Wartawan Bodrex

Muh. Fatah Yasin

Mon, 4 June 2001

PASUKAN Bodrex, majuuuu jalaan! Pasukan Bodrex datang menyelesaikan masalah: sakit kepala.

PASUKAN Bodrex, majuuuu jalaan!

Dan sepasukan berseragam maju serentak. Pasukan Bodrex datang menyelesaikan masalah: sakit kepala. Tetapi boleh jadi pembuat iklan di televisi itu akan menyesal kalau tahu ada pasukan bodrex lain yang tidak datang sebagai obat penyelesaian masalah, tapi justru menambah sakit.

Pasukan bodrex yang ini seringkali datang secara bersama-sama. Tentu saja tanpa seragam. Lantas mereka akan bertanya, mencatat, dan…..mendapatkan uang. Inilah pasukan bodrex yang biasa datang dalam forum atau acara yang bisa mendatangkan uang. Di kalangan wartawan, mereka dikenal sebagai wartawan bodrex.

“Terus terang kita nggak ingin buka konflik dengan mereka. Kalau bisa menghindari. Kalau bisa menciptakan suasana aman. Kita juga tidak mau diwawancara soal politik atau yang lainnya selain program-program dan acara hotel," suara Atik Wildan di telepon ketika saya minta kesediaannya diwawancarai soal wartawan. Tiga hari kemudian saya menemui Atik di lobi Hyatt Regency Yogyakarta, sebuah hotel bintang lima di pinggir utara kota.

“Siapa saja yang sudah diwawancara sebelum saya, Mas?“ tanyanya mengawali pembicaraan. Saya jelaskan saya sudah mewawancarai manajer hubungan masyarakat hotel lain, beberapa event organizer, dan biro iklan. “Saya kira dari tabloid. Kita tidak berhubungan dengan tabloid. Tabloid kan senang gosip,” katanya.

Suatu hari dalam bulan Agustus 2000, di hotel Atik diselenggarakan acara peragaan busana. Acara berlangsung lancar. Namun dipertengahan acara beberapa orang datang dan mengambil tempat duduk di depan meja yang disediakan. Layaknya undangan, mereka juga makan minum di tempat itu.

Sesaat acara usai orang-orang tersebut menemui sang disainer untuk minta waktu wawancara. Usai wawancara mereka minta “uang liputan.” Panitia kebingungan. Salah seorang dari panitia menemui Atik dan berkata, "Anda siapin itu tidak buat wartawan? Saya tidak mengundangnya."

Terpaksa Atik turun tangan. Dengan berhati-hati Atik Wildan menjelaskan kepada para wartawan ini bahwa tidak ada uang saku karena memang tidak disiapkan. Atik mengatakan hari itu pihak panitia tidak mengundang wartawan dan tidak ada pertemuan pers.

Atik lupa jumlahnya tapi yang jelas mereka lebih dari lima orang. “Ooh kalau begitu Hyatt mau buka front sama wartawan. Terserah Mbak Atik,” kata Atik menirukan salah satu dari mereka.

"Ngancam sih nggak, tapi mereka agak marah dan gimana gitu ya? Mulanya sih saya takut, tapi saya pikir-pikir mereka akan malu sendiri kalau memberitakan peristiwa itu,” katanya.

Bukan cuma sekali itu Atik mengalami peristiwa semacam. “Sepuluh orang seperti itu mungkin mencemarkan banyak wartawan yang sebenarnya tidak begitu. Seharusnya mereka meningkatkan kualitas menulis, sampai mereka benar-benar mendapatkan satu media yang bisa menghidupi, tanpa melalui apa ya … pemerasan kan itu namanya,” kata Atik.

Saya mau berpamitan setelah wawancara selama sekitar satu jam. Atik Wildan berpesan bahwa apa yang disampaikannya dengan terbuka hendaknya saya tulis dengan hati-hati. Secara pribadi dia tak pernah mempermasalahkan keberadaan wartawan semacam ini. “Kita sudah hidup tenang dan enak seperti ini, kalau bisa don’t start anything yang bisa menimbulkan polemik,“ pesannya.

PASUKAN bodrex juga masalah Shodiq Dicky Rochadi, seorang pejabat hubungan masyarakart Hotel Santika Yogyakarta. Suatu saat pada awal 1999, hotelnya Shodiq mengundang 20 wartawan untuk sebuah pertemuan pers di mana manajemen hotel mengumumkan sebuah prestasi: mendapat sertifikat ISO 2002. "Sebagai rasa syukur Santika memberikan Rp 50 rupiah dalam amplop pada setiap wartawan yang diundang," kata Shodiq. Lima belas amplop ternyata dikembalikan.

Pada saat yang sama datang lima orang tak diundang. "Mereka minta uang pada general manager saya di depan umum. Saya tidak mau berlarut-larut. Saya kasih dari yang dikembalikan wartawan lainnya. Saya sengaja ngasih mereka di depan banyak orang dan mereka tidak malu. Padahal tidak pakai amplop!" kata Shodiq.

Sebulan kemudian dalam suatu pertemuan pers yang lain, mereka datang lagi dan meminta uang kepada Shodiq. "Mas, terus terang untuk peliputan seperti ini saya tidak ada budget untuk transportasi atau fee wartawan. Tapi kalau masnya mau meliput silakan. Kalau beritanya dimuat tolong bawa ke sini, saya kasih fee sebagai imbalan. Bukti tertulisnya untuk laporan ke accounting,” kata Shodiq. Mereka mundur teratur.

Namun mereka tidak kehilangan akal. Mereka memang tidak lagi minta uang langsung ke Shodiq, tetapi memburu panitia acara yang diselenggarakan di Hotel Santika. Shodiq hafal sosok para wartawan ini. “Yang satu orang pakai jilbab, empat lainnya cowok,” katanya.

Meski kesal dengan ulah wartawan macam ini, Shodiq atau Atik Wildan merasa tak bisa berbuat apa-apa. “Njengkeli kok Mas. Tapi mereka kita diamin saja, soalnya kalau dikasih mereka nglunjak. Kalau tidak dibaiki mereka bikin ulah. Kita pura-pura tidak kenal saja,” jelas Shodiq.

Istilah bodrex memang cukup melekat dengan wartawan. Secara bergurau Jarot Subiyanto, ketua Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten Sleman, Yogyakarta, seperti diberitakan Radar Yogya, bahkan memanggil wartawan yang biasa ngepos di tempatnya dengan sebutan bodrex. “Ha … ha … ha … mereka itu saya anggap teman sendiri. Itu dalam konteks guyon. Bahkan mereka menyebut saya bos bodrex,” katanya.

Politisi ini seringkali juga didatangi wartawan bodrex yang sebenarnya. Menurut Jarot wartawan bodrex adalah wartawan yang tidak jelas medianya. “Kalau wartawan bodrex itu, nuwun sewu saya tidak menyebut oknum, kadang-kadang minta bantuan ini, bantuan itu. Padahal wartawan itu sendiri belum pernah muat misalnya tentang diri saya atau Sleman, kok datang, ‘Pak minta ini, minta itu.’ ‘Kontribusimu nggo Sleman ki opo? Wis tau muat Sleman opo piye?’ Saya gituin saja kalau mereka datang,” katanya. Namun Jarot kadang-kadang memberi uang kepada wartawan macam ini. “Kalau sedang ada rezeki sih tidak masalah, saya sering tidak tegaan,” kata Jarot Subiyanto.

Krisis ekonomi yang mulai mendera Indonesia sejak 1997 menjadikan banyak media gulung tikar. Banyak wartawan tidak lagi mempunyai lembaga tempat bekerja. Sementara di sisi lain, kebebasan pers yang didapat sesudah jatuhnya Presiden Soeharto, membuat tiap orang bisa membuat media tanpa halangan politis. Setiap orang bisa menjadi wartawan, atau setidaknya seolah-olah jadi wartawan. Apa sih susahnya membuat kartu pers?

Wartawan bodrex adalah salah satu sebutan bagi wartawan macam ini. Di kalangan wartawan Yogyakarta juga dikenal WTS yang singkatan dari Wartawan Tanpa Suratkabar dan Muntaber kependekan dari Muncul Tanpa Berita. Kemunculan wartawan seperti ini menurut Naning dari harian Suara Pembaruan sangat mengganggu karena mempengaruhi citra wartawan secara umum. “Aku dadi isin, kuatir nek digebyah-uyah,” keluhnya.

Bagus Kurniawan, wartawan situs berita detikcom punya pengalaman lain. Ketika dia datang untuk meliput suatu seminar, namanya sudah ada dalam daftar wartawan yang hadir. Di dalam daftar hadir wartawan tertulis nama Bagus. Pada kolom tempat menulis asal lembaga hanya ditulis “Yogya” bukan detikcom. “Akhirnya saya tunggu di meja panitia tempat wartawan mengambil amplop. Ternyata tidak ada yang mengambil amplop atas nama saya. Tetapi saya lihat ada kelompok-kelompok yang sering beroperasi di hotel-hotel. Mereka tidak berani mendekat ke meja,” kata Bagus.

Lembaga Bagus juga pernah digunakan saat peluncuran sebuah perusahaan asuransi. Dalam daftar hadir tertulis detikcom dengan nama reporter Suroto. Tidak ada wartawan detikcom Yogyakarta yang bernama Suroto. “Suroto kan nama jalan di depan kantor saya?” ujar Bagus.

Pengalaman serupa dialami Israr Ardiansyah, koresponden harian The Jakarta Post di Yogyakarta. Israr pernah ditolak minta wawancara dengan sebuah asosiasi pengusaha komputer Indonesia yang bikin pertemuan di sebuah hotel berbintang Yogyakarta. Panitia menolak dengan alasan sudah ada jumpa pers. Padahal ia tak melihat satu suratkabar pun memuat pertemuan tersebut. Israr kemudian mendapatkan informasi dari sesama reporter bahwa malam sebelumnya pihak panitia telah “digorok” bodrex. “Kasus yang saya alami ini mengganggu kerja profesi saya. Saya datang benar-benar mau meminta informasi, tetapi ditolak,” tambahnya.

Israr tetap menjaga hubungan baik dengan wartawan tukang gorok ini. Menurutnya kesalahan tidak bisa sepenuhnya ditimpakan pada mereka. Mbodrex, menurut Israr Ardiansyah, bisa dilakukan siapa saja, tergabung dalam organisasi mana saja. Cerita tentang wartawan bodrex terkait erat dengan ketidakmampuan atau ketidakmauan penerbit untuk menggaji wartawannya secara layak.

Siapa pun bisa melakukan ini, juga tidak tergantung dari organisasi wartawan si bodrex berasal. “Jangan anggap itu hanya dilakukan oleh KJI,” kata Israr, menyebut salah satu organisasi wartawan yang bagi banyak wartawan lain dianggap organisasi pasukan bodrex.

KJI adalah kependekan dari Komunitas Jurnalis Indonesia yang berada di Yogyakarta. “Banyak pemain-pemain bebas non-KJI. Siapa saja bisa melakukannya. Termasuk ke dalam bodrex sebenarnya adalah orang yang menunggangi kegiatan jurnalisme dengan kepentingan-kepentingan lainnya,” kata Israr.

RUWATAN Sukerto adalah upacara tradisional Jawa untuk syarat menghindar dari malapetaka bagi mereka yang dilahirkan ke dunia dengan bawaan sial atau suratan nasib sial. Hotel Ambarukmo baru-baru ini mengadakan Ruwatan Sukerto. Hari Minggu itulah saat yang dijanjikan Argo Pratomonugroho, ketua Komunitas Jurnalis Indonesia, untuk bertemu dengan saya. Dua jam sebelumnya saya menelepon rumahnya minta waktu untuk wawancara soal KJI dan profesi wartawan.

“Nanti kita ketemu Ambarukmo saja, di pendopo, jam sebelas seperempat,” katanya di telepon.

“Ada acara apa Mas?”

“Kan ada Ruwatan Sukerto. Nanti saya ke sana,” jawabnya.

Saat saya datang ke Hotel Ambarukmo, Argo Pratomonugroho sedang melakukan wawancara dengan seseorang, yang saya duga, anggota panitia ruwatan. Argo ditemani seorang perempuan berjilbab. Saya memperkenalkan diri. “Oh, yang telepon tadi ya?” katanya ramah.

Saya mempersilakannya meneruskan wawancara, “Saya nanti aja Mas, setelah ngobrolnya selesai.”

Menunggu sebentar dia mengajak saya menuju lobi hotel. Temannya masih bicara dengan si panitia.

“Saya sangat prihatin melihat kehidupan wartawan, terutama setelah melihat dunia luar. Saya pernah tinggal di Amerika dan Jepang dalam dalam tempo yang agak lama. Ternyata kehidupan jurnalis di sana sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Indonesia dalam segala hal selalu tidak beruntung nasibnya, dan tidak sejahtera dalam arti lahir dan batin,” katanya menjawab pertanyaan saya mengapa dia mendirikan KJI.

“Saya terus-terang menghimpun teman-teman dari media yang tidak besar, yang saya namakan koran gurem, yah mungkin tabloid, mungkin umurnya cuma satu kali terbit setelah itu gulung tikar, tapi dia masih punya semangat yang tinggi untuk jadi wartawan,” katanya.

“Gurem itu juga boleh hidup. Kita tidak bisa bayangkan kalau di dunia ini tidak ada gurem. Saya pikir di tubuh seekor gajah atau macan kalau tidak ada gurem mungkin jadi lain, tumbuh penyakit macam-macam,“ ujar Argo.

“Wartawan itu kan pekerjaannya bikin berita. Kalau sekarang mengetik di komputer kemudian saya tidak bisa beli disket atau beli kertas atau tinta itu kan saya berpikir bagaimana caranya agar saya bisa beli tinta. Atau bagaimana saya bisa sampai di Amabrukmo dengan selamat, kalau bisa dengan cepat, mengingat persaingan yang semakin tajam. Semua memang tidak semudah yang dikatakan,” kata Argo Pratomonugroho.

KJI saat ini beranggotakan 157 orang di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sebentar lagi Argo akan melantik perwakilan Semarang dan Banyumas. “Kita lagi konsolidasi ke dalam. Lima tahun mendatang kita ingin memperkuat rumah tangga dulu,” katanya.

“Anda pernah dengar sebutan wartawan bodrex?” tanya saya.

“Istilah itu kan muncul dari iklan bodrex di TV zaman dulu, yaitu datang menyerang dan menang. Di tahun 1970-an, 1980-an, sebutan itu mulai populer. Sekarang saya ingin mengandaikan saya politikus partai tertentu, tetapi tidak aktif lagi, apakah saya disebut bukan lagi orang politik? Sampai mati saya disebut orang politik.”

“Sama saja dengan wartawan. Kalau saya sebagai wartawan kemudian tidak punya media selama dua atau tiga bulan, tetapi setelah itu saya punya lagi. Selama saya tidak punya media apakah saya bukan wartawan?”

“Seharusnya dia tetap wartawan sejauh dia punya komitmen tetap sebagai wartawan. Sekarang kita nggak jauh-jauh. Rosihan Anwar, misalnya, apakah dia punya media? tetapi dia tetap dicap sebagai wartawan senior,” katanya, mengacu pada seorang wartawan tua, mantan editor harian Pedoman, yang tinggal di Jakarta.

Argo Pratomonugroho tidak mau dirinya disebut sebagai wartawan bodrex. Ia pernah punya pengalaman membersihkan wartawan bodrex ketika jadi wartawan harian Angkatan Bersenjata. Waktu itu komandan Komando Distrik Militer Yogyakarta, Sri Roso Sudarmo, meragukan status Argo sebagai wartawan. “Waktu itu dia lebih percaya kepada seseorang yang mengaku sebagai wartawan harian Angkatan Bersenjata, padahal bukan. Jelas itu wartawan bodrex. Sekarang dia sudah almarhum,” katanya.

“Saya menjadi wartawan selama 15 tahun, separuh waktu saya gunakan untuk memberantas wartawan bodrex. Kalau sekarang saya dituduh waratwan bodrex ya tolong dibuktikan. Saya punya media yang jelas. Yogya Ekspo jelas saya pemimpin redaksinya. Saya juga sebagai redaktur Info Kita Solo,” ujarya.

Argo memberi saya tiga eksemplar Yogya Ekspo, nawala dengan isu utama kesenian dan eknonomi. Ketiganya menampilkan seniman lukis pada halaman mukanya. Sementara di halaman dalam diisi berita pameran lukisan, kegiatan bisnis seperti berita pembukaan rumah makan, pembukaan pertokoan, dan sebagainya. Saya jadi teringat model penulisan advertorial.

Dari ketiga edisi yang terbit sejak Januari 2001, beberapa nara sumber dimuat dua kali. Paranormal Bambang Yuwono misalnya dimuat pada edisi kedua dan ketiga, atau model cilik Belinda Wahyu Christina di muat dalam edisi pertama dan ketiga.

Edisi pertama Yogya Ekspo ditulis Januari 2001, sementara edisi kedua dan ketiga tidak dicantumkan nama bulan. Tentang ketidakjelasan masa terbit ini Argo menjelaskan penerbitannya memang dibuat dengan urunan. “Meski tertaih-tatih, tetap bisa terbit. Kita berusaha serealistis mungkin,” katanya.

“Membuat penerbitan sendiri itu kan salah satu usaha untuk membuktikan kita itu wartawan, bukan calo. Kita bisa saja bikin acara pameran terus utnung banyak. Apa itu bukan calo?” Argo memberikan alasan diterbitkannya Yogya Ekspo.

Argo mengeluh tentang apa yang disebutnya sebagai upaya menghancurkan dirinya, secara perorangan, kewartawanan, maupun organisasi. “Ada banyak narasumber yang dipengaruhi agar kita tidak bisa masuk. Pengaruh-mempengaruhi nara sumber itu sudah banyak terjadi. Kita tidak berusaha untuk menjelek-jelekan, tapi kita tidak mau itu terjadi. Karena yang menerima amplop bukan hanya KJI, tapi yang dari AJI dan PWI pun ada,” katanya.

AJI singkatan dari Aliansi Jurnalis Independen dan PWI singkatan Persatuan Wartawan Indonesia. Keduanya adalah dua organisasi besar para wartawan di negeri ini masing-masing didirikan pada 1994 dan 1946.

Amplop bagi seorang wartawan menurut Argo Pratomonugroho adalah bahasa simbol. “Amplop bisa dalam bentuk uang, tiket pesawat, bantuan dari NGO (nongovernmental organization), bisa dalam bentuk lukisan, atau dalam bentuk transpor dari sini ke Surabaya atau ke Solo. Sebetulnya kalau kita mau jujur, semuanya itu tersangkut di sana,” katanya.

Pada saat itu teman Argo yang tadinya datang bergabung duduk di kursi lobi. Dia langsung ikut dalam pembicaraan.

“Orang menerima amplop sebetulnya kan ditabukan oleh wartawan sendiri. Tapi banyak yang pura-pura tidak menerima. Bahkan kadang-kadang dia teriak saya tidak terima, padahal dia terima. Ya kasarannya maling teriak maling,” kata Argo Pratomonugroho seraya minta maaf karena merasa emosional.

Teman Argo ini, bernama Oktiva Anggraini, menimpali dengan cerita praktek kotor yang dilakukan oleh sebuah suratkabar Yogyakarta. Sambil memegang koran itu dia berkata, “Dalam prakteknya koran macam ini juga menjalankan hal yang sama. Reporter mendapat uang dari humas Rp 10 ribu untuk uang jalan hari ini. Begitu di muat, dia dapat dari korannya,. Kemudian dengan menukarkan ini (ke humas yang menjadi nara sumber), dia dapat lagi. Ini praktek yang jalan. Terus supaya berita ini masuk ke halaman ini, mesti setor ke redaksinya. Ini satu lingkaran yang dialami banyak orang.“

“Jadi bukan hanya media kecil yang melakukan praktek semacam itu. Di media besar saja prakteknya seperti itu. Redaktur yang duduk-duduk manis jaaauuuuuh lebih besar penerimaannya. Seharusnya Anda bertanya berapa yang didapat redaktur?" katanya.

Berapa jumlah yang diterima tiap bulannya? “Itu tergantung wartawannya, dan itu sangat relatif sekali. Misalnya kalau saya dalam satu hari bisa liput satu event, yang lain bisa tujuh atau sepuluh. Itu kan sangat tergantung sekali dari mobilitas seseorang. Kalau tidur di rumah dan tidak meliput saya tidak dapat. Saya pikir itu sangat pribadi sekali. Saya tidak ingin pernyataan saya diplintir, saya tidak ingin jadi gajah, saya cuma ingin jadi gurem,” katanya.

Berapa jumlah yang diterima dalam satu liputan? “Kalau yang paling kecil ya nol, paling besar tak terbatas,” ujar Argo.

“Motto kami adalah menegakkan moral mengutamakan kesejahteraan. Kita ingin wartawan, terutama anggota KJI, dalam arti luas tidak terpuruk. Kami tetap memegang kaidah-kaidah moral yang berlaku dalam masyarakat. Memfitnah, membuat berita bohong, itu kan tidak bermoral. Apalagi mengaku-aku media lain. Anggota kami tidak ada yang bernama Titik dan mengaku-aku wartawan Jawa Pos. Anggota kami tidak ada yang bernama Titik. Itu kan sangat fiktif sekali,” kata Argo.

Argo mengatakan bahwa ada sebuah terbitan AJI yang menulis bahwa ada anggota KJI mengaku-aku wartawan Jawa Pos.

Anggota KJI tidak ada yang mengaku-aku begitu?“ tanya saya.

“Sejauh ini Pantauan saya nggak pernah. Memang pernah. tapi sudah kita tegur dan kita beri sanksi.“

“Sanksinya apa?”

“Pengunduran diri. “

Saya kemudian menanyakan soal anggota KJI yang mengancam nara sumber untuk mendapatkan amplop.

“Saya pernah dengar kasus seperti itu. Itu kan yang diberitakan Solopos, Bernas, sama Jawa Pos. Terus terang, banyak yang menyudutkan seolah dia anggota KJI. Bukan anggota KJI dia. Dia belum pernah mengisi formulir, “

“Kenal secara personal?” tanya saya lagi.

“Secara personal kita kenal. Kita tuh dengan siapa saja baik Mas. Dengan penjahat dan pejabat pun kita membangun komunikasi yang baik.”

“Memang kita lihat di lapangan, Rustinah itu banyak dialergikan wartawan baik AJI maupun PWI. Dia lalu dalam kesendirian. Kalau memang ingin ngomong, ya kita jawab dengan baik,. Persoalan komunikasi antar manusia, apalagi dalam satu profesi. Masa saya melihat dia punya perilaku yang baik atau jelek lantas kita nggak mau bicara dengan dia? Kan naif sekali itu,” kata Argo.

“Sebenarnya kita juga nggak sreg terhadap tuduhan itu. Kalau kita terlalu sibuk ngurusin yang begitu, banyak isu strategis lain yang nggak bisa kita jangkau,” kata Oktiva.

PADA Desember 2000, Solopos, Bernas, dan Radar Yogya (sisipan harian Jawa Pos) memberitakan sebuah kasus permintaan uang secara paksa yang dilakukan sepasang suami istri. Bernas pada 21 Desember 2000 melaporkan, "Karena tidak kebagian angpao, sepasang suami istri yang mengaku-aku sebagai wartawan mangancam akan menculik anak seorang staf Humas salah satu perguruan tinggai swasta (PTS) di Yogya. Ancaman menculik tersebut disampaikan beberapa waktu yang lalu setelah sepasang suami istri itu ditolak oleh petugas PTS tersebut.”

Solopos menulis, “Karena permintaan ditolak, dia malah mengancam akan menulis tentang PTS itu yang jelek-jelek agar nantinya PTS itu tidak mendapatkan mahasiswa baru. Dia juga mengancam akan merusak acara itu dengan naik ke podium dan membubarkan acara. Perempuan itu mengancam akan menculik Humas PTS itu jika tidak diberi uang. Karena takut akhirnya Humas tersebut memberi dia uang.”

Saya mendatangi kantor hubungan masyarakat (humas) Intitut Sains dan Teknologi Akprind di lantai dua perguruan tinggi tersebut. Retno Isniwayanti, kepala humas, mengatakan dia tidak tahu persis kejadiannya, sementara orang yang mengalaminya tidak ada ditempat.

"Masalahnya sudah selesai. Itu kan sudah lama sekali. Lebih baik cari masalah lain yang lebih urgen,” kata Retno Isniwayanti.

"Kalau mau tanya, silakan ke UGM saja Mas, karena dia kan wartawan UGM,” katanya.

"Memang UGM punya wartawan?” tanya saya. Saya tahu bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) tak punya wartawan kecuali dari bagian hubungan masyarakat yang hanya meliput acara-acara internal UGM.

“Tidak tahu, tapi itu sekarang menjadi urusannya UGM. Waktu itu dia juga punya kartu nama,” katanya.

Retno Isniwayanti menekankan ketakinginannya bicara banyak soal itu, "Masalahnya sudah kami anggap selesai, lagi pula kami sudah memberi.”

"Jadi ibu memberi uang padanya?"

"Ya, seperti wartawan yang lain,” jawabnya singkat.

PAGI 24 April 2001 saya mencari rumah Rustinah di daerah Sagan, Yogyakarta. Berdasarkan keterangan Argo Pratomonugroho, rumah Rustinah berada di depan Lembaga Indonesia Perancis, dua rumah sebelah bekas kantor biro harian Pikiran Rakyat. Rumah-rumah di sekitar situ sepi. Tidak ada orang di depan rumah yang bisa ditanya. Di depan sebuah rumah terlihat seorang ibu 60-an tahun, menyapu halaman. Saya bertanya, apakah dia tahu rumah Rustinah. "Ya, ini rumah Rustinah. Anda siapa?"

"Saya mau bertemu dengan Ibu Rustinah. Saya wartawan, mau wawancara," jawab saya.

"Saya ibunya, sebentar saya lihat ke dalam." Ibu itu menuju ke samping rumah.

"Sudah ke kampus. " Saya pun berpamitan.

Sore harinya, sekitar pukul 17.30 saya datang lagi ke rumah itu. Seorang laki-laki 30-an tahun menemui saya. Dia mengenakan sarung. Saya memperkenalkan nama saya dan keperluan saya.

"Wawancara soal apa Mas?" tanyanya.

"Sekitar profesi kewartawanan,” jawab saya.

“Sebentar, orangnya masih di kamar mandi. Silakan tunggu sebentar." Saya dipersilakannya masuk.

"Masnya yang di Berpolitik.com ya?" tanyanya mempersilakan duduk.

“Iya, saya memang bekerja di sana, tapi sekarang saya sedang menulis untuk Pantau,” jawab saya. Kemudian dia berpamitan sebentar untuk menunaikan sholat.

Rustinah datang dari ruang tengah. "Gimana, ada apa?"

Saya langsung menanyakan kebenaran berita yang ditulis oleh tiga suratkabar itu mengenai sepasang suami-istri melakukan pemerasan di Ins.

“Saya tidak mau berkomentar soal itu. Kalau Anda mengenal saya, Anda pasti tidak akan tega menuduh seperti itu,” katanya.

“Saya tidak sedang menuduh Anda. Justru saya sedang berusaha melakukan konfirmasi kepada Anda, apakah benar atau salah yang ditulis oleh Solopos, Bernas, dan Radar Yogya?”

“Saya tidak akan menjawab. Saya orangnya sangat berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Kepada mahasiswa saya juga sayang. Saya tidak tega memberikan nilai jelek. Berapa yang nilainya saya katrol? Kalau tidak salah Anda masih mahasiswa,” katanya.

“Anda termasuk yang saya laporkan kepada polisi, karena komentar Anda mencemarkan nama baik saya,” katanya.

Saya terkesiap, agak bingung. Dalam laporan Solopos 21 Desember 2000, Syifaul, wartawan Solopos, memang mengutip tanggapan saya seputar kasus ini. Solopos melaporkan, “Wartawan Berpolitik.com Muh Fatah Yasin menyesalkan aksi oknum dosen yang mengaku wartawan tersebut. Jika wartawati itu melakukan tindak pemaksaan dan ancaman, kata dia, bisa saja dia dilaporkan kepada aparat keamanan.”

Rustinah menambahkan rektor UGM Ichlasul Amal juga dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan mencemarkan nama baiknya. Amal diadukan ke polisi karena keterangan yang diberikannya di Mandiri Online.

“Amal juga mengatakan ada kemungkinan pihaknya untuk meminta kepada pihak PTS yang telah diancam untuk memberi kesaksian kepada UGM sehingga pihaknya bisa menentukan tindakan sanksi yang tepat.Bahkan jika ada pihak lain yang juga merasa diperas oleh oknum UGM yang mengaku wartawan ini diminta untuk sekedar memberi surat pernyataan bahwa dirinya pernah diperas sehingga UGM mempunyai bukti yang kuat untuk menindak mereka,” demikian Mandiri Online edisi 23 Desember 2000.

Rahmanto, suami Rustinah, yang tadi memakai sarung, lebih banyak diam, mengatakan bahwa para wartawan yang menuliskan berita pemerasan itu tidak pernah melakukan konfirmasi dengan diri atau istrinya.

Saya membela diri dengan menerangkan saya ingin mendapatkan jawaban darinya menanggapi berita tentang Intitut Sains dan Teknologi Akprind itu. “Saya mau konfirmasi, apakah Anda bersedia menjawab. Tidak mungkin saya menulis hanya berdasarkan laporan sepihak, makanya saya datang ke sini. Saya mau menerapkan kaidah jurnalisme yang benar dengan menanyakan pada Anda.”

“Saya tidak akan menjawab. Saya kasihan kepada Anda kalau sampai terjadi kesalahan tulis. Itu akan memberatkan kasus Anda di depan polisi, “ kata Rustinah, mengacu pada omongan saya yang dipakai Solopos.

“Saya berusaha akan menulis dan menjadi wartawan sebaik mungkin, saya tidak akan salah kutip atau salah tulis. Kalau hasilnya kemudian memberatkan, bagi saya itu adalah risiko profesi,“ jawab saya.

“Beberapa media sudah mencoba untuk memberi kesempatan kepada saya agar memberikan hak jawabnya, tetapi saya tidak mau, itu sudah menjadi urusan polisi.

Saya sudah laporkan kasus ini kepada polisi. Dan ini prosesnya cepat, baru tiga bulan sudah diangkat.“

“Jadi kapan saya bisa mulai mengutip pernyataan Anda tentang tuduhan ini Anda?”

“Tidak usah, saya tidak mau menjawab.”

Rustinah mengatakan ia mempunyai banyak kartu nama wartawan. Dia juga kurang senang suaminya dituduh wartawan gadungan. “Dia ini wartawan tabloid Demokrat milik PDI-P. Kalau saya ceritakan ini pada orang-orang PDI-P, apakah mereka tidak tersinggung dituduh wartawannya dituduh wartawan gadungan? Yang marah bukan suami saya, tapi orang lain. Anda tahu bagaimana PDI-P?“

Rahmanto, suaminya hanya sekali-kali menimpali kata-kata istrinya. Beberapa kali dia bertanya soal keberadaan saya sebagai wartawan . Dia juga bertanya berapa lama saya bekerja di majalah Pantau. Ia juga membaca masthead Pantau. Sambil mengembalikan majalah Pantau yang saya tunjukkan kepadanya, dia bertanya. “Ini Atmakusumah yang dari Dewan Pers itu ya?”

Saya tidak tahu kalau ada nama Atmakusumah Astraatmadja dalam kepengurusan Pantau. Saya menjawab terus-terang, “Waduh tidak tahu Mas, sebentar saya lihat. “ Sesaat saya memeriksa boks pengurus Pantau. Eh, ternyata memang ada. “Benar Mas, dia yang juga di Lembaga Pers Dr Soetomo,” kata saya.

“Anda kok sampai tidak tahu nama atasan Anda?“ Rustinah bertanya.

“Saya di Pantau sebagai kontributor. Tugas dan urusan saya dengan pemimpin redaksi, redpel dan berita. Saya mau buat berita berkonsultasi dengan redpel selesai. Dalam hal ini saya tidak berurusan dengan Atmakusumah,” jawab saya agak defensif. Tetapi dalam hati saya memang mengatakan, kalau tidak ada kasus-kasus penting yang menyangkut kebijakan redaksional Pantau atau kebijakan lainnya yang sangat penting, saya toh tidak akan pernah berhubungan dengan Astraatmadja secara langsung. Saya mungkin akan berhubungan dengannya, tetapi di luar konteks ke-Pantau-an.

Rustinah tampaknya terpengaruh dengan jawaban saya. "Sekarang saya tahu siapa Anda, Anda ternyata arogan sekali. Anda masih mahasiswa, bagaimana kalau Anda saya ajak ke pimpinan fakultas Anda, terus di depannya Anda katakan Anda tidak mengenalnya. Apakah Anda berani? Tidak usah dijawab!"

Dalam hati saya bertanya, hubungannya apa persoalan ini dengan status saya sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan pemimpin di fakultas. Tetapi saya diam saja.

Saya lupa bagaimana berawal, tiba-tiba Rustinah memuji sikap duduk saya dan mencela mata saya. “Duduk Anda sudah bagus dan sopan, tetapi mata Anda itu menantang," katanya.

Saya berpikir keras, “Apa yang salah dengan mata saya?” Saya memang selalu memperhatikan dan memandang mukanya saat berbicara. Saya baru ingat bahwa kalau diajak bicara oleh orang yang lebih tua dalam tata krama Jawa kita tak boleh menatap langsung lawan bicara. "Saya mesti bagaimana? Bagaimana seharusnya mata saya?“ tanya saya.

"Mata Anda itu menantang,” ulang Rustinah, tanpa menjelaskan bagaimana seharusnya menurut dia.

Saya lupa lagi istilah yang dipakainya, tetapi dia menyatakan kalau sesuatu terjadi dan mata saya rusak sebelah misalnya, "Mungkin kamu bisa tuntut saya, tapi matamu tidak bisa kembali lagi. Siapa yang rugi?" katanya.

“Saya memang perempuan, tapi sejak kecil belajar bela diri. Satpam saya pegang kerahnya. Apalagi Anda? Kalau Anda menganggap saya berani karena ini rumah saya, di luar juga saya berani.”

“Setelah Anda menjawab bahwa Anda tidak peduli dengan atasan Anda, sekarang saya lebih tahu Anda. Anda masih muda, sebaiknya berhati-hati dalam bertindak. Tanpa sengaja atau sengaja, Anda bisa menyinggung orang lain. Seperti tadi Anda bilang tidak berniat mencemarkan nama baik saya, tetapi komentar Anda itu mencemarkan, sudah membuat saya kerepotan,“ katanya.

Tapi ketegangan sedikit leleh ketika dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah cukup tua, barangkali 60-an tahun masuk ke rumah, setelah mengucap salam. “Wartawan diwawancarai wartawan?” katanya. “Yo apik,” komentar si laki-laki sambil tersenyum, melangkah masuk ke ruang tengah.

“Mereka keluarga saya, mereka akan sangat malu kalau membaca berita itu dan membaca komentar Anda. Beruntung jantung saya kuat. Kalau tidak bagaimana Anda meminta maaf pada Rustinah?” katanya sambil menambahkan bahwa Syifaul, wartawan Solopos, telah meminta maaf kepadanya.

“Orang yang sakit hati bisa berbuat apa saja. Anda bisa saja tiba-tiba celaka ketika ada di jalanan. Bisa saja bukan saya yang berbuat langsung kepada Anda. Kalau sampai Anda seperti Udin yang rugi siapa? Anda tidak bisa bilang itu resiko profesi. Anda punya orang tua atau keluarga yang lain?” katanya, menyebut menyebut nama panggilan Moh Syafruddin, wartawan Bernas yang mati dibunuh pada Agustus 1996, dan banyak diduga pembunuhannya terkait dengan Sri Roso Sudarmo, mantan komandan militer Yogyakarta, yang belakangan jadi bupati Bantul.

“Anda orang Jawa Timur pasti tahu yang namanya ilmu, ada hitam ada putih. Saya bisa yang mana saja. Tanyakan pada orang yang ngerti, ‘Bagaimana Rustinah?’” katanya.

Saya hanya diam saja sepanjang seperempat jam terakhir. Ada rasa takut berhadapan dengan Rustinah. Saya biarkan dia mengulang-ulang apa yang dibicarakannya. Nampaknya dia menikmati ketakutan saya.

Rustinah menanyakan apakah saya mendapat lebih dari satu eksemplar Pantau untuk setiap edisi. Saya menjawab tergantung berapa banyak nara sumber yang saya wawancarai dalam satu edisi. Setiap nara sumber mendapatkan majalah Pantau. “Saya menanyakan kepada apakah Anda mendapat lebih dari satu eksemplar? Kalau lebih dari satu, saya minta satu, itupun kalau boleh. Dalam bertutur pun saya sangat berhati-hati kan?” katanya.

Saya menjanjikan akan memberikan kepadanya satu eksemplar Pantau setelah dikirim dari Jakarta. Rustinah mengucapkan terimakasih atas janji saya untuk mengirimkan Pantau kepadanya. “Kalau saya tidak ada dititipkan pada yang ada di rumah,” katanya.

Jam di atas pintu menunjukkan menjelang pukul 19.00. Jeda kata-kata saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk minta diri. Rahmanto yang mengantar saya sampai ke pintu pagar. Saya lebih dulu membuka pintu gerbang dan mohon pamit sekali lagi. Sebelum saya melewati pintu Rahmanto berkata lirih,” Sesama Muslim itu kan bersaudara?“ Saya diam saja.

Saat akan menstarter sepeda motor, Rahmanto menanyakan apakah saya menulis untuk Pantau setiap bulan. Saya menjawab tidak setiap edisi saya menulis. Saya pamit dan mengucapkan terimakasih.

“OH, saya melakukan konfirmasi. Dua kali malah. Saya juga tidak akan nulis kalau tidak ada data,” kata wartawan Solopos Syaiful ketika saya menanyakan padanya apakah dia mewawancara Rustinah atau tidak sebelum menulis berita yang bikin saya repot itu.

Menurut Syaiful, Rustinah membantah melakukan itu. “Masa sih saya yang lemah lembut begini melakukan hal seperti itu. Syaiful kan juga tahu saya?” kata Syaiful menirukan Rustinah.

Syaiful kemudian menanyakan profesi Rustinah, “Mbak Rustinah kan bukan wartawan. Mengapa ke mana-mana ikut liputan? “ Dijawab oleh Rustinah bahwa ketika di lapangan dirinya bertindak selaku manajer bagi Rahmanto, suaminya. Sementara ketika mengajar di kampus Rahmanto adalah asistennya.

Syaiful sudah tahu dirinya dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. ”Silakan, malah bagus. Justru nanti akan melebar ke wartawan bodrex lain. Masih banyak kelompok-kelompok lain yang perlu mendapat perhatian petugas, juga perhatian masyarakat. Jangan takut untuk melapor karena itu adalah pemerasan,” kata Syaiful.*

kembali keatas

by:Muh. Fatah Yasin