Laksmi

Sjamsoeir Arfie

Mon, 4 March 2002

JUMAT pagi pekan pertama Januari 2002. Cuaca Jakarta agak mendung. Pintu bangunan bekas toko bebas bea itu baru saja dibuka. Seorang karyawan bagian kebersihan melangkah keluar.

JUMAT pagi pekan pertama Januari 2002. Cuaca Jakarta agak mendung. Pintu bangunan bekas toko bebas bea itu baru saja dibuka. Seorang karyawan bagian kebersihan melangkah keluar. Dia menenteng sebuah ember dan sapu. Bangunan ini kelihatan tak mencolok. Di bagian belakangnya terlihat kesibukan. Suara palu para tukang bercampur tegur sapa karyawan yang baru datang meramaikan pagi.

Sang perancang bangunan, Andra Matin, dipercaya mengubah bangunan tersebut menjadi tiga buah tempat usaha sekaligus: toko buku, toko furnitur, dan kafe.

Setahun lalu di Jalan Kemang Raya No. 8 B ini berdiri toko buku Aksara. Pengelola menerapkan system borderless interior, tempat usaha tanpa batas kentara.

Suara musik berirama lembut terdengar dari sound system. Tata ruang toko penuh sentuhan seni. Rak-rak dipajang berisi buku yang tersusun rapi. Lain dengan toko buku biasa, Aksara sangat memanjakan tamu, disediakan kursi dan sofa untuk membaca buku sepuasnya.

Dari arah dalam muncul wanita muda, mengenakan blus warna hitam, dan celana panjang denim biru, serasi dengan kulitnya yang putih.

“Kita ngobrolnya di ruang atas aja yuk!” ajak Laksmi Pamuntjak Djohan.

Ruang itu diterangi skylight system, memanfaatkan sinar matahari dengan sangat kentara. Cahaya masuk ruangan lewat celah dari bilah-bilah melintang pada pembatas ruang depan dan ruang belakang yang bertinggi sekitar setengah meter. Cahaya itu tidak statis, kembali dari waktu ke waktu. Dua keuntungan diraih sekaligus, penghematan tenaga listrik dan pancaran cita rasa seni. Kami berada dalam kafe di lantai atas toko itu.

“Di sini pengunjung dimanjakan, disediakan kursi, boleh membaca sepuasnya. Tempat ini juga bisa untuk kegiatan acara bedah buku, diskusi, dan sebagainya,“ kata Laksmi.

Laksmi mendekati petugas kafe, meminta sound system dimatikan.

“Dia mitra kerja yang kompeten, sangat efisien, sangat menguasai dunia perbukuan. Di Indonesia saya lihat belum ada duanya orang seperti Laksmi itu dalam masalah buku. Dia punya konsentrasi luas, tidak hanya konsentrasi artistik, melainkan juga konsentrasi bisnis,“ kata Winfred Hutabarat, dari PT Panaksara Pustaka, pemegang saham mayoritas di toko buku Aksara.

Konsep toko buku ini ada di kepala Laksmi sejak 1996. Gagasan itu dirembukkannya dengan rekan sepermainannya sejak kecil, Winfred Hutabarat.

Tugas Laksmi sebagai direktur operasi cukup berat. Dia bertanggung jawab dalam pengadaan buku. Di bawah kendalinya terdapat 30 ribu judul buku: 20 persen berbahasa Indonesia, sisanya bahasa Inggris. Laksmi didampingi Davy Djohan sebagai direktur administrasi dan keuangan. Mereka sama-sama Djohan, tapi tak ada hubungan keluarga.

“Satu-satunya kelemahan Laksmi, karena kesibukannya di toko buku itu. Saya kira waktunya untuk menulis bisa agak terganggu. Tapi itu sudah konsekuensi dari kesibukan yang dia geluti,“ kata Daniel Ziv dari majalah Djakarta.

Toko buku seluas 150 meter persegi itu menonjolkan tiga konsep utama: melayani, terseleksi, dan tempat aktivitas ilmu pengetahuan. Laksmi berencana suatu saat menyediakan buku-buku langka bagi pengunjung, dan tidak diperjualbelikan. Setiap buku tak dibungkus plastik, bebas dibaca.

“Selama berada di kantor saya tidak bisa menulis. Saya perlu waktu khusus untuk mengarang,“ kata Laksmi.

SETAMAT sekolah menengah atas di United World College of South East Asia di Singapura, Laksmi yang kelahiran Jakarta 22 Desember 1971 ini terbang ke Perth, Australia untuk belajar di jurusan Asian Studies and Political Science, Murdoch University.

“Ketika saya lulus pada tingkat bachelor dengan predikat first honour degree, pihak universitas langsung menawarkan bea siswa untuk melanjutkan ke tingkat S3, tetapi ibu minta saya pulang segera,“ ujar Laksmi.

Laksmi pun kembali ke tanah air. Tak berapa lama, pada usia ke-22 tahun dia menikah dengan kekasihnya Djohan Kandar, seorang konsultan swasta. Dari pernikahan itu lahir Nadia Larasati.

Ayahnya, Mustafa Pamoentjak, anak pasangan Saadi dan Kesoema Soetan Pamoentjak, pendiri PT Djambatan, perusahaan penerbitan. Kakek dan nenek Laksmi lahir di desa Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatra Barat. Kakek Laksmi, Kesoema Soetan Pamoentjak, seorang pengarang merangkap pengusaha, dan dari tangannya lahir novel Ketjewa yang diterbitkan Balai Poestaka pada 1928. Dia juga menulis Kamus Kedokteran: Arti dan Keterangan istilah dan buku Seluk Beluk dan Tehnik Perniagaan. “Bakat mengarang saya barangkali menurun dari kakek,“ kata Laksmi.

Saat duduk di sekolah dasar, kebiasaan tulis-menulis dilanjutkan Laksmi. Pada 1980 lewat karangannya berjudul “Pustakaku,” Laksmi keluar sebagai pemenang kejuaraan Mengarang Nasional untuk kategori usia 9-12 tahun yang diadakan Ikatan Penerbit Indonesia.

Kini dia tercatat sebagai kontributor suratkabar The Jakarta Post, majalah Tempo, dan kolumnis khusus restoran di Djakarta Magazine, konsultan politik International Assesment Group, juga salah seorang pendiri Penerbit Pena, yang menerbitkan buku Jakarta Good Food Guide 2001 edisi kedua.

Kedua orangtua Laksmi rupanya gemar keluar masuk restoran masakan Indonesia dan Eropa. Mereka sering berdiskusi tentang menu dan seni penyajian makanan. Kegemaran ayah dan ibunya ternyata menular ke Laksmi.

Sejak 1996 Laksmi berkeinginan menulis buku tentang restoran. Hasrat itu makin memuncak saat dia tinggal di Melbourne, Australia, selama 1,5 tahun, mendampingi suami yang mendapat tugas belajar. Laksmi menyaksikan perkembangan restoran di Australia maju pesat. Makanan dari waktu ke waktu selalu disajikan secara konsisten. Penulisan buku petunjuk tentang restoran di sana juga mentradisi.

“Setiba di Indonesia tahun 1999 saya sudah memantapkan rencana untuk menulis buku Jakarta Good Food Guide yang independen,” tutur Laksmi.

Rencana itu dirembukkannya dengan keluarga. PT Djambatan setuju menjadi sponsor utama dan menerbitkan tulisan Laksmi menjadi buku. Guna penelitian di lapangan disediakan dana sekitar Rp 42,5 juta untuknya. Sejak Desember 1999 sampai Oktober 2000, selama sepuluh bulan, Laksmi keluar masuk 390 restoran, kafe, warung makan permanen hingga kakilima, yang menghidangkan masakan Indonesia, Eropa, Cina, Jepang, Korea, Thai, India, hingga Timur Tengah.

Namun, ada seseorang yang waswas karenanya. Sang ibu sangat khawatir, takut kalau-kalau serangan kolesterol yang kerap mendatanginya juga menyerang Laksmi. Kecemasan ibunya tak meleset jauh. Beberapa kali Laksmi terkena diare dan muntah-muntah akibat keracunan makanan.Tapi Laksmi tak jera.

Demi mencapai target independensi dalam meneliti restoran, Laksmi tak memberi tahu pengelola restoran tentang rencana kedatangannya. Adakalanya ia datang berdua dengan teman, tapi pernah juga datang berombongan sebanyak 14 orang.

“Supaya jangan diketahui sedang meneliti, kadang kami pura-pura berdiskusi, mencatat tentang restoran itu pun sembunyi-sembunyi,” tutur Laksmi, lagi.

Dia juga punya kiat lain untuk menghindari kecurigaan pengelola restoran dengan membuat catatan di atas bon makan mengenai semua hal dari restoran yang dikunjunginya. Tetapi, cara seperti itu berisiko.

Setahun lalu, pada 9 Oktober 2001, Laksmi berkunjung ke Frankfurt, Jerman. Dia kembali mengulang kebiasaannya itu, keluar masuk rumah makan. Selama penerbangan dari Frankfurt ke New York, Amerika Serikat, catatan-catatan yang disimpan dalam amplop itu dikeluarkannya, diteliti satu per satu. Ketika dia turun dari pesawat di New York, ternyata semua catatan itu tertinggal.

“Untung ketika pesawat yang saya tumpangi berangkat dari Washington ke Jakarta transit selama 14 jam di Frankfurt, data-data yang hilang itu bisa didapat lagi, tentu dengan mendatangi kembali semua restoran itu,” katanya, sambil ketawa.

Pengalaman lain yang juga membuatnya kesal saat dia menjadi korban kecanggihan teknologi. Beberapa hasil penelitiannya hilang dari hard disk komputer.

Laksmi biasa berkunjung ke berbagai rumah makan pada jam makan siang atau usai magrib hingga tengah malam. Namun, belakangan naluri keibuan mendorongnya mencurahkan perhatian kepada putrinya, dia tak ingin putrinya kurang kasih sayang. Sebisa mungkin Laksmi menidurkannya sebelum melakukan penelitian. Setelah Nadia tidur, ibu muda itu beranjak pelan-pelan meninggalkan kamar anak semata wayangnya. Dia berkemas meninggalkan rumah sekitar pukul 21.00, melangkah dalam kegelapan malam, menuju tempat-tempat makan yang belum pernah dikunjungi atau yang tahun lalu pernah didatanginya untuk diteliti ulang. Tak jarang tempat yang dia datangi mulai tutup.

“Laksmi itu seorang pekerja keras. Dia sangat ulet. Sikap kesehariannya Eropa, tetapi penampilannya Indonesia,” kata Jason Tedjasukmana, wartawan majalah Time di Indonesia.

“Penampilannya sangat profesional. Dia baik hati dan pintarnya luar biasa. Bahasa Inggrisnya sangat baik. Dia berpotensi untuk menulis novel dalam bahasa Inggris. Saya lihat belum ada penulis Indonesia yang sepintar dia menulis dalam bahasa Inggris,” kata Daniel Ziv dari Djakarta Magazine.

Apa boleh buat, waktu 24 jam sehari terlalu sedikit bagi Laksmi. Putri tunggalnya Nadia, 5,5 tahun, sekitar pukul 05.30 sudah bangun. Dia murid Sekolah Dasar Tarakanita, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada pagi dingin itu Laksmi ingin bertindak sebagai ibu yang baik, ikut berbenah, mempersiapkan keperluan putrinya yang hendak berangkat sekolah. Usai itu dia mendampingi suaminya, Djohan Kadar, sarapan pagi. Suaminya, lelaki yang penuh pengertian. Dia memaklumi kesibukan Laksmi.

Tanpa sempat istirahat, sekitar pukul 09.00 Laksmi berada di kantornya. Menjelang pukul 17.00, terkadang lewat Isya, dia baru tiba di rumah di daerah Kebayoran Baru.

Sepulang dari meneliti makanan dan minuman itu, Laksmi tak langsung pergi tidur. Laksmi mendampingi Nadia belajar, kemudian menemaninya tidur untuk beberapa saat. Selepas itu menuju kamar kerjanya. Saat bekerja Laksmi tak mau mendapat gangguan apapun, bahkan dering telepon pun kalau bisa tidak mampir ke telinganya. Mulai pukul 23.00 sampai 05.00 Laksmi hanya bersahabat dengan komputer. Dia tak ingin membuang waktu. Paling lama hanya tiga hari dia tak menjamah hasil penelitiannya di lapangan, setelah itu asyik di muka komputer lagi. Siklus ini terus berputar, dari hari ke hari.

“Sudah dua tahun saya tidak tidur, minimal selama itu tidur saya tidak teratur,” kata Laksmi. Kondisi tubuhnya dia pasrahkan kepada Alkhaliq. Olah raga tak sempat lagi. Paling-paling dia mengonsumsi multivitamin untuk menjaga staminanya..

Pada 9 Februari 2001 malam Toko Buku Aksara dibuka, dengan investasi awal Rp 1,5 miliar, sekaligus diluncurkan buku Jakarta Good Food Guide 2001 karya Laksmi Pamuntjak Djohan.

“Saya rasa yang dilakukan Laksmi suatu terobosan baru, satu revolusi, sangat menguntungkan mulai dari kakilima sampai restoran besar. Sebagai pemilik restoran saya takkan tersinggung jika restoran saya dia nilai ada yang salah. Itu konsekuensi kalau ada restoran saya yang kurang baik. Dia bekerja sangat profesional,” kata William Wongso, pemilik beberapa restoran dan kafe di Jakarta.

“Buku Jakarta Good Food Guide itu luar biasa. Dia menilai secara perspektif, misalnya kalau dia sedang meneliti di restoran masakan Sunda, dia menilainya dari unsur Sundanya bukan menilai misalnya dari sudut pandang ketika berada di restoran Padang,” kata Daniel Ziv.

Animo masyarakat pada karya Laksmi cukup besar. Edisi pertama terbitan PT Djambatan dengan harga Rp 95 ribu yang dicetak 3000 eksemplar habis terjual. Di beberapa toko buku di Depok dan Jakarta yang saya kunjungi, buku ini sudah tak ada, termasuk di Toko Buku Gramedia Matraman. Di Gramedia Melawai hanya tersedia edisi kedua, tinggal satu eksemplar. Di Gramedia Pasar Baru ada sekitar 10 buah. Edisi kedua merupakan revisi dari edisi pertama dan diterbitkan Penerbit Pena, perusahaan kepunyaan Laksmi dan teman-temannya, sebanyak 4000 eksemplar dengan harga Rp 110 ribu per eksemplar. Edisi ini pun laris.

Kesungguhan Laksmi dalam mengamati dapat disimak lewat bukunya. Suasana restoran dilukiskan secara rinci, begitu juga jenis menu yang tersaji di sana. Suasana serta lingkungan tempat-tempat makan itu diungkapkan bak reportase seorang wartawan.

Laksmi menyebut bukunya sebagai a guide independent, tak mendapat sponsor dari mana pun, tak ada iklan maupun keharusan membeli buku bagi restoran yang ditelitinya. Tidak semua restoran yang ada di Jakarta serta merta masuk dalam buku ini. Semuanya melalui proses seleksi. Laksmi memilih 13 restoran, kafe dan warung makan terbaik. Angka 2001 pada judul buku Jakarta Good Food Guide 2001 seharusnya ditulis 2000, sebab semua penelitian dilakukan tahun 2000.

“Dia sangat balance dalam mengungkapkannya. Dia melihat dan mengamati suatu restoran pada posisi benar,” ujar Daniel Ziv, lagi.

“Saya tidak pernah berhenti me-reviewed, sebab mungkin saja ada restoran yang tahun lalu saya kunjungi tahun ini sudah tutup dan tahun depan buka kembali, atau ada restoran atau kafe baru, atau telah tutup. Begitu juga dengan mutunya, ada yang turun, naik, dan sebagainya. Tujuan saya menulis buku ini supaya pengelola makin meningkatkan mutu dan pelayanan restoran mereka,” kata Laksmi.

PADA usia tiga tahun Laksmi sudah menyukai musik. Dia sangat senang duduk di belakang piano, kemudian belajar piano di Yayasan Pendidikan Musik di Manggarai, Jakarta Selatan. Namun, di Jakarta belum terdapat konservatorium. Untuk sementara Laksmi pun berhenti mendalami piano. Pada 1989 Lakmi menjuarai Under 18 Westerd Ausralian Piano Teacher Association Award di Australia. Dua tahun kemudian dia mewakili Indonesia dalam kejuaraan piano dunia di Italia. Laksmi kalah, tetapi dia satu-satunya peserta yang tidak sekolah musik di konservatorium.

“Dia seorang yang sangat serius dalam musik. Laksmi pernah mewakili Indonesia pada kontes tingkat dunia,” ujar Jason Tedjaksukmana.

Waktu sekolah di Singapura, dia sempat belajar piano pada guru piano konser Martina Mixnerova, dan selama kuliah di Perth, Australia, dia juga belajar piano konser pada pianis Rex Hobcroft. Sepulang dari Australia Laksmi pernah terdaftar sebagai pianis Nusantara Chamber Orchestra, tetapi berhenti dari kesibukan main piano di depan umum sejak mengandung Nadia Larasati, tujuh tahun lalu.

“Apa cita-cita di masa depan?” tanya saya.

“Kalau punya kesempatan saya ingin kuliah lagi. Rencana lain buku Jakarta Good Food Guide akan dibuat setiap tahun, juga berencana menulis buku Java Good Food Guide, Bali Good Food Guide dan sebagainya,” jawab Laksmi.

Pengunjung mulai berdatangan ke Toko Buku Aksara yang berada di bawah satu atap dengan Kafe W Sandwich and Grill dan Toko Furnitur Prodak.

Jarum jam mendekati pukul 11.30. Dari sebuah masjid yang tak terlalu jauh dari toko itu terdengar adzan, memanggil untuk salat Jumat. Saya pamitan, sedang Laksmi, perempuan muda dengan banyak bakat dan semangat tinggi itu, kembali pada kesibukan rutinnya di Aksara.*

kembali keatas

by:Sjamsoeir Arfie