Meliput Konflik Aceh

Aiyub Syah

Mon, 7 January 2002

PADA pukul 10.00, Desember 2000, Zuherna Bahari berangkat menuju sebuah desa untuk meliput upaya pencarian dua warga Bireum Bayeun, Aceh Timur. Saat itu bulan puasa.

PADA pukul 10.00, Desember 2000, Zuherna Bahari berangkat menuju sebuah desa untuk meliput upaya pencarian dua warga Bireum Bayeun, Aceh Timur. Saat itu bulan puasa. Zuherna, wartawan suratkabar Serambi Indonesia, naik ambulan bersama empat relawan organisasi hak asasi manusia dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia. Relawan kemanusiaan ini hanya segelintir dari 10 ribu relawan kemanusiaan yang bertebaran di berbagai lembaga swadaya masyarakat yang ada di seluruh Aceh. Mereka Ahmad, Teguh Winardi, Nuraini, dan Nazariah. Dalam rombongan ini juga ikut lima orang keluarga korban.

Sekitar setengah jam perjalanan, mereka tiba di persimpangan Desa Paya Bili II, di pos penjagaan brigade mobil (brimob). Ambulan yang membawa Nona, panggilan akrab Zuherna Bahari, dihentikan polisi.

"Kami semua disuruh turun. Dan diperiksa semua surat-surat kelengkapan keberangkatan, termasuk kartu tanda penduduk," kata Nona.

Nuraini menunjukkan surat jalan dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia. Setelah menjalani pemeriksaan selama 15 menit, rombongan ini diizinkan melanjutkan perjalanan.

Namun, di tengah perkebunan kelapa sawit Paya Bili, beberapa kilometer dari pos pemeriksaan, rombongan tersebut dicegat puluhan pemuda yang membawa berbagai senjata tajam, seperti parang, dan pisau. Dari penampakan fisik mereka, para pemuda itu bukan orang Aceh.

Pemuda-pemuda itu memerintahkan rombongan turun. Salah seorang memecahkan kaca jendela ambulan, sedang yang lain melongok ke dalam dan bawah mobil. Ahmad sempat ditampar seorang pemuda yang diduga pemimpin kelompok tersebut. Nuraini mencoba menjelaskan bahwa ia dan teman-temannya adalah relawan yang sedang mencari korban pelanggaran hak asasi manusia atau disingkat ham.

"Apa HAM? Nggak ada HAM di sini!" sergah seorang di antaranya.

"Waktu itulah saya mengingatkan kepada rombongan kami, supaya tidak memberitahukan bahwa saya wartawan. Kartu pers saya sembunyikan di bawah karpet mobil," tutur Nona pada saya.

Warga perkebunan itu lantas menggiring rombongan Nona kembali ke pos penjagaan brimob.

"Sejak turun dari mobil, beberapa di antara kami sudah dipukuli dan diwarnai kata-kata kasar yang menyakitkan. Bahkan ada yang menuduh kami GAM," ujar Nona. GAM kependekan dari Gerakan Aceh Merdeka, sebuah organisasi yang menuntut kemerdekaan Aceh dari Indonesia.

Kelompok masyarakat yang beringas itu terus memukul para relawan dengan membabi-buta.

"Mereka yang laki-laki semuanya terkulai lemah, setelah dihajar kelompok itu. Alhamdulillah, saya tidak diapa-apakan. Karena saya mengatakan orangtua saya juga berasal dari Pulau Jawa," kata Nona.

Para pemuda tersebut mengancam agar Nona dan teman-temannya tak mempublikasikan kejadian itu.

"Awas, kalau peristiwa ini dilaporkan kepada koran Serambi," kata seseorang.

Nona, yang wartawan harian Serambi Indonesia, merasa cemas.

Anehnya, pos brigade mobil kelihatan sepi. Tak berapa lama muncul sejumlah polisi yang berdatangan dari kios-kios di sekitarnya, mencoba melerai. Empat relawan dipanggil menghadap komandan kompi. Dua di antaranya harus dipapah akibat penganiayaan warga.

"Pak Rianto (komandan kompi) meminta relawan Forum Peduli Hak Asasi Manusia menandatangani surat pernyataan bahwa mereka tak akan menuntut serta memberitahukan kejadian itu kepada pihak mana pun. Karena kejadian itu murni disebabkan oleh emosi saudara kita dari warga Pulau Jawa yang menjadi korban, akibat dibakarnya tempat tinggal mereka oleh GAM," kisah Nona.

Aceh memang daerah yang tengah bergolak dan Nona menjalankan tugas jurnalismenya dalam situasi konflik. Dua tahun sebelumnya, ia juga pernah dikejar-kejar oknum intelijen setelah meliput aktivitas tim pencari fakta yang dikirim parlemen pusat di Jakarta. Tim tersebut dipimpin Hari Sabarno.

"Habis meliput kegiatan TPF DPR itu, saat pulang ke kantor redaksi Serambi Indonesia di Sigli, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku-ngaku wartawan koran Bukit Barisan. Ia minta berita pada saya, namun saya katakan saat itu, saya belum membuat beritanya. Setelah itu ia pulang. Namun kemudian rekan sekerja saya Tarmilin memberitahu, hati-hati yang datang tadi intel. Habis itu langsung pintu pagar kantor saya gembok," kata Nona.

Fajarudin, wartawan Analisa biro Medan, bercerita bahwa Nona juga pernah diburu aparat Komando Distrik Militer (Kodim) Pidie gara-gara menulis peristiwa penangkapan Ghazali Abbas Adan, anggota parlemen dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Ghazali terkenal vokal dalam berkampanye pemilihan umum 1997.

Pihak Kodim Pidie telah meminta Nona tak menulis berita penangkapan Ghazali. Namun, ia tetap nekad. Aparat berang dan mengepung kantor biro Serambi Indonesia di Sigli.

"Saya saat itu mengamankan Nona di rumah saya. Dan aparat kelihatan mulai terus mencari-carinya. Aceh, saat itu sangat mencekam, karena pada saat tersebut sedang berlangsung Pemilu. Lalu untuk mencegah kondisi lebih gawat, saya akhirnya bernegosiasi dengan Komandan Kodim Pidie, Letkol (Inf) Anianto Imam Wahyudi, agar Nona tak dikejar-kejar lagi. Akhirnya muncul kesepakatan, pihak kodim meminta agar Nona dibawa ke kantor kodim. Karena pihak aparat ingin tahu, apa maksud dan latar belakang ia menulis berita tersebut," kenang Fajar.

Akhirnya, Fajar membawa Zuherna ke kantor Kodim Pidie.

"Nona lalu diperiksa dua jam oleh aparat kodim. Dan ia diperlakukan dengan baik. Setelah usai diperiksa oleh pihak Kodim Pidie, lalu untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saya membawa Nona ke Banda Aceh. Karena teman-teman wartawan Serambi di Pidie, tidak ada yang berani mengamankankannya," ujar Fajar.

Nasib Nona berkali-kali di ujung tanduk. Ia pernah terjebak di tengah-tengah kontak senjata antara gerilyawan GAM dan militer Indonesia di Sungai Raya, Aceh Timur. Kali ini ia pun lolos dari maut.

NONA, putri kedua dari enam bersaudara pasangan Bahari Puteh dan Zubaedah A.R. ini, lahir di Meulaboh pada 22 Februari 1967. Pendidikan formalnya sama sekali tak menjurus pada dunia jurnalisme. Tapi, sebelum lulus dari fakultas pertanian Universitas Syiah Kuala, Nona sempat magang di tabloid Monitor, milik Kelompok Kompas Gramedia yang sudah almarhum. Pada 1989 ia bekerja penuh di suratkabar Serambi Indonesia. Kini hampir 11 tahun ia jadi wartawan. Meski sudah banyak makan asam garam, menjadi jurnalis di wilayah konflik bukan hal mudah.

"Seringkali informasi yang telah kami kumpulkan dengan susah payah di lapangan, ternyata tak bisa kami tulis di media massa. Karena adanya tekanan dari pihak TNI atau Polri dan GAM," kata Nona.

Hal ini membuatnya risau. Ia terpaksa bekerja di bawah tekanan. Posisi jurnalis di ujung Pulau Sumatra ini memang terjepit di antara kerasnya semangat tempur kedua pihak yang bertikai. Hari-hari yang mereka lalui penuh kecemasan. Terlebih lagi ada sejumlah wartawan yang diculik dan dibunuh secara misterius.

Sejumlah wartawan Serambi yang bertugas di lapangan juga pernah merasakan perlakuan kasar dari aparat. Ibrahim Ahmad, misalnya, menjadi korban pemukulan saat meliput prosesi pemulangan 5214 pengungsi dari Kecamatan Cot Girek pada Juli 2000. Ibrahim Ahmad tiba-tiba dipukul seorang anggota brimob saat meminta konfirmasi soal kepulangan para pengungsi ini. Pasalnya, Ibrahim mengatakan dirinya wartawan.

Demi menerapkan cover both side dalam pemberitaan, Nona menjalin hubungan dengan kedua pihak yang bertikai. Dan itu bisa berarti keberuntungan sekaligus bahaya untuknya.

"Saya bisa makan pagi dengan pihak TNI atau Polri di pagi hari, dan sorenya bisa berwawancara dengan juru bicara GAM," ujar Nona.

Nona berbeda dengan para jurnalis perempuan lain.

"Ia terlihat lebih strong, berkarakter keras, dan gaya bicaranya agak meluap-luap penuh semangat keacehan. Nona tampaknya tidak bisa melepaskan jiwa keacehannya dalam menulis," kata Chik Rini, mantan wartawan Analisa yang pernah bertugas di Banda Aceh.

Beban berat dirasakan wartawan Serambi Indonesia, karena suratkabar ini merupakan harian satu-satunya di Aceh. Serambi Indonesia bertiras sekitar 30 ribu hingga 40 ribu per hari. Pembacanya lebih dari 250 ribu. Koran ini dibaca berbagai lapisan masyarakat Aceh, mulai dari sudut warung kopi atau keude kupi yang ribuan jumlahnya itu sampai ruang baca kalangan pejabat dan pengusaha setempat. Rupanya, hal ini juga disadari oleh pihak-pihak yang bertikai. Selama tiga tahun ini, baik GAM maupun militer Indonesia berlomba menyebarkan informasi dari kepentingan mereka pada publik melalui media massa. Kedua pihak menekan Serambi agar memuat berita dengan versi mereka.

Harian lain yang beredar di Aceh dan memuat laporan khusus tentang Aceh adalah suratkabar Waspada dan Analisa. Keduanya terbit di Medan.

"Saya heran sekali melihat fakta yang terjadi pada 1989, 1990, dan 1991, kenapa ada mayat yang terus bergelimpangan di jalan, kok nggak bisa ditulis di Serambi," kata Nona.

Pada 1995, saat ditugaskan meliput berita wilayah Lhokseumawe, Nona baru tahu kalau mayat-mayat misterius itu korban Daerah Operasi Militer (DOM). Pengetahuannya tentang DOM makin bertambah ketika ia dipindahkan ke biro Sigli yang terletak di Kabupaten Pidie pada 1996. Banyak anggota masyarakat yang mengadu kepadanya tentang berbagai tragedi pelanggaran hak asasi manusia.

Kehidupan Nona tak beranjak dari aroma kekerasan dan pertempuran di Aceh. Misteri demi misteri kematian rakyat negeri tersebut terekam dalam helai-helai catatannya. Ia masih mengingat kematian Nurdin Abdulrachman, mantan bupati Pidie dan anggota parlemen pusat, di sebuah kamar hotel di Medan. Nurdin Abdulrachman pada saat itu menjadi salah seorang calon gubernur Aceh untuk menggantikan Syamsuddin Mahmud. Tapi, alasan di balik kematian Nurdin tak pernah terungkap sampai hari ini.

Peristiwa tersebut mengasah naluri kewartawanan Nona. Ia makin gencar menulis berita tentang orang hilang. Tulisannya yang berjudul "Orang Hilang di Pidie Tak Didata" dimuat dalam Serambi Indonesia edisi Juni 1998. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh makin terkuak dan diketahui masyarakat luas. Ternyata laporan itu berpengaruh besar pada pengungkapan data korban DOM di Aceh.

Pada 22 Juni 1998, 13 janda dari Kecamatan Mutiara datang ke kantor biro Serambi Indonesia di Sigli. Para wanita itu telah kehilangan suaminya pada 1997.

Keberanian Nona menulis kasus orang hilang di Pidie itu mengikis rasa takut rekan-rekannya, sesama wartawan di Aceh, dalam mengungkapkan kasus serupa.

"Bisa dibilang, Nona-lah wartawan lokal pertama yang berani mengangkat kasus-kasus DOM ke permukaan," ujar Nazamuddin Arbi, redaktur pelaksana harian Serambi Indonesia.

Pendapat hampir senada juga diungkapkan Yarmen Dinamika, redaktur pelaksana tabloid Kontras, sebuah tabloid mingguan yang diterbitkan Serambi Indonesia.

"Nona merupakan rekan kami yang sangat berani dalam mengungkapkan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Pada saat yang lainnya dalam ketakutan untuk menulisnya, justru ia dengan begitu bersemangat mengungkapkan hal yang menakutkan tersebut," kata Yarmen.

Dampak lainnya, masyarakat pun kian berani mengirimkan informasi ke lembaga bantuan hukum dan parlemen setempat tentang berbagai kasus penculikan lainnya yang telah terjadi selama DOM diterapkan.

Saat reformasi mengguncang atmosfer politik Indonesia, pascalengsernya rezim Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan Orde Baru, atmosfer politik di Aceh ikut terguncang. Kekuatan masyarakat sipil bersama mahasiswa serta lembaga swadaya masyarakat menuntut DOM dihapuskan. Para korban maupun anggota keluarga mereka mulai berani bersuara, bersaksi untuk kekejaman yang semula terkubur dalam trauma dan kengerian.

Zuherna Bahari atau Nona kian dekat dengan para korban. Ia menerima data-data orang hilang hampir setiap hari. Data-data ini mengilhami mantan bupati Aceh Selatan Sayed Mudahar Ahmad (kini sudah almarhum), Al Chaidar (penulis buku Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S.M. Kartosuwiryo) dan Yarmen Dinamika menuangkannya dalam buku bertajuk Aceh Bersimbah Darah. Buku tersebut sangat laris di Aceh.

Namun, kritik selalu ada.

Fajarudin, wartawan Analisa, menilai, "Nona dalam menulis kelihatannya agak terbawa emosi. Walaupun sebenarnya ia tidak memihak kepada salah satu pihak bertikai di Aceh. Namun, akibat tak mampu terbendungnya emosi dia dalam menulis, maka berita yang ia tulis pun agak kurang netral."

Apakah ini ekspresi rasa tertekan Nona, semacam katarsis?

Seorang anggota parlemen Aceh dari Partai Amanat Nasional, Ahmad Farhan Hamid, mengatakan, "Ini merupakan faktor psikologis dari seseorang, sejauh mana ia mampu bertahan berada di wilayah konflik. Dan bagi saya, Nona bukan sesuatu yang agak spektakuler bagi Aceh. Di abad 21 ini perempuan menjadi wartawan di wilayah konflik sudah dianggap biasa-biasa saja."

Sementara itu, Bachtiar Ali, dosen pada fakultas ilmu komunikasi Universitas Indonesia berpendapat, "Walaupun saya tak mengenal Nona, namun saya memahami apa yang dikerjakan wartawan di wilayah konflik seperti Aceh itu, sangat berat risikonya. Dan mereka mesti diperlakukan sebagai wartawan perang. Berdasarkan Konvensi Jenewa, mereka patut dilindungi oleh kedua pihak bertikai. Dan dalam hal ini para jurnalis yang bertugas di wilayah konflik, juga harus berperan sebagai pihak yang sedang melakukan mediasi. Bukan untuk menghakimi salah satu pihak bertikai."

Saat ini Nona sudah meninggalkan Aceh dan mulai menikmati suasana kerja di kantor Serambi Indonesia biro Jakarta. Ia tinggal dalam sebuah kamar sewaan sederhana di kawasan Palmerah, Jakarta Barat. Tapi, ingatannya tak bisa lepas dari masa lalu. Harapannya bertumpu di situ.

"Saya ingin segera melihat Aceh damai," ujar Nona, sungguh-sungguh, mengakhiri perbincangan kami.*

kembali keatas

by:Aiyub Syah