Tuna

Indarwati Aminuddin

Thu, 25 October 2007

Nelayan-nelayan tuna traditional bergulat dengan jarak yang jauh dan tangkapan tuna yang terus menurun, sedang kapal-kapal tuna berperalatan lebih canggih berebut zona penangkapan. Selain populasi tuna yang terancam, by catch atau tangkapan tak disengaja sering terjadi pada penyu, burung laut, lumba-lumba, dan hiu.

TARGET Hasjim Djalal tak muluk: mendorong Indonesia bergabung dalam organisasi tuna antar negara, atau Regional Fisheries Management Organization (RFMOs). Djalal memulainya sejak 1993 ketika jadi wakil Indonesia untuk International Seabed Authority di Jamaica.

Djalal kini berusia 73 tahun. Tampak sehat dan semangat. Separuh karir diplomatnya dihabiskan di sejumlah negara: Beograd, Guinea, Singapura, Washington, Kanada dan Jerman. Ia pernah menjabat wakil Indonesia untuk United Nations Temporary Executive Administration (UNTEA) Irian Barat dan duta besar keliling Indonesia untuk masalah-masalah hukum laut dan kelautan.

Saat ini Djalal menjabat sebagai kepala dinas hukum international Departemen Luar Negeri dan penasehat ahli Menteri Kelautan dan Perikanan. Djalal juga menulis empat buku, di antaranya, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut dan Indonesia and the Law of the Sea

Total, dia telah mengikuti belasan konferensi, seminar dengan bahasan sama. Masalahnya, tiap kembali ke Indonesia, Djalal berhadapan dengan kenyataan: Indonesia tak berubah. Posisi Indonesia masih tetap sebagai peninjau dalam organisasi tuna regional, belum anggota tetap. Proses pengurusan itu macet di beberapa departemen dan menunggu antrian di parlemen Jakarta.

”Apa yang terjadi di negara ini?” tanyanya.

RFMOs merupakan organisasi yang bertindak sebagai payung untuk mengatur stok tuna, kuota tangkapan tuna, pasar tuna, ekosistem laut dan perjanjian laut international. RFMOs yang mengatur tuna di wilayah Samudera Hindia disebut Indian Ocean Tuna Commision (IOTC); yang spesifik mengatur tuna sirip biru disebut Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT); dan Western and Central Pacific Fisheris Commision (WCPFC) untuk negara yang fokus tangkapannya di wilayah barat dan sentral Samudera Pasifik.

Bagi Djalal, proses administrasi lambat merupakan pertanda buruk. Pasar international akan membatasi tuna asal Indonesia. Lainnya, nelayan kemungkinan tercekal dan terjaring hukum begitu memasuki lautan bebas.

”Wilayah tangkap terbatasi karena perjanjian laut international,” katanya.

Indonesia memiliki garis pantai yang mencapai 81.000 km dari 17.508 pulau. Dari luas itu, nelayan dan industri tuna asal Indonesia biasanya beroperasi di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Samudera Hindia membentang dari ujung barat Pulau Sumatera hingga ke Pulau Timor, meliputi perairan Sumatera, Jawa, Bali dan Sunda Kecil dengan batas kedalaman mencengangkan. Air pada batas-batas tertentu menunjukkan perubahan warna dari biru jernih, yang memantul karang dan ikan hias, ke biru kehijauan hingga biru kehitaman.

Laut biru kehitaman pertanda bahwa puluhan meter di bawah sana ada ikan-ikan dasar atau pelagis, khususnya tuna jenis madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna albakora (Thunnus alalunga), tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii), tuna abu-abu (Thunnus tanggol), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Auxis thazard), kenyar (Sarda orientalis), slengseng (Scomber australasicus) dan tongkol gigi anjing (Gymnosarda unicolor). Mereka berenang berkelompok dalam jumlah besar dan bermigrasi sesuai musim. Seringkali iringan bergerak dengan kecepatan membentuk parade rantai makanan. Ini mulai dari jutaan ikan teri, dikejar ikan cakalang, ikan putih, dan ikan kembung, yang diuber ikan tenggiri dan gerombolan si berat tuna dan pelengkap penggiring, lumba-lumba yang riang mengejar ikan teri.

Zona tangkapan ini menjadi target kapal-kapal rawai yang jumlahnya terdaftar 1.593 buah kapal. Kapal datang silih berganti dari pelabuhan Benoa, Denpasar, Bitung dan Jakarta.

”Pokoknya ramai,” kata Trigunonio, mualim kapal Mas 7 yang berasal dari Denpasar.

Pada tahun 2005, sebagian dari kapal itu menghasilkan volume ekspor tuna segar Indonesia sebesar 22,091 ton. Pada tahun 2004 ekspor tuna segar sebesar 28,155 ton. Angka itu belum mencakup ekspor tuna kaleng. Negara tujuan ekspor beragam, mulai dari Amerika, Kanada, Eropa dan Jepang. Pengekspor tuna rata-rata menangguk untung karena nilai dolar.

Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, pada periode sama negara rugi sebesar US$ 2 juta setiap tahunnya akibat pelanggaran pengelolaan perikanan. Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengeluarkan rencana strategi kelautan. Intinya, mengatur soal pencurian ikan, penangkapan berlebihan, pencemaran laut, pembuangan limbah secara ilegal oleh negara lain, degradasi habitat pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun), dan konflik penggunaan ruang dan sumberdaya serta kemiskinan, yang melilit hidup sebagian warga pesisir. Aneh, dengan kekayaan ikan rata-rata 6,26 juta ton per tahun, kok kemiskinan masih mencekik warga pesisir? Menurut Rokhim Dahuri, kemiskinan ini terjadi karena pembangunan Orde Baru berorientasi ke darat. Belum sempat berbuat banyak, Rokhmin masuk penjara karena memakai dana non budgeter untuk kegiatan politik.


COREMAP atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program, proyek nasional yang didanai pinjaman Bank Dunia, malah mengeluarkan catatan hasil penelitian 10 provinsi, bahwa rata-rata pendapatan nelayan berkisar Rp 82 ribu hingga Rp 225 ribu per bulan. Nelayan sangat tergantung pada musim. Semakin buruk musim, semakin jauh wilayah tangkap mereka. Artinya, biaya operasional bertambah.

Tak hanya itu, Indonesia juga ditekan oleh pasar international karena eksploitasi tuna, by catch—istilah untuk tangkapan tak disengaja namun merugikan ekosistem lain—dan gerakan konservasi kelautan, yang masih menjadi pembicaraan di meja-meja birokrasi Indonesia.

Tuna merupakan ikan laut yang dikenal karena bobot tubuh dan kemampuan jelajah yang menembus lautan tanpa batas politik, mulai Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan lautan bebas. Statistik Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan tren penangkapan tuna meningkat tajam pada tahun 1993 hingga 2000, dari 40 ribu ton setahun menjadi 60 ribu ton, tapi kemudian merosot menjadi rata-rata 50 ton pada tahun 2001 hingga 2004. Wilayah tangkap meliputi Samudera Hindia dan Pasifik yang mencakup wilayah barat Sumatera, selatan Jawa, Selat Malaka, timur Sumatera, utara Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, utara Sulawesi, Maluku dan Papua.

Penurunan tersebut mengkhawatirkan banyak pihak karena berbanding terbalik dengan meningkatnya armada kapal rawai pemburu tuna. Simak data Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 1995 hanya terdapat 402 kapal yang beroperasi di Samudera Hindia lalu menjadi 435 kapal pada tahun 1996, 459 kapal tahun 1997, 460 kapal tahun 1998, 485 kapal tahun 1999 dan 537 kapal tahun 2000. Data terakhir jumlah kapal rawai telah mencapai 1.593 buah belum termasuk ribuan kapal-kapal tradisional.

Dalam sebuah rapat peneliti dari Departemen Kelautan dan Perikanan, I Gede Sedana Merta mengusulkan agar pemerintah tak lagi mengeluarkan izin bagi kapal-kapal pemburu tuna. Sedana adalah peneliti senior Departemen Kelautan dan Perikanan. Ia telah melakukan penelitian di Samudera Hindia dengan memberi tag (tanda pengenal) pada 20 ribu ekor tuna. Hasilnya, tiap tahun hanya 10 ekor yang kembali dan rata-rata membawa sinyal yang bisa dipahami Sedana sebagai tanda kemerosotan populasi.

Usul itu mendapat reaksi positif. Tapi selanjutnya tak ada tanda-tanda pengetatan izin kapal pemburu tuna. Lagi-lagi Sedana mengusulkan pembentukan komisi stok tuna. Tujuannya agar keluhan penurunan populasi ditangani dengan mengeluarkan catatan rinci berapa jumlah penurunannya secara pasti.

”Kan tak mungkin main tebak saja,” ujarnya.

Ini butuh biaya besar karena tak ada anggaran untuk meneliti laju tumbuh dan laju mati tuna di seluruh zona tangkap Indonesia. Tanpa angka itu tak mungkin menghentikan perburuan tuna.

Gede Raka Wiadnya dari The Nature Conservancy juga peneliti ikan-ikan dasar menyarankan penangkapan berlebihan dihentikan. ”Jangan sampai izin dikurangi, tapi pencurian ikan terus terjadi karena penegakan hukum tak berjalan,” katanya. Lainnya, proteksi area menjadi alternatif dan ditandai dengan perubahan kebijakan untuk zona tangkap.

Saya menemui sejumlah ABK (anak buah kapal) dan nelayan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, Denpasar, Manado dan Bitung. Mereka punya jawaban yang sama soal penurunan populasi tuna: tidak percaya!

”Mungkin ya, mungkin tidak. Karena kadang juga tangkapan banyak,” ujar Supriyadi, nahkoda kapal Mas 7

”Kecuali kalau hutan habis baru ikan juga habis,” kata Muhtar Ismail, nelayan penangkap tuna asal Gorontalo.

”Tidak mungkin habis,” sangkal Syahrir Lato dari Manado.

”Ikan tuna itu kan takdir Tuhan. Jadi mungkin belum rezeki kalau jumlahnya kurang,” jawab Haseng, nelayan tuna asal Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

”Kalau melihat indikasinya, yah memang penurunan populasi. Tapi bisa jadi juga karena musim,” kata Johdi Medea, syahbandar di pelabuhan perikanan Bitung.

Dari mereka semua, Makli Marontong, pengumpul tuna asal Kampung Nain, Manado memberikan jawaban paling tepat, “Siapa bilang ikan tuna so habis? Ngana pernah tanya itu ikan kalo da sudah mo habis?”

Jumlah tangkapan berkurang menyebabkan persaingan ketat pada tiap zona tangkap.

”Beban perusahaan mulai terasa. Tangkapan tuna menurun, BBM (bahan bakar minyak) mahal dan armada makin banyak di luar sana,” ujar Soehartoyo dari Persero Perikanan Samudera Besar, Benoa Denpasar.

”Kini kami mulai berhitung dengan tangkapan nelayan,” kata Ivonne Peleh, QA Manajer PT Sinar Pure Foods International, perusahaan pengalengan tuna beku di Bitung.

Dari Gorontalo, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, yang diwakili oleh Abdillah Manna mengatakan 13 ribu nelayan Gorontalo seringkali meributkan zona tangkap tuna.

”Tangkapan hanya 500 kilogram sekali turun. Tiga tahun lalu kami bisa nangkap 3 ton perhari, da ke mana ikan tuna itu?” katanya.

Hal yang patut dikhawatirkan adalah bila populasi tuna menurun maka ekosistem laut lain akan terganggu. Bila kapal-kapal rawai dan tradisional bertambah maka kemungkinan kehilangan hewan laut yang dilindungi seperti penyu, ikan hiu dan mamalia laut lain, semakin besar karena manajemen penangkapan yang teledor.

”Dampak terburuk dari semua itu adalah pasar international menolak tuna Indonesia,” kata Hasjim Djalal. Ia merujuk pada tuna sirip biru yang ditolak karena Indonesia belum menjadi anggota Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. ”Syukur-syukur sekarang kita sudah dapat kuota 750 ton per tahun,” lanjut Djalal.

Bayangan embargo bisa terjadi karena Indonesia dipandang sebagai negara yang tak peduli dengan lingkungan dan konservasi. Ini isu besar bagi negara penerima ekspor tuna Indonesia yang telah menjadi anggota RFMOs.

Tapi pandangan berbeda datang dari Dwi Agus Siswa Putra, sekretaris jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia, yang merasa organisasinya beruntung karena reaksi pasar international masih positif meskipun posisi tak naik peringkat–dari peninjau ke anggota tetap yang punya hak suara dalam RFMOs.

”Tak ada embargo terhadap produksi tuna Indonesia,” katanya.


IMAM Musthofa Zainuddin seorang aktivis program kelautan WWF-Indonesia. Rambutnya gondrong. Ke mana-mana ia mengendarai motor besar. Ia kerap berhubungan dengan Hasjim Djalal via telepon. Ketika Djalal mendapat kabar bahwa parlemen Jakarta belum membahas keikutsertaan Indonesia dalam organisasi tuna international, Imam menelpon dan menyatakan keprihatinannya.

”Banyak yang jalan di tempat kalau belum jadi anggota,” kata Imam.

Imam menggunakan sebagian besar waktunya untuk mengkampanyekan konservasi ekosistem laut. Di antaranya mencegah eksploitasi tuna berlebihan dan perlindungan penyu dan mamalia laut lain yang sering tertangkap tak sengaja saat kapal tuna berburu. Tuna telah menjadi perburuan menggiurkan. Data Food and Agriculture Organizations menunjukkan bahwa Indonesia menjadi produsen tuna terbesar dibanding negara manapun di dunia.

Sebelum bertemu Imam, saya membaca dokumen tentang by catch di negara-negara penghasil tuna yang menggunakan metode tangkap rawai, pancing tangan dan jaring.

Disebutkan dalam dokumen itu bahwa 4,4 juta ikan hiu, bill fish, penyu laut, burung laut dan mamalia laut terluka dan mati akibat tertangkap tak sengaja setiap tahun di Samudera Pasifik. Sebanyak 80 ribu penyu jenis loggerhead dan 10 ribu penyu jenis leatherback tertangkap rawai di lautan Mediterania. Rata-rata 0,5 persen burung laut tersangkut jaring di Samudera Hindia. Alat tangkap rawai yang sering digunakan oleh nelayan mengancam 23 jenis burung laut.

Kapal-kapal rawai Indonesia berkontribusi terhadap angka by catch yang menyedihkan itu. Saya bertanya pada nelayan tuna di Bitung bagaimana mereka menghindari by catch

”Kalau ketemu penyu kami lepas. Hewan itu kan dilindungi, lagian darahnya pamali bagi kami,” kata Tony Yasin dari Gorontalo.

Tapi Tony Yasin dan teman-teman nelayannya kadang menaburkan potas (bubuk yang kadang membius) pada lumba-lumba, yang suka menyantap umpan untuk tuna. Mereka melindungi penyu tapi mengorbankan lumba-lumba. Belum ada mekanisme yang mengatur bagaimana menghindari by catch ini. Sebagian nelayan bersandarkan pada adat mereka. Di Sulawesi Utara, penyu yang tertangkap dilepas karena mitos pamali. Namun di Sulawesi Tenggara, mitos itu dilanggar. Harga karapas dan telur penyu menggiurkan. Di Papua, penyu menjadi makanan adat yang disajikan dalam upacara.

Imam melakukan cara lain untuk mengajarkan bagaimana sistem tangkap yang ramah itu dilakukan. Ia mengontrak observer—peninjau yang ditempatkan di kapal-kapal rawai. Tujuannya agar observer itu bisa membagi ilmunya pada nahkoda maupun seluruh ABK.

”Modelnya kayak inhouse training begitu,” katanya.

Imam juga menguji coba pancing model C (semi lingkar) hasil disain dari Amerika. Pancing ini berukuran tujuh sentimeter dan dirancang untuk menghindari kematian hewan laut yang dilindungi.

Orang pertama yang mendaftar sebagai observer adalah Kisyono. Ia nahkoda kapal Sari Segara 2 asal Benoa, Bali. Kisyono berpengalaman 14 tahun melaut. Ia sepakat menguji coba 1,000 buah kail C, yang diselingi 1,000 buah kail J. Kail C ini kokoh dan bisa membetot tuna tanpa membengkokkan pancing. Beda dengan kail berbentuk huruf J. Uji coba dilakukan di Sari Segara 2 pada Desember 2006 di perairan Samudera Hindia

Hari pertama pelayaran ditandai dengan kesibukan membereskan rawai yang kusut dan mulai memasang kail. Ribuan tali digulung seksama ke kayu bundar yang berfungsi sebagai kemudi putar rawai. Bila rawai hendak diturunkan ke laut, ABK tinggal memutar kayu dan tali rawai pun akan menjulur ke laut.

Di kabin atas Kisyono sibuk mengamati posisi kapal melalui Global Positioning System (GPS). Suara gemerisik radio panggil memenuhi ruang kerja Kisyono yang hanya bisa memuat dua orang. Pada bagian dinding tertempel selembar tata cara penyelamatan penyu yang bisa dipandangi siapapun setelah melewati pintu kapten.

Hari kedua, masih dengan kesibukan sama. Hari ketiga, ketika titik-titik merah di mesin GPS menunjukkan kedalaman laut, yang berarti ’rumah tuna’, Kisyono berteriak, ”Turunkan!”

ABK menurunkan tali rawai sampai tali sepanjang 30 meter itu tak terlihat lagi, kecuali sisa tali di sisi-sisi kapal. Kisyono berdiri gelisah.

”Saya deg-degan,” katanya.

Perbedaan mata kail bisa berarti baik, bisa juga buruk. Tergantung hasil pancing.

Kisyono menghembuskan napas lega ketika lima jam kemudian seekor tuna berukuran besar menggelepar di dek kapalnya.

ABK lain bersiul dan mulai menarik pancing kail C dengan semangat.

Di pelayaran hari ke-10, Kisyono menghubungi Imam. Jarak Samudera Hindia dan Jakarta membuat suaranya gemerisik di telepon satelit.

“Bisa Mas, berhasil,” katanya.

Kisyono juga berhasil menyelamatkan seekor penyu yang terkait tak sengaja. Penyu itu tetap hidup tanpa kerusakan parah di tenggorokan, tempat sangkutan kail C.

Imam optimis pancing ini bisa digunakan oleh seluruh kapal-kapal rawai.

“Ini akan memperbaiki mata Indonesia di pasar international,” katanya.

Indonesia menjadi negara keempat yang melakukan uji coba kail C setelah Jepang, Amerika dan Costa Rica. Sayangnya, kail ini belum dipasarkan secara resmi di Indonesia. Uji coba itupun masih membutuhkan waktu panjang untuk dijadikan rekomendasi perlunya perubahan mata kail.

Selain kampanye anti by catch, Imam juga mengkampanyekan agar tuna ditangkap sesuai kebutuhan saja. Namun ia menghadapi kendala yang sama dengan banyak peneliti lainnya.

”Secara statistik tak ada data yang bisa dijadikan pegangan bahwa populasi tuna menurun,” ujarnya.

Bayangkan, bagaimana mungkin negara maritim sebesar ini tak punya data?

*) Indarwati Aminuddin adalah kontributor sindikasi Pantau di Sulawesi Tenggara. Ia menjabat Media Education Officer World Wide Fund For Nature-Indonesia untuk wilayah Sulawesi Tenggara.

kembali keatas

by:Indarwati Aminuddin