Dua Versi NTB Post

Anonim (sementara)

Mon, 7 January 2002

SABTU, 24 November 2001, NTB Post, harian yang terbit di Mataram, bersiap-siap merayakan ulang tahunnya. Di bulan itulah setahun lalu, koran ini disiapkan untuk terbit.

SABTU, 24 November 2001, NTB Post, harian yang terbit di Mataram, bersiap-siap merayakan ulang tahunnya. Di bulan itulah setahun lalu, koran ini disiapkan untuk terbit. Kado ulang tahunnya sangat istimewa: perpecahan.

Hari itu, NTB Post muncul dengan dua versi yang diterbitkan tim berbeda. Satu versi terbitan tim redaksi yang beralamat di Jalan Trunojoyo. Satunya lagi terbitan tim redaksi di Jalan Langko.

Sebelumnya, Selasa 19 November, NTB Post tidak terbit, tetapi muncul lagi keesokan hari. NTB Post yang ini versi "kelompok Trunojoyo" yang diterbitkan Mursidin, pemimpin umum NTB Post, sebelum pecah.

Terbitan NTB Post edisi Selasa nama Heri Suparman, pemimpin redaksi NTB Post tak ada di masthead. Heri tidak terima, dan bersama wartawan "kelompok Langko" menerbitkan NTB Post. "Saya terbitkan NTB Post untuk memberi tahu pembaca bahwa kita masih ada," kata Heri.

Gubernur Nusa Tenggara Barat Harun Al Rasyid turun tangan dan mengumpulkan awak koran itu di pendopo rumah dinas gubernur. Kesepakatannya, menerbitkan satu NTB Post hingga berbagai masalah selesai. Termasuk jika ada investor baru masuk. Pertemuan itu terjadi Minggu, 25 November.

Namun, Mursidin tetap menerbitkan NTB Post versi "kelompok Trunojoyo." Sementara Heri menghargai kesepakatan untuk hanya terbit satu koran. "Saya sih maunya terbit apa adanya. Termasuk terbit dengan dua versi. Biar pasar yang akan menyeleksi siapa yang mampu bertahan," ujar Heri.

Munculnya dua versi menjadi puncak persoalan yang selama ini berkecamuk di tubuh koran yang diterbitkan empat sekawan. Mereka Heri Suparman, Mursidin, Algas A.R., dan Edy Karna Sinoel. Edy kepala biro Antara di Mataram. Ia lebih bermain di belakang layar.

NTB Post terbit pertama kali dengan nomor perkenalan pada 17 Desember 2000 bertepatan dengan bulan puasa. Dicetak hitam putih dengan ukuran tabloid. Kebijakan redaksi yang dijalankan memprioritaskan berita daerah dan berita yang diambil dari Antara.

Menurut Heri, masalah yang muncul perbedaan visi, persepsi, dan pemahaman dalam bisnis pers. "Manajemen Mursidin tidak jelas dan campur aduk dengan urusan bisnis pribadinya yang lain," kata Heri.

Mursidin juga dipandang oleh "Kelompok Langko" sangat one man show dalam menjalankan manajemen koran. Semua keputusan diambil sendiri. Mursidin dianggap mengambil wewenang pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi. Bahkan akhirnya nama Saiful Ahyar sebagai pemimpin perusahaan hilang dari daftar nama pimpinan perusahaan.

"Karena dia merasa sebagai pemilik modal dan sebagai pemimpin umum, selama ini cenderung berlaku seenaknya sendiri dalam mengambil keputusan baik untuk urusan manajerial maupun redaksi," kata Heri.

Heri pun kena gusur Mursidin. Jabatannya diturunkan sebagai wakil koordinator liputan. Tentu, Heri sangat kesal.

NTB Post memang bukan koran yang besar dan menguntungkan. Pesaingnya harian Lombok Post, harian patungan antara pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat dan Jawa Pos Group.

Sebelum pecah, NTB Post berusaha menyelesaikan masalah bisnis yang makin melorot. Mereka mempunyai empat pilihan untuk menentukan nasib koran itu: dijual untuk menyelamatkan kelangsungan terbitnya, mencari pemodal baru, ditutup, atau jalan di tempat.

Mursidin menghitung-hitung harga jual perusahaan itu dan berapa rupiah yang akan ditangguk jika ada investasi baru. Namun hitungan Mursidin terlampau besar. Saat itu, Arie Wiryawan berminat menanamkan uangnya. Arie wakil pemimpin umum NTB Post. Ia tak lain anak keempat Harun Al Rasyid, Gubernur Nusa Tenggara Barat.

Pilihan-pilihan itu tak dieksekusi. Sampai akhirnya pada 19 November, rapat memutuskan untuk berhenti terbit sementara waktu hingga dicapai kesepakatan lebih lanjut.

Keputusan ini bagi Mursidin merupakan langkah sepihak kelompok Heri yang ingin "mengkudeta" kepemimpinan dan kepemilikannya atas koran itu. "Saya sangat transparan selama ini. Silakan saja melihat manajemennya, terbuka kok," ujar Mursidin.

Mursidin pengusaha bisnis ekspor barang kerajinan, jasa konstruksi listrik, developer, penginapan, dan biro perjalanan. Ia bilang selama ini tak pernah memegang uang NTB Post lantaran sudah ada bagian keuangan. "Saya tahu, tidak mudah menjalankan bisnis koran. Saya masih harus mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai NTB Post yang masih merugi," katanya.

Enam bulan pertama NTB Post terbit, Mursidin harus merogoh kantongnya sekitar sekitar Rp 15 juta tiap bulannya. Pemasukan koran itu hanya sekitar Rp 5 juta sebulan dari hasil iklan dan sirkulasi. Koran itu dicetak sekitar seribu eksemplar tiap harinya.

Keputusan untuk tidak terbit sementara waktu tak bisa diterima Mursidin. Selasa 20 November, ia menerbitkan lagi NTB Post. Mursidin merasa, dialah sang pemilik koran itu. "Selama ini saya yang sepenuhnya memiliki saham. Saya terbuka jika ada yang berminat menanam modalnya," katanya.

Mursidin optimistis, NTB Post akan sukses, namun terbit kembar bukanlah cara yang baik. Itu akan menimbulkan distorsi di khalayak ramai. Toh, ada baiknya kalau masalah internal ini diselesaikan baik-baik.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)