Menunggu Thukul Pulang

Gita Widya Laksmini

Mon, 3 September 2001

TANPA terasa lima tahun berlalu sudah dari Peristiwa 27 Juli 1996, ketika markas besar Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diserbu polisi, tentara, dan massa bayaran.

TANPA terasa lima tahun berlalu sudah dari Peristiwa 27 Juli 1996, ketika markas besar Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diserbu polisi, tentara, dan massa bayaran. Salah satu lembar sejarah Indonesia ini tercoreng tinta hitam saat terjadi pengambilalihan sekretariat PDI yang diikuti pengrusakan dan pembakaran. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia pada Oktober 1996, tercatat lima orang meninggal dunia, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang. Salah satu yang tak kunjung pulang adalah Wiji Thukul.

Siapakah Wiji Thukul? Lahir di kampung Sorogenen, Solo, 23 Agustus 1963, penyair bernama asli Wiji Widodo ini besar di keluarga tukang becak. Pendidikan tertinggi Thukul Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari sampai kelas dua lantaran kesulitan uang. Demi perut, penyair ini kerja serabutan: jual koran, jadi calo karcis bioskop, sampai jadi tukang pelitur. Dalam perjuangan menyambung hidup, Thukul tak pernah berhenti menulis puisi.

Thukul penyair radikal, puisinya bernuansa perlawanan. Sejatinya ia pembangkang. Pada 1992 dia ikut demonstrasi terhadap pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo memprotes pencemaran lingkungan. Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) yang jadi bagian Partai Rakyat Demokratik (PRD). Lantaran memimpin demonstrasi di pabrik tekstil PT Sritex Sukoharjo tahun 1995, sebelah mata Thukul cedera dipopor seorang tentara. Ketika gelombang demonstrasi menggulingkan Presiden Soeharto tak lagi bisa dibendung, puisi Thukul berjudul “Peringatan” yang ia gubah tahun 1986 menjadi larik wajib untuk dikumandangkan. Nyaris tiap demonstran masa itu kenal kalimat perkasa Thukul: “Hanya ada satu kata: lawan!”

Sebagian orang percaya bahwa Thukul sengaja dilenyapkan aparat keamanan. Maklum, ia anggota Partai Rakyat Demokratik yang dijadikan kambing hitam pemerintahan Soeharto atas pecahnya kerusuhan massa pada 27 Juli 1996. Thukul pergi menyelamatkan diri dengan meninggalkan istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon, yang kini berusia 34 tahun, dan dua anak, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, masing-masing berusia 10 dan 6 tahun. Keadaan memaksa Thukul untuk terus berlari tanpa bisa berhenti. Toh ia tetap menulis puisi sekalipun bertabir nama samaran.

Kontak dengan keluarga dan sahabat makin tak teratur. Thukul mulai lenyap ditelan angin. Desember 1997, ketika Thukul pulang diam-diam menemui keluarga dan kembali menghilang. Awal Februari 1998, Thukul hanyalah sebentuk suara di ujung telepon. April 2000, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau biasa disingkat Kontras. Pertengahan tahun yang sama, Forum Sastra Surakarta (FSS) dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul “Thukul, Pulanglah” yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

Berbagai kabar burung beredar. Sempat ada berita yang menyatakan bahwa Thukul disekap di kepulauan Seribu. Media lain menyebut Thukul bersembunyi di Jerman. Kabar lain menyatakan Thukul diam di Belanda. Ada pula yang melansir Thukul kini berada di Australia. Tapi Thukul tak juga ketemu, Thukul tak juga pulang. Ia hanya muncul dalam mimpi Sipon dan anaknya, Fitri Ngathi Wani, dengan berbaju putih dan berparas bersih. Apakah Thukul hidup atau mati, tak seorang pun tahu persis.

NOVEMBER 2000, Tinuk Yampolsky, Dawn Buie, dan saya memutuskan mencari Thukul. Kami bermaksud menelusuri jejak-jejak Thukul dalam kenangan orang-orang yang mencintainya. Kami ingin mencarinya lewat sebuah film dokumenter.

Awal gagasan membuat film dokumenter tentang Thukul ini datang dari Tinuk Yampolsky. Tinuk pribadi sempat kenal dengan Thukul semasa di Solo. Di awal 1980-an, Tinuk muda pernah mendampingi Thukul membacakan puisi-puisinya untuk diudarakan di acara Sastra Budaya radio PTPN Solo. Sejak 1987 Tinuk bersama suaminya, Philip Yampolsky, yang pindah ke Amerika Serikat. Di sana, ibu satu anak ini jadi dosen Bahasa Indonesia di Universitas Yale. Sekembalinya ke Indonesia tahun 2000, Tinuk membaktikan diri pada dunia sastra Indonesia yang begitu ia cintai dan bekerja sebagai managing editor di Yayasan Lontar.

Di yayasan ini Tinuk bertemu dengan relawati asal Kanada Dawn Buie. Dalam beberapa kesempatan, Tinuk mendiskusikan gagasannya kepada Dawn yang mendisain situs web Yayasan Lontar www.lontar.org. Dawn lulusan jurusan film/video di Emily Carr Institute of Art and Desain, Vancouver. Dawn dengan senang hati membantu Tinuk. Toh pekerjaannya di Yayasan Lontar memungkinkan dirinya punya banyak waktu luang. Di kala senggang, Dawn gemar mengembara.

Di satu waktu, kaki Dawn melangkah ke QB Book Store di Jakarta. Pada saat yang sama, saya tengah menjajaki kesempatan wawancara dengan penulis Scott Merrilees dengan buku Batavia in Nineteeth Century Photographs di toko buku itu. Dawn sekonyong-konyong masuk dalam obrolan antara kami dan membuat diskusi jadi lebih menyenangkan. Di kesempatan itulah, saya berkenalan dengan Dawn yang membeberkan rencana Tinuk.

Perjumpaan tersebut mempertemukan kami bertiga. Di Yayasan Lontar November 2000, kami bertemu dan bertukar pikiran seputar pembuatan film dokumenter tentang Widji Thukul. Dalam proyek ini Tinuk berperan sebagai sutradara dan produser. Dawn memegang kamera. Berbekal pengalaman berkecimpung di Komunitas Film Independen, saya jadi periset dan mengurusi semua yang perlu diurus (menurut Dawn, itu membuat saya layak disebut asisten sutradara).

Sebenarnya siapalah kami bertiga ini? Dimana kami ketika Peristiwa 27 Juli 1996 pecah? Apa yang kami lakukan ketika Thukul berlari tergopoh-gopoh mengemasi nyawanya? Tinuk ada di Amerika Serikat. Dawn sedang kuliah di Vancouver. Saya sendiri, mahasiswi psikologi yang apolitis dari Universitas Indonesia, ada di Bandung ketika itu. Gagap betul tutur apabila kami mesti bicara tentang Thukul.

Tinuk membuat keputusan untuk tak menyentuh aspek politik. Film ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan kehidupan Thukul sebagai penyair. Sungguh, ini sulit. Melepaskan Thukul dari konteks pergerakan politik ibarat memisahkan darah dari dagingnya. Thukul hidup di tengah sorak sorai demonstran yang berusaha menumbangkan tirani yang menua di negeri ini. Sudut pandang Tinuk terasa berat untuk diwujudkan, terutama pada saat riset.

Ternyata jalan bukannya tanpa cahaya, serpih-serpih daging dari figur penyair tanpa rangka bernama Wiji Thukul pelan-pelan terkumpul. Berdasarkan riset, diketahui bahwa kepenyairan Thukul semasa muda digodok di pusat-pusat kebudayaan dan aneka sanggar yang berserak di sepanjang Solo. Berbagai puisi, cerpen, esai, dan resensi puisi Thukul sempat diterbitkan berbagai media cetak dalam dan luar negeri seperti harian Suara Pembaruan, Bernas, Suara Merdeka, Surabaya Post, Merdeka, maupun majalah Inside Indonesia (Australia) dan Tanah Air (Belanda). Puisi Thukul juga menghiasi aneka penerbitan pers mahasiswa seperti majalah Politik (Universitas Nasional), Imbas (Universitas Kristen Satya Wacana), Pijar (Universitas Gadjah Mada), Keadilan (Universitas Islam Indonesia), dan buletin berbagai lembaga swadaya masyarakat. Puisi Thukul juga beredar dalam bentuk fotokopian dan dikumpulkan dalam Puisi Pelo (terbit sekitar 1983-1989 oleh Taman Budaya Surakarta), Ketika Rakyat Pergi (terbit sekitar 1984-1988), Darman Dan Lain Lain (terbit sekitar 1985 oleh Taman Budaya Surakarta) dan Lingkungan Kita Si Mulut Besar (terbit antara tahun 1986-1991).

Selain mengamen puisi diiringi instrumen musik seadanya di sepanjang Solo, Yogyakarta, Klaten dan Surabaya, pada 1989 Thukul diundang oleh Goethe Institute untuk membacakan puisinya di kedutaan Jerman Barat di Jakarta. Tiga tahun berikutnya, Thukul tampil di “Pasar Malam Puisi” yang diselenggarakan Erasmus Huis di Jakarta dimana Thukul bersua dengan mantan tahanan politik Putu Oka Sukanta. Di tahun itu juga Wiji Thukul meraih Wertheim Encourage Award dari Belanda. Sayang ketika itu Sipon sebentar lagi melahirkan putri pertamanya, Thukul batal berangkat ke Belanda. Sampai sekarang sertifikat penghargaan yang jadi hak Thukul raib entah kenapa.

Selepas dari Sarang Teater Jejibahan Agawe Geneping Akal Tumindak (JAGAT), Thukul kemudian mendirikan Sanggar Suka Banjir di kampung halamannya. Kampung Kalangan memang langganan diserbu air bah tiap musim hujan. Di sanggar yang menyediakan taman bacaan berisi buku-buku dari pasar loak, Thukul juga menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis untuk anak. Sisi kehidupan Thukul sebagai penyair ternyata toh penuh warna.

Berbekal informasi tersebut, kami bertiga menyiapkan diri. Dengan dana serba mandiri dan pinjaman perlengkapan dari segala penjuru, kami kumpulkan keberanian untuk melangkah masuk ke dalam relung kenangan dari orang-orang yang mencintai Thukul. Kami berangkat ke Solo akhir tahun 2000. Sesuai kesepakatan, film dokumenter kami akan menangkap Thukul sebagai penyair. Untuk menyelami sisi tersebut kami menjelajah ke berbagai pusat kebudayaan dan sanggar kesenian, tempat di mana sebatang besi bernama Wiji Thukul ditempa dan dibentuk jadi penyair.

Yang pertama kami temui adalah teman-teman Thukul dari Taman Budaya Surakarta, tempat awal dia beraksi jadi seniman. Suliyanto pekerja teater Taman Budaya Surakarta mengenal Thukul di pentas pertamanya sekitar 1970-an. Direktur Taman Budaya Surakarta Murtidjono mensponsori cetak stensil kumpulan puisi perdana Thukul. Pemain teater St. Wiyono yang juga penari, mengenang Thukul sebagai anak kecil kurus kering yang selalu menyatakan pendapat seenak udel. Menurut pemain teater Gigok Anuraga, sedari kecil Thukul memang punya naluri memberontak.

Pelan-pelan jejaring kenangan yang membalut sosok Thukul mulai terbentuk. Tak terasa kami bertiga masuk semakin jauh ke dalam terowongan waktu. Seiring dengan itu, kami jadi makin tak mampu untuk mengelak dari pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Dimanakah Thukul berada sekarang? Apakah Thukul masih hidup? Atau sudah matikah ia? Kalau ya, dimana jasadnya dikuburkan? Tak bisa lagi dipendam, pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan. Tetap teman-teman di Taman Budaya Surakarta hanya bisa mengangkat bahu, tak ada yang pasti apakah Thukul hidup atau mati.

Sementara itu penyair Sosiawan Leak, pemrakarsa forum “Thukul, Pulanglah,” punya pendapat menarik. Menurutnya Thukul masih hidup. “Kalau sudah mati, pasti ada kuburnya. Kalau kuburnya belum ketemu, artinya Thukul masih hidup,” begitu Leak berargumen. Yakinkah Leak? Dirinya menghela nafas, pelan dan panjang.

Di mata Janthit Sanakala dan Lawuwata, pentolan Sarang Teater Jejibahan Agawe Geneping Akal Tumindak, yang dianggap banyak orang “bertanggung jawab” atas mengerasnya pribadi Thukul, punya pendapat sendiri. “Yang jelas, keadaan lebih baik tetap seperti sekarang,” tutur Lawuwarta. “Dengan begini, Nganthi Wani dan Fajar Merah bisa menepuk dada dengan bangga dan berkata, ‘Ayahku pahlawan!’,” begitu ujar Janthit. Hidup atau mati tak banyak beda, Thukul toh tetap hadir bersama mereka.

Pendapat teman-teman Tukhul saling berselisih jalan. Kepingan hidup Thukul yang berjiwa merdeka memang tersebar dimana-mana. Sampai akhirnya kami bertiga tiba ke kediaman Thukul, tempat istri dan anak-anaknya tinggal. Rumah itu kecil saja, sederhana. Kontrakan seharga Rp 200 ribu per tahun itu, berdinding kayu dengan cat putih yang mulai luntur. Di dalam bangunan seluas sekitar 3.5 x 3.5 m, ada satu studio jahit, satu ruang tidur, dan satu ruang keluarga tempat anak-anak Kampung Kalangan bermain dan nonton TV bersama. Di bagian belakang ada bangunan tambahan yang dibuat seadanya dari batako tanpa plester. Di sanalah letak dapur dan jamban, bersalut jelaga, dan lumut.

Di rumah ini, Sipon menerima pesanan jahitan dari para tetangganya demi menghidupi Nganthi Wani dan Fajar Merah. Jelujur jarum Sipon, perempuan anak penjual barang rongsokan, yang menambal kehidupan keluarga mereka yang compang camping.

Saat melangkah masuk, kami bertiga seolah-olah tersedot dalam pusaran arus masa lalu. Tembok rumah mungil itu sesak dengan gambar-gambar Thukul dalam berbagai pose. Sipon memilih beberapa foto dokumentasi dari berbagai pembacaan puisi suaminya untuk ia fotokopi dengan ukuran yang diperbesar. Dalam semburat hitam putih, Thukul tampak begitu hidup. Matanya mendelik, nyalang penuh api. Kepalan tinju Thukul gagah mengganyang udara. Tulang pipi, tulang rahang, dan tulang di dada Thukul membayang nyata. Thukul memang tak pernah gemuk, ia selamanya kecil dan kerempeng. Namun di dinding itu (juga di dinding hati Sipon dan anak-anaknya) Thukul bak raksasa digdaya, perkasa menembus waktu.

Sampailah kami pada giliran Sipon, ini waktunya untuk dia bercerita. Seperti rutinitas yang telah kami jalani sebelumnya, saya dan Dawn mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Microphone unidirectional dipasang, kamera disiapkan. Reflektor ditata, TV monitor dinyalakan. Sementara itu Tinuk berusaha mencairkan kebekuan yang wajar muncul sesaat sebelum seseorang memuntahkan sebagian kehidupannya di depan lensa kamera. Bicara ini itu yang serba ringan. Sipon mulai bisa santai. Istri Thukul yang semula menolak keras untuk terlibat dalam pembuatan film dokumenter ini kini bisa tersenyum. Sesekali Sipon mengusap kepala si bungsu Fajar Merah yang rautnya amat mirip dengan Thukul.

Jari-jari Tinuk membenahi mike yang disematkan di baju Sipon. Tinuk mengangguk, ia sudah siap. Saya menaruh telunjuk di bibir, memberi kode kepada anak-anak Kampung Kalangan yang berjejal di daun pintu dan jendela agar tenang. Dawn siap di belakang lensa.

“Okay, Tinuk. You may start,” Dawn memberi tanda, jemari menekan tombol record. Tangan saya berakrobat seputar ring lensa kamera, mengakali cahaya yang masuk lensa agar imaji yang tertangkap tidak berkilau (glare). Maklum film dokumenter ini mengandalkan pencahaan alami matahari yang datang dari arah belakang lewat etalase ruang jahit Sipon. Berlatar belakang benang dan tekstil beraneka warna, Sipon duduk. Ia mulai bicara tentang dirinya, anak-anaknya, dan suaminya. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dari mulut Tinuk, Sipon menjawab dengan tenang. Wawancara berjalan lancar. Sipon perempuan yang tangguh, nyaris tanpa kesulitan ia tumpahkan semua kenangan tentang pria yang menghiasi hidupnya bertahun-tahun.

Akhirnya Tinuk sampai pada titik yang tak bisa lagi ia hindari. Tinuk tak sanggup mengelak, ia pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah mati. Dimanakah Thukul berada sekarang? Apakah Thukul masih hidup? Atau sudah matikah ia? Kalau ya, dimana jasadnya dikuburkan? Sipon mendadak gagap, ia terbata-bata. Kerongkongannya seperti tersekat, ia tiba-tiba sulit mengungkapkan penolakannya melawan kepasrahan. Patah patah Sipon menuturkan mimpinya untuk kembali mempunyai keluarga yang utuh.

“Mbak Sipon, apakah Thukul suami yang baik?” Tinuk bertanya, sangat perlahan.

Sipon terhenyak, ia terdiam.

“Ya,” tandasnya tegas beberapa saat kemudian.

“Dan saya sangat ingin ia kembali.”

Dari sudut mata Sipon, keluar bulir-bulir air hangat bermuatan rindu. Bendungan hati Sipon itu jebol sudah. Tinuk terdiam. Semua senyap. Tak lagi perduli citra saya tertangkap kamera, saya maju dan meraih jemari Sipon. Dawn mematikan kameranya.

Kami berempat –Dyah Sujirah, Tinuk Yampolsky, Dawn Buie, dan saya sendiri– menangis bersama. *

kembali keatas

by:Gita Widya Laksmini