Oksigen Demokrasi

Agus Sudibyo

Mon, 3 September 2001

TAHUN 1998, dunia pendidikan Thailand heboh. Kasetsart Demonstration School, sebuah sekolah menengah ternama di Bangkok, dituntut membuka hasil tet masuk.

TAHUN 1998, dunia pendidikan Thailand heboh. Kasetsart Demonstration School, sebuah sekolah menengah ternama di Bangkok, dituntut membuka hasil tet masuk. Tuntutan diajukan Sumalee Limpaovart, seorang ibu rumah tangga, yang anaknya dinyatakan tak lolos seleksi. Sumalee curiga.

Official Information Act (OIA), sebuah undang-undang yang menjamin akses publik atas informasi yang dikelola lembaga-lembaga publik di Thailand, jadi senjata ampuh bagi Sumalee untuk mendesakkan tuntutannya. Information Disclosure Tribunal (IDT), lembaga semi pengadilan yang dibentuk khusus menyelesaikan sengketa-sengketa berkaitan dengan implementasi OIA, memenangi gugatan orangtua murid itu. Keputusan Information Disclosure Tribunal bahkan diperkuat oleh lembaga pengadilan. Dari sini, terungkap bahwa dasar penerimaan murid di sekolah negeri itu tak murni berdasarkan nilai tes masuk.

Nilai tes tak menjamin diterimanya seorang calon murid. Status sosial orang tua dan besar sumbangan yang diberikan pada sekolah ternyata lebih dipertimbangkan. Sumalee menemukan 38 anak yang gagal dalam tes masuk, ternyata bisa diterima.

Sumalee sempat membuat gerah orang tua murid yang lain. Mereka khawatir bila publik mengetahui bahwa anak-anaknya diterima di Kasetsart Demonstration School tanpa melalui saringan yang semestinya. Mereka pun menggugat keabsahan rekomendasi IDT ke pengadilan. Namun Mahkamah Agung Thailand akhirnya memperkuat keputusan IDT dan pengadilan. Anak Sumalee sendiri, setelah diperiksa, nilai tes masuknya memang jeblok.

Sumalee adalah simbol kebebasan informasi di Thailand. Kegigihannya dalam memperjuangkan hak masyarakat atas informasi berdampak sangat luas. Hal ini pernah diungkapkan Prof Kittisak Prokatti, salah seorang ketua Official Information Commission pada Conference on Freedom of Inormation and Civil Society in Asia di Tokyo 13-14 April 2001. Dalam makalahnya, Kittisak Prokatti menyatakan perjuangan Sumalee telah memberi sumbangan besar perubahan sistem pendidikan di Thailand. Kasus itu juga membuat Menteri Urusan Pendidikan Thailand mengeluarkan instruksi agar sekolah-sekolah negeri di negara itu memakai sistem penerimaan murid yang transparan, yang berdasar pada kesetaraan dan obyektivitas.

Official Information Act diundang-undangkan pada 1997 dan merupakan produk reformasi hukum di negeri Gajah Putih itu. Selain IDT, untuk menopang pelaksanaan OIA juga dibentuk Official Information Commision (OIC). Sebuah komisi di bawah perdana menteri Thailand yang bertanggungjawab atas pengembangan dan pelaksanaan OIA.

Menurut Prokatti, implementasi OIA menimbulkan perubahan yang cukup signifikan dalam kultur birokrasi Thailand. Birokrasi yang sebelumnya tertutup dan feodal, perlahan-lahan jadi lebih terbuka dan apresiatif terhadap fungsi-fungsi pelayanan publik. Pendek kata, Thailand telah selangkah lebih maju dalam memberikan jaminan akses masyarakat terhadap informasi yang dikelola lembaga-lembaga publik.

BAGAIMANA di Indonesia? Kultur birokrasi Indonesia tidaklah lebih baik dari kultur birokrasi di Thailand. Tak terhitung lagi kasus yang menunjukkan betapa mengakarnya budaya untuk menghalangi akses masyarakat ke berbagai klasifikasi informasi publik. Riwayat tentang “kejahatan informasi” ini sama panjangnya dengan riwayat tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam sejarah birokrasi kita. Contoh paling sederhana, masyarakat sejauh ini dibebani oleh biaya pengurusan KTP, SIM, STNK, surat tanah, surat nikah, dan lain-lain yang membengkak tak karuan. Begitu besar pembengkakan itu, sampai-sampai masyarakat tak tahu lagi berapa sebenarnya biaya resminya. Warga masyarakat jarang yang punya inisiatif untuk mempertanyakan ketidakjelasan biaya-biaya itu. Ada yang malas. Ada yang trauma. Kenapa? Jawaban aparat biasanya malah bikin dongkol perasaan.

Mujiono, seorang warga desa Bendosari, Blitar, Jawa Timur, pernah merasakannya. Dia dituduh menentang pemerintah dan mewarisi perilaku Partai Komunis Indonesia oleh aparat desanya. Gara-garanya, Mujiono berani mempertanyakan proses pembuatan surat tanahnya yang berkepanjangan. Surat tanah itu sudah diurus sejak 1996. Mujiono tak ingat berapa kali dan berapa besar aparat desa memungut uang yang tak dia mengerti apa perlunya. Setelah dua tahun ditunggu, surat tanah itu tak kunjung didapat juga. Sampai tiba saatnya, muncul inisiatif Mujiono yang pendiam dan penurut, untuk mempertanyakan kinerja aparat desanya.

Mujiono bukan satu-satunya korban kinerja lembaga publik yang tak transparan dan sarat pungutan liar. Selama Orde Baru, lembaga-lembaga publik memang cenderung memperlakukan informasi yang dikelolanya sebagai privilese yang tak harus dibuka kepada masyarakat. Alih-alih, informasi publik justru diperlakukan layaknya komoditi, yang bisa diperjual-belikan kepada mereka yang membutuhkan. Lebih dari itu, para pejabat publik umumnya menempatkan dirinya bukan sebagai “pelayan masyarakat” melainkan “yang harus dilayani” masyarakat.

Indonesian Corruption Watch, sebuah organisasi di Jakarta yang sering bikin penelitian tentang korupsi, punya pengalaman menarik. Pertengahan Juni 2001, suratkabar Jakarta ramai memberitakan kasus bagi-bagi fasilitas mesin cuci seharga Rp 6 juta kepada seluruh anggota parlemen. Pada 26 Juni 2001, ICW mengirim surat untuk minta konfirmasi atas kasus ini. Surat ditujukan kepada ketua parlemen Akbar Tanjung dan Badan Urusan Rumah Tangga DPR. Beberapa kali ICW melayangkan surat sejenis, juga ditanyakan lewat telepon, hasilnya negatif.

Problem ini merupakan problem yang jamak dan klasik. Berbagai aktivis lembaga swadaya masyarakat dan kalangan peneliti juga mengalami kesulitan yang sama ketika berusaha mendapatkan data-data tentang pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan hidup, penyalahgunaan hak pengelolaan hutan, rencana tata ruang kota, dan lain-lain. Sad Dian Utomo dari Pusat Telaah dan Informasi Regional mengatakan lembaga-lembaga pemerintah mengelami kerancuan ketika memahami kedudukannya yang berkaitan dengan informasi publik. Mereka, kata Utomo, menganggap dirinya sebagai pemilik informasi. “Pemilik informasi tetaplah masyarakat, tidak ada alasan menutup akses informasi publik,” ujar Utomo.

BERBAGAI masalah tersebut menimbulkan kegelisahan masyakarat. Sejak Desember 1998, berbagai lembaga swdaya masyarakat menyatukan diri dalam Koalisi Untuk Kebebasan Memperoleh Informasi (Koalisi KMI), yang memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi (RUU KMI) sebagai justifikasi hukum atas hak masyarakat untuk mengakses berbagai klasifikasi informasi publik.

Tiga agenda kerja yang dilaksanakan secara simultan. Yaitu agenda perumusan draft rancangan undang-undang, kegiatan loby ke unsur-unsur parlemen, agenda kampanye untuk menggalang dukungan dari berbagai kalangan. Hingga saat ini, sebanyak 22 LSM telah tergabung dalam koalisi.

Sejauh mana urgensi mengatur jaminan hak masyarakat atas informasi dalam suatu undang-undang tersendiri? Bukankah sejauh ini telah ada beberapa undang-undang sektoral yang mengatur hak tersebut?

Harold J. Cross, dalam buku The People’s Right to Know, Legal Access to Public Record and Proceedings, menyatakan kebebasan atas informasi menjadi hak yang melekat pada setiap manusia. Namun, justifikasi atas kebebasan informasi tidak cukup hanya melalui pengakuan secara filosofi atau “lips service” belaka. Hak atau kebebasan atas informasi adalah hak yang sangat fundamental dan harus diatur secara tegas dalam undang-undang yang tersendiri. “Informasi tidak akan tersedia begitu saja atas dasar kebaikan para pejabat,” katanya.

Draft RUU KMI rancangan Koalisi KMI banyak mengadopsi prinsip-prinsip dasar kebebasan informasi versi Artikel 19. Article 19 adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan berbasis di London. Artikel 19 memiliki dewan internasional dari berbagai negara, termasuk di antaranya Goenawan Mohamad dari Indonesia. Nama Article 19 diambil dari mandat Deklarasi HAM, Article 19. Artikel 19 mempunyai perhatian yang besar terhadap isu-isu kebebasan informasi, kebebasan ekspresi dan praktek sensor di berbagai negara.

Terbitan Artikel 19 edisi ketiga menegaskan, akses publik untuk memperoleh informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diakui oleh Universal Declaration of Human rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Dengan kata lain, hak publik atas informasi merupakan nilai universal yang harus dikembangkan di semua negara, di semua masyarakat tanpa terkecuali.

Terbitan itu juga menegaskan bahwa informasi adalah oksigen demokrasi. Artinya, demokrasi bukan hanya bermakna sebagai kebebasan setiap warga negara untuk memilih wakil-wakilnya. Yang tak kalah penting adalah kebebasan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebijakan-kebijakan publik, kinerja para pejabat publik dan proses pemerintahan secara menyeluruh.

“Jika orang tidak mendapatkan mengakses informasi, berarti dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak bisa berpartisipasi dalam pemerintahan. Akibatnya, mereka tidak bisa memilih pemerintah yang mereka inginkan dan tidak tahu apa yang dilakukan para pejabat publik. Mungkin anda masih tetap memiliki pemilu sebagai proses formal dan orang masih tetap bisa memilih para wakilnya. Namun orang tetap ingin tahu apa yang terjadi dan ingin memiliki pemerintahan yang bertanggung jawab. Jadi itulah maksud informasi sebagai oksigen demokrasi. Tanpa informasi, tanpa undang-undang Kebebasan Informasi, yang ada hanyalah demokrasi yang mati,” tegas Tobi Mendel, kepala Divisi Hukum Artikel 19 dalam seminar Koalisi KMI di Jakarta 14 Februari 2001.

Hak publik atas informasi secara konsitusional sebenarnya telah mendapatkan pengakuan dalam Pasal 28 F Amandemen Kedua UUD 1945, serta pasal 20 dan 21 Ketetapan (TAP) MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, beberapa undang-undang sektoral juga mengakui hak publik atas informasi. Misalnya saja UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan lain-lain. Seluruhnya ada 17 undang-undang sektoral yang telah menegaskan hak publik atas informasi. Pengakuan normatif (normative recognition) tentang perlunya perlindungan hak tersebut juga terdapat dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). UU Propenas merupakan pedoman penyelenggara negara dalam melaksanakan pembangunan lima tahun. Undang-undang ini secara eksplisit memberikan mandat kepada pemerintah dan DPR untuk menyusun undang-undang tentang Kebebasan dan Transparansi Informasi.

Meskipun demikian, berbagai produk hukum di atas tidak cukup kuat sebagai landasan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dikelola lembaga publik. Seperti dikatakan Koordinator Koalisi KMI, Josy Khatarina, klausul tentang kebebasan informasi dalam undang-undang sektoral itu masih bersifat umum dan sebatas mengakui hak masyarakat. “Undang-undang sektoral itu tidak berbicara tentang mekanisme yang baku dan jelas tentang informasi apa saja yang dapat diperoleh masyarakat, bagaimana prosedur untuk memperolehnya, lembaga mana yang dapat dimintai informasi, dan apakah sanksinya jika lembaga atau pejabat publik tidak melayani permintaan informasi dari masyarakat. Bagaimana pula proses banding dari masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan informasi secara baik,” tegasnya.

PENGERTIAN informasi publik merujuk pada semua jenis informasi yang dihasilkan atau dikelola oleh lembaga-lembaga publik. Sedangkan lembaga publik meliputi seluruh penyelenggara negara pada level eksekutif, legislatif dan judikatif di semua tingkat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan badan hukum milik negara. Termasuk juga di dalamnya organisasi non-pemerintah atau swasta yang menggunakan dana pemerintah, atau yang mempunyai perjanjian kerja dengan pemerintah untuk menjalankan fungsi pelayanan publik. (pasal 1)

Dapat dikatakan bahwa nuansa dominan dalam draft RUU KMI milik Koalisi adalah mengatur “serba hak masyarakat” dan “serba kewajiban pemerintah” dalam konteks hubungan informasi. Ini merupakan jawaban atas kelemahan undang-undang sektoral yang hanya menyebutkan hak masyarakat sonder ketentuan tentang kewajiban (dan hak) lembaga publik. Salah satu prinsip RUU KMI menegaskan bahwa lembaga publik mempunyai kewajiban untuk menyiarkan informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan (pasal 10).

Prinsip yang lain menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk mengetahui, melihat, dan mendapatkan informasi tanpa menyebutkan alasan yang melatarbelakanginya. (pasal 6). Pada era Orde Baru, permintaan informasi kepada lembaga publik hampir selalu disertai dengan keharusan untuk menyebutkan alasan-alasan yang jelas dan rinci. Syarat yang paling tidak boleh dilanggar, informasi yang diminta tidak berkaitan dengan kepentingan dan nama baik penguasa. Jika prinsip RUU KMI itu benar-benar dapat diterapkan, tentu akan lain ceritanya.

Akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan informasi harus bersifat sederhana, murah, cepat dan tepat waktu (pasal 3). Sederhana dalam arti prosedur untuk mendapatkan informasi publik tidak berbelit-belit dan mudah dimengerti masyarakat. Sudah menjadi kelaziman selama Orde Baru, bahwa informasi dari lembaga publik harus didapat dengan perjuangan ekstra keras. Pemohon informasi mesti mengalokasikan sekian banyak waktu dan tenaga untuk menembus kerumitan birokrasi. Tak jarang, sejumlah “uang pelicin” juga mesti diberikan agar petugas mau “berbaik hati”.

RANCANGAN undang-undang dari koalisi juga mengatur hak masyarakat untuk memperoleh informasi (pasal 5-7) dan kewajiban lembaga publik untuk memberikan informasi (pasal 8-13). Demikian pula dengan mekanisme untuk memperoleh informasi (pasal 17-20), upaya-upaya banding (pasal 33-37), dan sanksi bagi pelanggar hak masyarakat atas informasi (pasal 39-44). RUU KMI juga merekomendasikan pembentukan komisi informasi. Sebuah komisi independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan prinsip-prinsip kebebasan informasi dan menyelesaikan sengketa antara peminta informasi dengan lembaga atau pejabat publik. (pasal. 21).

Isu paling krusial dalam wacana kebebasan informasi adalah isu tentang informasi yang dikecualikan. Asumsi dasar RUU KMI menyatakan bahwa seluruh informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses setiap orang. (pasal 2). Meskipun demikian, tidak semua informasi publik dapat diakses masyarakat. Beberapa informasi dapat dikategorikan sebagai informasi rahasia. Yaitu informasi yang apabila dibuka dapat membahayakan proses penegakan hukum, strategi pertahanan dan keamanan nasional, keselamatan pribadi atau kelompok, kerahasiaan pribadi, perlindungan hak kekayaan intelektual, serta perlindungan dari persaingan bisnis yang tak sehat. (pasal 14).

Menjadi kontraproduktif jika pengecualian informasi berhenti di sini. Sama artinya dengan memberi peluang kepada lembaga-lembaga publik untuk semena-mena dalam memperlakukan informasi publik. Oleh karena itu, RUU KMI berpegang pada azas maximum access and limited exemption. Artinya, pengecualian informasi harus dilakukan secara jelas, ketat dan terbatas (pasal 15). Merujuk pada prinsip keempat kebebasan informasi versi Artikel 19, perlu dilakukan tes untuk melihat sejauhmana pengungkapan sebuah informasi menimbulkan konsekuensi negatif bagi pihak tertentu dan sebaliknya menimbulkan manfaat bagi kepentingan publik. Informasi yang telah dikategorikan sebagai “rahasia” dapat saja dibuka jika dipertimbangkan lebih menguntungkan kepentingan publik yang lebih besar (balancing public interest test).

Prinsip maximum acces and limited exemption yang diadopsi RUU KMI bisa jadi merupakan solusi bagi problem hukum kita berkaitan dengan klasifikasi kerahasiaan sebuah informasi. Menurut Khatarina, pendefinisian sebuah informasi sebagai rahasia bisnis, rahasia dagang, atau rahasia negara sejauh ini dilakukan dengan prinsip yang tak jelas dan tidak mempertimbangkan kepentingan publik. “Ketidakjelasan ini membuat pejabat-pejabat pemerintah semena-mena dalam memperlakukan informasi-informasi publik. Akibatnya kinerja, kebijakan dan akuntabilitas lembaga-lembaga publik tetap menjadi wilayah yang remang-remang,” tandas Khatarina.

Prinsip yang lain menyatakan UU KMI adalah produk hukum yang bersifat memayungi dan mengatasi undang-undang yang sama-sama mengatur hak/kewajiban masyarakat dan pemerintah atas informasi publik (pasal 45). Prinsip kedelapan kebebasan informasi versi Artikel 19 menyatakan, “Keterbukaan informasi memerlukan preseden.” Maksudnya, undang-undang sektoral terkait harus dijabarkan atau diubah sejauh mungkin sehingga sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UU KMI. Dengan kata lain, UU KMI menduduki hierarkhi yang lebih tinggi dari undang-undang sektoral yang sama-sama mengatur ranah informasi publik.

Ini sekaligus menjawab kerancuan berpikir tentang kedudukan UU KMI. Misalnya saja kerancuan sementara pihak dalam melihat perbedaan antara UU Pers, UU Penyiaran dan UU KMI. Berdasarkan hierakhi di atas, dapat dijelaskan bahwa kedudukan UU KMI menjadi lebih tinggi dan mengatasi undang-undang yang lain karena undang-undang ini mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan UU Pers yang secara sektoral hanya mengatur hubungan antara pemerintah dengan unsur masyarakat yang disebut masyarakat pers. Demikian juga dengan UU Penyiaran yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan unsur masyarakat yang lebih spesisik, masyarakat penyiaran.

Hierarkhi perundang-undangan itu semakin penting untuk dipahami karena di sisi lain, ada beberapa undang-undang yang secara khusus mengatur jaminan tentang kerahasiaan informasi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, terdapat lebih dari 20 pasal yang mengatur ketentuan informasi yang tergolong rahasia jabatan, rahasia pertahanan negara, dan rahasia dagang. Ketentuan tentang kerahasiaan informasi itu juga terdapat dalam UU Perbankan, UU Kearsipan, UU Peradilan Umum, dan UU Rahasia Dagang yang belum lama disahkan. Dalam seluruh undang-undang itu, secara luas dan elastis diklasifikasikan informasi yang dianggap rahasia dan dilarang untuk disebarluaskan. Yang menakutkan, ancaman hukuman bagi yang pelanggarnya tergolong berat, diantaranya hukuman penjara seumur hidup.

Ketentuan hukum tentang kerahasiaan informasi itu seakan-akan belum cukup. Sebuah langkah yang paradoksal dilakukan Lembaga Sandi Negara beberapa bulan yang lalu, dengan melansir draft RUU Rahasia Negara. Mengapa paradoksal?

Pertama, draft RUU Rahasia Negara ini memuat ketentuan yang membahayakan berkaitan dengan klasifikasi rahasia negara. Misalnya saja, draft RUU ini menegaskan bahwa kewenangan untuk menentukan suatu informasi sebagai rahasia negara berada pada masing-masing pimpinan lembaga negara, lembaga pemerintah departemen maupun non departemen, pimpinan angkatan bersenjata, pimpinan Badan Usaha Milik Negara, dan pimpinan badan-badan lain yang ditunjuk oleh pemerintah. (pasal 5 dan 12). Dapat dibayangkan, betapa repotnya jika setiap lembaga publik berhak membuat klasifikasi kerahasiaan sendiri atas informasi-informasi yang dikelolanya.

Semakin problematis lagi karena draft RUU Rahasia Negara juga tidak memuat kriteria-kriteria yang jelas dan rinci tentang kerahasiaan sebuah informasi. Hal ini diakui oleh Fredy Haris, anggota tim RUU Rahasia Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang ditunjuk DPR. Haris melihat ketentuan-ketentaun dalam draft RUU Rahasia milik Lembaga Sandi Negara terlalu general dan rentan terhadap penafsiran yang subyektif. “Pada prinsipnya memang perlu adanya represi untuk melindungi rahasia negara. Namun harus jelas dulu apa dasar filosofisnya, sejauhmana represi bisa dilakukan, dan pada kasus-kasus yang bagaimana,” tandas Haris.

Kedua, jika berpegang pada prinsip kebebasan informasi, UU KMI-lah yang mestinya diperjuangkan terlebih dahulu. Sebab UU KMI memuat ketentuan-ketentuan universal tentang informasi dan bersifat memayungi undang-undang yang lain. “Baru kemudian informasi-informasi yang dianggap rahasia ditentukan dalam UU Rahasia Dagang atau UU Rahasia Negara secara ketat dan terbatas,” ujar Rifqie Sjarif Asegaf. Anggota tim perumus Koalisi KMI ini melanjutkan, tanpa mengundangkan UU KMI terlebih dahulu, dikhawatirkan penguasa akan dengan semena-mena menutup informasi yang dianggap dapat membahayakan kepentingannya. “Kita sebenarnya telah kecolongan ketika UU Rahasia Dagang disahkan terlebih dahulu bulan Desember 2000. Lebih menggelikan, draft RUU Rahasia Negara itu konon telah dipersiapkan Dephankam sejak tahun 1996,” tambah Assegaf.

KEBERADAAN UU KMI menumbuhkan optimisme bagi usaha-usaha pemberantasan korupsi. Sebab undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk mewujudkan pemerintahan terbuka dan partisipatoris. Yakni pemerintahan yang melibatkan peran serta dan kontrol masyarakat dalam proses pengelolaan sumber-sumber daya publik, sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan hingga evaluasinya. Menurut peneliti senior Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Mas Achmad Santosa, pemerintahan terbuka mensyaratkan adanya jaminan terhadap lima hal: (1) hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya (right to observe); (2) hak untuk memperoleh informasi (right to information); (3) hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik (right to participate); (4) hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan terhadap hak-hak 1,2, dan 3; dan (5) kebebasan pers. Lima hal ini tak pelak merupakan deviasi lebih lanjut dari prinsip-prinsip kebebasan informasi yang dijamin dalam UU KMI.

Nah, perwujudan pemerintahan yang terbuka ini diyakini sebagai upaya proaktif paling ideal untuk mencegah merebaknya korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktek-praktek yang membuat bangsa Indonesia terperosok dalam krisis multi dimensi yang tak berujung. Upaya pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme melalui perwujudan pemerintahan terbuka, bahkan dianggap lebih strategis dibandingkan dengan upaya pemberantasan dengan cara menghukum (represif). Pada titik inilah UU KMI menemukan relevansinya bagi problem kekinian kehidupan bernegara.

“Kelebihan undang-undang kebebasan informasi adalah memungkinkan masyarakat melakukan fungsi preventif dan kontrol. Problem usaha pemberantasan korupsi selama ini terkendala oleh alasan kerahasiaan bank, kerahasiaan dagang dan semacamnya. Pada titik ini, undang-undang kebebasan informasi tak kalah pentingnya dengan undang-undang perlindungan saksi dan pembuktian terbalik yang lebih bersifat represif dan baru bisa digunakan ketika korupsi sudah terjadi.” Ujar Adyanto.

Sejauhmanakah sebenarnya perilaku pejabat publik kita kontraproduktif bagi prinsip pemerintahan yang transparan? Jika mau jujur, transparansi di sektor kebijakan publik kita memang amburadul. Tak mudah menemukan perilaku-perilaku yang kondusif terhadap hak-hak masyarakat dalam kultur birokrasi kita. Yang akan banyak ditemukan adalah sejumlah paradoks tentang pejabat publik yang tak merasa menjadi pelayan masyarakat. Alih-alih mereka justru gemar mencari peruntungan maksimal dari kedudukannya sebagai orang pemerintah. Koalisi KMI mempunyai catatan tentang sejumlah kecenderungan negatif pejabat publik.

Pertama, pejabat publik sering tidak mensosialisasikan atau sengaja menyembunyikan program-program pemerintah. Kalaupun ada, sosialisasi itu dilakukan dengan konsep yang tidak jelas dan dalam skala yang terbatas. Sosialisasi dilakukan dengan menggunakan media yang tidak dapat menjangkau semua pihak. Hal ini terjadi pada program subsidi BBM yang akhirnya tidak jelas kriteria masyarakat yang akan mendapatkannya. Demikian juga pada sosialisasi program Inpres Desa Tertinggal, Jaring Pengaman Sosial, Kredit Usaha Tani, Kredit Ketahanan Pangan dan lain-lain.

Kedua, pejabat publik sering mempersulit informasi tentang seluk-beluk perijinan dan prosedur-prosedur resmi. Lazim terjadi, masyarakat dibuat frustasi oleh rumitnya prosedur yang harus mereka tempuh jika berurusan dengan birokrasi. Setelah capek dan frustasi, digunakanlah “uang pelicin” biar urusan segera selesai. Pada kasus yang berbeda, beberapa LSM kesulitan untuk mengakses prosedur resmi dan perijinan usaha pertambangan, perkebunan, dan HPH. Padahal, prosedur dan perijinan usaha itulah yang sering menjadi akar konflik kepemilikan lahan antara masyarakat adat di satu sisi, dengan pengusaha dan pemerintah di sisi lain. Pemerintah juga tidak mensosialisasikan secara aktif tender-tender proyek pembangunan dan tataguna lahan kepada publik. Ujung-ujungnya, pihak tertentu yang berkongkalikong dengan para pejabat teraslah yang kerap memenangkan tender.

Ketiga, pejabat publik tidak menyebarluaskan atau menyembunyikan kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan publik. Kebakaran hutan besar-besaran tahun 1997-1998 tidak dapat segera ditangani karena susahnya akses terhadap data-data tentang kebakaran itu. Akibatnya sulit untuk menentukan letak titik-titik api dan perluasan area yang terbakar. Semakin sulit pula upaya untuk memadamkan api dan menghentikan eskalasi kebakaran. Pada saat kebakaran hutan terjadi, pemerintah mengumumkan bahwa luas kebakaran dan pembakaran hutan dan lahan 1997-1998 hanya 600.000 ha. Padahal laporan terakhir yang dibuat oleh International Forest Fire Management-Deutsche Gesellschaft Fur Technische Zusammnarbeit, kebakaran hutan di Kalimantan Timur saja mencapai area seluas 5,2 juta hektar.

UNDANG-UNDANG informasi ini telah diundang-undangkan di berbagai negara, seperti Swedia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Thailand, Inggris, Jepang, Afrika Selatan. Pada umumnya, kebebasan memperoleh informasi meliputi: (1) hak untuk mengetahui informasi (right to know); (2) hak untuk melihat informasi (right to inspect); (3) hak untuk mendapatkan salinan (copy) informasi (right to obtain); dan (4) hak untuk mendapatkan informasi tanpa didasarkan pada permintaan (right to be informed) melalui pengembangan akses proaktif; dan (5) hak untuk mengajukan keberatan apabila hak-hak tersebut ditolak (right to appeal). Jjaminan atas hak-hak ini, mestinya menjadi titik tolak bagi siapa saja yang menyusun RUU KMI.

Menarik sekali mempelajari bagaimana pengalaman Jepang sebagai negara yang telah menerapkan UU KMI. Advokasi masyarakat sipil di Jepang untuk pengundangan Information Disclosure Act (IDA; UU KMI versi Jepang) telah dilakukan sejak tahun 1976. Advokasi itu baru berbuah tahun 1996.

Efektivitas Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi untuk memaksa pejabat publik memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat juga menjadi fenomena baru di Thailand. Pada saat krisis ekonomi melanda negeri Gajah Putih itu tahun 1997, sekelompok jurnalis lokal menuntut agar daftar kontrak pembelian atas lelang hutang di sektor finansial dapat dibuka kepada publik. Kontrak pembelian itu dibuat oleh Financial Sector Restructuring Authority, otoritas restrukturisasi sektor keuangan yang berada di bawah Menteri Keuangan Thailand. Tuntutan para jurnalis ditolak dengan alasan kontrak pembelian itu termasuk dalam klasifikasi informasi rahasia dagang.

Keputusan ini tak berubah meskipun IDT, sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan kasus sengketa informasi, telah turun tangan. IDT memutuskan daftar kontrak itu harus dibuka kepada publik, kecuali informasi tentang penawaran dan perjanjian bagi hasil yang memang dinyatakan tertutup sampai saat suatu lelang dimenangkan. Namun setelah diancam hukuman dengan tuduhan sengaja menunda pemberian informasi publik kepada yang membutuhkan, Menteri Keuangan Thailand akhirnya menyerah. Ia mengijinkan pers mengakses informasi tentang daftar kontrak itu.

PENGALAMAN itu memberikan pelajaran tentang betapa strategisnya keberadaan UU KMI. Akan tetapi, ternyata tidak semua pihak sepenuhnya sepakat dengan langkah-langkah Koalisi KMI. “Sulit untuk membuat peran masyarakat menjadi lebih kuat lewat sebuah undang-undang. Yang bisa membuat masyarakat lebih kuat hanyalah masyarakat sendiri dan wilayah-wilayah yang ada di masyarakat yang tidak dibatasi dan diatur negara,” ujar Munir, Ketua Dewan Pengurus Kontras. Menurut Munir, memperbaiki prinsip-prinsip kerja birokrasi lebih penting daripada lari kepada aspek yang bersifat normatif dengan membuat undang-undang. Terlepas dari ada UU KMI atau tidak, menurutnya yang mendesak untuk dilakukan adalah proses-proses penguatan masyarakat dalam hubungannya dengan birokrasi. “Jadi transparansi terbentuk bukan karena birokrasi yang menjadi terbuka, namun karena tumbuhnya kekuatan masyarakat secara riil dari waktu ke waktu,” tandas Munir.

Munir justru melihat jaminan publik atas akses informasi pemerintahan lebih mendesak untuk diatur dalam undang-undang sektoral. Pemberdayaan masyarakat melalui undang-undang sektoral dianggap lebih bermanfaat daripada memunculkan satu undang-undang yang secara spesifik mengatur jaminan publik atas informasi, namun sulit untuk dipraktekkan secara sektoral. Undang-undang sektoral menurut Munir juga lebih mungkin melahirkan mekanisme pemaksa bagi unsur pemerintah yang tidak memberikan informasi kepada masyarakat.

Kekhawatiran yang lain menyatakan RUU KMI pada akhirnya bisa saja justru kontraproduktif bagi jaminan akses masyarakat atas informasi publik. Munir memberi contoh UU Keormasan yang secara tekstual melindungi hak masyarakat berorganisasi, namun kenyataan justru menghalanginya. Demikian juga dengan UU Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum yang seolah-olah melindungi orang mengemukakan pendapat, namun kenyatannya malah membatasi. Hal yang sama juga terjadi pada RUU Penyiaran yang pada perkembangan terakhir lebih dikuasai oleh versi pemerintah.

Jika tak hati-hati, bisa jadi draft RUU KMI akan mengalami nasib yang sama. Sinyal ke arah itu, bukannya tak ada. Badan Legislasi (Baleg) DPR telah melansir draft RUU KMI sendiri. Draf RUU KMI versi Baleg mengandung banyak perbedaan dengan draft RUU KMI milik Koalisi KMI. Persoalannya adalah pada posisi strategis Baleg. Semua RUU usulan unsur dari masyarakat kepada DPR, akan melalui meja Baleg.

Perbedaan antara dua draft RUU KMI itu bukan sekedar perbedaan redaksional atau bahasa, namun juga perbedaan substansi. Misalnya saja berkaitan dengan kewajiban masyarakat dan pemerintah. RUU KMI versi Baleg menegaskan masyarakat sebagai peminta informasi wajib menjaga dan menghindari penyimpangan pemanfaatan informasi menurut ketentuan UU KMI dan peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 6).

Ketentuan itu bertentangan dengan prinsip dasar UU KMI yang bertujuan menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Jika berpegang pada prinsip ini, ketentutan-ketentuan yang ada mestinya menitikberatkan pada kewajiban badan publik untuk memenuhi dan menjamin hak masyarakat.

“Apabila kewajiban publik lebih ditekankan dalam UU KMI, dikhawatirkan akan terjadi counter productive. Hal ini pernah terjadi pada UU Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di mana ditentukan bahwa kebebasan masyarakat mengeluarkan pendapat harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti izin dari aparat sebelum melakukan unjuk rasa,” tandas Santosa.

Perbedaan kedua tentang jenis informasi yang dikecualikan. RUU KMI versi Koalisi KMI menyatakan bahwa pengecualian terhadap informasi yang dianggap berstatus rahasia harus dilakukan secara ketat, jelas dan lebih mempertimbangkan kepentingan umum. Penentuan status sebuah informasi dilakukan oleh Komisi Informasi.

Berbeda halnya dengan prinsip pengecualian informasi pada RUU KMI versi Baleg. Dikatakan bahwa sebuah informasi tidak boleh diakses publik jika “dapat diduga menimbulkan konsekuensi sebagaimana halnya diatur pada RUU versi koalisi, dapat diduga melanggar kebijakan luar negeri, dapat diduga melanggar hak asasi manusia dan merosotnya martabat seseorang, dapat diduga melanggar kebijakan nasional yang berkaitan dengan kepegawaian, dan dapat diduga melanggar kerahasiaan data medis seseorang” (pasal. 12). Draft RUU KMI versi Baleg dengan demiian talah membuka pintu yang lebar bagi kemungkinan represi negara. Kerahasiaan sebuah informasi bukan ditentukan dengan klasifikasi-klasifikasi yang jelas, melainkan diserahkan pada kemampuan aparat untuk “menduga-duga”.

RUU KMI versi Baleg tidak menghendaki keberadaan Komisi Informasi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa berkaitan dengan informasi publik. Wewenang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa itu diberikan kepada pemerintah. Ini berbeda dengan RUU KMI versi Koalisi KMI yang merekomendasikan pembentukan Komisi Informasi yang independen dan profesional.

Perbedaan yang tak kalah serius adalah dalam hal penentuan sanksi pidana. RUU KMI versi Baleg tidak mengatur ancaman pidana buat: (a) mereka yang dengan sengaja menghancurkan informasi, (b) mereka yang dengan sengaja membuat informasi yang tidak benar, dan (c) pejabat publik yang tidak mengikuti kewajiban mendokumentasikan dan memberikan informasi sesuai dengan tugasnya. Ketentuan sanksi dalam RUU KMI versi Baleg lebih diarahkan kepada pemilik informasi yang memberikan atau membuka informasi yang dikecualikan, serta peminta informasi yang melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi.

DRAFT RUU KMI nantinya akan diajukan sebagai inisiatif DPR. Untuk sementara, draft versi Koalisi KMI telah ditampung oleh Baleg, bersama dengan masukan-masukan yang lain dari berbagai pihak. Selanjutnya, Baleg akan menunjuk sebuah universitas untuk melakukan studi guna merumuskan dasar filosofis, kajian akademik dan draft undang-undang yang lebih sempurna. Hal yang sama juga berlaku untuk RUU Rahasia Negara. Kebetulan, studi atas kedua RUU ini sama-sama diserahkan kepada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

“Setelah studi yang dilakukan kalangan kampus selesai dan kami memperoleh hasilnya, akan dibentuk panja (panitia kerja) untuk masing-masing RUU. Namun kami menjamin, dalam proses-proses selanjutnya teman-teman koalisi akan tetap dilibatkan,” tandas anggota Baleg, Tumbu Saraswati dalam acara dengan pendapat dengan Koalisi KMI 13 Juli 2001.

Pada konteks yang sama, Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga berjanji akan menampung butir-butir pemikiran Koalisi KMI. “Kami melihat draft yang disusun Koalisi KMI sudah cukup bagus. Kami juga sepakat bahwa UU KMI harus ada terlebih dahulu, sebelum DPR mengesahkan UU Rahasia Negara. Justru karena kedua RUU itu diserahkan kepada kami, semakin mudah bagi kami untuk melakukan sinkronisasi dan menghindari overlapping di antara keduanya,” tandas Haris mewakili almameternya.

Namun pengalaman RUU Penyiaran menunjukkan draft RUU yang bagus dari masyarakat dapat berubah sedemikian rupa ketika sampai ke tangan DPR. Draft RUU Penyiaran terakhir (yang kemungkinan besar akan segera disahkan), justru memberi peluang bagi intervensi dan represi negara yang terlalu jauh terhadap dunia penyiaran. Suatu hal yang bertentangan dengan cita-cita demokratisasi dunia penyiaran yang didengungkan pada awal kampanye RUU Penyiaran.

Dengan kata lain, sebaik apapun draft RUU yang telah disusun Koalisi KMI, tidak ada jaminan bahwa draft itulah yang nantinya diundang-undangkan. Ada banyak kepentingan yang bisa jadi turut bermain. Pihak-pihak yang merasa pernah terlibat dalam kasus korupsi atau pelanggaran HAM misalnya, tentu akan terancam jika UU KMI memberi landasan hukum bagi pengungkapan kasus-kasus di masa lalu. Jika boleh memilih, mungkin mereka akan mendukung UU Rahasia Negara daripada RUU KMI.

Pada titik ini, yang mendesak untuk dilakukan adalah membangun opini publik yang kondusif bagi langkah-langkah Koalisi KMI. Opini publik yang dapat menekan DPR dan pemerintah untuk mengakomodasi masukan-masukan masyarakat dalam menyusun UU KMI dan UU Rahasia Negara.

Namun pembentukan opini publik tampaknya bukan perkara yang mudah. Kendala yang utama, dukungan dari kalangan media masih lemah. Padahal, medialah yang paling capable untuk menjadi ujung tombak kampanye RUU KMI. Peran media sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian segenap unsur masyarakat akan pentingnya hak atas informasi. Pemberitaan media dapat meningkatkan daya tawar Koalisi KMI dihadapan DPR dan pemerintah.

Sangat mengherankan, mengapa kalangan media tidak begitu peduli terhadap isu-isu kebebasan informasi. Padahal media notabene adalah stakeholders yang akan banyak diuntungkan oleh pemberlakuan UU KMI. Percuma saja masyarakat media mempunyai UU Pers yang bagus, kalau akses mereka ke lembaga-lembaga pemerintah atau swasta terbentur oleh tembok tebal UU Rahasia Dagang atau UU Rahasia Negara.

Dengan UU KMI, kendala semacam ini niscaya dapat di atasi. Sekali lagi, secara hierakhis UU KMI mengatasi semua undang-undang yang mengatur klsifikasi-klasifikasi informasi yang dirahasiakan itu. Terbuka peluang bagi media untuk mendapatkan informasi yang sebelumnya disembunyikan oleh lembaga-lembaga publik. Demikian juga dengan informasi yang karena alasan-alasan politik tertentu, dianggap tabu atau membahayakan untuk diketahui publik.

Mendel mempunyai contoh kasus yang menarik untuk disimak. Inggris baru mengundang-undangkan Freedom of Information Act (istilah lain dari UU KMI) tahun 2000. Pada masa-masa sebelumnya, kalangan jurnalis di sana tidak mempunyai cukup akses atas informasi-informasi tentang aktivitas putri Diana. Misalnya saja saat Diana melakukan kunjungan ke Angola Januari 1997. Jurnalis tidak memiliki informasi tentang kegiatan sang putri, kecuali yang disediakan pemerintah. Namun dengan menggunakan Freedom of Information Act, para jurnalis Amerika berhasil mencari tahu apa yang terjadi dalam kunjungan itu. Informasi tentang penolakan Diana untuk bekerjasama dengan pihak keamanan Angola, serta informasi Diana meminta kualitas tertentu untuk hotel dan makanan untuknya, di tengah-tengah kunjungan kemanusiaan kepada korban perang.

Informasi-informasi ini, tentu saja menjadi bahan cerita yang menarik untuk konsumsi media. Dampak lebih lanjut, masyarakat juga dapat melihat sisi lain dari kehidupan seorang publik figur, tanpa harus didikte oleh cara pandang yang diinginkan pemerintah. “Jadi Freedom of Information Act memungkinkan jurnalis untuk mengetahui dan melihat ada apa di balik yang disampaikan pemerintah. Freedom of Information Act memungkinkan investigasi yang bagus bagi para jurnalis,” tegas Mendel.*

kembali keatas

by:Agus Sudibyo