Membenahi Jurnalisme Kita

M. Said Budairy

Mon, 4 March 2002

AWAL Februari 2002 saya mengikuti perjalanan Wakil Presiden Hamzah Haz ke Kalimantan Timur. Dalam salah satu pidatonya di Balikpapan, Hamzah Haz mengeluhkan pelaksanaan kebebasan pers kita yang disebutnya "kebablasan."

AWAL Februari 2002 saya mengikuti perjalanan Wakil Presiden Hamzah Haz ke Kalimantan Timur. Dalam salah satu pidatonya di Balikpapan, Hamzah Haz mengeluhkan pelaksanaan kebebasan pers kita yang disebutnya "kebablasan." Keluhannya diselingi canda. Sambil menuding Letnan Jenderal (purnawirawan) Yunus Yosfiah, Hamzah bilang, "Pak Yunus itu yang dulu memberikan kebebasan kepada pers hampir tak terbatas. Beliau harus bertanggung jawab sekarang."

Ucapan Hamzah disambut gelak hadirin yang memperhatikan Yosfiah sedang menoleh ke kanan-kiri, wajahnya antara tersenyum dan tidak. Yosfiah adalah menteri penerangan masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Ia hadir di forum itu mengenakan jas hijau Partai Persatuan Pembangunan dan duduk di baris terdepan sayap kiri dari hadapan Hamzah Haz.

Pada kesempatan lain saya juga pernah mendengar kritik Hamzah Haz pada pers dengan ungkapan agak rinci. Ia menilai teknik penulisan berita oleh media. Katanya, "Judul beritanya serem tapi isi beritanya sebenarnya tidaklah demikian."

Belum lama berselang, akhir Desember tahun lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri juga mempertanyakan tanggung jawab pers terhadap pelaksanaan kebebasan pers. Di depan pengurus Dewan Pers ia menyampaikan harapannya agar pers tidak melakukan penghakiman yang apriori, seolah-oleh pendapat perslah yang paling benar.

Menurut ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, yang memimpin rombongan menemui presiden, Megawati mengritik berita yang tak proporsional, kurang dalam, kurang check and recheck. Astraatmadja mengatakan kelemahan itu dapat terjadi di media mana pun. Namun, katanya, seperti dilaporkan Kompas Cyber Media, presiden tidak gebyah-uyah atau menggeneralisasikan kekurangan tersebut.

Bertolak pada pandangan bahwa Undang-Undang Pers Nomor 40/l999 tak mampu mengendalikan pers yang "kebablasan," dari kalangan lembaga legislatif pun sempat muncul keinginan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Pers itu. Pada pertemuan antara Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dengan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif awal Desember tahun lalu, bermula dari gagasan Aisyah Amini (Fraksi Persatuan Pembangunan) muncul usul revisi tersebut.

Tapi segera tampil reaksi keras terhadap gagasan itu. Pihak yang menolak mengatakan tidak usah mengharubirukan Undang-Undang Pers, toh sebenarnya telah ada undang-undang lain yang juga dapat dikenakan terhadap pers, seperti 35 pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), bahkan 49 pasal dalam rancangan KUHP dan kurang lebih 10 undang-undang yang bisa diberlakukan terhadap pers.

Dewan pada 7 Januari lalu menerbitkan “Catatan Akhir Tahun 2001.” Catatan tersebut mengemukakan, pada 2001 wacana mengenai cara memagari kebebasan pers agar tidak "kebablasan" masih menyita porsi perhatian kalangan pers, publik, dan pemerintah. Selain itu, berbagai peristiwa yang terjadi—baik di kalangan pers, masyarakat, maupun negara—menandai masih kaburnya pemahaman kebebasan pers di negeri ini.

Lebih jauh catatan itu menyatakan perlu tidaknya membatasi kebebasan pers yang telah diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun l999 tentang Pers, mungkin merupakan wacana terbesar 2001. Perbincangan mengenai persoalan ini agaknya berangkat dari keprihatinan berbagai kalangan yang menilai bahwa kebebasan pers telah melahirkan berbagai ekses negatif.

Menurut pengamatan Dewan Pers, pada paruh pertama 2001, sebagian masyarakat menafsirkan ekses negatif kebebasan pers itu pada jurnalisme politik yang dibawa pers.

SEJAK awal 2001, ketika konflik antarelit politik memuncak, pers seakan-akan ikut terfragmentasi dalam krisis politik. Di luar konteks jurnalisme politik, paruh kedua 2001 kata "kebablasan" lebih diarahkan pada objek-objek lain. Misalnya, pada berita yang dinilai provokatif, media kuning "penyebar pornografi" yang meruyak dan fenomena "wartawan bodrex." Berita "provokatif" atau berita yang mendramatisasi fakta dengan tujuan menarik minat pembaca, atau berita yang tidak berimbang, dan bertendensi melakukan character assassination kerap dijumpai dalam jurnalisme kita.

Hal yang demikian sesungguhnya lebih tepat dikatakan sebagai pelanggaran prinsip dan kode etik jurnalistik, ketimbang sebagai dampak kebebasan pers. Tapi, menurut saya, haruslah diakui keberanian lebih besar untuk melanggar prinsip dan kode etik jurnalistik muncul dalam kebebasan pers seperti sekarang, dibanding jika kebebasan pers terkendali, yang berhadapan dengan kekhawatiran penerbitannya akan ditutup oleh pihak luar yang lebih berkuasa.

Benar sekali penegasan Dewan Pers bahwa pelanggaran kode etik dan prinsip jurnalisme adalah kelemahan profesionalisme secara mendasar, kelemahan yang juga bisa terjadi pada kondisi ketidakbebasan pers. Kelemahan profesionalisme wartawan—terutama masih rendahnya ketrampilan dan wawasan jurnalisme—semacam itu hendaknya menjadi perhatian serius perusahaan media dan organisasi pers. Karena bagaimanapun kalangan perslah yang paling berkepentingan untuk menjaga mutu jurnalisme.

Dewan Pers mencatat, dari sejumlah keluhan anggota dan kelompok masyarakat mengenai cara penulisan berita atau artikel dan penggunaan bahasa yang tidak lazim dalam media pers antara lain:

• Satu suratkabar di Jakarta memperoleh informasi yang sangat meragukan, tapi memuatnya juga dengan komentar: "Bisa jadi, ucapan sumber tersebut benar atau bisa juga salah."

• Suratkabar yang sama menampilkan judul (dan kalimat berita) yang mengandung pendapat wartawannya sendiri, seperti "Pasca-tragedi (kecelakaan kereta api di) Brebes. Dephub sepi – Ogah mundur, (menteri perhubungan) Agum enjoy duduki kursi empuk."

• Judul tidak akurat, tapi lebih sensasional, adakalanya muncul di suratkabar, seperti: "Soal abolisi, menterinya ngelawan (maksudnya: berbeda pendapat) – Mega shock." Padahal, kalimat di dalam berita itu hanya menyebutkan: "Lebih lanjut Alfitra (pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ) menilai, perbedaan pendapat seperti itu bisa membuat (Presiden) Mega shock, karena pernyataan Yusril (menteri kehakiman dan hak asasi manusia) bahwa presiden berencana mengampuni Soeharto bisa menurunkan citra Mega." Dengan demikian judul itu sebenarnya hanyalah mengandung makna "Mega mungkin bisa shock."

“Catatan Akhir Tahun 2001” Dewan Pers menggunakan sebutan "satu suratkabar" disusul dengan "suratkabar yang sama" dan "suratkabar itu" dalam mengedepankan contoh-contoh yang dikeluhkan anggota dan kelompok masyarakat mengenai cara penulisan berita atau artikel dan penggunaan bahasa yang tidak lazim dalam media pers. Entah apa alasannya Dewan Pers tak transparan dengan menyebutnya secara jelas nama suratkabar tersebut.

Agar tidak menjadi tanda tanya masyarakat pembaca, saya berusaha menelisik, suratkabar mana yang pernah menggunakan kalimat-kalimat sejenis yang disebutkan dalam catatan tersebut.

Suratkabar yang dimaksud ternyata harian Rakyat Merdeka dari Jawa Pos Network News, yang merupakan gugusan perusahaan penerbit media yang cukup besar. Jawa Pos mulanya sebuah koran tua, didirikan 1 Juli l949 oleh pasangan suami istri The Chung Shen alias Soeseno Tedjo dan Mega Indah.

Laporan Max Wangkar dalam PANTAU edisi Mei 2001 menyebutkan, pasangan itu pernah menjadi raja koran Indonesia karena memiliki tiga koran yang diterbitkan dalam tiga bahasa: Java Post , koran beraksara Cina Hua Chiao Sien Wen, dan koran berbahasa Belanda de Vrije Pers.

Pada l982 sirkulasi koran pagi itu merosot, sekitar 10 persen saja dari koran sore Surabaya Post. Anak-anak keluarga The, yang sekolah di London, enggan balik ke Indonesia. Sementara The Chung Shen dan istri merasa makin dirongrong usia sehingga memutuskan menjual Jawa Pos (nama terakhir setelah berubah dari Java Post menjadi Djawa Post). Kebetulan mereka bertemu direktur utama PT Grafiti Pers Eric Samola yang berambisi melakukan ekspansi. PT Grafiti Pers adalah penerbit mingguan Tempo yang saham-sahamnya dimiliki PT Pikatan dan Yayasan Jaya Raya.

Laporan Coen Husain Pontoh dalam PANTAU edisi Agustus 2001 menyebutkan, PT Pikatan sebenarnya hanya perusahaan kertas, artinya tak punya usaha apa-apa yang dibentuk oleh 17 orang pendiri majalah Tempo. Ketujuhbelas orang itu kemudian mengangkat empat dari mereka jadi direksi PT Pikatan: Goenawan Mohamad, Lukman Setiawan, Fikri Jufri, dan Harjoko Trisnadi. Saham Tempo dimiliki 20 persen para karyawannya, 36,5 persen PT Pikatan, dan 43,5 persen Yayasan Jaya Raya. Tak jelas berapa transaksi pembelian seluruh saham keluarga The Chung Sen di PT Jawa Pos itu. Tapi yang pasti Dahlan Iskan, yang telah meraih beberapa sukses dalam kerja jurnalisme, ditunjuk oleh Eric Samola jadi pengelola Jawa Pos.

Dengan kerja keras dan menggunakan macam-macam kiat, Jawa Pos jadi koran besar. Dalam lima tahun terakhir keuntungan PT Jawa Pos mencapai Rp 30 miliar. PT Grafiti Pers atau penerbit Tempo versi lama (sebelum pembredelan 1994), memegang 40 persen saham, Eric Samola 20 persen (kemudian menyisihkan 2,4 persen sahamnya untuk Dahlan Iskan) dan para direktur Grafiti Pers yakni Goenawan Mohamad, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, dan Fikri Jufri masing-masing lima persen.

Jawa Pos Network News menerbitkan 67 koran dan tabloid. Mereka tergabung dalam delapan armada yang disebut "kapal induk." Delapan armada itu antara lain Jawa Pos (Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Nusatenggara) dengan pangkalan Surabaya dan Rakyat Merdeka (Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah) dengan pangkalan Jakarta. Di Jakarta komandan kapal induk ini adalah Margiono, mantan pemimpin redaksi Jawa Pos.

Para tokoh wartawan yang jadi pemegang saham PT Jawa Pos, jika mau, pastilah dapat menggunakan pengaruhnya untuk ikut membenahi hal-hal yang dapat merobohkan kembali kebebasan pers di negeri ini, yang tegaknya dulu oleh perjuangan "hidup-mati" mereka juga. Rakyat Merdeka hanyalah satu titik saja dari operasi Jawa Pos Network News yang sudah meraksasa.

Saya mendukung penegasan Dewan Pers bahwa pelanggaran kode etik dan prinsip jurnalisme adalah kelemahan profesionalisme secara mendasar. Dan juga sependapat, kelemahan profesionalisme semacam itu hendaknya menjadi perhatian serius perusahaan media.

Bulan Maret ini atau April mendatang kabarnya akan diselenggarakan rapat umum pemegang saham PT Jawa Pos. Dalam rapat itu paling tidak Goenawan Mohamad (mantan presiden komisaris PT Jawa Pos dan juga anggota Dewan Pers) dan Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos Network News) tentu akan hadir.

Isu tentang Rakyat Merdeka agaknya patut sekali dihadirkan dalam rapat tersebut. Kalau dulu Goenawan dan Dahlan ikut berjuang meraih kemerdekaan pers, sepatutnya sekarang mereka bersedia meluangkan sedikit waktu dan energi buat meniup pluit tanda "off side" atau "main kayu" yang dilakukan harian Rakyat Merdeka.

Secara terbuka saya mengharap Goenawan Mohamad dan Dahlan Iskan turun tangan, sehingga kebebasan pers pasca-Soeharto tak tercemari oleh produk jurnalistik dari lingkungan Jawa Pos Network News. *

kembali keatas

by:M. Said Budairy