Fitri Wahyuningsih, Bontang

Nyaris dua dekade ini umat Buddha di Kota Bontang, Kalimatan Timur, berjuang  untuk mendirikan rumah ibadah. Namun setiap upaya tersebut selalu berakhir buntu.

RUANGAN 4 x 5 meter itu nampak sederhana. Cat putih polos mendominasi. Penjuru dinding berjejer bingkai foto yang menggambarkan perjalanan spiritual Buddha Gautama. Perjalanan spiritual yang sunyi dan sendiri, hingga kelak sang mantan pangeran mencapai titik pencerahan paling sempurna. 

Pusat ruangan itu  berada di sisi selatan. Di sana, terdapat meja altar berselimut seprai keemasan. Panjangnya sekitar 1 meter. Kembang artifisial yang bermekaran mengitari sekujurnya. Sementara di atasnya, tertata 4 rupang Buddha berbagai ukuran. Masing-masing ukuran 5, 10, 15, dan 25 sentimeter. Paling besar bewarna keemasan. Ia merupakan perwujudan sosok suci dan dikagumi penganut Buddha di penjuru bumi: Buddha Gautama. Ada pula sebuah gerbah kecil tempat menancapkan dupa.

Melalui ruangan sederhana yang disebut dengan Cetiya itu, Rendy Kuncoro (43) bersama istri, dan 3 putra, menjalani ritual keagamaan di Bontang. 

Seperti halnya sebagian besar warga kota ini, Rendy adalah warga pendatang. Ia mulai menginjak Bontang medio 2002 silam. Usai merampungkan kuliah teknik informatika di Surabaya. Awalnya  untuk membantu bisnis pamannya. Kadung nyaman, Rendy pilih menetap. Ia mengubah status kependudukan, dari warga Balikpapan, menjadi warga Bontang. Sementara sang istri,  Linli Tan (42) juga ikut beralih status kependudukan pada 2004. Tak lama usai keduanya mengikat janji suci di hadapan Tuhan.

Pada tahun-tahun awal menetap di Bontang, keluarga Rendy bermukim di Gang Atletik 7 Jalan Pattimura, Kelurahan Api-Api, Kecamatan Bontang Utara. Nyaris sedekade mereka tinggal di sana. Ketika modal keluarga kecil ini mulai terkumpul, mereka pindah dan mencari rumah lebih besar. Pada 2011 mereka pindah ke kediaman mereka saat ini di Jalan Kapten Pierre Tendean, Bontang Kuala, Bontang Utara.

Rendy juga mulai merintis binsis di bidang perbaikan dan perawatan mobil. Posisi rumah mereka tepat di sisi kiri jalan utama pesisir Bontang Utara itu.

“Waktu pindah (rumah), saya memang punya nazar sendiri dalam hati. Bagaimana caranya kami punya tempat ibadah di rumah baru,” katanya pertengahan Juni 2021 lalu.

Sebenarnya nazar itu timbul dari kerinduan Rendy dan keluarga akan keberadaan rumah ibadah. Maklum saja, di kota ini tak ada vihara. Walhasil, banyak ritual keagamaan tidak bisa digelar. Misalnya yang paling sederhana, ibadah mingguan mereka, puja bhakti.

Vihara tak  pernah ada di Bontang. Ini ditengarai lantaran posisi umat Buddha di kota ini super minoritas. Itu sebabnya, sebagian umat Buddha kemudian menyediakan bilik atau ruang khusus di rumah masing-masing untuk ritual keagamaan sederhana. Tapi ruang itu hanya bisa digunakan untuk meditasi. Sementara ibadah yang melibatkan umat dalam jumlah lebih besar tidak bisa. Ada aturan sila – aturan—dalam Buddha yang melarang itu.

Sebabnya, bila ingin ikut puja bhakti, umat Buddha di Bontang mesti ke Samarinda. Menempuh perjalanan sekitar 110 kilometer, dengan durasi sekitar 3 jam. Itu kalau perjalanan mulus.  Atau terdekat, pergi ke Vihara Sukharama. Posisinya di ibu kota Kutai Timur (Kutim), Sangatta. Dilalui sekira 1,5 jam.

Maka tepat pada 18 Agustus 2011, ruang khusus di lantai 2 rumah Rendy diresmikan menjadi cetiya. Rendy bilang, agar jadi cetiya, ruang tersebut mesti diresmikan oleh bikhu, pemuka agama atau guru spiritual dalam Buddha. Penganut Buddha yang berkiblat ke India menyebut pemuka agama mereka bhikkhu. Sementara yang condong ke Tiongkok disebut biksu.

“Karena aliran saya lebih ke India, makanya disebut bikhu,” kata pria berkacamata ini.

Usai cetiya diresmikan, umat Buddha di Bontang akhirnya bisa menggelar puja bhakti saban Rabu malam. Hari Rabu dipilih lantaran berada di pertengahan pekan. Kata Rendy, sebagian besar budhis di kota berjuluk Taman ini berprofesi sebagai pengusaha. Tiap akhir pekan biasa mereka keluar kota. Sementara Senin-Selasa sibuk kerja atau mengurus bisnis. 

“Kalau awal pekan sibuk-sibuknya kerja. Kalau Jumat sudah persiapan mau keluar kota. Makanya kami ambil di tengah-tengah (pekan), biar enggak mepet. Kalau vihara di Samarinda, jadwalnya Minggu pagi. Makanya kami di Bontang bisa kalau akhir pekan,” beber Rendy.

Saban kali puja bhakti di cetiya digelar, setidaknya ada 5-6 keluarga rutin ikut. Memanfaatkan ruangan sederhana itu, mereka mengampar matras, duduk bersila dengan tenang, dan melakukan pembacaan parrita suci– ayat-ayat suci dalam bahasa pali. 

Namun sejak kasus perdana Covid-19 ditemukan di Bontang pertengahan Maret 2020 lalu, puja bhakti ditiadakan. Bahkan hingga kini. Ini sebagai langkah antisipasi, jangan sampai terjadi klaster atau penyebaran virus di cetiya itu.

“Kami hentikan dulu. Untuk jaga-jaga saja. Bahaya kalau kumpul-kumpul,” beber Rendy.

**

Sonny Lesmana menunjukkan bilik ibadah miliknya yang terletak di
lokasi wisata Lembah Permai Adventure Park
(Fitri Wahyuningsih/bontangpost.id)

SONNY Lesmana dengan ramah menyambut saya di aula penginapan miliknya terletak di kawasan wisata Lembah Permai, Jalan Arif Rahman Hakim, Kelurahan Belimbing, Kecamatan Bontang Barat. Saya menyambangi dia penghujung Juni 2021. Ini kali pertama kami benar-benar berbincang lama. Sebetulnya Pada 2019 kami pernah bertemu. Namun tak melakukan percakapan. Kala itu, saya ditugaskan meliput pembukaan Lembah Permai Festival. Yang diresmikan mantan Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni. 

Mulanya saya pikir Sonny adalah seorang yang kaku dan sukar diajak bicara santai. Seperti birokrat yang kerap dijumpai dalam liputan sehari-hari. Justru sebaliknya, ia seorang ramah, santai, bahkan cukup punya selera humor. Namun paling mengesankan ialah kesederhanaanya. Ketika berjumpa buat wawancara, Sonny hanya mengenakan kemeja batik coklat, dipadu topi hitam, serta sepatu hitam karet biasa. Jauh sekali dari kesan mewah, mengingat ia dikenal sebagai pengusaha lokal yang punya nama mentereng. 

Dia merupakan pemilik Lembah Permai Adventure Park. Juga owner PT Black Bear Resources Indonesia. Perusahaan yang memproduksi Ammonium Nitrate Solution (Ansol) dengan kapasitas produksi hingga 82 ribu ton per tahun. Bisnisnya bergerak di berbagai sektor; mulai properti, penginapan, wisata, kontraktor. Ia juga tokoh Tionghoa. 

Mulanya kami berbicang panjang di lobi penginapan miliknya. Selepasnya, ia mengajak saya melihat tempat ibadah khusus yang ia bangun di sisi kanan  Lembah Permai. 

Posisi ruangan itu agak sedikit di atas. Mungkin lebih tinggi 1,5 meter. Untuk sampai ke sana, kami mesti melalui beberapa anak tangga kayu kecokelatan.

Tiba di atas, ruangan terbagi dua. Sisi kanan adalah kamar pribadi Sonny. Sisi kiri merupakan ruang khusus ibadah tersebut. Sementara saat itu kami berdiri tepat di tengah ruangan. Ia jadi penyekat kedua ruangan yang dibangun menggunakan kayu ulin itu. 

Ruang ibadah milik Sonny itu berukuran sekitar 4×5. Tak ada dekorasi aneh-aneh. Hanya meja berselimut seprai  kuning sepanjang 2 meter, dan sebuah gerabah kecil, kebetulan di atasnya masih ada sisa dupa yang belum habis dimakan api. Ada juga patung 18 dewa dalam konghucu yang dijejer horizontal, yang di kanan kirinya terdapat ukiran dalam bahasa mandarin bertuliskan xin xiang chen, semoga keinginanmu tercapai dan wan shi ru yi yang berarti semoga semua berjalan lancar untukmu.

Melalui ruangan sederhana ini Sonny dan istri menjalankan ritual kegamaan sebagai penganut Buddha di Bontang. Berhubung di kota ini tak ada vihara, jadi ia bangun ruangan sendiri buat dipakai meditasi. 

“Tidak ada vihara jadi saya bangun sendiri. Saya dan istri yang pakai, karena kami saja yang beragama Buddha,” ungkap Sonny. 

Dalam keluarga Sonny, tinggal dia dan istri beragama Buddha. Semua anak-anaknya sudah beralih keyakinan. Dia tak menyoal itu karena baginya keyakinan adalah urusan personal. 

Sonny mengaku tak punya jadwal rutin meditasi. Namun di waktu sibuknya ketika di Bontang, ia coba menyisihkan waktu 15-20 menit buat meditasi. Kalau senggang, 1-2 jam penuh. 

Artikel ini pertama kali tayang di koran Kaltim Postpada 12 September 2021. Yayasan Pantau melakukan re-publikasi tulisan para peserta fellowship kursus Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama yang diselenggarakan dengan dukungan Kedutaan Jerman. Ilustrasi: Ivana Kurniawati.

by:Yayasan Pantau

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *