Buku “Dapur Media”

Fahri Salam

Wed, 17 September 2014

Isi buku itu berisi 9 liputan media, sebagian pernah dimuat majalah Pantau, termasuk narasi Tempo dan Kompas yang ditulis Coen Husain Pontoh. Liputan lain: Jawa Pos oleh Max Wangkar, Bisnis Indonesia (Eriyanto), Suara Timor Timur (Irawan Saptono), dan Sriwijaya Pos – satu koran lokal di Palembang – oleh Taufik Wijaya. Tiga liputan terbaru datang dari Lilik HS yang menulis Kaskus, Komarudin soal Yahoo! Indonesia, plus Triharyanto yang membahas isu serikat pekerja media lewat kasus Luviana dari Metro TV. Kesemua narasi ini bercerita tentang dinamika ruang redaksi — salah satu pembahasan penting bila Anda mempelajari jurnalisme — dan dalam titik kisar tertentu menjelaskan sejarah ekonomi-politik Indonesia pasca-1965.

SAYA HENDAK MENGENALKAN buku Dapur Media: Antologi Liputan Media di Indonesia yang baru saja diterbitkan Yayasan Pantau, satu organisasi yang belakangan lebih sering bergiat di pelatihan penulisan, tempat saya biasa menumpang ngetik di Jakarta. Kebetulan saya menyunting buku tersebut bersama Basillius Triharyanto.

Isi buku itu berisi 9 liputan media, sebagian pernah dimuat majalah Pantau, termasuk narasi Tempo dan Kompas yang ditulis Coen Husain Pontoh. Liputan lain: Jawa Pos oleh Max Wangkar, Bisnis Indonesia (Eriyanto), Suara Timor Timur (Irawan Saptono), dan Sriwijaya Pos – satu koran lokal di Palembang – oleh Taufik Wijaya. Tiga liputan terbaru datang dari Lilik HS yang menulis Kaskus, Komarudin soal Yahoo! Indonesia, plus Triharyanto yang membahas isu serikat pekerja media lewat kasus Luviana dari Metro TV. Kesemua narasi ini bercerita tentang dinamika ruang redaksi — salah satu pembahasan penting bila Anda mempelajari jurnalisme — dan dalam titik kisar tertentu menjelaskan sejarah ekonomi-politik Indonesia pasca-1965.

David Hill, yang menulis Pers di Masa Orde Baru (Obor, 2011), menuliskan pengantar guna memberi konteks perkembangan pers dan diskusi yang mengiringinya, selain masalah-masalah khusus yang dihadapi media di Indonesia pasca-Soeharto. Ariel Heryanto dan Janet Steele memberikan “endorsement” buku.

Sudah banyak penelitian tentang industri media di negara kepulauan ini, termasuk yang mutakhir dari CIPG yang menyoroti konglomerasi media. Dari ribuan media, hanya segolongan kecil pemiliknya, mengikuti sentralisme kekuasaan dari warisan Orde Baru, betapapun sejak adanya desentralisasi politik dan keuangan, peta ekonomi-politik berubah … begitupula korupsinya.

Tentu saja, ada banyak celah yang bisa mengisi ruang diskusi dan peliputan soal jurnalisme di Indonesia. Buku Dapur Media, yang bisa dipakai untuk studi kasus media-media ini, hanyalah salah satunya. Soal lain adalah peta kepentingan politik pemilik media. Ini menguat terutama sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa di mana ada begitu banyak media partisan, termasuk Yudhohono sendiri dengan harian Jurnal Nasional-nya. Isu itu juga yang diuraikan secara dramatis oleh sineas Ucu Agustin dalam film Di Balik Frekuensi, khusus menyinggung media televisi.

Terakhir, sebagaimana David Hill mengingatkan dalam pengantar buku ini, tanggungjawab media terhadap publik — yang seyogyanya sudah jadi prinsip dasar dari jurnalisme — takkan bisa sepenuhnya berjalan sendiri di tengah kontestasi kepentingan politik yang tengah dihadapi di Indonesia. Ia perlu bekerjasama dengan, dan didukung oleh, unsur-unsur penggiat demokrasi. Dan bila bentuk-bentuk advokasi publik itu terbentur tembok — dengan pembatasan-pembatasan yang dibikin pemilik media bersangkutan — maka kita tak henti-henti mengingatkannya. Semoga buku ini menjadi bagian di dalamnya.

——–

Kontak pemesanan buku Email dari Amerika, sila ke:

  • Yayasan Pantau: 021-7221031/7221055
  • Khoiruddien (Mas Udin): 0815-84419200

kembali keatas

by:Fahri Salam