Gugatan Dua Bintang Kejora

Budi Setiyono

Thu, 1 March 2001

DUA wartawan Jawa Pos Radar Semarang, Ecep Suwardani Yasa dan M Hudallah, dimutasi ke daerah. Sekilas ini cuma mutasi biasa. Namun, tidak bagi para wartawan Radar Semarang.

DUA wartawan Jawa Pos Radar Semarang, Ecep Suwardani Yasa dan M Hudallah, dimutasi ke daerah. Sekilas ini cuma mutasi biasa. Namun, tidak bagi para wartawan Radar Semarang. Mutasi dua wartawan itu dianggap bukan kebetulan. Keduanya memelopori berdirinya Keluarga Jurnalis Radar Semarang (Kejora) -serikat karyawan di lingkungan harian milik kelompok Jawa Pos itu, yang kelahirannya tak dikehendaki oleh sang majikan. Tampaknya, bukan kebetulan juga jika Ecep adalah ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang.

Ecep dan Hudallah pada 20 Mei 2000 memimpin pertemuan para jurnalis Radar Semarang yang melahirkan Kejora tadi. Beberapa hari setelah itu, Ecep dimutasi ke Salatiga, kota kecil di tenggara Semarang, dan Hudallah dimutasi ke Kudus.

Sebagai redaktur pelaksana, mutasi ini menyakitkan bagi Ecep. Begitu pun Hudallah yang sebelumnya kepala biro Semarang. Mutasi ini artinya demosi, turun jabatan. Bagi Ecep dan Hudallah mutasi ini bertentangan dengan tujuan mutasi yang sebenarnya.

Toh, di tempat baru, Ecep dan Hudallah tidak surut semangatnya. Keduanya terus bersuara lantang. Hudallah mempertanyakan gaji dan penilaian berita. Ecep mempersoalkan status dan kesejahteraan jurnalis. Para bos redaksi lama-lama risih juga. Melalui rapat redaksi, keduanya ditarik ke Semarang, bukan untuk ditempatkan lagi di kantor pusat, namun untuk dimutasi lagi ke kota yang lebih jauh. Ecep dimutasi ke Pekalongan dan Hudallah ke Purwodadi. Ini dilakukan pertengahan Desember. Redaksi Radar Semarang membuat pengumuman di halaman pertama mengenai mutasi itu pada terbitan 14 Desember 2000.

Dari sederet cerita itulah, mereka mengajukan tuntutan ke Departemen Tenaga Kerja. Kejora mengadukan Radar Semarang ke Departemen Tenaga Kerja Kota Semarang, 12 Januari silam, karena menghambat pembentukan serikat pekerja. Ini pelanggaran hukum.

Nasib dua jurnalis itu, berikut serikat karyawan yang mereka dirikan, memang tak semulus jalan tol. Solidaritas di kalangan pemilik media massa dalam sengketa perburuhan memang cukup kuat. Gugatan itu miskin publikasi. Tak ada media massa yang memberitakan kasus ini kecuali berita kecil di situs www.suaramerdeka.com. Padahal kasusnya terus bergulir. Aneh, memang. Sebelumnya, pembentukan opini juga gagal. Pertemuan pers sudah digelar, dan diliput wartawan, tapi tak ada judul berita terpampang di koran.

Pemimpin redaksi Radar Semarang Sukoto membantah anggapan itu. Menurut Sukoto, tak ada upaya menghadang pembentukan Kejora. Baginya, Kejora jadi masalah karena ia tak diberitahu ihwal pembentukkannya. "Saya juga tahunya dari orang lain. Saya sih welcome saja."

Sukoto berdalih tak ada sangkut pautnya antara pembentukan Kejora dengan mutasi. Perpindahan itu dimaksudkan untuk kemajuan perusahaan dan meningkatkan kinerja wartawan. Lalu, menejemen Radar Semarang, masih kata Sukoto, tidak pernah menurunkan jabatan kedua jurnalis itu. Menurutnya, Ecep dan Huda belum berstatus karyawan tetap.

Namun bantahan Sukoto tak menghentikan laju gugatan Kejora. Departemen Tenaga Kerja menemukan tiga pelanggaran yang dilakukan menejemen Radar Semarang. Yakni ihwal wajib lapor PT Semarang Inti Media Pers, penerbit harian itu, pelanggaran program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan belum adanya peraturan perusahaan sesuai peraturan menteri. Tiga pelanggaran itu jelas di luar materi gugatan Kejora, tapi ini jadi semacam amunisi tambahan untuk memaksa Radar Semarang memperlakukan karyawannya lebih baik.

Toh, begitu, Radar Semarang masih tenang-tenang saja. Dua kali nota pemeriksaan dari Departemen Tenaga Kerja mengenai tiga kesalahan belum dijawab. Mereka juga tak mengindahkan upaya mediasi yang dibuat Departemen Tenaga Kerja dengan para wartawan Kejora. Tiga kali undangan dikirim, tiga kali mangkir. "Anda bisa tanyakan ke pengacara saya," ujar Sukoto.

Secara formal, gugatan bisa ditingkatkan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah. Namun para wartawan belum menentukan sikap. Kalau menempuh jalur itu, prosesnya butuh tempo. Menurut Ecep, bisa jadi dua jalur bakal ditempuh, yakni melalui bagian pengawasan Departemen Tenaga Kerja, sekaligus melalui panitia penyelesaian perselisihan perburuhan.

Apapun jalan yang ditempuh kasus ini akan makan waktu lama. Semua orang tahu, termasuk para pemilik perusahaan pers, bahwa proses hukum dan birokrasi di negeri ini adalah hutan belantara. Waktu adalah kuncinya. Para jurnalis Kejora tampaknya harus jaga energi dan semangat, sebab jika tidak, mereka bakal mundur dari gelanggang. Tapi kalau upaya hukum mereka berhasil, tak tertutup kemungkinan ini bakal jadi inspirasi kelompok jurnalis lain. *

kembali keatas

by:Budi Setiyono