Tawaran Baru Dari Bandung

Asep Saefullah

Mon, 7 January 2002

JUMAT 14 September 2001 pukul 08.00. Suasana di Jalan Jamuju 21 Bandung agak lain dari biasanya. Pagi yang cerah itu lebih dari 50 orang berkumpul di sana.

JUMAT 14 September 2001 pukul 08.00. Suasana di Jalan Jamuju 21 Bandung agak lain dari biasanya. Pagi yang cerah itu lebih dari 50 orang berkumpul di sana. Rencananya dalam tempo 24 jam mereka bakal memotret Bandung.

Tepat pukul sembilan pagi, puluhan mereka menyebar. Mereka pergi menggunakan motor dan mobil. Setiap kelompok menuju tempat-tempat layak diabadikan dalam gambar. Mereka terbagi dalam lima kelompok besar: Bandung barat, utara, timur, selatan dan tengah.

Puluhan orang itu adalah para fotografer muda kota Bandung. Mereka ingin memberi kado istimewa bagi kotanya yang hendak berulang tahun. Pada 25 September 2001, kota Bandung genap berusia 191 tahun. Kado itu adalah potret-potret Bandung.

Ide acara itu berawal dari obrolan spontan di kantin Jonas, di sudut timur laut Jonas Foto di Jalan Banda. Kantin yang tak terlalu besar itu biasa jadi tempat nongkrong para siswa fotografi Jonas. Dan juga fotografer kota Bandung yang menunggu proses cetak.

“Ide awalnya, karena kita ingin menampilkan foto itu memang benar-benar dokumentasi Bandung. Bukan foto kota yang cantik-cantikan,” kata Agus Oding, salah satu panitia hajatan ini.

Acara ini digelar bukan oleh sebuah komunitas yang mapan. “Untuk disebut organisasi saja, komunitas ini belum layak. Komunitas ini tak punya ketua dan tak punya aturan main. Siapa pun ingin masuk ya silahkan,” jelas Agus Oding.

Komunitas anak muda ini ingin suasana yang santai. Tak ingin ada sekat-sekat senioritas. “Di situ memang ada semacam dendam anak-anak atas kotak-kotak fotografi yang dibuat klub-klub foto. Jadi mereka membuat komunitas yang nggak terikat aturan-aturan seperti di klub. Makanya anggota komunitas itu cepat menggelembung,” kata Dudi Sugandi yang ikut membantu hajatan itu.

Perdana Alamsyah, adalah anggota dewan redaksi harian Pikiran Rakyat Bandung. Suratkabar terbesar di Jawa Barat ini terbit sejak tahun 1966. Ia diminta melakukan kurasi karya puluhan pemotret itu. Dari lima karya yang diberikan pada panitia, Alamsyah memilih dua. Foto pilihan Alamsyah itulah yang dipamerkan di koridor Bandung Indah Plaza.

Untuk semua karya foto itu, Alamsyah menyebutnya “Tawaran Dari Bandung.”

“Saya menikmati kemewahan sebagai orang pertama yang melihat produk ke-72 pemotret itu digelar bersama,” tulis Alamsyah pada booklet pameran.

Pameran berlangsung selama 10 hari. Padahal rencana awalnya hanya delapan hari. Mulai dari 5 sampai 12 Oktober 2001. Sambutan para pengunjung membuatnya berlangsung hingga 14 Oktober 2001.

Sabtu, 6 Oktober 2001 sekitar pukul 16.25. Muhammad Yunus, mahasiswa program studi ilmu jurnalistik IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, sedang mencicipi satu persatu foto yang dipamerkan. Ia mulai dari lantai dua. “Walau belum menggambarkan Bandung secara utuh. Salut atas idenya. Semoga tidak hanya sampai di sini,” tulis Yunus.

Beberapa pengunjung lain berdecak kagum. Apalagi ketika tahu semua foto itu dikerjakan dalam tempo 24 jam.

“Saya tak tahu disini ada pameran. Tapi, setelah melihat-lihat foto itu, senang juga. Pasalnya saya tak perlu keliling Bandung untuk melihat kondisi Bandung”, tutur Intan Natalia, mahasiswa Universitas Padjadjaran asal Jakarta. Pasalnya dia baru beberapa bulan menginjakkan kaki di kota Bandung.

DUDI Sugandi, wartawan foto Pikiran Rakyat Bandung. Ia salah satu pemotret pada acara tersebut. Dudi bukan hanya ikut memotret tapi juga memberikan bekal bagi para pemotret. Bekal yang diberikan Dudi bukan film atau uang makan. Karena sebagian besar pemotret adalah anak muda yang biasa memotret acara pernikahan. Sehingga mereka jarang, bahkan ada yang belum pernah, memotret di tempat umum. Maka Dudi memberi tahu bahwa di lapangan itu ada rambu-rambu.

“Harus hati-hati kalau memotret gedung militer. Karena kalau ketahuan, dan memang kita tidak minta izin, film kita suka diambil.” Itu salah satu bekal Dudi.

Dudi diajak bergabung oleh komunitas itu. Merasa ada keseriusan, tak segan dia mencarikan sponsor buat mereka. Hingga Dudi membawa bendera Forum Diskusi Wartawan Bandung, salah satu organisasi wartawan di sana, untuk mengurus acara saresehannya.

Bahkan, saresehan dapat digelar di Hotel Savoy Homann Bidakara. Semua biaya saresehan ditanggung Pikiran Rakyat.

Tak seperti pemotret lain yang berangkat dari Jalan Jamuju. Saat pemotretan dimulai, Dudi sedang berada di Jakarta untuk tugas dari Pikiran Rakyat. Sampai di Bandung pukul 23.15. Langsung saja mengisi film hitam putih di kameranya. Lalu motret sampai pagi. “Saya benar-benar ingin motret sesuai jadwal. Jadi kalau saya tidur dulu, akan lewat waktunya,” ujar Dudi yang biasa dikejar deadline.

Karena dilakukan malam hari. Semua obyeknya adalah aktivitas malam. Denyut kehidupan malam di kota Bandung. Perburuan dimulai dari Jalan Asia Afrika. Di sana ia memotret perempuan malam. Setelah memberinya rokok sebagai imbalan, Dudi melaju ke pasar Ciroyom.

Objek lain pemijat jalanan yang kecapaian, kegiatan cetak koran di Granesia, kondisi WC terminal Leuwi Panjang yang kumuh. Semua di sekitar Bandung selatan.

Tidak hanya berhenti di situ. Para penjaga jalan tol di pintu gerbang Pasirkoja. Tempat sunatan di Jalan Soekarno-Hatta dibidik oleh lensanya. Dan terakhir menuju ke pusat kota lagi untuk mengambil sunrise. Pemotretan matahari terbit ini dilakukan di atas jembatan Gardujati. Tepat ketika kereta api Parahyangan tujuan Jakarta berangkat.

“Biar eksklusif, satu rol itu tidak ada yang aku pakai buat Pikiran Rakyat. Inginnya sih banyak, namun hanya ada satu rol film hitam putihnya. Kan tidak boleh pakai film warna,” jelasnya.

Memang panitia mengaharuskan semua pemotret menggunakan film hitam putih. “Karena ini pemotretan khusus, maka semua foto ingin terlihat bercerita. Jadi pakai filmnya hitam putih,” kata Insan Kurniawan, salah seorang panitia.

AMMY Adhi Santika adalah orang yang terbilang baru berkenalan dengan fotografi. Baru sekitar dua tahun ini dia menekuni fotografi. Lajang yang baru lulus dari Universitas Padjadjaran ini merasa senang bisa bergabung dalam acara pemotretan ini.

Pada Sabtu 15 September 2001. Beberapa jam lagi waktu pemotretan yang ditetapkan panitia berakhir. Ammy melaju dari rumahnya di bilangan Cimahi menuju pusat kota Bandung. Di sekitar daerah Gunung Batu. Ammy melihat sekolah yang tak punya tempat bermain. Terlihat olehnya satu objek yang menarik untuk diabadikan. Tiga orang anak sekolah dasar sedang bermain di gorong-gorong. Dalam benak Ammy terpikir. Bandung saat ini memang kejam. Tak ada lagi ruang buat sekadar bermain kala istirahat sekolah.

Ammy sedang merintis jalan menuju fotografer profesional. Makanya ia berharap komunitas ini jadi sarana belajar fotografi. “Komunitas ini perlu melakukan aktivitas lain lagi. Namun, langkah pertama yang utama adalah perlunya komunikasi yang baik antar anggota komunitas,” ujarnya penuh harap.

Sebagian besar dibuat pemotret muda. Lebih banyak yang melukiskan kota Bandung dengan kondisi sudah tak jadi “kota kembang” lagi. Ada penggusuran rumah penduduk. Ada kemacetan di mana-mana. Hingga punahnya pohon-pohon di kawasan Bandung utara. Seperti yang terekam oleh Albert Bachtiar. Dia mengabadikan satu pohon yang masih tersisa di kawasan Bandung utara. Mungkin, esok atau lusa, pohon itu telah hilang. Berganti menjadi rumah peristirahatan yang membabat kawasan hijau utara Bandung.

Suhendra punya keinginan yang lain. Ia ingin mengabadikan satu sisi kota Bandung yang indah. Dalam benaknya, pasti rekan-rekannya akan memotret kondisi Bandung yang hancur. Bandung yang makin kejam. Dan Bandung yang macet di mana-mana.

Yang terlintas di kepalanya adalah gedung pusat dakwah Islam. Kawasan kegiatan umat Islam tingkat Jawa Barat. Telah banyak orang mengambil gambar gedung yang terletak di Jalan Diponegoro itu. Tapi Suhendra kreatif. Ia memanfaatkan menara pemancar Radio Republik Indonesia stasiun Bandung. Menara pemancar itu menjulang tinggi di sebelah barat objek yang dikehendaki Suhendra.

“Telah banyak orang yang memotret gedung ini. Aku sudah bosan dengan angle mereka. Karena mengambilnya dari bawah. Makanya ketika melihat menara pemancar itu, aku putuskan untuk mengambil gambar dari atas,” jelasnya.

Suhendra minta izin pada bagian hubungan masyarakat RRI. Dia minta izin untuk dua kali naik. Sore dan pagi esok hari. Pada sore itu, pukul 16.30 waktu kota Bandung. Suhendra mulai berada di atas. Ia berada di sana selama 20 menit.

Esoknya, pukul 08.00, satu jam dari deadline, Suhendra naik lagi dengan senjatanya. Namun, karena hasil pemotretan pagi itu cahayanya kurang. Maka ia tak memberikan hasil bidikan pagi pada panitia.

Dalam urusan fotografi Suhendra tak pernah belajar secara formal. Kemampuannya dalam komposisi dan cahaya berawal dari pekerjaan.

Sejak 1996 ia bekerja di Jonas. Tepatnya di bagian laboratorium pencetakan. Karena seringnya melihat foto-foto bagus di sana. Maka ia tertarik untuk mencoba membuat foto-foto yang dinilainya bagus itu.

“Setiap hari saya melihat hasil cetak foto-foto yang bagus. Rasa penasaran saya timbul. Lalu saya cari tahu bagaimana foto itu dibuat,” jelasnya. Akhirnya bukan hanya foto-foto yang dicetak di sana saja yang ia jajal. Buku-buku yang memuat foto-foto yang menurutnya bagus ia cicipi juga.

Pada 1999, Suhendra meninggalkan Jonas. Berbekal pengalaman melihat karya orang selama tiga tahun. Bersama Saeful, sahabat kentalnya, Suhendra membuka studio di Jalan Dahlia 16. Klasik fotografi, nama tempat berkaryanya sekarang.

BEBERAPA fotografer lain punya kesan yang sulit dilupakan. Siti Desintha, biasa dipanggil Tata, adalah mahasiswa jurusan desain grafis Skolah Tnggi Sei Rpa dan Dsain Indonesia Bandung. Mahasiswa angkatan 1997 itu berkenalan dengan fotografi sejak empat sebelumnya, belajar fotografi di pusat pelatihan fotografi Jonas.

“Saya memiliki kesan yang mendalam dan sulit dilupakan. Yang pasti saya telah ikut memberi hadiah ulang tahun buat kota Bandung,” ujar Tata dengan nada khas gadis Bandung.

Salah satu fotonya ia beri judul A Song. Objek foto itu adalah sebuah tugu yang terdapat tulisan syair lagu Halo-halo Bandung. Tata berpesan bagi seluruh warga kota, terutama bagi penguasa kota, bangunlah Bandung dengan semangat Bandung lautan api. Bukan dengan lautan kemacetan, lautan galian dan lautan penggusuran.

Namun Gani Kurniawan, wartawan foto Metro Bandung, merasa tak punya kesan apa-apa. Sebagai wartawan foto, tiap hari ia bergerak dari satu titik ke titik lain. “Aku menghendaki sistem pemotretan benar-benar 24 jam penuh. Jadi kita bisa merekam denyut kota Bandung dari berbagai tempat dalam 24 jam penuh,” ujarnya.

Gani juga merasa malu secara moral. Karena judulnya memotret Bandung 24 jam. Maka menurut Gani, semua anggota komunitas itu harus fair. “Dengan sistem yang bebas seperti itu bukan tak mungkin ada foto yang diambil di luar jam yang telah ditentukan,” tambahnya.

Kekhawatiran Gani cukup beralasan. Pasalnya pihak panitia tak melakukan pemantauan proses pemotretan. Dan pada batas waktu pemotretan berakhir, yang kembali ke tempat pemberangkatan hanya beberapa orang. Itu pun sebagian besar adalah pemotret yang biasa berproses kreatif di tempat itu.

Namun, menurut Agus Oding, salah satu panitia. Semua foto itu hasil bidikan selama 24 jam. “Saat itu sudah kita tetapkan waktunya, kalau tanggal 14 dan 15 September itu kondisinya hujan. Ya, kita turun saja. Apapun yang terjadi, saat itulah pengambilan gambar,” tuturnya yakin.

Wajar jika Gani Kurniawan tak punya kesan banyak. Pada sebuah aksi buruh Juni lalu Gani ketiban musibah. Monopod yang ia bawa dipinjam paksa oleh buruh yang berdemo. Monopod itu dipakai menghancurkan kaca-kaca mobil dan gedung dewan perwakilan rakyat daerah Jawa Barat. Padahal monopod itu akan ia gunakan untuk meliput pertandingan liga Bank Mandiri di stadion Siliwangi.

Walau tak mendapat kesan, Gani tetap respek pada komunitas itu. “Itu adalah langkah awal yang baik. Perlu pembenahan manajemen dan orientasi,” tambahnya.

Saat ini ada beberapa pihak yang mengundang pameran. Yang paling menggembirakan adalah tawaran berpameran di Belanda. Tawaran itu datang dari seorang turis yang sempat melihat foto-foto mereka.

Rabu siang 10 Oktober 2001. Di Hotel Savoy Homann Bidakara. Deni Sugandi sebagai ketua panitia memberi sambutan pada saresehan komunitas. Di ruangan mewah yang diisi puluhan meja bertaplak putih. Secara resmi Deni memperkenalkan compact disk Bandung sehari. CD interaktif itu berisi semua foto yang diserahkan pada panitia. Rencananya komunitas pemotret Bandung itu juga mendokumentasikan foto-foto itu dalam sebuah buku.

Yang jelas semua foto itu telah terdokumentasi dalam compact disk interaktif. CD interaktif tersebut hasil garapan Multiunion. Sebuah lembaga pendidikan desain di kota Bandung. Semoga CD interaktif itu jadi oleh-oleh khas kota Bandung.*

kembali keatas

by:Asep Saefullah