Jihad dalam Sebuah Opini

Taufik Andrie

Mon, 4 March 2002

PERTENGAHAN Januari lalu, Fauzan Al-Anshari mengikuti seminar tentang amandemen Undang-Undang Dasar 1945 di Yogyakarta ketika dia mendapat short message service dari seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Muslim Antar-Kampus

PERTENGAHAN Januari lalu, Fauzan Al-Anshari mengikuti seminar tentang amandemen Undang-Undang Dasar 1945 di Yogyakarta ketika dia mendapat short message service dari seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Muslim Antar-Kampus atau biasa disingkat Hammas. Bunyinya, "Sukidi: jihad adalah komoditas simbol-simbol agama untuk tujuan dan kepentingan politik murahan berjangka pendek."

Sontak Al-Anshari marah. "Benar nggak nih? Ini harus dicek ini." Sorenya dia membuka situs web harian Republika yang memuat opini karya Sukidi, seorang staf yayasan keagamaan Paramadina. Judul opininya "Dialog Islam-Barat untuk Perdamaian Dunia" yang dimuat Republika edisi 14 Januari. Sukidi singkatnya mengatakan istilah "crusade" maupun "jihad" dipakai oleh politikus buat kepentingan politik masing-masing. Frasa "murahan dan jangka pendek" terletak pada bagian akhir opini itu.

Fauzan Al-Anshari seorang aktivis Majelis Mujahidin Indonesia, organisasi yang bertujuan menegakkan syariat Islam di Indonesia. Salah satu tokohnya yang sering jadi bahan berita Abu Bakar Ba’asyir, pengasuh Pesantren Ngruki Solo, yang dituduh polisi Singapura dan Malaysia terlibat terorisme internasional.

Al-Anshari memilih membuat opini tanggapan terhadap Sukidi. Pada 18 Januari artikel balasan dimuat Republika dengan judul "Jihad dalam Perspektif Syariah (Pelajaran untuk Sukidi)." Majelis Mujahidin, lewat Al-Anshari dan beberapa kawannya, juga mengeluarkan somasi terhadap Republika.

Bahkan lima hari berikutnya, disaksikan dua rekannya, Nur Hakim Zaki dan Abdurahman Majri, Fauzan Al-Anshari resmi melaporkan Sukidi ke kepolisian Jakarta dengan tuduhan "pelecehan" agama Islam.

Dalam suatu wawancara, Nur Hakim Zaki, ketua Hammas, menyebut tindakan ini shock therapy agar selanjutnya siapa pun lebih berhati-hati menggunakan istilah baku dalam Islam.

Awal Februari lalu, Al-Anshari mengikuti diskusi di Jakarta. Al-Anshari mantan wartawan Suara Muhammadiyah. Dia menjelaskan posisinya sebagai ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia.

Kegusarannya masih kentara meski samar. "Masak jihad dianggap sebagai simbol-simbol agama untuk kepentingan politik murahan berjangka pendek," katanya. Dia berpendapat kolom Sukidi bagus tapi kesimpulannya "kenapa lain?"

Sukidi sendiri menganggap gugatan itu biasa. Hanya masalah beda penafsiran. "Membaca pemikiran saya itu harus secara komprehensif agar tidak terjadi potong-memotong di paruh pemikiran saya."

"Saya pikir tidak ada sedikit pun penodaan terhadap suatu agama," kata Sukidi.

Sukidi tergolong muda, usianya baru 28 tahun, jadi pengurus beberapa organisasi dalam lingkungan Muhammadiyah, yang juga bekerja buat Yayasan Puan Amal Hayati di Ciganjur. Sukidi juga anggota Jaringan Islam Liberal, sebuah kelompok diskusi internet, yang banyak membahas ide-ide tentang sekulerisme dalam Islam.

Dia berpendapat kata "jihad" yang dipermasalahkan Al-Anshari terputus dari keseluruhan rangkaian artikel. "Konteksnya adalah kenapa terorisme itu didekati dengan sentimen agama. Kalau bagi saya itu adalah murni kriminalitas politik."

Baginya sumber gugatan itu masalah interpretasi. "Coba Anda bayangkan seandainya kata-kata crusade itu diamini umat Kristiani sedunia. Dan sebaliknya seruan jihad diamini pula oleh umat Muslim sedunia. Yang terjadi kan perang antarumat beragama sedunia," ujarnya. Sukidi beranggapan terorisme murni kriminalitas politik, maka penyelesaiannya melalui jalur politik pula.

Sedang jihad yang dimaksud Al-Anshari justru berlainan. Dalam perspektif syariah, jihad adalah keyakinan. "Maknanya sama seperti sholat," kata Al-Anshari. Dia berpendirian epilog kolom Sukidi bermasalah. "Memang kami akui mereka (Jaringan Islam Liberal) mempunyai akses yang luar biasa terhadap media," kata Al-Anshari. Justru akses itu yang dianggap Al-Anshari dan kawan-kawannya tak berimbang karena banyak naskah Sukidi dan para kolumnis Islam liberal dimuat media massa sementara tanggapan dari kelompok Al-Anshari tak dimuat kecuali di dwimingguan Sabili.

"Bolehlah sekali-kali mengritik, tapi mbok ya jangan menohok," katanya, seraya menambahkan orang-orang Jaringan Islam Liberal mengidap "kegenitan intelektual."

"Ngutip sana ngutip sini. Yang dikutip itu ya kutipan-kutipan yang menurut saya kurang bisa dipertanggungjawabkan," katanya.

Al-Anshari mengatakan, "Track record Jaringan Islam Liberal dan Paramadina itu kurang enak terhadap Islam."

Keseriusan Al-Anshari tertuang lewat 20 tanda tangan, perwakilan 10 organisasi Islam, yang berhasil dikumpulkannya untuk mengajukan tuntutan pada Sukidi. Al-Anshari juga minta Eggi Sudjana dari kantor penasihat hukum Hamdan, Sudjana, Januardi & Partners untuk jadi pengacaranya.

Bagaimana pendapat pihak ketiga yang mengerti jurnalisme? Amir Daud, seorang wartawan senior, kini instruktur Lembaga Pers Dr. Soetomo, sebelumnya pernah bekerja buat Associated Press, serta pernah melatih wartawan dan memimpin mingguan Tempo, harian Bisnis Indonesia dan The Jakarta Post, memberikan pandangannya perihal kasus tersebut. Menurutnya, bagaimana pun juga, pendapat tak bisa diadukan ke kepolisian. "Dasar hukumnya kurang kuat. Kejaksaan tidak punya bahan yang kuat untuk menuntut. Karena akibat dari tulisan ini tidak ada kekacauan di Indonesia," kata Amir Daud.

Bagaimana bila pendapat itu salah? "Tergantung pada orang yang memahaminya. Sekarang sudah ada tulisan tandingan atau balasan. Republika sudah memenuhi tugasnya. Kejaksaan tidak bisa sembarangan menuntut jika bahannya kurang."

Logikanya, apakah pendapat seseorang yang dilontarkan lewat media, terhadap suatu isu yang kompleks macam tafsir agama, bisa diadukan ke polisi? Amir Daud menegaskan tidak bisa. "Karena ini suatu pendapat. Benar atau tidak pendapat itu bergantung dengan perkembangan. Quran saja seperti itu," katanya.

Baik Al-Anshari dan Sukidi berasal dari lingkungan Muhammadiyah. Bagaimana reaksi organisasi ini? Hajrianto Y. Tohari, wakil sekretaris pengurus pusat Muhammadiyah, terkesan sumeh ketika dimintai komentarnya. Hajrianto tenang saja melihat perkembangannya. Dia mengatakan sempat menghubungi Al-Anshari untuk tanya perihal pengaduan itu.

Kepada Hajrianto, Al-Anshari minta Sukidi mengaku salah dan minta maaf jika memang khilaf. "Minta maaf pada siapa? Bagaimana caranya?" Hajrianto menirukan ulang tanggapannya pada Al-Anshari.

Muhammadiyah sendiri tak mengeluarkan pernyataan resmi. "Sudahlah berpolemik saja di koran, buat apa ribut-ribut sampai ke polisi," ajak Hajrianto pada Al-Anshari. Namun Al-Anshari menolak dengan alasan, masalah itu bukan hanya antara dia dan Sukidi. Pengaduan itu menyangkut amanat Majelis Mujahidin Indonesia untuk tetap memperkarakan Sukidi.

Tapi setidaknya ruang buat diskusi masih terbuka. Fauzan Al-Anshari merencanakan menuntaskan masalah jihad dalam sebuah forum.

Tawaran itu disambut hangat Sukidi. "Agar produktivitas dan dinamika di kalangan Muslim itu berkembang ke depan, saya pribadi lebih baik tidak melalui jalur hukum," kata Sukidi. Lebih jauh Sukidi mengangankan kelak ada sebuah strategi yang membawa kedua arus itu bisa berjalan seiring tapi menggarap wilayah yang berbeda.

Yang terang, perbedaan adalah kekayaan. Termasuk perbedaan dalam berpendapat. Tak terkecuali dalam menafsirkan ajaran agama.*

kembali keatas

by:Taufik Andrie