Instrumen Akal-Akalan BPPN

Narliswandi Piliang

Mon, 4 March 2002

AWAL Februari lalu saya menemui Gede Prama di sebuah hotel berbintang di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan, beberapa hari setelah ia mundur sebagai presiden direktur merangkap chief executive officer Newco Texmaco.

AWAL Februari lalu saya menemui Gede Prama di sebuah hotel berbintang di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan, beberapa hari setelah ia mundur sebagai presiden direktur merangkap chief executive officer Newco Texmaco.

Gede Prama seorang pria berusia 39 tahun, badannya tegap, kulitnya sawo matang—mengesankan ia sering berada di tempat terbuka. Ia menjabat erat tangan saya, lalu mengajak makan di sebuah kafe dan memesan nasi goreng vegetarian. Tak banyak orang Indonesia memilih nasi goreng vegetarian. Prama mengatakan ia menjaga kesehatannya dengan tak makan daging. Tiga kali sepekan ia jogging di bilangan rumahnya di Bintaro, Jakarta Selatan. Dua kali seminggu ia pergi mematuk bola ke padang golf. Wajahnya segar. Ia juga tak merokok.

Nama Newco Texmaco mungkin kurang terkenal tapi ia sebuah perusahaan besar yang menampung unit-unit usaha kelompok Texmaco bentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Newco Texmaco dibentuk BPPN sebagai upaya pembayaran utang kelompok usaha Texmaco pimpinan pengusaha kelas kakap Marimutu Sinivasan. Nilai total utang mereka, seperti dilaporkannya ke BPPN, berjumlah Rp 16 triliun. Tapi dilaporkan tabloid Kontan, angka itu sudah dikoreksi oleh Komite Pemantau Pelaksana Tugas (KPPS) BPPN jadi US$ 3,08 miliar atau sekitar Rp 26,89 triliun pada Juni 2001. Ada selisih Rp 10 triliun.

Mengapa orang muda dan segar macam Gede Prama mundur dari pekerjaan dengan alasan resmi kesehatan?

“No comment! Tak ada penjelasan dari saya untuk hal itu,” jawabnya.

Hanya itu jawaban Prama. Tapi saya punya kesan ia memendam alasan lain, wajahnya suram, layaknya kawasan tempat kami bertemu itu, yang langitnya masih dibalut mendung, meski tak dilanda banjir seperti kebanyakan daerah lain di Jakarta.

Tapi coba perhatikan beberapa mailing list di yahoogroups.com. Di sana ada beberapa komunitas maya antara lain bernama Mitra-bisnis. Isinya berbagai informasi tentang seluk-beluk bisnis, mulai dari info produk, dagang kebutuhan pangan, alat kesehatan, sampai terkadang membahas isu yang beredar di lingkungan usaha. Di sana saya menemukan informasi bahwa Gede Prama mundur dua jam sebelum acara penandatanganan exchangeable bond yang diagendakan direksi Newco Texmaco senilai lebih dari Rp 15 triliun. Disebutkan pula ia tak diberi kesempatan melakukan verifikasi aset Texmaco sebagai dasar perhitungan bond tersebut.

Exchangeable bond adalah istilah untuk sejenis surat berharga, yang memuat pernyataan janji utang sebuah perusahaan, yang didukung oleh bank atau lembaga keuangan lain. Secara fisik, biasanya dicetak di security paper atau kertas tertentu yang sulit dipalsukan. Lembaran itu berharga karena menerakan garansi bank.

Tapi sejauh mana kebenaran informasi internet itu?

Harian Bisnis Indonesia pada 4 Oktober 2000 menulis perkara utang dibayar lagi dengan janji utang ini. Komisaris Texmaco G. Mannusamy menjelaskan exchangeable bond itu nilainya Rp 16,552 triliun.

Kontanonline, situs web tabloid Kontan, memberitakan bahwa pada September 2001 perjanjian Texmaco dan BPPN ihwal restrukturisasi utang dilakukan tanpa due diligence terhadap aset Texmaco. Ini aneh bagaimana bisa membuat perjanjian utang tanpa memeriksa nilai perusahaannya lebih dulu?

Mundurnya Gede Prama, membuat saya bertanya-tanya jika tindakan itu berhubungan dengan isu utang dibayar dengan janji utang?

BPPN adalah institusi pemerintah yang mengenggam aset besar milik publik. Sudah seharusnya sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1999, tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, memudahkan anggota masyarakat memperoleh informasi terbuka dan benar dari penyelenggara, dan usaha negara. Landasan ini merupakan pegangan kuat bagi jurnalis untuk melakukan reportase.

Dalam pasal 10 disebutkan setiap penyelenggara negara yang menerima permintaan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara wajib memberikan jawaban atau keterangan sesuai tugas dan fungsinya dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kenyataan dan peraturan itulah yang mengantarkan saya melayangkan email ke seorang mantan wartawan yang kini bekerja di bagian hubungan masyarakat BPPN. Danang Kemayan Jati namanya. Ketika saya reporter majalah Swa, ia koordinator reportase. Saya konfirmasikan kepadanya apakah betul obligasi Rp 16 triliun yang membuat Prama mundur? Jawabannya belum datang ketika semangat reportase merangsang saya untuk mencegat langsung I Putu Gede Ary Suta, kepala BPPN di kantornya.

MARKAS BPPN terletak di kawasan gedung Anggada Danamon, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Jumat 8 Februari itu kesibukan tampak berdenyut cepat di sana. Beberapa kursi sebuah kafe penuh diduduki eksekutif yang mengenakan pantalon dan jas rapi. Mereka di antaranya menunggu rekan usahanya untuk memenuhi janji rapat dengan pejabat BPPN. Dalam kesibukan seperti itu, minta waktu wawancara dengan I Putu Gede Ary Suta, rasanya bagai menggantang asap.

Tapi saya bertemu Danang Kemayan Jati di sebuah warung murah di lantai bawah gedung ini. Jati membawa menu makanan yang hampir sama. Obrolan pun mengalir.

“Apa sih menariknya Anda menulis Texmaco. Tak ada yang baru. Urusan Prama mundur, itu hak dia, karena dia sakit,” Jati buka suara.

Saya paparkan kepadanya ihwal fisik dan kebiasaan Prama.

“Kan banyak orang tampak sehat badannya tapi sakit mentalnya.”

Sulit juga membayangkan orang sesehat Gede Prama sakit mental. Tapi argumentasi itu bisa benar cuma saya tak tahu sehingga memilih diam saja. Kami kemudian sama-sama menuju lantai dasar. Sebelum berpisah, ia berpesan, “Percuma kamu cegat Pak Putu, tak akan dapat,” katanya, melambaikan tangan menuju lift.

Pukul 13.50. Di luar dugaan I Putu Gede Ary Suta keluar dari pintu lift dikawal empat orang. Seorang wartawan mencegatnya dan tanya ihwal penjualan saham Indomobil. Di depan gerbang, sudah menunggu sebuah Toyota Land Cruiser keluaran baru. Saya berdiri di mulut pintu. Saya ikut mendekati Suta dan tanya perihal obligasi yang ditandatangani Texmaco dan BPPN.

“Oh itu, itu excheangeable bond, yang dikeluarkan Texmaco. Kamu layangkan saja pertanyaan ke Susilo,” kata Suta.

Lantas mobilnya berlalu, ada acara dengar pendapat dengan parlemen hari itu. Susilo yang dimaksud Suta adalah Suryo Susilo, kepala Divisi Komunikasi BPPN.

Hari itu juga saya mengirim faksimile ke Susilo. Ada empat pertanyaan saya ajukan: konfirmasi angka Rp 16 triliun, dasar penghitungannya, konfirmasi kemunduran Prama, dan nilai aset grup Texmaco yang ada di BPPN. Ternyata divisi ini bekerja cepat. Keesokan hari jawaban tertulis melalui faksimile masuk.

Bunyinya: Nilai exchangeable bond masih dalam proses verifikasi dan due diligence oleh manajemen Newco yang baru. Jumlah besarnya exchangeable bond akan dihitung berdasarkan jumlah kewajiban pokok ditambah dengan kewajiban bunga yang direkalkulasi sesuai dengan parameter BPPN sampai dengan penerbitan exchangeable bond tersebut. Usaha Texmaco grup yang ada di BPPN yaitu unit usaha tekstil dan engineering. Untuk mengetahui total nilai aset Texmaco grup tanyakan langsung ke manajemen yang bersangkutan.

Dari jawaban singkat tersebut, saya makin antusias mendalaminya. Paling tidak timbul pertanyaan baru. Exchangeable bond telah diteken, tapi mengapa jumlah angkanya masih dalam verifikasi? Aset yang ditanyakan tentu yang ada di BPPN. Dan wewenang BPPN yang harus menjelaskan. Kembali saya layangkan faksimile.

Keesokannya, belum memperoleh jawaban. Tapi hari itu Selasa 12 Februari 2002, saya menghubungi Husen Gani Maricar dari Metro TV, wartawan yang saya kenal sejak 1984 ketika kami sama-sama jadi reporter majalah Matra. Ia katakan, kebetulan bertugas pada program Today’s Dialog yang disiarkan pukul 21.05 sampai 22.00 malam itu. Pembicara utamanya I Putu Gede Ary Suta, kepala BPPN, dan topiknya penjualan saham BCA yang sedang gencar diberitakan media.

Pukul 20.30 saya berada di studio Metro TV di bilangan Kedoya, Jakarta Barat. Lima belas menit kemudian dua buah Toyota Kijang datang menurunkan rombongan BPPN. Sebagian berpakaian safari. Dua di antaranya menggenggam handy talky. Tak lama muncul lagi sedan Corona. Kali ini yang tampak rombongan Divisi Komunikasi BPPN. Ada lima orang. Satu di antaranya Suryo Susilo yang menjawab faksimile saya.

Suta datang dengan mobil Toyoto Land Cruiser yang sama ketika saya mencegatnya pekan sebelumnya. Suta harus melompat menuju lobi, mengingat di sekelilingi koridor pintu masuk, bertumpuk kantung pasir, penghambat air masuk. Kawasan ini memang ikut terendam banjir sedemikian rupa sehingga harian Media Indonesia, perusahaan saudara Metro TV, sempat tak terbit satu hari.

Usai siaran langsung, saya mencegat Suta lagi.

“Oh you lagi!” kata Suta.

Saya jelaskan dulu ihwal angle penulisan. Ia terlihat lebih santai menyimak. Seketika itu Susilo dimintanya untuk mengaturkan pertemuan saya dengan orang BPPN yang mengerti masalah ini.

Keesokan harinya, saya diterima di lantai 12 Anggada Danamon. Kali ini hadir wakil dua orang dari Divisi Komunikasi BPPN. Dua orang ini tak bisa saya sebutkan namanya. Sebelum wawancara dijelaskan keterangan mereka hanya bisa dikutip atas nama Suryo Susilo. Memang Susilo sendiri yang harusnya menjawab tapi ia sedang sibuk sehingga diwakilkan pada orang lain.

Saya mulanya menanyakan soal angka Rp 15 triliun. Mereka membawa tape recorder sendiri buat merekam pembicaraan. Mereka menjelaskan jumlah perusahaan Texmaco yang ada di BPPN ada 60. Konsep penyelesaian utangnya memerlukan pendekatan berbeda. Semacam taylor-made begitu sehingga solusi menanganinya berbeda dibanding pengutang lain.

BPPN melakukan pendekatan dua tahap. Tahap pertama selesai dengan ditekennya exchangeable bond. Tapi janji utang dalam bentuk surat berharga itu, belum efektif berlaku, karena angkanya masih terus dihitung dan diverifikasi oleh bank asal sebagai penjamin. (Mereka tak menjelaskan kapan tenggat persetujuan dari bank penjamin, yang menurut Bisnis Indonesia, dilakukan Bank BNI)

BPPN mengelompokkan usaha Texmaco yang mengeluarkan bond ini ke dalam Newco Texmaco. Ke-60 perusahaan Newco Texmaco itu mereka dibagi dua core usaha. Inti usaha pertama tekstil, berjumlah 20 perusahaan yang dipayungi PT Bina Prima Perkasa. Sahamnya 70 persen dipegang BPPN. Usaha kedua, kelompok engineering dan alat berat dimasukkan ke PT Jaya Perkasa Engineering, saham BPPN nol persen saja. Kedua PT baru itu bermodal masing-masing Rp 20 juta. BPPN menyebut pekerjaan restrukturisasi Texmaco hingga proses pertama selesai.

Kendati usai tahap satu, exchangeable bond menyisakan pekerjaan pengesahaan bank penjamin. Hingga saya menyelesaikan tulisan ini, bank penjamin masih melakukan verifikasi. Menurut ketentuan, sebuah surat berharga, baru akan bernilai dan diakui keabsahannya bila telah ditandatangani bank penjamin. Berarti exchangeable bond Texmaco ini belum valid.

Sampai di sini, pertanyaan di benak saya kian menumpuk. Apa dasar bank penjamin mengesahkan surat berharga itu ketika utang Texmaco di BPPN per Juni 2001, telah mencapai lebih dari Rp 26 triliun? Segunung utang lama belum lunas, mengutang lagi dengan janji melalui selembar surat utang baru. Lebih sakti lagi, hitung-hitungan aset usaha Texmaco belum diaudit dan dibuka secara transparan.

Ketika saya masih asyik berpikir mencari jawab, pertanyaan lain mengejar saya. Apakah seorang bankir profesional berkenan meneken exchangeable bond Texmaco? Sebab, kata profesional, dalam pemahaman saya mengemban misi moral dan etika. Sesosok surat berharga, pastilah punya waktu kedaluwarsa. Artinya di saat jatuh tempo harus dibayar oleh pihak yang mengeluarkan. Katakanlah bank menyetujui dan menjamin. Exchangeable bond itu diserahkan ke BPPN. Lalu BPPN menggunakan bond itu untuk menarik pinjaman di pasar uang global, demi mengejar target setoran ke pemerintah. Faktanya nanti di lapangan, sering sebuah surat berharga bila dicairkan akan bernilai jauh di bawah harga nominalnya. Lantas bagaimana seandainya Texmaco gagal membayar enam tahun kemudian—menurut Manusamy ini jangka waktu bagi Texmaco membeli kembali exchangeable bond tersebut?

GLENN Tumbelaka adalah ketua pelaksana harian Lembaga Missie Rekalasering Republik Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menangani masalah hak pengembalian kekayaaan publik ke masyarakat. Saya menemuinya untuk cari second opinion. Menurut Tumbelaka, surat berharga, termasuk exchangeable bond, merupakan instrumen yang diciptakan murni untuk kepentingan pihak yang mengeluarkannya. “Dalam hal Texmaco, omong kosong memikirkan kepentingan publik.”

“Texmaco berutang ke BPPN, dalam hal ini pemerintah, lalu mengeluarkan surat utang, dijamin lagi oleh pemerintah, melalui bank pemerintah. Itu artinya bila di kemudian hari Texmaco tak mampu membayar, risiko 100 persen ditanggung pemerintah.”

Tumbelaka mengatakan sering mendapat laporan mengenai BPPN. “Ada dugaan banyak masalah yang ditutupi BPPN dan keputusannya bertentangan dengan kepentingan publik,” ujar Tumbelaka.

Tumbelaka tertawa ketika saya perlihatkan siaran pers BPPN 31 Januari 2002 berjudul “BPPN Mengusulkan Hendi Harijanto Mengantikan Gede Prama sebagai CEO Newco Texmaco.” Ketika rasa gelinya selesai, “Komisarisnya mana, tanya dong ke BPPN! Jangan-jangan di situ duduk nama-nama orang top di negeri ini yang berebut kepentingan,” katanya.

Perkara bertanya bukan urusan mudah di BPPN. Untuk mengonfirmasikan kepada Toto Budiarso, direktur keuangan, yang turut menandatangani exchangeable bond Texmaco, misalnya, kendati saya memiliki nomor telepon dan tahu extention langsungnya di 6302 BPPN, tetap saja yang mengangkat orang lain. Tiga kali menelepon ada saja sosok wanita yang berujar di balik sana, ”Aturan main di dalam BPPN, yang berhak memberikan penjelasan ke pers itu bagian komunikasi. Jadi hubungi saja.”

Menemui Hendi Herijanto sebagai CEO baru Newco Texmaco, yang menggantikan Gede Prama, laksana mencari jarum di tumpukan jerami. Di kantor pusat Texmaco, resepsionis tak mengenal nama Herijanto. “Tak ada nama perusahaan Newco di Texmaco,” katanya. Dari seseorang di BPPN saya mengetahui bahwa bendera baru Newco Texmaco itu, sedang disiapkan kantornya di lantai 28 Anggada Danamon. Jadi seatap dengan BPPN.

BPPN memang organisasi besar yang politis. Ia sudah ganti kepala tiga kali dalam empat tahun ini. Wajar bila seorang wartawan sebuah majalah berita mengatakan berurusan dengan BPPN ibarat menembus tembok. Hal itu juga saya alami ketika saya mengirim surat kepada Suryo Susilo untuk minta izin mengutip sumber di luar namanya. Ia melarang. “Hanya setingkat kepala divisi yang boleh dikutip,” katanya lewat short message service (sms).

Saya melayangkan faksimile kembali ke BPPN, untuk minta data 60 perusahaan Texmaco yang ada di BPPN. Mereka menjawab dengan cepat tapi balasannya hanya memuat 16 perusahaan saja. Bukan 60 perusahaan sebagaimana disampaikan saat wawancara pertama. Ke-16 perusahaan tersebut delapan di bagian unit usaha tekstil dan delapan dari usaha engineering. Diberikan pula keterangan, bahwa ke 16 perusahaan itu yang utangnya ditangani BPPN, sementara sisanya, atau 44 perusahaan, yang utangnya tak ditangani BPPN, tapi masuk ke dalam Newco Texmaco.

Untuk mencari tambahan data, saya coba masuk ke situs www.bppn.go.id. Saya mencari dengan kata kunci “texmaco.” Akses pada 15 Feruari 2002 petang itu hanya menampilkan tiga siaran pers pendek tentang Texmaco. Bayangkan untuk utang sebesar Rp 16 triliun atau mungkin malah Rp 26 triliun, hanya tiga siaran pers informasi yang disediakan? Padahal gaji orang-orang BPPN terkenal besar sekali. Wartawan yang pindah kerja ke bagian hubungan masyarakat BPPN bisa dapat Rp 38 juta sebulan.

kembali keatas

by:Narliswandi Piliang