Dramatisasi Asumsi Istighotsah

Agus Sudibyo

Mon, 4 June 2001

SEPANJANG paruh kedua April 2001, wajah layar televisi Indonesia kian berwarna merah – jika warna yang identik dengan warna darah ini bisa dijadikan sebagai simbol kekerasan

SEPANJANG paruh kedua April 2001, wajah layar televisi Indonesia kian berwarna merah – jika warna yang identik dengan warna darah ini bisa dijadikan sebagai simbol kekerasan. Setelah sebelumnya aroma darah meruap dalam sejumlah film seri, baik impor maupun produksi lokal, dan semuanya merupakan kisah fiktif, belakang hari aroma kekerasan itu justru dikesankan faktual. Peristiwa faktual nonfisik itu antara lain: tubuh yang kebal dari sabetan kelewang atau badik, atau badan nan tak hancur oleh lindasan truk, serta orang-orang yang tertawa bangga ketika sebuah mercon sebesar pohon kelapa meledak di tangannya tanpa sedikit pun cedera.

Ada juga segerombolan anak muda bermuka beringas dan coreng-moreng di sekujur tubuhnya merayap, mengendap, dan berguling di semak-semak perbukitan – persis seperti pasukan tempur hendak menyergap musuh.

Memang, semua adegan itu bukanlah hasil rekaan para awak redaksi tayangan informasi televisi. Bahwa sekelompok massa Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur sedang murka terhadap elit politik yang dianggap berusaha menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid, kiai atau peminpin tradisional umat NU, juga bukanlah sebuah rekaan pemberitaan.

Kemarahan umat ini digambarkan pemberitaan televisi melakukan penggalangan dan bergabung, kemudian melatih diri secara intensif bak menyambut peperangan; dan pasukan berani mati pun dibentuk. Targetnya jelas: pelaksanaan istighotsah kubro NU, 29 April, dan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, 30 April 2001.

Setidaknya, macam itulah yang diwartakan media televisi. Namun, benarkah kekerasan itu kemudian terjadi di Jakarta? Kelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai “warga Betawi” atau “tuan rumah” yang katanya bakal menerima tamunya (baca: pelaku istighotsah) dengan baik asal tidak ada laku anarkhistik, atau kalimat “Ente jual, ane beli” dalam spanduk yang dipasang di segenap jalanan Jakarta, semuanya menyuratkan makna: bakal terjadi kekerasan dan bentrok massa gara-gara berdatangannya kaum nahdliyin yang hendak ber-istighotsah itu.

Ternyata, pada saatnya tiba, 29 April, massa pro-Gus Dur itu justru menunjukkan sikap tertib, santun, dan bisa dikatakan minim ekspresi kekerasan. Di luar prediksi, istighotsah berlangsung damai dan mulus; begitu juga dengan Sidang Paripurna. “Bahkan kemarin mungkin malah menjadi hari yang paling aman dan nyaman di Jakarta sejak tahun 2001 ini,” tulis editorial harian Media Indonesia (30 April 2001) menggambarkan situasi saat istighotsah berlangung.

Pertanyaannya kemudian: apakah perkembangan terakhir perilaku aman damai massa itu juga mendapat perhatian media, setelah sebelumnya sebagian besar media menggambarkan kemungkinan wajah suram karena aroma kekerasan itu? Apakah media secara proporsional juga menampilkan cerita tentang sukses penyelenggaraan istighotsah?

Bagaimana fakta lapangan berkait dengan istighotsah itu ditampilkan menjadi fakta media, terutama enam media televisi di Indonesia?

Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) secara kontinyu memberitakan perkembangan massa pro Gus Dur. Kedatangan rombongan peserta istighotsah dari Jawa Timur di Stasiun Senen, Jakarta, diberitakan berjalan tertib, tanpa insiden. RCTI sempat mewawancarai Kepala Stasiun Senen, Besar Susmiarso. “Kami melihat mereka itu rombongan yang baik, rombongan yang terdaftar. Tidak ada masalah, karcis telah dibayar, ada ketua rombongan, jumlah rombongan juga telah ditentukan,” kata Susmiarso. Sweeping aparat keamanan tidak menemukan senjata tajam pada diri peserta istighotsah.

Dalam tayangan Seputar Indonesia (28 April) bahkan wawancana yang tampak sudah sejak awal dibayang-bayangi suatru asumsi. Contohnya ketika mewawancarai Syifaul Zaman, peserta istighotsah asal Pacitan, Jawa Timur, reporter RCTI bertanya: apakah untuk datang ke Jakarta, peserta tersebut harus menjual kambing dan sapi. Apa relevansinya pertanyaan ini?

Tampaknya, ini merupakan pertanyaan stereotipis, yang menggeneralisasi warga NU sebagai orang desa yang miskin, hingga untuk pergi ke Jakarta merupakan hal yang sangat memberatkan.

Stasiun televisi komersial pertama di Indonesia ini memberikan porsi besar pada pemberitaan tentang berbagai dampak rencana istighotsah.. Karena itu, pemberitaannya antara lain juga menyoroti arus lalu lintas di pintu Tol Cikampek, Jagorawi, dan Ciawi – yang ternyata tidak banyak mengalami perubahan, selain tingkat hunian hotel di kawasan Puncak, Jawa Barat, yang diperkirakan menjadi “pengungsian” warga Jakarta yang khawatir bakal terjadi kerusuhan, ternyata juga tak mengalami lonjakan berarti.

Stasiun ini juga mengabarkan reaksi beberapa organisasi masyarakat (ormas) terhadap rencana istighotsah. Ada Angkatan Muda Ka’bah yang mengkonsolidasi kekuatan, Forum Silaturahmi Partai-Partai Islam yang mengimbau agar kelompok-kelompok Islam tidak memberi respon berlebihan terhadap istighotsah, serta Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia yang tidak akan menurunkan massa. Pemuda Bulan Bintang, Pemuda Muhammadiyah, dan Forum Pemuda Peduli Bangsa juga membuat pernyataan resmi menyikapi istighotsah dan Sidang Paripurna.

Di penghujung “Seputar Indonesia”, RCTI melansir pernyataan resmi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama K.H. Hasyim Muzadi tentang pembubaran PBM, yang diperkuat pernyataan Panglima PBM K.H. Nuril Arifin.

Jika berkaca pada pemberitaan yang begitu gencar perihal PBM pada menjelang istighotsah sampai menebarkan rasa cemas, mestinya pembubaran PBM ini mempunyai nilai berita tinggi. Namun RCTI menempatkan peristiwa ini pada bagian akhir berita-berita tentang istighotsah.


HEADLINE Seputar Indonesia (29 April) malah memilih berbagai pesan Gus Dur dalam pidatonya di hadapan khalayak istighotsah. Gus Dur berharap agar warga NU tidak berperilaku seperti anak kecil dengan melakukan kekacauan dan perusakan, serta tidak perlu terprovokasi oleh ulah kelompok yang suka melakukan makar. Peserta diimbau agar segera pulang seusai istighotsah.

Ketika kemudian RCTI memberitakan adanya ledakan bom molotov di dekat lokasi istighotsah, tidak ada gambaran reaksi massa NU.

Fakta bahwa istighotsah berlangsung damai semakin relevan untuk ditampilkan karena RCTI juga menyoroti dampak negatif pelaksanaan istighotsah itu. RCTI melaporkan lengangnya jalan-jalan protokol sepanjang hari, selain sopir taksi mengeluh karena pendapatannya menurun, juga pusat-pusat bisnis sepi pengunjung, omzet para pedagang menurun hingga angka 50 persen, serta beberapa sekolah dan perkantoran meliburkan diri.

Dari Jawa Timur dilaporkan, aparat kepolisian berjaga-jaga di berbagai fasilitas umum seperti gardu Perusahaan Listrik Negara, gudang Depot Logistik, dan pelabuhan penyeberangan Ketapang, Banyuwangi. Hal ini dilakukan katanya untuk mengantisipasi isu-isu bakal meletusnya amuk massa jika Sidang Paripurna menjatuhkan Memorandum II pada Presiden.

Ketika K.H. Nuril Arifin menegaskan bahwa seluruh pasukannya akan pulang seusai istighotsah, beberapa saat kemudian RCTI melaporkan bahwa belum semua peserta istighotsah meninggalkan Jakarta. Katanya, masih ribuan peserta istighotsah menunggu hasil Sidang Paripurna.

Kenapa rasa cemas itu lebih dibangun RCTI dibandingkan dengan sukses dan damainya pelaksanaan istighiotsah? Redaktur Pemberitaan RCTI Atmadji Sumarkidjo menjelaskan, sukses istighotsah tidak dijadikan headline untuk menghindari pengulangan. Katanya, sukses istighotsah itu sudah disiarkan pada acara live siang harinya. “Seputar Indonesia kan disiarkan jam 18.30, berarti paling akhir dibandingkan proram berita televisi lain. Maka dari itu, kita berusaha menghindari angle serupa,” kilahnya.

Masih menurut Sumarkidjo, produser Seputar Indonesia harus memilih mana materi berita yang bisa diulang serta mana pula yang sebaliknya. Imbauan Gus Dur agar massa NU tidak melakukan tindakan anarkhis dianggap layak diulang, sehingga dijadikan headline menggantikan dimensi sukses penyelenggaraan istighotsah. “Ini murni masalah teknis. Tidak ada maksud untuk meniadakan dimensi sukses penyelenggaraan istighotsah,” tegasnya.

Sumarkidjo menyadari, keputusan itu dapat menimbulkan anggapan bahwa RCTI menutupi fakta bahwa istighotsah berjalan damai dan sukses. “Tapi tentunya bisa juga logika berpikirnya dibalik. Kalau sesuatu yang ribut, ramai, atau menyeramkan terjadi, tentunya kan sudah pasti dimuat. Jadi istilahnya: no news is good news. Tiada berita, berarti berita baik. Jadi, no news sama saja dengan bohong.”

Dengan lain kalimat, Sumarkidjo berpandangan bahwa aksi anakhis massa Gus Dur pra-istighotsah lebih menarik dan layak tayang dibandingkan realitas massa nan damai dan minus kekerasan saat istighotsah berlangsung.

Sementara soal pembubaran PBM pada bagian akhir Seputar Indonedia (28/4), menurut Sumarkijdo, juga sekadar persoalan teknis. “Menjadi masalah kalau misalnya kita sama sekali tidak memberitakannya,” sambungnya.

Sumarkidjo mengakui, pemberitaan televisi tentang aksi massa Gus Dur memang menimbulkan kecemasan. Namun, katanya, pesan yang hendak disampaikan adalah agar semua pihak, terutama polisi dan tentara, meningkatkan kewaspadaan. “Kalau mereka tidak diwaspadai, bisa gawat benar Jakarta,” ujar Sumarkidjo seoalh berteori – entah dari mana dia mendapatkan teori tersebut.

STASIUN Surya Citra Televisi (SCTV), “adik” RCTI, menampilkan fakta daminya pelaksanaan istighotsah. SCTV tidak sebatas menyiarkannya secara langsung, tapi juga memberitakannya melalui program Liputan 6 Petang (29/4). Diberitakan, ratusan ribu warga NU secara khusuk mengikuti doa-doa yang dipanjatkan para kiai NU. Meskipun sempat terjadi ledakan bom, massa NU tidak terpancing untuk melakukan tindakan anarkhis. Sesuai pesan para kiai, sebagian besar peserta istighotsah langsung meninggalkan lokasi dan kembali ke daerah masing-masing. Semuanya terekam lewat kamera SCTV.

Kendati demikian SCTV juga merekam sisi lain penyelenggaraan istighotsah: sampah berserakan di mana-mana, sehingga membutuhkan kerja keras 300 petugas kebersihan. Selain itu, juga digambarkan lengangnya jalan-jalan besar di Jakarta, turunnya jumlah pengunjung dan omzet penjualan di pusat perdagangan, selain hotel-hotel juga sepi tamu.

Pada Liputan 6 Pagi (30/4), SCTV kembali memberitakan suksesnya pelaksanaan istighotsah. Stasiun televisi milik beberapa pribadi yang antara lain juga mempunyai perusahaan yang menjadi pemegang saham RCTI ini sama-sama juga menegaskan cemasnya warga Jakarta karena membayangkan istighotsah akan berakhir dengan kerusuhan, termasuk tidak terbuktinya kerusuhan itu. Situasi aman digambarkan dengan memperlihatkan aparat keamanan dalam suasana rileks bermain catur, bola voli, bahkan tiduran.

Selebihnya, stasiun ini juga mewawancarai KH Nuril Arifin yang kembali menegaskan PBM telah dibubarkan dan ia menyerahkan keamanan ibukota kepada polisi dan tentara.

Sehari menjelang istighotsah oleh SCTV lebih difokuskan pada kecemasan masyarakat terhadap rencana kegiatan tersebut. Aroma kekerasan begitu kental ketika rekaman tentang massa Gus Dur di Jawa Timut sedang melakukan latihan perang dan unjuk kekebalan tubuh, dan latihan massal ini diputar-ulang dalam Liputan 6 Petang (28/4). Bahkan kalimat yang digunakan untuk menggambarkan perilaku massa NU pun sarat ekspresi kekerasan: anarkhisme, amuk massa, kerusuhan, dan lain-lain. Pada aras yang sama, trauma terhadap amuk massa pada Tragedi Mei 1998 kembali diungkit-ungkit, seakan kerusuhan niscaya terjadi pada penyelenggaraan istighotsah.

Fakta yang menarik ditemukan pada Laporan Khusus Sidang Paripurna DPR, 30 April 2001. Dipandu presenter Rosiana Silalahi, laporan ini menghadirkan narasumber Dewi Fortuna Anwar, sementara di seberang telepon juga diharapkan tanggapan dua pengamat politik, masing-masing M.T. Arifin dan Riswandha Imawan. Saat reporter di lapangan melaporkan aksi massa Gus Dur berjalan tertib dan tanpa kekerasan, ribuan massa diberitakan cukup kooperatif serta tidak memaksakan diri melanjutkan aksinya ke gedung DPR, presenter Rosiana Silalahi di studio malah tetap saja senantiasa mengarahkan perbincangan pada gambaran-gambaran massa anarkhis dan berpotensi menyulut kerusuhan.

Pertanyaan-pertanyaan Silalahi kepada narasumber cenderung tendensius terhadap massa NU. Silalahi menggunakan pilihan-pilihan kata yang menggambarkan seakan-akan di lapangan telah terjadi perkembangan yang luar biasa berkaitan dengan aksi massa: konflik horisontal, instabilitas politik, pembela Gus Dur yang radikal, militeristik, chaos, cuci tangan politik, adu otot, dukungan radikal, bentrok fisik, perang terbuka, dan sejenisnya.

Silalahi mengomentari aksi massa Gus Dur dalam kerangka negatif dan penuh kecurigaan. Opini yang ditonjolkan adalah bahwa massa telah berbuat anakhis, meresahkan masyarakat, dan mengancam kelangsungan proses demokrasi. Untuk menegaskan wacana ini, SCTV lagi-lagi kembali memutar-ulang rekaman adegan-adegan massa di Jawa Timur sedang melakukan latihan perang dan unjuk kekebalan tubuh, satu hal yang terjadi jauh-jauh hari, padahal perkembangan terakhir justru menunjukkan fakta bahwa mereka bersikap santun selama di Jakarta.

Lebih menarik lagi karena Silalahi juga menggiring narasumber untuk membuat kesimpulan negatif tentang massa Gus Dur. Salah satu contohnya? Pertanyaan Silalahi ini:

“Proses demokrasi nampaknya dilihat sebagai persoalan kalah-menang, sehingga perang terbuka terjadi, tapi apakah Anda melihat ini memang proses demokrasi yang kita harus jalani, atau memang terjadi penyimpangan dalam memaknai demokrasi?” (pertanyaan untuk Dewi Fortuna Anwar);

“Bung Ris, apakah kita bisa memegang janji massa pro Gus Dur untuk terus melakukan aksi damai, atau Anda akan bisa mengoreksi statement Anda tadi bahwa mereka tidak akan melakukan aksi anarkhis?” (pertanyaan untuk Riswandha Imawan);

“Ketika seluruh proses politik diwarnai dengan kemelut, adu otot, menang-kalah, apa harga yang harus dibayar?” (pertanyaan untuk kedua narasumber)

Saat ditemui, Silalahi berkilah bahwa diskusi dalam studio SCTV memang tidak merujuk pada yang terjadi di lapangan. “Konteks yang digunakan untuk melihat penumpukan massa pro Gus Dur dan aksinya adalah apakah memang tradisi ekstra parlementer seperti itu yang akan kita pertahankan. Suka atau tidak, masyarakat harus menerima demokrasi keterwakilan, serta proses politik yang berlangsung di parlemen, meskipun tidak setuju dengan hasil-hasilnya. Jangan lantas kita membelokkannya dengan aksi jalanan,” tandasnya.

Produser SCTV untuk Siaran Langsung Sidang Paripurna DPR Eko Wahyu menjelaskan, tidak ada konsep untuk mengarahkan perbincangan di studio ke arah kesimpulan yang menyudutkan massa Gus Dur. Menurutnya, bisa jadi kesan itu muncul karena presenter menanggapi pernyataan-pernyataan narasumber. Tampaknya Wakyu tak melihat, justru narasumber diminta untuk menanggapi pertanyaan – tendensius – presenter. Logika terjungkir, memang.

TAMPAKNYA, stasiun televisi terbaru, Metro TV, yang menunjukkan paling favourable dalam memberitakan istighotsah.. Televisi khusus berita yang sebelumnya terkesan senantiasa kritis terhadap pemerintahan Gus Dur ini justru banyak menampilkan gambaran yang legitimate tentang NU sebagai sebuah kelompok. Kedatangan ribuan massa dari berbagai daerah diberitakan tanpa kekerasan. Gambaran tentang massa yang tertib, santun, dan kooperatif cukup dominan saat berita Metro TV menyambut pelaksanaan istighotsah.. Gambaran itu muncul dalam acara Metro Pagi, Metro Siang, Metro Hari ini, dan Metro Malam, serta Headlines News 28 April 2001, serta Metro Pagi esoknya.

Meskipun demikian, sama dengan rata-rata televisi lainnya, Metro TV juga sempat merekam kegelisahan masyarakat. Dalam acara The Plaza (28/4), Metro TV mewawancarai beberapa warga masyarakat Jakarta yang tidak setuju istighotsah diselenggarakan di Jakarta.

Sabtu, 28/4, pukul 21.00 waktu Indonesia bagian barat, Metro TV menampilkan acara bertajuk “NU Menjawab, Menjelang Istighotsah”.. Selama 30 menit, Hasyim Muzadi dan Khatib Aam Suriah PBNU Prof Dr Said Agil Al Munawar secara panjang lebar menjelaskan alasan-alasan penyelenggaraan stighotsah, tentu saja berdasarkan perspektif NU. Muzadi diberi kesempatan untuk mengklarifikasi tudingan-tudingan miring terhadap istighotsah sekaligus menyampaikan imbauan agar masyarakat tidak cemas.

Muzadi menepis tuduhan bahwa istighotsah itu adalah doa politik untuk menyelamatkan posisi Gus Dur. “Kontroversi yang terjadi tentang istighotsah lebih karena media hanya mengutip sumber-sumber yang tidak memahami benar duduk persoalan. Mengapa tidak minta keterangan kepada NU?” ujar Muzadi.

Metro TV menyiarkan langsung pelaksanaan istighotsah dalam acara “Live Event Istighotsah Kubro Nahdlatul Ulama”.. Dipandu reporter Hersubeno Arif, Said Agil Al Munawar menjelaskan seluk-beluk istighotsah secara runut dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seputar istighotsah.. Penjelasan Munawar dipadu tayangan yang menunjukkan ratusan ribu jamaah yang dengan khidmat mengikuti prosesi istighotsah.

Santunnya penyelenggaraan istighotsah diberitakan kembali pada Metro Siang (30/4). Stasiun televisi milik Sura Paloh ini bahkan agak berlebihan dalam menggambarkan jalannya istighotsah. Pilihan-pilihan kata yang digunakan cenderung hiperbolis, terkesan adanya dramatisasi – sekalipun tetap dalam koridor perihal damainya pelaksanaan doa bersama itu. Sebagian kutipannya:

“Kecurigaan bahwa acara istighotsah merupakan doa politik semata, tidak terbukti. Demikian juga dugaan terjadinya kerusuhan setelah istighotsah, tidak terjadi. Sejak keberangkatan dari berbagai wilayah pukul lima tadi pagi menuju parkir timur Gelora Bung Karno, mereka berjalan dengan tertib. Bahkan saat berkumpul, seratus ribu massa di sekitar Gelora Bung Karno terlihat sangat tertib. Termasuk ketika Presiden Abdurrahman Wahid berpidato di atas panggung, massa juga nampak hikmat dan tertib. Bahkan ketika doa istighotsah dipanjatkan, nampak sekali massa larut dalam keharuan, hening, dan amat khusuk. Kegarangan yang sesekali sebelumnya dimunculkan oleh ulah pasukan yang menamakan dirinya Pasukan Berani Mati dan Pasukan Pembela Kebenaran, sama sekali tidak nampak.”

Gambaran yang favourable tentang istighotsah dimunculkan kembali pada Metro Hari ini dan Metro Malam (29 April 2001) dan Metro Pagi esoknya. Metro TV juga mewawancarai beberapa warga Jakarta yang merasa tidak terusik oleh acara istighotsah.

Berita tentang aksi massa pro Gus Dur muncul kembali dalam acara Siaran Langsung Sidang Paripurna DPR (30/4). Dalam guyuran hujan yang lebat, digambarkan seorang ulama berhasil menahan ribuan massa yang hendak long march menuju Gedung DPR. Ulama tersebut adalah KH Fawaid As’ad yang datang dari Probolinggo, Jawa Timur, untuk mengendalikan massa NU agar bertindak santun di Jakarta.

Dua narasumber, masing-masing Imam B. Prasodjo dan Ikrar Nusa Bhakti, yang berbincang-bincang di studio memberikan apresiasi positif terhadap peran As’ad dan umumnya kiai NU.

Menurut Prasodjo, amannya Jakarta pada hari istighostah dan Sidang Parpipurna merupakan kemenangan buat NU. Kemenangan dari opini yang sebelumnya cenderung mengidentikkan NU dengan kultur kekerasan, serta kemenangan dalam menyelamatkan masa depan NU. “Situasi aman selama pelaksanaan istighotsah NU dan Sidang Paripurna DPR menunjukkan kontribusi berharga kalangan kiai NU bagi masa depan demokrasi di Indonesia,” tandas Prasodjo yang diamini Bhakti.

Puji-pujian terhadap massa NU dilanjutkan dalam acara Editorial Media Indonesia (30/4), yang memang merupakan isi tajuk harian Media Indonesia. “Istighotsah yang Menyejukkan,” demikian judul editorial itu. Sambil memutar kembali rekaman peristiwa istighotsah, Metro TV mengatakan: “Ucap selamat dan sukses buat keluarga nahdliyin yang berhasil membalikkan seluruh prediksi kecemasan dan ketakutan warga. Bahkan kemarin (29/4) mungkin malah menjadi hari yang paling aman dan nyaman di Jakarta sejak tahun 2001 ini.”

Ditegaskan pula, NU memelopori suatu gerakan bahwa agama didudukkan pada tempat yang tepat, sehingga melahirkan kedamaian bagi semua masyarakat. Karenanya, ritual agama memancarkan rasa damai tak terkirakan tanpa ditarik-tarik ke arah politik, dan tanpa menunjukkan ekspresi kebencian terhadap kelompok lain. Sebuah penggambaran yang sangat dramatis dan penuh puja-puji terhadap NU.


TENTANG ikhwal editorial penuh pepujian ini, Pemimpin Redaksi Metro TV Andi Flores Noya merasakan adanya euforia pada awak redaksinya terhadap istighotsah yang di luar dugaan berlangsung mulus tanpa kekerasan. “Kita surprise, kaget, dan kagum. Dengan sedemikian banyak massa yang hadir, dan sempat ada provokasi bom segala, kok nggak terjadi apa-apa pada istighotsah itu. Padahal sebelumnya estimasi tentang terjadinya kerusuhan begitu tinggi. Pada titik ini, justru mengherankan jika kita tidak beri penghargaan dan angkat topi buat NU,” terang bekas redaktuir pelaksana Seputar Indonesia di RCTI itu.

Noya tidak mengingkari bahwa sumber NU mendominasi dalam laporan dan perbincangan Metro TV tentang istighotsah. Ketika orang tak percaya bahwa istighotsah tetap istighotsah dan menunggu apa yang terjadi pada acara itu dengan penuh curiga, menurut Noya sangat urgen untuk menghadirkan orang NU guna memberikan penjelasan.

Pemikiran ini pula yang mendasari keputusan Metro TV untuk mengundang Said Agil Al Munawar untuk menjelaskan seluk-beluk istighotsah berdasarkan sudut pandang Islam. “Lagi pula, bagi televisi, istighotsah ini adalah sebuah show dalam arti positif. Artinya, sebuah event yang bisa dikemas menjadi sebuah sajian bagi masyarakat yang membutuhkan informasi,” katanya.

Yang ironis dan kontradiktif, saat dalm acara Laporan Khusus Sidang Paripurna DPR 30 April 2001, presenter Indosiar menyatakan warga Surabaya dilanda waswas akibat pelaksanaan istighotsah, laporan korespondennya di Surabaya bahwa memberitakan yang sebaliknya. Budi Sampurno, koresponden itu, mewartakan, meskipun sebagian warga Surabaya sempat cemas, secara keseluruhan situasi Surabaya tetap kondusif. Kota Surabaya memang agak lengang sepanjang hari dan aparat terlihat siaga di berbagai tempat, namun aktivitas masyarakat tetap berlangsung seperti biasa.

Dalam acara itu, dilaporkan aksi massa pendukung Gus Dur berjalan dengan tertib dan tanpa bentrokan. Pengamat politik J. Kristiadi yang hadir di studio menegaskan bahwa tokoh-tokoh NU sudah bersikap arif dalam mengendalikan massa sehingga situasi tetap terkendali..

Berita-berita Indosiar tentang kedatangan peserta istighotsah dari berbagai daerah tidak jauh berbeda dibandingkan berita yang disiarkan televisi lain. Fokus (28/4) memberitakan kedatangan rombongan peserta istighotsah dari Jawa Timur berjalan tertib dan tanpa indikasi akan terjadi kekerasan. Ditayangkan pula dampak atas rencana istighotsah, misalnya: hunian hotel dan omset pedagang menurun. Juga dilaporkan bahwa aparat kepolisian menjaga kompleks perumahan DPR di kawasan Kalibata, jakarta Selatan, ditambah satu peleton lagi hingga menjadi empat peleton. Fokus juga mewawancarai KH Nurul Arifin berkaitan dengan pembubaran PBM dan KH Manarul Hidayat berkaitan dengan persiapan istighotsah.

Sama dengan televisi lain, Indosiar juga menyiarkan secara langsung pelaksanaan istighotsah. Laporan yang sama ditampilkan kembali pada sore harinya (30/4). Indosiar melaporkan istighotsah berjalan lancar dan damai. Kepada Indosiar, Koordinator Pasukan Pembela Kebenaran (PPK) Wiro Sugiman menegaskan bahwa kedatangan pasukannya kedatangannya ke Jakarta hanya untuk mengikuti istighotsah. Indosiar juga mewawancarai Wakil Ketua Syuriah PWNU DKI Saifuddin Amzir yang menyesalkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap istighotsah.

Selain itu, juga ditampilkan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Djoko Sugianto yang menyatakan bahwa elit politik di belakang istighotsah dan Sidang Paripurna telah melanggar hak asasi karena telah menimbulkan kecemasan massal dalam masyarakat.


DALAM program Selamat Pagi Indonesia (29/4), stasiun televisi milik Siti Hardiyanti Rukmana, Televisi Pendidikan Indonesia, selain menampilkan imbauan Wakil Ketua Dewan Syuro PKB, KH Cholil Bisri agar masyarakat tidak mencemaskan rencana istighotsah. Bisri menegaskan, warga NU akan segera pulang seusai istighotsah, serta tidak mungkin dapat berlama-lama di Jakarta karena bekal yang terbatas; TPI juga melaporkan dampak buruk rencana istighotsah, seperti kerugian yang dialami kalangan bisnis karena beberapa aktivitas berhenti serta menurunnya pendapatan para pedagang di berbagai pusat perbelanjaan.

Rekaman pelaksanaan istighotsah ditampilkan pada program Lintas 5 (29/4). Dikabarkan bahwa acara itu berlangsung aman dan tertib. Meskipun sempat diwarnai ledakan bom molotov, ratusan ribu warga NU tetap khidmad mengikuti rentetan acara dan tidak terpancing melakukan tindakan anarkhis. TPI memberi kesempatan kepada unsur NU untuk menjelaskan perspektifnya tentang istighotsah dan memberikan klarifikasi atas suara-suara miring tentang istighotsah. KH Manarul Hidayat selaku ketua panitia istighotsah menegaskan bahwa doa bersama itu tidak bertujuan politik, selain tidak untuk menakut-nakuti tokoh tertentu.

Pemberitaan Cakrawala Andalas Televisi (AN-Teve) juga tak jauh beda dibandingkan TPI.. Pada Halo Indonesia (29/4), AN-Teve mengabarkan bahwa warga Ibukota tidak banyak terpengaruh oleh kedatangan massa NU. Meskipun sempat muncul kecemasan, sebagian besar warga menjalankan aktivitasnya seperti biasa.

Dalam siaran langsungnya, istighotsah diberitakan AN-Teve berjalan lancar dan damai. Stasiun televisi milik Aburizal Bakrie ini sempat mewawancarai koordinator Pasukan Pembela Kebenaran Wiro Sugiman dan Ketua Ikatan Pencak Silat NU Pagar Nusa, Suharbilah, yang sama-sama menegaskan kedatangan massa hanya bertujuan beribadah dan tidak untuk menciptakan kekacauan.

Program Cakrawala (29/4) kembali memberitakan istighotsah yang berlangsung damai dan tertib itu, termasuk khusuknya massa hingga tampak menitikkan air mata. Selanjutnya, stasiun televisi yang awalnya bermarkas di Palembang ini juga mewawancarai Ketua MPR Amien Rais yang memberikan apresiasi positif atas keberhasilan penyelenggaraan istighotsah. Sementara Azyumardi Azra melihat ketidakhadiran Megawati dalam acara itu sebagai pertanda retaknya hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden.

Kalau kemudian dalam Halo Indonesia (30/4) diberitakan adanya warga NU yang belum balik ke Jawa, itu tak diwacanakan sebagai pembangkangan, melainkan karena mereka baru datang di kota besar – sehingga masih ingin “berpiknik”, atau kecapekan, selain ketinggalan jadwal keberangkatan kereta.

Dalam siaran langsung Sidang Paripurna DPR (30/4), aksi massa kembali diperbincangkan AN-Teve. Yang menjadi narasumber adalah Andi Alfian Mallarangeng dan Chusnul Mariyah. Keduanya dihadirkan dalam studio. Menurut Mallarangeng, penggunaan kekuatan massa dalam berpolitik dapat mengotori proses demokratisasi yang telah berlangsung di Indonesia; sementara Mariyah berpendapat, seharusnya elit politik juga lebih menahan diri dan menyadari kesalahannya guna menghindari kemungkinan kemarahan-kemarahan di tingkat massa. Mariyah melihat aksi massa pro Gus Dur sebagai suatu yang wajar serta bukan sebatas fenomena Nahdlatul Ulama.

Karenanya, jika media merupakan cermin masyarakatnya, macam itu pulalah yang dipantulkannya lewat layar kaca televisi. Ada masyarakat yang mendramatisasi asumsinya sendiri, dan kemudian disosialisasikan lewat media, ada pula yang diam-diam meminggirkan berita non-kerusuhan – lengkap dengan pseudo-argumentasi alias akal-akalan alasan teknis yang sangat jauh dari kesan ideologis.*

kembali keatas

by:Agus Sudibyo