudah berubah jadi bandit sosial di Aceh? Yusuf Ismail Pase dari Lembaga Pembelaan Lingkungan Hidup dan Hak Azasi Manusia di Lhokseumawe menjawab pertanyaan saya itu dengan hati-hati. Dia mengatakan saat ini ada kelompok yang memanfaatkan konflik Aceh untuk cari keuntungan dengan memeras. Kelompok itu bekerja layaknya mafia. Mereka kriminal. “Saya tidak tahu apakah mereka GAM benaran atau hanya nyantel nama GAM. Tapi mereka selalu menyebut dirinya GAM.”

Saya menjumpai Yusuf di kantornya di kawasan Cunda Lhokseumawe. Dari lantai dua kantor yang berupa toko itu, saya bisa memandang jelas pos polisi lalu lintas di seberang jalan. Saat itu ada sebuah truk penuh barang dari arah Medan berhenti depan pos. Kernetnya turun dan berlari-lari ke arah pos. Di balik pagar dua polisi lalu lintas menunggu. Si kernet menyerahkan sesuatu lalu pergi. Sudah semacam tradisi, semua kendaraan, yang melintas di sana menyetor uang untuk polisi-polisi itu.

Yusuf menyebutkan, orang-orang yang menyatakan GAM itu mendatangi orang-orang kaya minta sumbangan uang perjuangan. Jumlahnya bisa jutaan, tergantung kekayaan si penyumbang.

Kalau masyarakat takut bicara itu tidak heran lagi. Yang dihadapi mereka teror. Banyak orang memilih tutup mulut karena takut salah bicara atau takut ada pihak yang terpojokkan. “Di sini nyawa tak ada harganya. Saya bisa hilang kapan dan di mana saja. Syukur kalau mayatnya ketemu. Terkadang ada yang hilang tak tentu rimbanya. Intel aparat dan GAM ada di mana-mana. Di depan kantor saya juga ada mereka.”

Yusuf termasuk aktivis yang berani bersuara. Tapi belum lama ini Yusuf sempat lari ke Jakarta karena diteror aparat Indonesia dan GAM.

TEUNGKU Ishak Daud adalah juru bicara GAM wilayah Peureulak. Kelompok mereka terkenal sering menculik orang-orang sipil. Mulai dari orang yang bekerja di pemerintah Indonesia sampai wartawan-wartawan lokal. Bahkan sejak Januari lalu, kelompok GAM Peureulak menahan tujuh siswi SMU dan seorang siswa SMP di markasnya. Anak-anak yang masih di bawah umur itu dianggap cuak karena sering terlihat dekat dengan tentara-tentara Indonesia.

Ishak Daud ketawa keras ketika saya menuding mereka dengan sebutan kelompok kriminal yang suka menculik orang sipil. Saya mengobrol dengannya, satu malam awal Februari lalu, di sebuah rumah gubuk yang hanya berpenerang beberapa batang lilin di pedalaman Peureulak Kabupaten Aceh Timur.

Daud bercerita kepada saya, tentang dirinya dan GAM. Daud bersikap baik dengan wartawan. Tapi Daud pernah menahan wartawan harian Serambi, Waspada, dan TVRI, hanya karena wartawan-wartawan itu tak adil dalam membuat berita tentang GAM.

Daud tersenyum malu ketika saya bilang bahwa aksi kelompoknya menculik orang-orang sipil sebagai bagian promosi untuk menarik perhatian dunia. Tapi gara-gara itu juga, Daud mengatakan, dia beberapa kali kena tegur GAM Swedia tempat Muhammad Hasan di Tiro, wali negara Aceh Merdeka, bermukim.

GAM Peureulak saya anggap kelompok paling nekat. Mereka pernah menduduki Kota Idie Rayeuk selama 48 jam pada Januari 2001. Mereka juga berani melakukan sweeping di jalan Banda Aceh-Medan pada siang bolong.

Kata Daud, GAM mengambil orang-orang sipil karena mereka punya kesalahan terhadap GAM. Kesalahannya beragam. Terberat jika seseorang dianggap sebagai cuak oleh GAM. Cuak sangat berbahaya bagi perjuangan mereka. GAM tak memberi ampun kepada orang-orang yang kedapatan jadi informan militer Indonesia, apalagi jika sampai menghilangkan nyawa orang GAM.

“Misi perjuangan kami adalah menyelamatkan bangsa Aceh. Tapi kami tidak menyelamatkan seorang pengkhianat bangsa,” kata Daud.

Siapa pun bisa dianggap cuak, jika kedapatan dekat dengan militer Indonesia. GAM tidak peduli siapa mereka. Nyatanya, GAM menahan tujuh siswi SMU gara-gara berpacaran dengan orang-orang TNI. Buntutnya para pelajar itu dianggap cuak. Seorang tahanan lainnya, seorang anak laki berumur 14 tahun. Saya tak habis pikir, anak sekecil itu bisa jadi mata-mata, yang menunjuk keberadaan tiga anggota GAM sehingga ditembak mati oleh TNI.

Tapi saya agak lega, ketika Ishak Daud memberitahu saya anak-anak itu akan dilepaskan. Saya hanya merasa kasihan. Anak-anak itu masih menjalani hukuman di markas GAM. Saya tidak tahu apa mereka dipenjara seperti di penjara umum. Tapi kepada saya, anak-anak itu mengatakan selama ditahan mereka belajar mengaji di markas GAM.

GAM punya hukum peradilan sendiri. Orang-orang yang bermasalah itu harus menjalani peradilan di markas GAM di gunung. GAM punya khadi yang bertindak sebagai hakim yang memutuskan sebuah perkara. “Tapi mereka bukan dihukum dengan sembarang tuduhan. Harus ada saksi, apakah benar dia bersalah,” kata Daud.

Hukuman terberat dibunuh. Paling ringan biasanya hanya ditahan. Selama ditahan, katanya, GAM membimbing orang-orang yang bermasalah itu. Mereka diajarkan ilmu agama. Penjaranya sering pindah-pindah, mengikuti markas GAM. “Kalau ada orang dibunuh GAM, pasti dia punya salah berat. Ada juga yang dipotong lehernya, tapi biasanya dia ditembak terlebih dahulu.”

Daud tak menafikan bahwa tak sedikit orang jahat dalam tubuh GAM. Siapa pun boleh masuk GAM. Tidak ada seleksi untuk itu. “Tapi kami berjuang bukan untuk pangkat dan harta. Kalau boleh saya bilang, saya sendiri sebenarnya orang jahat. Indonesialah yang membuat kami seperti ini. Di sini kami berpendidikan rendah, orang hidup dalam kemiskinan, makan tak cukup. Itu membuat orang mudah terjerumus ke perbuatan buruk. Tapi di dalam GAM kami diubah menjadi lebih baik. Di sini kami punya hukum sendiri. Kalau ada yang kedapatan menyakiti rakyat, dia kita hukum. Biasanya kita rendam di kubangan semalam suntuk. Jadi tidak benar kalau dibilang kami jahat,” jelas Ishak Daud.

Daud sendiri hanya sekolah sampai SMP. Dia sudah kenyang kehidupan penjara. Mulai dari kamp pendatang haram di Malaysia, lalu hidup berpindah-pindah di penjara Aceh dan Sumatrra Utara. Entah benar atau tidak, Daud bercerita, saat kelas tiga SD dia pernah menimpuk ibu gurunya dengan batu, gara-gara si guru mengharuskan dia bicara bahasa Indonesia di sekolah.

Apakah hidup Daud lumayan enak atau tidak sebagai gerilyawan GAM? Dari ceritanya, dia terbiasa hidup berpindah-pindah seperti pelarian. Pakaiannya cuma kemeja biasa, kecuali sepatunya, bot kulit warna coklat muda, walau tak banyak yang tahu, berharga Rp 2 juta. Kemewahan yang paling kentara cuma terlihat pada alat-alat komunikasi yang dipakainya. Telepon satelitnya butuh uang paling sedikit Rp 16 juta tiap bulan. Dia juga memakai laptop untuk internet.

“Semua ini dibayar dengan uang rakyat Aceh. Ini demi perjuangan kemerdekaan Aceh. Kami belum punya negara yang memiliki anggaran dan biaya yang kami gunakan adalah uang masyarakat. Mulai untuk membeli senjata, baju tentara hingga uang makan prajurit,” katanya.

GAM mengutip uang dari orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan. GAM tak memeras rakyat miskin. Tapi mereka minta uang perusahaan-perusahaan itu. “Kalau untuk PT-PT ada sanksi jika mereka tidak memberi. Mereka tinggal di Aceh dan mengelola pabrik-pabrik di Aceh. Ini negara orang Aceh, mereka harus memberikan sekian persen keuntungan mereka untuk bangsa Aceh. Kalau tidak mau kasih silakan keluar dari sini.”

Saya teringat tentang adik tetangga tempat saya tinggal di Geudong. Saya bertanya tentang kebenaran kasus penculikan wakil camat Idie Rayeuk oleh GAM. Ishak Daud mengatakan dia tak tahu. “Mungkin dia diambil sama GAM daerah Idie Rayeuk.” Tapi Daud menambahkan bahwa dia mendengar wakil camat itu sedang kritis karena sempat dipukuli tentara Indonesia ketika terjadi penyisiran di Idie Rayeuk.

Selama sehari semalam saya bersama GAM Peureulak awal Februari lalu, saya melihat betapa dekat hubungan mereka dengan warga di kampung-kampung. Orang-orang kampung terbiasa melihat pasukan GAM bersenjata berkeliaran di jalan-jalan kampung, atau duduk di warung-warung kopi. Mereka ada di mana-mana. Ideologi Aceh Merdeka ada dalam diri masyarakat kampung itu. Saya menjadi mahfum, jika terkadang militer sulit menemukan mereka. Mereka berlapis-lapis. Intelnya ada di mana-mana. Di tiap simpang jalan dan warung. Masih banyak orang yang melindungi mereka.

Saya berpikir, salah satu kunci kekuatan GAM adalah dukungan masyarakat terhadap mereka. Tapi jika banyak orang-orang sipil mereka sakiti, masih adakah dukungan untuk mereka?

DALAM perjalanan pulang ke Banda Aceh, 23 Januari 2002 siang, saya mendapat kabar kematian Teungku Abdullah Syafi’ie. Saat itu mobil umum yang saya tumpangi melintasi Kota Sigli, 112 kilometer dari Banda Aceh.

Ada banyak orang di depan Rumah Sakit Umum Sigli. Tentara juga berjaga-jaga. Dari seorang sopir labi-labi (angkutan kota), kami di mobil mendapat cerita bahwa ada banyak mayat dievakuasi ke rumah sakit. Orang-orang datang mau melihatnya.

“Salah saboh mayat nyan, na yang peugah Teungku Lah (Katanya salah satu mayat adalah Teungku Lah),” kata pria itu dalam bahasa Aceh. Tapi orang-orang tak bisa melihatnya. Mereka tak diizinkan masuk ke kamar mayat. Di situ ada aparat keamanan berjaga-jaga.

Berita itu mengejutkan. Tapi banyak orang yang tak percaya. Setahun sebelumnya, panglima Syafi’ie pernah dinyatakan tewas oleh Tentara Nasional Indonesia. Tapi nyatanya dia masih hidup.

Berita kematian Syafi’ie, dalam usia 52 tahun, sebenarnya hari itu telah muncul di beberapa koran luar Aceh. Tapi banyak yang meragukan, sampai akhirnya abang kandung Syafi’ie sendiri memastikan salah satu dari tujuh mayat yang ada di kamar jenazah rumah sakit itu adiknya.

Syafi’ie tewas dalam sebuah pengepungan oleh 20 orang tentara Indonesia di pedalaman hutan Jiem-jiem, Kecamatan Bandar Baru, Pidie, pada 22 Januari siang. Turut tewas bersama Syafi’ie, istrinya Cut Fatimah, perempuan berusia hampir 50 tahun yang sedang mengandung enam bulan, serta lima pengawal Syafi’ie. Pasangan ini memang agak susah mendapatkan anak.

Syafi’ie sudah bertahan di situ sejak sembilan bulan lalu. Fatimah setia menemaninya. Militer Indonesia mengintip mereka selama beberapa hari. Mulanya terjadi kontak senjata selama beberapa menit. Kekuatan mereka tak berimbang karena ada 10 tentara yang mengepung gubuk tinggal Syafi’ie.

Warga kampung Cubo, sebuah perkampungan antara Jiem-jiem dan Paru, terakhir kali melihat Syafi’ie di Cubo dengan mengendarai sepeda motor pada 17 Agustus 2001. Kota kecil Paru terletak 143 kilometer dari Banda Aceh. Saat itu, belasan gerilyawan GAM menembaki bendera Merah Putih yang dikibarkan warga Cubo karena perintah tentara Indonesia untuk menghormati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Syafi’ie marah melihat kelakuan prajuritnya membuat onar di kampung. Syafi’ie khawatir, militer Indonesia marah karena peristiwa itu. Bisa-bisa orang kampung disakiti. Warga Cubo menyaksikan sendiri bagaimana Syafi’ie menggiring belasan gerilyawan GAM masuk ke hutan Jiem-jiem.

Cubo kampung terdekat dengan markas Syafi’ie di Jiem-jiem. Cubo berjarak delapan kilometer dari Desa Paru, yang terletak di lintasan Medan-Banda Aceh. Untuk masuk ke Cubo, dari Paru orang harus melewati dua jembatan, satu di antaranya jembatan gantung yang rusak parah. Di kampung itu hanya ada satu sekolah dasar dan pesantren tradisional, Darussa’adah.

Warganya relatif miskin dan curiga terhadap orang-orang asing yang datang ke kampung mereka. Mereka sudah mengalami begitu banyak kekerasan. Hampir tiap minggu, pada malam hari, tentara-tentara Indonesia masuk ke kampung itu mencari Syafi’ie.

Rumah Syafi’ie sasaran tentara. Rumah Syafi’ie itu sendiri lebih mirip gudang karena sering jadi sasaran kemarahan tentara bila Syafi’ie gagal mereka temukan. Mereka mengobrak-abrik barang di rumah tanpa penghuni itu. Dalam rumah hanya ada dua ruangan yang berisikan tempat tidur, meja, dan lemari tua.

Rumah itu cermin kesederhanaan Abdullah Syafi’ie. Bahkan sebenarnya Syafi’ie bukan pemilik rumah. Itu rumah Cut Fatimah yang pernah dibakar militer Indonesia pada masa Daerah Operasi Militer 1990. Syafi’ie lebih sering berada di hutan-hutan, berpindah-pindah, dan bertahan tinggal di gubuk darurat. Dia lebih sering makan mi instan daripada ikan.

Bagi warga Cubo, Syafi’ie pahlawan. Mereka berebutan mencium tangan Syafi’ie, jika dia turun ke kampung-kampung. Bukan karena dia sebagai panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka orang menghormatinya. Tapi tingkah laku Syafi’ie mencerminkan sikap seorang pemimpin yang cinta sama rakyatnya. Di sana bahkan Syafi’ie lebih populer dibanding wali negara Aceh Merdeka Muhammad Hasan di Tiro yang kini bermukim di Stockholm, Swedia.

Syafi’ie seorang panglima perang tertinggi dalam AGAM, sayap militer GAM. Tapi Syafi’ie tak memanfaatkan jabatan itu untuk cari keuntungan pribadi. Dia orang sederhana, taat beragama, cerdas, dan moderat.

Saya pikir Syafi’ie berbeda jauh dengan kebanyakan orang GAM yang memanfaatkan organisasi untuk cari keuntungan pribadi. Syafi’ie tak meninggalkan apa pun, bahkan untuk istri keduanya, Mala, yang kini tinggal di Matang Geulumpang Dua, Bireun.

Syafi’ie dimakamkan bersama istri dan dua pengawalnya dalam satu liang di belakang rumah Cut Fatimah, di tengah malam buta, hanya berpenerang lampu petromak, tanpa upacara selayaknya pemakaman seorang jenderal sebuah negara. Tidak ada nisan yang bagus, hanya batang pohon jarak sebagai tanda. Syafi’ie mungkin seorang pemberontak. Tapi dia segelintir GAM yang berjuang dengan hati ikhlas untuk membebaskan negaranya dari penjajahan.*

kembali keatas

by:Chik Rini