Pornografi

M. Said Budairy

Mon, 7 January 2002

SEORANG teman berujar, "Kuno, hari begini kok masih juga ngomongin jurnalisme pornografi." Ucapannya meluncur ketika saya mengetik.

SEORANG teman berujar, “Kuno, hari begini kok masih juga ngomongin jurnalisme pornografi.” Ucapannya meluncur ketika saya mengetik. Teman itu bicara sambil membolak-balik setumpuk tabloid yang saya beli dari sebuah kios di Blok M, Jakarta. Saya tersenyum. Tapi dalam hati berkata, terus dibicarakan dan ditulis saja tetap berkembang seperti dewasa ini. Apalagi kalau dibiarkan.

Dalam beberapa bulan terakhir ini sudah tiga kali saya mengikuti seminar dan lokakarya yang berkaitan dengan pornografi. Lokakarya “Penanggulangan Masalah Pornografi, Eksploitasi dan Kekerasan terhadap Perempuan di Media Massa,” diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film bekerja sama dengan kantor menteri negara pemberdayaan perempuan. Seminar “Meningkatkan Ketahanan Keluarga dalam Menangkal Pornografi” diselenggarakan oleh kantor menteri negara pemberdayaan perempuan. Dan satunya lagi sarasehan yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia mengenai pornografi di media massa.

Begitu seramkah keadaannya? Saya mencari tahu situasi di lapangan dengan mendatangi kios penjual macam-macam media. Seorang ibu dengan dialek Batak bertanya, “Cari majalah apa, Pak?” Singkat saja saya jawab, “Tabloid porno.” Tangannya sigap bergerak seraya bilang, “Oh banyak.”

Kurang dari dua menit sudah terkumpul di tangan si ibu enam macam tabloid ditambah sebuah majalah berukuran setengah kuarto. Tabloid dan majalah kecil itu digelar bercampur dengan majalah-majalah dan suratkabar-suratkabar lainnya. Jenis terbitan yang akan saya beli itu, menurut si ibu, juga biasa dibeli anak-anak berseragam sekolah. Macam apa tabloid dan majalah yang menurut persepsi penjualnya masuk kategori media porno itu?

Ada satu tabloid yang huruf ‘O’ pada logonya diserupakan gambar bibir dengan lidah yang dijulurkan sebatas bibir dalam, sehingga bentuk keseluruhannya terkesan bukan bibir yang di wajah. Halaman muka majalah itu bergambar perempuan muda duduk dengan kaki mengangkang. Keseluruhan tubuhnya hanya berbalut kutang, penutup dada, yang dipelorotkan ke bawah dan hanya bercelana dalam.

Judul tulisan yang ditawarkan pada halaman muka tabloid itu antara lain, “Transaksi Seks Ice Skating,” “Dingin-dingin Empuk,” dan “Digauli Teroris Hingga Merayap-rayap.” Isi dalamnya lebih-lebih lagi. Tulisannya ada yang berjudul “Kujerat Cinta Guruku dengan Penuh Nafsu.” Di samping itu dipampang iklan “Jimat Menang Judi” dan iklan Hizib Bilfulus yaitu jampi-jampi yang dapat “memulangkan kembali” uang yang sudah dibayarkan untuk suatu pembelian. Entahlah, penjaga gawang pelaksanaan kode etik periklanan menyimaknya atau tidak.

Contoh tabloid lainnya, yang ‘O’ pada logonya diganti gambar buah apel, menawarkan gambar kulit muka perempuan berjongkok dengan hanya berkutang dan bercelana dalam. Judul tulisan yang ditonjolkan, “Kencan Seks di Plaza Selatan Jakarta” dan “Bocah Ingusan Dicabuli Tetangga Kontrakan.” Isi dalamnya? Gambar-gambar perempuan seperdelapan telanjang, cerita rinci percabulan, dan hubungan seksual.

Tabloid yang huruf ‘O’ pada logonya dilingkarkan pada tubuh wanita yang tiga perempat telanjang, menawarkan gambar perempuan dengan tetek terbuka dikedepankan. Judul tulisan yang disodorkan pada halaman muka “Fantasi Seks Terpanas Ala Lesbi,” “Aroma Wanita Saat Subur,” dan “Cewek Begini Cowok Begitu.” Di dalamnya terpampang gambar-gambar perempuan telanjang dijadikan ilustrasi tulisan. Lalu iklan barisnya tampil dalam kelompok-kelompok: “Cari Cewek,” “Tante Kencan,” “Cari Tante,” “One Seks,” dan “Cewek Kencan.”

Bagaimana dengan majalah? Kulit mukanya bergambar wanita yang seperdelapan tubuhnya telanjang dan kulit belakang gambar wanita telanjang. Isi dalamnya gambar wanita-wanita telanjang dengan berbagai pose sebagai ilustrasi karangan-karangan antara lain berjudul “Guruku Cantik Sekali,” “Aku Dijual pada Teman Sekantor,” “Nafsu Bejat Pamanku,” dan “Wanita Penunggu Rumah.”

Bagaimana polisi? Ditindakkah kenyataan-kenyataan seperti itu dengan menggunakan dasar pasal 281, 282, 532, 533 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?

Hampir dua tahun yang lalu Brigadir Jenderal Polisi Togar M. Sianipar sebagai kepala Dinas Penerangan Kepolisian Republik Indonesia, menyatakan sampai saat itu tak ada kesepakatan di antara para ahli mengenai batasan baku pornografi. Karena, katanya, menyangkut perasaan, keyakinan, nilai-nilai moral masyarakat, dan menyangkut dimensi ruang dan waktu.

Tapi sebagian besar warga masyarakat menghawatirkan dampak buruknya, sehingga pornografi harus ditertibkan berdasarkan rambu-rambu hukum yang berlaku. Sejauh mana telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran hukum? Biarlah mahkamah pengadilan yang jujur dan adil yang memutuskan, sehingga kita akan menemukan yurisprudensi dan penafsiran-penafsiran hukum yang baru.

Pernyataan yang dikemukakan dalam “Debat Besar Pornografi” yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia dan harian Pikiran Rakyat di Bandung hampir dua tahun yang lalu itu tak ada tindak lanjutnya. Padahal pasal 282 dan 283 KUHP jelas mengancam siapa saja yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran, atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan. Terbukti dengan hasil belanjaan saya di Blok M itu. Kenapa tidak ada langkah konkretnya? Mungkin itulah yang dijengkelkan sebagian besar masyarakat. Kejengkelannya berupa keluhan akan penegakan hukum di negeri ini yang payah banget.

SEORANG ustad di hadapan para muridnya di sebuah madrasah ibtidaiah menjelaskan tentang berbagai jenis maksiat. Dia bilang, maksiat atau perbuatan dosa, bisa dilakukan oleh organ-organ tubuh kita. Disebut maksiat telinga, misalnya, ketika kita menggunakan telinga untuk mendengarkan omongan-omongan yang tak baik. Umpamanya menggunjing, kata lainnya ghibah, kesalahan atau kekurangan seseorang yang belum pasti benar, tanpa kehadiran orang tersebut. Maksiat mata, misalnya, memandang tubuh lawan jenisnya sedemikian rupa sehingga mengundang dan membangkitkan rangsangan seksual.

Cerita tersebut terjadi pada awal l950-an, di kelas V sebuah madrasah yang berlokasi di sebuah kota kecamatan. Lingkungan yang jauh dari kemungkinan terkontaminasi mode pakaian yang memamerkan aurat perempuan atau gambar-gambar porno yang ketika itu bisa dibilang tak ada. Apa yang diajarkan ustad tersebut sosialisasi awal dari pandangan Islam terhadap pornografi.

Zakiah Daradjat, psikolog, dosen, mantan anggota dewan kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia, Dewan Pertimbangan Agung, dan salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia, mengatakan, “Pornografi termasuk pekerjaan mungkar, tidak diridai Allah, dan dilarang dengan sanksi dunia dan akhirat bagi pelanggarnya.”

Meninjau pornografi dari pandangan Islam, Daradjat menyatakan, “Pornografi setara kejinya dengan judi, minuman keras, merampok, dan pekerjaan mungkar lainnya.” Menurutnya, “Pornografi menggoda, mendorong orang mendekati zina. Dan itu dilarang oleh Islam.”

Psikolog yang ulama ini mengatakan, bila pornografi dibiarkan merebak dan terlihat secara umum, dikhawatirkan remaja akan menganggapnya wajar sehingga mereka dapat terjerumus. Menurut agama, pornografi dalam bentuk apapun, tulisan, gambar, atau syair lagu dianggap mendekati zina dan mendorong orang berbuat mungkar. “Jangan kamu dekati perbuatan zina karena perbuatan itu keji dan amat tercela,” ujar Daradjat mengutip ayat Quran ketika mengemukakan pandangan-pandangannya dalam forum “Debat Besar Pornografi.”

Seorang Muslim, kata Daradjat, berkewajiban mengubah segala yang mungkar termasuk pornografi, dari lingkungan hidupnya dan menghentikannya dengan lisan, tulisan, nasihat, petunjuk, atau demonstrasi. Kalau dibiarkan, pornografi cepat sekali berkembang. Menurut ahli jiwa, sesuatu yang menyenangkan dan memuaskan kebutuhan terutama yang dinikmati lahiriah, dapat membuat orang terlupa akan larangan-larangan agama.

Pornografi dari sisi pandang agama ya memang begitulah. Semacam fatwa yang tidak dapat dikompromikan. Menjadi kewajiban ulama mengingatkan umatnya.

APA itu pornografi? Akar katanya pornographos, dari bahasa Yunani, yang terdiri dua suku kata porne dan graphein. Porne berarti prostitusi, pelacur. Graphein artinya menulis, menggambar, tulisan atau gambar. Pornographos berarti tulisan atau gambaran tentang pelacur atau pelacuran. Dari arti yang sederhana itu kata pornografi kemudian jadi istilah yang kontroversial, bermacam-macam interpretasi. Kamus Webster memberikan definisi: “tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat atau membaca.”

Jadi yang disebut porno ialah segala karya manusia berupa cerita, gambar, film, tarian, ataupun lagu yang diciptakan dengan maksud sengaja untuk membakar nafsu birahi orang lain, sehingga merangsang syahwat serta dapat menimbulkan pikiran-pikiran jorok di benaknya. Unsur pokoknya, pertama, kesengajaan. Kedua, merangsang nafsu seksual (birahi). Unsur tambahannya menimbulkan pikiran-pikiran jorok (prurient interest).

Cipta Lesmana, dosen komunikasi massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang mengemukakan definisi tersebut dalam “Debat Besar Pornografi,” kemudian menjelaskan tentang merangsang birahi. Ia mengutip sastrawan H.B. Yasin, pornografi menciptakan fantasi pembaca atau penonton ke daerah-daerah seputar perkelaminan. Fantasi itu kemudian membakar birahi. Makin lama ia terekspos pada materi porno, besar kemungkinan makin intens rangsangan seksual yang ditimbulkannya.

Rangsangan birahi itu sendiri sesungguhnya sesuatu yang normal saja, menurut Cipta Lesmana. Bagi pasangan suami-istri, rangsangan birahi justru dibutuhkan sebelum melakukan hubungan badan. Oleh karena itu, tontonan atau bacaan porno bisa mempunyai fungsi yang positif bagi pasangan suami-istri.

Permasalahannya pornografi punya kemampuan merangsang syahwat orang lain secara tak wajar, tak pada tempatnya, dan tak pada waktunya sehingga dapat menimbulkan tindakan-tindakan seksual yang tak wajar, tak pada tempatnya, dan tak pada waktunya.

Dewan kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia mengharapkan “Debat Besar Pornografi” itu menjadi perdebatan terakhir. Forum itu menyertakan pemimpin lembaga swadaya masyarakat, praktisi hukum, pakar hukum, kalangan pendidik, ulama, seniman, pimpinan redaksi media cetak dan elektronik, serta organisasi wartawan.

Dari debat besar itu lahir lahir rumusan “Pedoman Pemberitaan Anti-Pornografi” dan tersusun pula sejumlah rekomendasi. Saat ini, dua tahun sudah semua itu terlewati. Nampaknya sosialisasi tak cukup meluas, apalagi pelaksanaannya. Akibatnya semua berjalan seperti biasa. Pernyataan polisi akan bertindak tak juga ada kenyataannya. Sedangkan, salah satu rekomendasinya bagi kelompok atau organisasi kemasyarakatan yang mengontrol media massa yang dianggap menyiarkan pornografi agar tidak melakukan praktik main hakim sendiri. Akan berapa lama bertahan? *

kembali keatas

by:M. Said Budairy