AWALNYA sebuah acara tahlilan. Ia diadakan satu keluarga Arab-Melayu, di Gang Tujuhbelas No. 4. Rumah ini terbuat dari tembok dan atap seng, terletak dalam sebuah lorong, sepanjang kurang lebih 100 meter, di daerah Tanjung Pura, pusat keramaian kota Pontianak.

Ketika Mei lalu saya mengunjungi Gang Tujuhbelas, lorong ini kesannya asri, jalanan semen  cor, banyak pot bunga. Rumah dua lantai atau tiga lantai, ada juga yang rumah kayu. Menurut Andrew Yuen, seorang wartawan yang dibesarkan di lorong ini pada 1990an, nama “tujuhbelas” muncul karena dulu hanya ada 17 rumah.

Kamis 6 Desember 2007, tahlilan itu diadakan untuk 40 hari meninggalnya Syarifah Usmulyana, anak ketujuh dari sembilan bersaudara, yang meninggal pada usia relatif muda, baru 36 tahun. “Acara itu seyogyanya akan dilaksanakan ba’da sholat isya’ mengundang masyarakat sekitar, seluruh keluarga besar, sahabat dan handai tolan,” kata Syarif Usmardan, adik almarhumah.

Usmardan bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kapuas Hulu. Malam itu Usmardan datang ke Gang Tujuhbelas, bersama mertua, isteri dan ketiga anak mereka. Di mulut gang, dia memperhatikan mobil BMW tipe 520i, milik abangnya, Syarif Usmulyono, ternyata tergores sepanjang sisi kiri. Usmardan bergegas memberitahu si abang.

Syarif Usmulyono segera keluar dan memeriksa goresan BMW. Dia tanya ke tukang parkir. Si tukang tak tahu. Usmulyono memeriksa mobil-mobil di seluruh gang. Hasilnya, Usmulyono curiga satu Toyota Kijang milik tetangga mereka, Arief Hartono, dosen STIE Widya Dharma Pontianak. Menurut Usmardan, ada goresan di sudut kanan depan Toyota Kijang, yang kemungkinan cocok dengan luka di BMW.

Usmulyono masuk dan menanyakan kepada “amoy” di rumah tersebut.  “Amoy” adalah sebutan untuk perempuan muda Tionghoa. Amoy ini adalah isteri Arief Hartono. Si nyonya menjawab bahwa mobil mereka sudah dua hari tidak keluar. Suaminya, Arief Hartono juga mengatakan pada saya, “Sopir saya nggak masuk dua hari.”

Maka Usmulyono pergi ke mulut gang. Si tukang parkir bilang Toyota Kijang tersebut baru saja masuk gang. Usmulyono jadi emosi. Dia kembali mendatangi rumah Arief. Dia menuduh si nyonya berbohong. Menurut Usmardan, si nyonya mengaku memang mobil itu baru saja masuk tapi menolak tuduhan menyerempet BMW.

Perang mulut ini menarik perhatian Gouw Ek San, tetangga Arief. Menurut Andreas Acui Simanjaya, seorang politikus Tionghoa dan kenalan Ek San, Ek San baru beli bubur untuk isterinya. Ek San turun dari motor dan mendatangi Usmulyono. Usmulyono minta Ek San jangan ikut campur.

Ek San merasa Usmulyono menekan keluarga Arief. Ek San mengeluarkan gantungan kunci rumah, terbuat dari besi, dari sakunya. Ek San badannya besar, atletis, rajin fitness. Syarif Usmardan mengatakan Usmulyono melihat Ek San mengeluarkan “roti kalung” dari sakunya. Ini alat perkelahian jarak pendek. Biasanya ia dikepal dan dilingkarkan di tangan. Usmulyono mundur.

Pertengkaran ini membuat Syarif Mustafa, seorang kerabat yang sudah agak berumur, datang melerai. Tahlilan akan segera dimulai. Sudah ada 50-an orang berkumpul. Kurang elok bila beradu mulut. Mereka juga tetangga.

Ek San mengira Mustafa hendak mengeroyoknya. Dia menonjok Mustafa. “Sekali tinju. Hidung abang ipar saya patah,” kata Usmardan. Ini mendorong tiga lelaki lain keluar serta menyerang Ek San. Menurut Usmardan, abangnya melihat ada dua bujang Tionghoa, antara umur 17 hingga 19 tahun, ikut dalam perkelahian. Namun mereka lari lebih dulu. Menurut Simanjaya, satu di antaranya adalah anak Arief Hartono.

Syarif Usmulyanto, adik bungsu Usmardan, menganggap Ek San “sok pahlawan.” Usmulyanto dan Usmardan ikut meyerang Ek San. Satu lawan lima. Ek San terpojok. Dia dipukuli ramai-ramai. Syarif Mahmud, seorang kerabat yang polisi, melerai dan melindungi Ek San.

Nantek kalau anak orang nih mati, kitak semue masok penjare, maok ke kitak?” kata Mahmud, ditirukan Usmardan.

Mahmud membawa Ek San masuk ke rumah. Rombongan Usmardan kembali ke rumah duka. Tiba-tiba Syarif Mustafa menyongsong keluar dengan muka berlumuran darah. Mustafa dibawa ke rumah sakit Santo Antonius. “Kami kembali histeris dan emosional. Kami serentak berusaha membongkar paksa ruko Ikhsan dengan cara menarik teralis besinya,” kata Usmardan. Mereka melempar rumah dengan batu. Beberapa kaca jendela pecah. Ek San tak kunjung keluar. Isteri Ek San menelepon polisi. Menurut Andreas Acui Simanjaya, sekitar pukul 20:00 polisi mendatangi rumah Ek San dan membawanya ke kantor polisi.

Syarif Mahmud, si polisi, memimpin tahlilan yang tertunda itu. Suasana tahlilan jadi campur baur. Mahmud memimpin tahlilan hingga usai sekitar pukul 20:30.

Entah siapa yang memulai, desas-desus beredar di Pontianak bahwa ada keluarga Melayu tahlilan, diserang orang Tionghoa bernama “Ikhsan.” Isunya, Melayu versus Cina. Desas-desusnya, mobil orang Tionghoa ini diserempet dan dia mencari pelaku di tempat tahlilan. Massa mulai berdatangan ke Gang Tujuhbelas. Rumah Ek San dilempari batu. Pukul 21:00 ada pencegatan terhadap orang Tionghoa di Jalan Tanjung Pura.

Salah seorang yang dicurigai polisi adalah Erwan Irawan, ketua Persatuan Masyarakat Melayu Kalbar (Permak), yang juga dikenal sebagai “preman.” Erwan mengatakan pada saya bahwa polisi “monitor” dirinya.

Saat mendapat informasi perkelahian, Erwan lagi potong rambut. Pukul 20:00, dia sudah ada di Gang Tujuhbelas. Dia bertemu dengan beberapa polisi. Dia juga lihat banyak orang Permak, anak buahnya.

“Wajah saya ada di Trans TV, Metro TV, masuk TV.”

“Padahal posisi saya menenangkan warga saya. Kapoltabes Awang (Anwaruddin) mendengar (soal) saya dari Jakarta.”

“Kalau saya pikir macam-macam, rusak Pontianak ini.”

“Kalau saya (mau bikin rusuh), saya hantam di Siantan, Sungai Jawi.”

“Saya pikir dampaknya besar. Terjadi penjarahan, pembantaian, pemerkosaan.”

“Saya tidak mampu menanggung resiko itu.”

Erwan minta anak buahnya “menjaga” Gang Tujuhbelas.

“Jangan sampai masuk orang-orang lain.”

Erwan berjanji pada polisi, “Dua hari aman Pak!”

Pukul 23:00 beberapa orang mendatangi kelenteng Nam Tau, Jalan Ketapang, sekitar 500 meter dari Gang Tujuhbelas. Malam itu kelenteng sepi, tak ada yang jaga, tak ada yang berdoa. Mereka menjebol pintu teralis kelenteng serta merusak delapan hiolo (tempat sembayang), patung-patung serta sebuah mobil Honda CRV dan motor besar di halaman kelenteng. Menurut Lim Cai Hong alias Suhu Ong, pendeta kelenteng Nam Tau, “Disini sebenarnya tidak ada sangkut pautnya. Tersangka yang di Gang Tujuhbelas tidak ada apa-apanya dengan kita.”

Tengah malam, massa mengepung rumah Ek San. Pasukan Brigade Mobile mengungsikan isteri dan anak Ek San. Rumah itu pun dihancurkan massa. Polisi tampaknya tak bisa mencegah rumah Ek San dirusak. Semua perabot dan mobil Mitsubishi Grandish milik Ek San dirusak. Kerugian total keluarga ini sekitar Rp 650 juta.

Di Jakarta saya menerima pesan pendek dari Nur Iskandar, pemimpin redaksi harian Borneo Tribune. Nur Iskandar cerita kejadian Gang Tujuhbelas serta minta masukan: diberitakan atau tidak? Kalau diberitakan, dia kuatir kegentingan bisa meluas. Kalau tak diberitakan, dia merasa ini berita. Masyarakat berhak tahu. Saya bilang beritakan saja. Desas-desus lebih bikin genting daripada jurnalisme bermutu.

Keesokan harinya, Jumat 7 Desember, banyak media Pontianak, termasuk televisi dan harian, menaruh berita ini di halaman satu. Celakanya, ada saja yang mengubah desas-desus jadi berita. “Ikhsan” secara keliru diberitakan sebagai “pemilik mobil.” Dia dibilang mondar-mandir mencari pelaku penyerempetan mobil. Peranan Usmulyono terbalik dengan Ek San. Peranan Syarif Mustafa, yang dipukul Ek San, juga diberitakan terbalik dengan peran Usmulyono, sebagai orang pertama yang bertemu Ek San. Isteri Ek San, yang tak ikut sama sekali, dibilang sebagai perempuan yang menolak tuduhan Usmulyono. Ada wartawan yang menulis tahlilan “hari ke-25.”

Media Jakarta hampir semuanya tak memuat ketegangan ini. Global TV sudah punya gambar namun editornya bilang, kalau dimuat, nanti rasialisme anti-Cina makin luas di Indonesia. Elias Ngiuk, pemimpin redaksi majalah Kalimantan Review, mengatakan pada saya, “Kalau kami memuatnya, justru semakin menambah meluasnya gosip.”

Di Gang Tujuhbelas, kepercayaan kepada wartawan luluh-lantak. Arief Hartono menolak wawancara. Gouw Ek San sudah pindah ke Jakarta. Keluarga dan rekan-rekannya menutup pintu informasi. Syarif Usmulyanto memandang saya dengan curiga. Beberapa warga langsung menutup pintu ketika saya sebut kata “wartawan.” Syarif Usmardan  meragukan saya. Gang Tujuhbelas hanya menyediakan sederet kecurigaan ketika saya mendatangi rumah-rumah di lorong ini.

RUMAH Melayu sebuah bangunan megah dua lantai, terbuat dari kayu, terletak di Jalan Sutan Syahrir, Pontianak. Lantai dasar dipakai untuk kantor Majelis Adat dan Budaya Melayu. Lantai atas aula pertemuan. Ukiran-ukiran indah sekali. Gedung ini diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. MABM, pemilik Rumah Melayu, boleh jadi adalah organisasi puak Melayu paling wah di Indonesia.

Saya berkunjung ke sana dua kali untuk menemui tiga pemimpin MABM. Saya ingin tahu bagaimana MABM memandang hubungan Melayu dengan etnik lain? Bagaimana sejarah kehidupan multi-etnik di Pontianak?

Mereka yang menjelaskan termasuk cukup berumur. Raden Farid Muchsin Panjianom, ketua pemangku adat MABM, berumur 74 tahun. Dia sering memakai bahasa Belanda. Abang Imien Thaha, ketua umum MABM, berumur 68 tahun. “Saya belum kena sekolah Belanda,” katanya, tertawa. Ada juga Rusman Namsurie, sekretaris umum MABM dan ketua Taman Budaya Kalimantan Barat.

Sejarah kesultanan-kesultanan Melayu rata-rata berdiri sejak abad 16, setelah mengecilnya pengaruh kekuasaan Hindu. Melayu adalah identitas rumit. Melayu identik dengan Islam. Namun tidak semua etnik Muslim dianggap Melayu.

Raja-raja Melayu ini membangun kerajaan di Pontianak, Sambas, Mempawah, Sintang, maupun daerah lain Pulau Borneo, termasuk Kutai, Banjar, Sarawak dan Brunei. Kini Brunei salah satu negara paling kaya di dunia. Awalnya, ada kerajaan lokal berubah menjadi kesultanan sesudah rajanya masuk Islam. Ada juga kerajaan Hindu berubah Islam. Namun ada juga yang didirikan oleh orang Arab Muslim.

 

Kesultanan Pontianak didirikan penjelajah keturunan Hadramaut, Syarif Abdurrahman Alkadrie. Dia mendirikan kota Pontianak dan membangun Keraton Kadriah pada tahun 1771 di pinggir Sungai Kapuas di daerah Pontianak. Saya beberapa kali mengunjungi keraton ini. Indah walau agak kurang terjaga.

“Sejak ratusan tahun lalu, orang Jawa banyak menetap disini, kawin campur, juga Bugis, Cina, Dayak, Melayu. Orang Cina didatangkan pada abad 16 oleh raja-raja untuk menambang emas. Banyak Cina kawin dengan Dayak di pedalaman. Di daerah pesisir, perempuan Cina kawin dengan raja-raja, jadi isteri kedua, ketiga dan lainnya,” kata Farid Muchsin.

Pada abad 18, perhatian Eropah mulai besar terhadap Borneo. Kerajaan Inggris dan Belanda berunding. Hasilnya, Traktat London tahun 1824. Inggris dan Belanda sepakat membagi wilayah kekuasaan mereka jadi dua. Inggris mendapatkan India, Burma, Semenanjung Malaka, Singapura dan Sarawak. Belanda mendapatkan Sumatera, Jawa, sebagian Borneo, Sulawesi, Sunda kecil, Maluku dan sebagian Papua. Wilayah Belanda kelak menjadi satu negara Indonesia. Wilayah Inggris menjadi India, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Malaysia dan Brunei. Kesultanan Aceh tak termasuk negara yang masuk dalam Traktat London.

“Tapi Belanda dalam administrasi sangat teliti,” kata Muchsin.

“Belanda sangat bagus dalam mengatur hubungan antar etnik. Tiap-tiap kawedanaan ada lo tay atau kapitan Cina. Untuk Dayak, dibentuk ketua-ketua pemangku adat atau tumenggung. Kalau Melayu, petinggi, juga Bugis. Jawa disebutnya kyai.”

“Hubungan sangat harmonis sekali. Tidak seperti sekarang.”

Di Borneo, Belanda juga tak memerintah langsung. “Kesultanan-kesultanan itu masih zelfstandig (berdiri sendiri),” kata Muchsin. Ini tidak seperti Jawa. “(Pengelolaan) Borneo itu nunggu, setelah perhatian kepada Jawa, Madura, Bali.”

Dalam bahasa birokrasi Hindia Belanda, Jawa-Madura-Bali dianggap sebagai “daerah dalam” sedangkan pulau-pulau lain disebut Buitengewesten atau daerah luar. Pembangunan dipusatkan di daerah dalam, dan baru belakangan, digilir ke Buitengewesten. Papua bahkan praktis tak diurus Belanda.

Pada Maret 1942, Jepang menyerbu Asia Tenggara. Semua kekuasaan Inggris dan Belanda dikalahkan. Jepang membiarkan sultan-sultan berkuasa. Pada 1944, Jepang curiga ada upaya melawan pemerintahan militer Jepang di Pontianak. Militer Jepang mengumpulkan lebih dari seribu orang berpendidikan: sultan, dokter, guru, saudagar baik, orang Cina, Melayu, Arab dan sebagian Dayak. Semuanya dibunuh di Mandor, dekat Pontianak, pada 28 Juni 1944.

Pada Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Di Jawa sekelompok pejuang mendirikan Republik Indonesia. Pasukan Australia tiba di Pontianak, melucuti Jepang akhir Agustus. Pada Oktober 1945, Australia menyerahkan kekuasaan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pimpinan Hubertus van Mook. NICA langsung melantik Syarif Hamid Alkadrie, sebagai Sultan Pontianak. Dia biasa disebut Sultan Hamid II.

Syarif Hamid kelahiran 1913. Ketika remaja, Hamid menempuh pendidikan Akademi Militer Belanda di Breda, Belanda. Dia lulus dengan pangkat letnan dua pada tahun 1936. Isterinya perempuan Belanda. Hamid mulai karir sebagai perwira Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau Angkatan Darat Hindia Belanda. Ayahnya, Syarif Mohammad Alkadrie, adalah Sultan Pontianak, yang ikut dibunuh Jepang di Mandor. Hamid mendukung kebijakan Van Mook untuk mendirikan negara-negara bagian di bekas Hindia Belanda. Pada Mei 1947 NICA mendirikan Daerah Istimewa Borneo Barat dengan Sultan Hamid sebagai “kepala negara.”

Menurut Farid Muchsin, walau struktur negara jadi bahan debat besar di Jawa maupun Belanda, suasana Pontianak biasa-biasa saja. “Hubungan antar etnik itu harmonis sekali,” katanya. Muchsin kelahiran 1934. Dia sudah remaja ketika Sultan Hamid mulai  memerintah Borneo Barat.

“Orang Cina di Kalbar ini lain, sudah menyatu dengan Melayu dan Dayak.”

Sultan Hamid menjadi ketua delegasi Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), pihak ketiga dalam perundingan Belanda-Indonesia, pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Agustus 1949. Hasilnya, kerajaan Belanda setuju menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949.

RIS terdiri tujuh negara bagian: Republik Indonesia (Jogjakarta), Negara Indonesia Timur (Makassar), Negara Pasundan (Bandung), Negara Jawa Timur (Surabaya namun didirikan di Bondowoso), Negara Madura, Negara Sumatra Timur (Medan) dan Negara Sumatra Selatan.

Ada juga negara-negara yang berdiri sendiri, tak tergabung dalam RIS, namun duduk dalam BFO. Struktur ini kepalanya Ratu Belanda. Ia semacam commonwealth. Ini mirip negara-negara bekas koloni Inggris. Mereka sudah merdeka –macam India dan Malaysia– namun masih punya lembaga persemakmuran dengan London. Struktur BFO ini diharapkan menguntungkan daerah-daerah yang relatif kekuasaannya kecil. BFO meliputi Jawa Tengah, Borneo Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir), Bangka, Belitung dan Riau.

Pada Januari 1950, Presiden Soekarno mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio. Tugasnya, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Pada Februari 1950, tugas tersebut selesai dengan diresmikannya lambang Garuda Pancasila.

Tanpa diduga, meledak “pemberontakan” Angkatan Perang Ratu Adil di Jawa Barat pimpinan kapten KNIL Raymond Westerling. Mereka hendak bikin kudeta terhadap Presiden Soekarno. Anggota-anggotanya adalah mantan tentara KNIL di Negara Pasundan. Dalam biografinya, Memoires, Westerling menulis dia merancang kabinet bayangan bersama Mayor Gubernur Jenderal KNIL Syarif Hamid. Sultan Hamid  ditangkap, diadili dan dipenjara selama 10 tahun.

Di penjara, Sultan Hamid tak bisa berbuat banyak ketika Soekarno membuat kampanye membongkar RIS dan BFO. Struktur negara federasi, yang memberi kuasa lebih besar kepada daerah, hanya berumur delapan bulan. Pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno membubarkan RIS dan BFO. Soekarno membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Kami sangat terkejut dengan dibubarkannya kerajaan-kerajaan, kecuali Jogja pada Agustus 1950,” kata Farid Muchsin.

Disitu mulai muncul kecemburuan. Kerajaan-kerajaan Melayu dibubarkan, antara 1950 hingga 1956. “Masing-masing etnik mulai memperlihatkan kekuatan untuk menguasai pemerintahan,” kata Muchsin. Sultan Hamid juga tak bisa berbuat banyak ketika Daerah Istimewa Borneo Barat diubah jadi Provinsi Kalimantan Barat pada 1957.

Pengaruh etnik Melayu ikut layu bersama kejatuhan Sultan Hamid. Sejak Sultan Hamid meninggal pada 1978 di Jakarta, jabatan Sultan Pontianak tidak diisi hingga 2004. Gubernur pertama Kalimantan Barat orang Banjarmasin, Adji Pangeran Aflus (1957) dan dilanjutkan oleh Djenal Asikin Judadibrata (1958-1959). Gubernur ketiga adalah tokoh Dayak Oevaang Oeray (1960-1967).

“Kita orang Melayu tidak masalah dengan Oevaang Oeray. Palaoensoeka (wakil di Jakarta) juga moderat. Jebolan seminari di Singkawang. Oevaang pernah kursus sekolah pamong praja di Makassar,” kata Muchsin, yang menjabat wakil camat sejak 1962 di Sekura.

“Abang saya satu sekolah dengan Oevaang di Makassar.”

Pada 1965-1966 di Pulau Jawa terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Mayor Jenderal Soeharto. Jawa menyaksikan pembunuhan besar-besaran terhadap orang komunis. “Disini biasa-biasa saja,” kata Muchsin.

Baru pada 1967 militer Indonesia merasa perlu menghantam Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak, yang dulu direkrut Presiden Soekarno guna menyusup ke wilayah Malaysia. Ideologi PGRS kekiri-kirian. Mayoritas gerilyawan PGRS pemuda Tionghoa. “Tentara tidak sanggup melawan PGRS maka mereka rekrut orang Dayak,” kata Muchsin.

Maka tentara dan Dayak mengusir orang-orang Cina dari pedalaman Kalimantan. Orang-orang itu diusir dari kecamatan-kecamatan. Banyak orang Cina lari ke Jawa. Pengungsi Tionghoa di kamp-kamp pengungsian ada sekitar 60,000 orang.

Menurut Pastor Herman Josef van Hulten dalam buku Hidupku di Antara Suku Daya: Catatan Seorang Misionaris serta wartawan David Jenkins dari majalah Far Eastern Economic Review, minimal 3,000 orang Tionghoa dibunuh pada 1967.

“Maka dimulailah ketegangan antar etnik,” kata Muchsin.

Oevaang Oeray ikut berperan dalam pembersihan etnik Tionghoa di Kalimantan Barat. Kepada Jenkins, Oevaang mengatakan bahwa ide membersihkan orang Tionghoa berasal dari dirinya.

“Kasihan Oevaang Oeray. Dia ditekan tentara,” kata Muchsin. Pada 1974, Muchsin sempat bertemu Oevaang di Jakarta, ketika Oevaang jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat era Presiden Soeharto. Oevaang cerita keadaan dirinya “susah” dan sulit pulang ke Pontianak.

Jamie Davidson dari Universitas Washington dalam tesis Ph.D, Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia, menyebut pembantaian 1967 sebagai “akar kekerasan” di Kalimantan Barat.

Muchsin lantas bicara soal pembunuhan orang Madura oleh orang Dayak di Sanggau Ledo pada 1997. Ada lebih dari 600 orang Madura dibunuh secara brutal. Pada 1999, giliran orang Melayu di Sambas membersihkan orang Madura. Sekitar 3,000 orang Madura dibunuh di Sambas.

“Sekarang orang Madura tidak berani lagi kesana.”

“Sekarang hubungan antar etnik jadi sakit.”

Raden Farid Muchsin Panjianom menatap saya. Kami terdiam.

Sesudah Oevaang Oeray, gubernur-gubernur Kalimantan Barat semua ditunjuk oleh Presiden Soeharto. Semuanya jenderal dan semuanya orang Jawa: Soemadi (1967–1972); Kadarusno (1972–1977); Soedjiman (1977-1987); Parjoko Suryokusumo (1987-1993) dan Aspar Aswin (1993-2003).

“ABRI itu ya Jawa,” kata Muchsin.

Apa dampak dari militerisme dan fasisme Orde Baru ini terhadap Kalimantan Barat?

Imien Thaha mengingatkan saya bahwa Usman Ja’far (2003-2008) sebenarnya adalah gubernur pertama yang orang Melayu, sejak provinsi ini diadakan pada 1957.

Ketika hendak meninggalkan Imien Thaha, saya sempat melihat foto Sultan Hamid II di ruangannya. “Dia pejuang daerah,” kata Imien.

Ketika keluar dari Rumah Melayu, saya baru sadar gedung itu terletak di Jalan Sutan Syahrir, nama salah satu orang yang menjadi lawan Sultan Hamid dalam meja perundingan-perundingan 1940an. Konon Westerling hendak membunuh Syahrir maupun Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX. Saya bertanya-tanya bagaimana bentuk Pontianak hari ini bila Sultan Hamid tak memilih federalisme Hubertus van Mook? Mungkinkah Borneo Barat masih menikmati keistimewaan macam Jogjakarta? Mengapa Pontianak tak memiliki Jalan Sultan Hamid II?

JUMAT siang, 7 Desember 2007, wakil kepala polisi Pontianak Ajun Komisaris Besar Andi Musa mengundang beberapa tokoh Tionghoa serta Melayu bertemu di kantornya. Atasannya, Komisaris Besar Awang Anwaruddin, kebetulan lagi perjalanan dinas di Jakarta. Menurut Pontianak Post, ruang rapat Poltabes Pontianak, ukuran 10 x 8 meter, disesaki undangan, polisi dan wartawan.

Andi Musa menerangkan duduk perkara Gang Tujuhbelas. Dia bilang Gouw Ek San memukul Syarif Mustafa dengan kunci rumah. Musa berharap para undangan bisa tampil sebagai pemimpin yang mengayomi masyarakat. "Tentunya diharapkan semuanya dapat menjaga hal ini dan tak terusik hanya gara-gara satu dua orang."

"Karena ini menyangkut masalah hukum kita harapkan dukungan dari masyarakat kepada pihak kepolisian untuk melakukan tindakan penegakan hukum. Apabila nanti ada yang harus kita minta keterangan, tentunya dapat mendukung kerja kepolisian," kata Musa.

Menurut Syarif Usmardan, Syarif Mohdar, salah satu peserta pertemuan, mengutuk keras tindakan semena-mena dari orang Cina di Pontianak. Mohdar mengancam akan melakukan tindakan balasan kepada “seluruh” warga Tionghoa di Pontianak.

Suasana cukup tegang. Andi Musa mengundang 10 pemuka Tionghoa. Ada lebih dari 50 orang Melayu datang ke sana. Beberapa dari mereka punya penampilan keras, argumentasi panjang lebar, kesannya militan. Mereka termasuk Erwan Irawan, Syarif Mahmud, Syarif Mohdar, Abbas Fadillah maupun Gusti Suryadarma.

Kardi Kahim, seorang pengurus Yayasan Bhakti Suci, mengatakan dia ditelepon Andi Musa untuk datang ke pertemuan itu. Setelah datang, Kahim dan pemuka Tionghoa lain diumpat-umpat. Herannya, Kahim tak melihat wakil keluarga Gang Tujuhbelas tampil. “Justru wakil keluarga tidak ada,” katanya.

Erwan Irawan dari Persatuan Masyarakat Melayu Kalbar mengatakan pada saya bahwa di Kalimantan Barat, ekonomi skala besar dikuasai orang Cina: distribusi beras, distribusi gula, distribusi LPG. Ada kekecewaan saat pemilihan gubernur November 2007. “Orang Melayu merasa dipermainkan. Mestinya, ini kesultanan Pontianak, kau pilihlah Melayu.”

“Kalau ekonomi sudah mereka yang pegang, legislatif sudah dipegang, eksekutif juga dipegang, Melayu akan dimarginalkan, akan terpinggirkan.”

Sumber daya orang Melayu kalah dengan orang Cina. “Anak-anak mereka sekolah di Amerika, Singapura, Kuching. Hal ini dikhawatirkan. Anak kami, cucu kami, akan tidak dapat apa-apa,” kata Erwan.

“Pontianak akan jadi Singapura kedua.”

Erwan juga keberatan orang Cina bicara bahasa Tio Chew atau Hakka dengan sesamanya. “Kan tidak wajar kalau mereka bicara dalam bahasa Cina? Wajar saja, mereka ngomongin kita. Saya menyebarkan pamflet di warung-warung kopi, supaya menggunakan bahasa Indonesia.”

“Saya ekstrim saja. Saya bilang kepada anak buah, ‘Tampar saja yang pakai bahasa lain!’ ”

Yosef Setiawan alias Tan Tek Sie, salah satu peserta pertemuan dari golongan Tionghoa, mengatakan pada saya, orang-orang Melayu itu shock dengan hasil pemilihan gubernur November 2007, saat mana Christiandy Sanjaya, seorang guru Tionghoa, memenangi kursi wakil gubernur dalam pemilihan langsung bersama Cornelis, tokoh Dayak, yang menang sebagai gubernur. Ini pertama kali orang Tionghoa memenangi pemilihan wakil gubernur di Indonesia. Tan Tek Sie adalah general manager harian Kun Tien Ren Bao, suratkabar Mandarin, milik Kelompok Jawa Pos di Pontianak.

“Walikota Singkawang juga Tionghoa. Kalau pilgub bisa menang, tidak tertutup orang Tionghoa ikut pilkada. Itu ungkapan yang terjadi. Mereka tidak mau orang Tionghoa ikut. Itu dalam meeting Poltabes ….  Tionghoa cukup bisnis. Masak mau ikut politik juga?” kata Setiawan.

Emosi lepas, namun polisi menganjurkan tokoh-tokoh Tionghoa minta maaf soal Gang Tujuhbelas. Mereka pun minta maaf dan bikin pernyataan tertulis. Mereka juga berfoto bersama, bergandengan tangan.

Malamnya, sekitar 200 orang berkumpul depan restoran Gajah Mada, samping Jalan Hijas. Menurut Usmardan, massa ini dipimpin Syarif Mahmud, seorang pengusaha yang dikenal sebagai ketua Ikatan Motor Indonesia. “Mahmud terang-terangan memprovokasi massa untuk membakar restoran Gajah Mada, di depan aparat kepolisian yang dipimpin oleh Wakapoltabes Pontianak.”

Syarif Mahmud mengatakan dia mewakili keluarga Gang Tujuhbelas selaku “korban” pemukulan Ek San. Namun polisi siaga.

Usmardan mengatakan mereka tidak diundang polisi, “Kami tidak pernah menunjuk Syarif Mahmud atau siapa pun sebagai wakil keluarga untuk tindakan anarkis berupa perintah membakar Pontianak.”

Di Pontianak, keluarga Alkadrie adalah keluarga besar. Mereka semuanya keturunan Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Alkadrie. Nama mereka, bila lelaki, biasa diawali “Syarif” dan bila perempuan “Syarifah.” Sultan Hamid II nama lengkapnya Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Usmardan, yang banyak memberikan informasi kepada saya, bernama panjang Syarif Usmardan bin Usman bin Hamid Alkadrie. Syarif Mahmud dan Syarif Usmardan sama-sama memakai nama keluarga Alkadrie. Namun satu keluarga belum tentu satu kepentingan.

“Kami hanya menganggap insiden Gang Tujuhbelas sebagai tindakan kriminal murni,” kata Usmardan. Dia jengkel dengan Syarif Mahmud maupun Syarif Mohdar. Usmardan menyebut kemungkinan adanya “konspirasi” terhadap peristiwa Gang Tujuhbelas. Ketika saya datang ke rumah mereka, Syarif Usmulyanto, putra bungsu keluarga Gang Tujuhbelas, mengatakan, “Masalah sudah dianggap clear.”

SUATU malam saya diundang ke sebuah rumah dengan beranda luas di daerah Siantan, seberang Sungai Kapuas. Tuan rumahnya, Kristianus Atok. Undangannya semua aktivis Dayak. Saya tertarik dengan cerita beberapa aktivis Dayak soal bagaimana mereka membangun strategi kampanye Cornelis.

Atok bekerja untuk Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara, sebuah organisasi pengembangan masyarakat, yang bekerja di beberapa kabupaten Kalimantan Barat. Dia menyebut tesis Jamie Davidson, Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia, sebagai kritik terhadap politik etnik di Kalimantan Barat.

Intinya, Davidson mengatakan Kalimantan Barat merupakan kancah pertikaian etnik. Sejak pembersihan etnik Tionghoa pada 1967, rezim Soeharto mulai menjalankan program transmigrasi dan bisnis penebangan hutan. Belakangan perkebunan kelapa sawit dibuka besar-besaran. Korbannya, terutama orang-orang Dayak, yang tinggal di pedalaman. Mereka melihat para transmigran dibantu. Mereka melihat para pengusaha tebang hutan. Lingkungan hidup mereka rusak berat. Mereka sendiri dimiskinkan.

Sejak 1980an, orang-orang ini membentuk perlawanan lewat jalur kebudayaan Dayak. Daya’ atau Doya’ atau Dayo’ dan Dayuk berarti “hulu.” Ada macam-macam organisasi dan program dibuat, termasuk Pancur Kasih, sebuah credit union, maupun organisasi-organisasi adat dan lainnya. Makin lama makin santer hingga mereka mau jabatan-jabatan publik dengan identitas etnik. Gubernur, bupati, walikota, rektor, dekan, camat dan sebagainya.

Revitalisasi Dayak ini memancing orang pesisir mengencangkan identitas Melayu. Identitas Dayak sama rumitnya dengan Melayu. Bahasanya, ada Kanayatn, Iban, Punan, Kendawangan dan lain-lain. Agamanya lebih campur: Katolik, Protestan, Islam, Kaharingan dan sebagainya. Menurut buku Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak, di Kalimantan Barat ada 151 “subsuku” dan 168 bahasa Dayak.

Pada November 1992, revitalisasi Dayak ini mendapat energi ketika Institut Dayakologi mengadakan Dayak Culture Expo di Pontianak. Ada 360 wakil datang dari seluruh Borneo, termasuk Sabah dan Sarawak. Aktivis Dayak suka mengacu pada pertemuan tahun 1894 di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, sebagai tonggak nasionalisme Dayak. Saat itu pemerintah Hindia Belanda mensponsori upaya perdamaian antar kelompok Dayak agar berhenti berperang dan mengayau.

Salah seorang bupati Dayak, Cornelis, mengincar kursi gubernur dalam pemilihan langsung November 2007. Cornelis anak kedua dari tujuh bersaudara, kelahiran 27 Juli 1953. Dia ikut pendidikan APDN di Pontianak, studi ilmu pemerintahan di Universitas Brawijaya Malang dan magister ilmu hukum di Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada Agustus 1999, sebagai camat Menyuke, Cornelis muncul di halaman depan majalah Kalimantan Review dimana dia bicara, “Sebaiknya kita (Borneo Barat) merdeka saja.”

Camat Cornelis mencalonkan diri sebagai bupati Kabupaten Pontianak di Mempawah. Upaya itu tak berhasil. Dia mencoba lagi dan menang sebagai bupati Kabupaten Landak. Cornelis menjadi bupati Landak selama dua periode. Dia juga menjadi ketua cabang Kalimantan Barat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri. Maka Cornelis mencalonkan diri sebagai gubernur dengan dukungan PDIP.

Yohanes Supriyadi, adik Kristianus Atok, termasuk orang yang ikut sebagai panitia pemenangan Cornelis. Supriyadi ambil cuti tiga bulan. Dia lihat pasangan lain selalu mencalonkan Melayu sebagai gubernur dan Dayak sebagai wakil. Pasangan incumbent Usman Ja’far dan LH Kadir adalah duet Melayu-Dayak. Pengusaha Osman Sapta Odang dan Ignatius Lyong juga duet Melayu-Dayak. Akil Mochtar dan AR Mecer juga Melayu-Dayak.

Kubu Cornelis ingin calon wakil bisa menyumbang suara. Cornelis punya 11 calon wakil. Ada Dayak, ada Melayu, ada Tionghoa, Jawa bahkan Ambon. Suara Melayu sulit diharapkan. Suara Melayu kemungkinan akan tersedot ke Usman Ja’far, Akil Mochtar atau Osman Sapta Odang.

Etnik Tionghoa adalah puak ketiga terbesar sesudah Melayu dan Dayak. Etnik Jawa cukup besar namun masih kalah dengan suara Tionghoa. Pilihan Cornelis adalah mencari wakil dari orang Tionghoa. Kubu Cornelis memilih Christiandy Sanjaya, seorang kepala sekolah Kristen di Pontianak.

“Christiandy dipilih karena kepribadiannya kalem, tidak berapi-api macam Cornelis. Dia juga guru serta ketua Jaringan Hamba Tuhan,” kata Supriyadi.

Menurut data Badan Pusat Statistik, yang diolah lagi dalam buku Mozaik Dayak, jumlah total warga Kalimantan Barat pada 2003 sekitar 3,7 juta orang. Melayu dan Dayak pada urutan teratas (masing-masing 37,75 persen), Tionghoa (10,01 persen), Jawa (9,41), Madura (5,51), Bugis (3,2), Sunda (1,2), Banjar (0,66) dan Batak (0,56). Mozaik Dayak diterbitkan oleh Institut Dayakologi. Saya anggap angka-angka ini kompromi politik mengingat statistik senantiasa jadi bahan debat di Pontianak.

Abang Imien Thaha dari MABM sadar strategi Cornelis bisa mengalahkan kandidat Melayu. Imien mengatakan pada saya dia memanggil semua kandidat gubernur Melayu. Dia minta Melayu maju hanya satu calon. Dia terutama kuatir persaingan antara Gubernur Usman Ja’far dengan Akil Mochtar, anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Harapan Imien Thaha bertepuk sebelah tangan.

Ketika kandidat resmi bertarung, calon Melayu muncul tiga orang. Gubernur Usman Ja’far tetap dengan LH Kadir. Akil Mochtar mengandeng AR Mecer, pendiri organisasi Pancur Kasih. “Kuda hitam” muncul dari Osman Sapta Oedang, seorang pengusaha-cum-politikus asal Ketapang. OSO masuk gelanggang paling akhir bersama Ignatius Lyong.

Kubu Cornelis, yang lebih berpengalaman dalam politik, melatih anak-anak muda Tionghoa, pendukung Sanjaya, bagaimana cara bikin agitasi, propaganda maupun advokasi.

“Sebelumnya mereka apolitis, tidak peduli orang mau kampanye, pemilu, tapi sekarang mereka sangat partisipatif dalam pemilu,” kata Kristianus Atok.

Orang Tionghoa ramai-ramai mendaftar untuk kartu pemilih. “Itu yang membuat Melayu takut,” kata Atok.

Yohanes Supriyadi, yang melatih kader-kader Tionghoa, mengatakan, “Militansi orang Tionghoa itu mirip orang Dayak. ‘Pokoknya Cina!’ ”

Kampanye di Kalimantan Barat pun menderu-deru. Supriyadi menerangkan pada saya bahwa etnik Tionghoa secara ekonomi kuat. Populasi juga cukup besar. Sekarang masuk politik. Di Pontianak, pilihan mereka cukup masuk akal.

Bong Su Mian, seorang pendukung Sanjaya, mendirikan tim Thung Sim guna memetakan pemilih. “Orang Tionghoa sebagai warga Indonesia juga harus berperan. Kita juga merasa memiliki bangsa Indonesia,” kata Su Mian. Dalam bahasa Hakka, “thung sim” artinya “sehati.”

Pada 15 November 2007, sekitar 2.1 juta pemilih memberikan suara dalam pemilihan gubernur, pertama secara langsung, di Kalimantan Barat. Cornelis menang 43 persen. Cornelis menang di delapan kabupaten: Bengkayang, Singkawang, Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Total suara tiga kandidat Melayu 57 persen … namun pecah tiga. Usman Ja’far menang urutan kedua (31 persen). Dia menang di Sambas dan Pontianak. OSO menang di kampungnya Ketapang, Akil Mochtar dan AR Mecer hanya mendapat 9,66 persen suara.

Dalam dunia politik tradisional macam Borneo Barat, dimana etnik dan agama lebih penting daripada partai, "suara Melayu" pecah, maka Cornelis menang mudah. Kota Singkawang, yang memiliki mayoritas Tionghoa, 85 persen memberikan suara kepada Cornelis-Sanjaya. Kekuatiran Imien Thaha terbukti. Rusman Namsurie mengatakan, “Melayu itu terlalu percaya diri.” Erwan Irawan mengatakan, “Melayu ini haus kekuasaan juga.”

Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Gubernur Kalimantan Barat

Pasangan Kandidat

Perolehan Suara

Prosentase

Usman Ja’far dan LH Kadir

659.279

30,94

Osman Sapta Odang dan Ignatius Lyong

335.368

15,74

Akil Mochtar dan AR Mecer

205.763

9,65

Cornelis dan Christiandy Sanjaya

930.679

43,67

Jumlah

2.131.089

100

Suara tidak sah

34.460

 

Data dari KPUD Kalimantan Barat

Kemenangan Christiandy sebagai wakil gubernur disambut sukacita oleh orang Tionghoa. Ini kejutan. Sejarah republik ini mencatat perkembangan baru. Orang Tionghoa menang pemilihan umum. Masyarakat Dayak tak kalah sukacita. Mereka “pesta tuak” bermalam-malam. Kalimantan Review menyebut Cornelis sebagai “reinkarnasi Oevaang Oeray.” Di Jakarta, secara samar-samar saya menangkap sukacita di daerah-daerah Cina macam Sunter, Jelambar, Kota maupun … Jalan Jendral Sudirman.

Kalangan Melayu tertentu tidak bisa menerima kemenangan itu. Mereka sangat kecewa. Usman Ja’far adalah gubernur Melayu pertama. Dia dikalahkan oleh politikus Dayak. Mereka ingin calonnya menang. Namun mereka sadar suara Melayu pecah tiga.

SABTU 8 Desember 2007, masyarakat Pontianak menemukan iklan menarik. Harian Pontianak Post, Equator, Berita Khatulistiwa dan Borneo Tribune menurunkan iklan dengan judul “Permintaan Maaf.” Semua huruf dicetak dengan huruf besar. Isinya, hasil pertemuan yang dipimpin ajun komisaris besar Andi Musa.

PERMINTAAN MAAF

BERDASARKAN HASIL PERTEMUAN SECARA KEKELUARGAAN YANG DIPRAKARSAI OLEH KEPOLISIAN KOTA BESAR PONTIANAK, KAMI ATAS NAMA WARGA TIONGHOA KOTA PONTIANAK DENGAN INI MENYAMPAIKAN PERMOHONAN MAAF ATAS KESALAHPAHAMAN YANG TERJADI PADA HARI KAMIS MALAM TANGGAL 6 DESEMBER 2007 DI JALAN TANJUNGPURA GANG TUJUHBELAS DAN SEKITARNYA, KEPADA SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG MENJADI KORBAN ATAU YANG TERGANGGU DALAM PERISTIWA TERSEBUT.

DEMIKIAN PERMOHONAN MAAF INI KAMI BUAT DENGAN SEBENAR-BENARNYA TANPA ADANYA UNSUR PAKSAAN DARI PIHAK MANAPUN, DENGAN DILANDASI CINTA KEDAMAIAN DAN SEMANGAT NASIONALISME DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

Sembilan orang Tionghoa menandatangani permohonan maaf itu. Mereka terdiri Lie Khie Leng, Kardi Kahim, Sutadi, Phang Khat Fu, Lim Kui On, Liang Kia, Tan Tek Sie, Ateng Sanjaya dan Setiawan Lim. Mereka hanya menaruh nama, tanpa jabatan. Hanya satu undangan, Hartono Azas, wakil ketua DPRD Kota Pontianak, tak teken.

Sebagian penandatangan mengatakan iklan tersebut membuat banyak orang lega. Warung-warung kopi mulai ramai lagi. Polisi juga siaga satu. Mereka punya kesempatan membeli waktu.

Namun permintaan maaf itu juga dinilai berlebihan. Beberapa pemuka Tionghoa, misalnya Chua Yang Khui, mengirim surat protes. Mereka berpendapat minta maaf benar adanya namun jangan mengatasnamakan “warga Tionghoa Pontianak.” Cukup mengatasnamakan “keluarga Ikhsan.”

Gunawan Lim dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan, “Saya orang Tionghoa, kok dibawa-bawa?”

Gusti Suryadarma, seorang warga Gang Bayu, mengatakan pada saya, “Orang Cina, kawan-kawan saya, kan tidak berdosa? ‘Kami warga Tionghoa, minta maaf, itu kan menekan?’”

Sasaran protes adalah Lie Khie Leng alias Lindra Lie, seorang pengusaha dan ketua Yayasan Bhakti Suci, organisasi payung yayasan kematian warga Tionghoa di Pontianak.

Total ada 56 yayasan bergabung ke Bhakti Suci. Yayasan-yayasan ini dasarnya mengurus orang mati berdasarkan masing-masing marga. Marga Lim, Tan dan Ng termasuk paling besar di Pontianak.Pada 1967 Yayasan Bhakti Suci membantu menampung pengungsi Tionghoa. Bhakti Suci belakangan membantu bikin dokumen-dokumen kewarganegaraan untuk Tionghoa miskin. Mereka juga mendirikan armada pemadam kebakaran. Mereka juga punya program sosial termasuk membantu korban bencana alam.

Tan Tek Sie, seorang penandatangan, mengatakan, “Saya tidak pernah diganggu-ganggu. Beliau (Lie) ini yang satu-satunya diuber-uber. Yang delapan orang nggak diganggu-ganggu.”

Lie Khie Leng mengatakan, “Kita capek-capek damaikan, kita minta maaf, mereka tidak senang. Kita minta maaf bukan pada semua Melayu. Hanya minta maaf pada korban.”

“Orang sudah minta maaf, mau apalagi? Sudah mengalah demi menyelamatkan keseluruhan. Bahkan pihak mereka sendiri bilang, ‘Masak hanya minta maaf?’ Polisi berlakukan siaga satu. Malam itu polisi melahirkan penembakan (peringatan), sesudah siangnya tanda tangan. Kapolda turun tangan sendiri.”

Keesokan harinya, Tan Tjun Hwa, Andreas Acui Simanjaya dan Gunawan Lim, tiga orang Tionghoa yang relatif muda, mendatangi rumah Lie Khie Leng dengan amarah menggumpal. Mereka tanya mengapa Lie menyampaikan permohonan maaf “atas nama warga Tionghoa Pontianak.” Sejak kapan Lie diberi mandat oleh semua warga Tionghoa?

Lie Khie Leng memarahi orang-orang muda ini. Dia bilang mereka belum tahu persoalan. Lie menuding muka Tan Tjun Hwa. Maka Tan memiting leher Lie. Kardi Kahim, seorang pengurus Bhakti Suci, spontan mendorong Tan Tjun Hwa dan Simanjaya.

“Ini orang tua. Kamu jangan nggak sopan! Hormati orang tua,” kata Kahim.

Kasus ini pun menggelinding ke kantor polisi. Mereka bertiga diperiksa dengan dugaan penganiayaan dan perbuatan tidak menyenangkan. Gunawan Lim tak menyangka kedatangan mereka jadi kacau. Mereka minta maaf. Lie Khie Leng memaafkan mereka. Kasus pun ditutup.

SALAH satu kegemaran saya di Pontianak adalah mengobrol di warung kopi. Pagi hari sarapan bubur ayam di Jalan Merapi. Siang memilih nasi kuning, nasi goreng atau makanan lain di Jalan Gajah Mada. Sorenya, kopi dan penganan. Malam bisa pilih seafood. Warga Pontianak, mau Cina kek, Melayu kek, Batak kek, semuanya, suka mengobrol berjam-jam di warung kopi.

Gusti Suryadarma dari Gang Bayu mengajak saya bertemu di warung kopi Sari Wangi, Jalan Tanjung Pura. Suryadarma kelahiran Pontianak, belajar di sekolah Kristen Gembala Baik serta SMA Katolik Santo Paulus. Dia aktif di Tarbiyah Pontianak. “Saya kalau masuk rumah orang Cina, sampai di dapur,” katanya.

Suryadarma memimpin demonstrasi anti Presiden Soeharto pada Mei 1998. Dalam pemilihan gubernur November 2007, dia mendukung Osman Sapta Odang.

“Saya tidak senang (Gubernur) Usman Ja’far. OSO adalah alternatif pilihan. Dia pribadi yang berhasil. Orang pasar punya dana milyaran, pebisnis ulung, pelobby ulung, punya dana sampai puluhan milyar, tinggal di Jakarta, Ketapang, Pontianak.”

Osman Sapta Odang atau OSO juga seorang pribadi yang berwarna. OSO pernah meninju sesama legislator ketika sidang di Senayan. Di Pontianak dan Singkawang, OSO dikenal sebagai pemilik Hotel Mahkota. Dia juga presiden komisaris Lion Air namun juga ketua Partai Persatuan Daerah. OSO pernah duduk sebagai wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat saat ketuanya Amien Rais. Sebagai wakil ketua MPR, OSO pernah mengajak beberapa rekannya, berpelesiran di Paris, menginap di hotel mewah dan sewa limousin dengan tarif ratusan dollar per jam. Amien Rais uring-uringan.

November lalu Gusti Suryadarma memimpin protes terhadap Majelis Ulama Indonesia. Pasalnya, MUI Kalimantan Barat memasang iklan besar-besaran mendukung Usman Ja’far sekitar seminggu sebelum pemungutan suara. Dari Jakarta, ketua harian MUI Pusat H Amidhan menyatakan MUI tidak boleh berpolitik. Suryadarma protes bersama sekitar seratusan rekannya. Ketika ditanya apa nama mereka, Suryadarma pun memakai nama “Barisan Umat Islam.”

 Ketua umum MUI Kalimantan Barat KH Rahim Dja’far akhirnya mencabut instruksi tersebut. “Keputusan itu memang saya tanda tangani. Tapi, untuk kalangan 21 organisasi (Islam). Bukan untuk umum. Kita juga tidak ada desakan, hanya menganjurkan,” kata Rahim Dja’far.

Saat perhitungan, Usman Ja’far dapat 659.279 suara, OSO mendapat 335.368 suara. Suryadarma mengakui kemenangan Cornelis-Sanjaya. Dia ingin memberi kesempatan dua atau tiga tahun kepada pemenang ini. Apakah pasangan ini bisa mengatasi korupsi? Keadilan sosial? Juga tidak mementingkan kelompok sendiri?

“Oevaang Oeray kan diakui gubernur yang bagus,” katanya.

Pada 7 Januari 2008, Gusti Suryadarma membawa Barisan Umat Islam ke DPRD Kota Pontianak dan mempertanyakan legalitas organisasi Majelis Adat dan Budaya Tionghoa. “Kami hanya mempertanyakan apakah budaya Tionghoa tersebut berasal dari adat budaya tradisional Kota Pontianak? Kami mohon jawaban dari DPRD Kota Pontianak,” katanya. Pertemuan massa ini sempat tegang. Gusti Suryadharma menggebrak meja.

Di Sari Wangi, Suryadarma menerangkan pada saya bahwa “kebudayaan Cina” ada. Namun “kebudayaan Tionghoa” tidak ada. Cina setara dengan Melayu, sama-sama kebudayaan.

“Mana ada suku Tionghoa? Ada Khek, ada Hok Lo, ada Hokkian.”

“Jangan sampai pembodohan, mana mungkin barongsai, naga, disebut kebudayaan Tionghoa?”

“Di seluruh dunia orang bilang, Happy Chinese New Year bukan Happy New Year in Tionghoa.”

“MABT itu organisasi yang berbahaya. MABT itu harus bubar. Ganti dengan Forum Komunikasi Tionghoa.”

Ada relativisme moral dalam argumentasi Suryadarma. Cara kehidupan orang Tionghoa, tentu saja, bukan adat tradisional Borneo. Tapi apa batas tradisional dan tidak tradisional? Bukankah Islam, maupun Kristen, juga bukan asli Borneo? Dua agama ini asalnya tradisi di jazirah Arab.

Saya menemui Dr. Yusriadi, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak, guna menerangkan masalah ini. Yusriadi mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia murid James T. Collins, professor bahasa-bahasa Borneo. Yusriadi menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan

Menurut Yusriadi, “orang Melayu tertentu” memang hendak menyerang orang Tionghoa sejak kemenangan Cornelis-Sanjaya. Ada saja alasan yang mereka manfaatkan, termasuk Gang Tujuhbelas maupun MABT. Namun Melayu militan itu masih berhitung. “Bukan mereka menghitung kekuatan orang Tionghoa. Tetapi mereka menghitung orang Dayak yang sekarang berada di belakang orang Tionghoa,” kata Yusriadi.

Ada banyak contoh ketika orang Melayu ribut-ribut terhadap orang Tionghoa, orang Dayak memberikan sinyal: ketidaksukaan mereka terhadap aksi ini

Analisis Yusriadi sejajar dengan tesis Jamie Davidson: Melayu maupun Dayak bersaing dan mereka yang di tengah jadi korban. Orang Dayak mengusir orang Madura dari Sanggau Ledo, pada 1997, karena Madura adalah puak yang lemah. Orang Melayu mengusir Madura dari Sambas, pada 1999, juga karena jumlah Madura kecil. Ketika orang Dayak mengusir orang Madura dari Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001, alasannya juga sama. Kini golongan Madura sudah bisa keok. Ribuan orang Madura dipotong kepalanya, dibelah punggungnya, dimakan hatinya. Kini mereka mencari korban yang tetap minoritas: golongan Cina.

Pepatah, “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung,” dulu dimanipulasi untuk membenarkan diskriminasi terhadap etnik Madura. Sekarang pepatah sama dimanipulasi untuk menyudutkan pendatang lain: golongan Tionghoa.

Akhir Januari 2008, Walikota Pontianak Buchary Abdurrahman mengadakan rapat Muspida Kota Pontianak. Tujuannya, membahas ketegangan dari Melayu militan terhadap golongan Tionghoa. Buchary mengatakan pada saya bahwa dia mendapat masukan dari kepala polisi, militer, kejaksaan, Badan Intelijen Nasional maupun DPRD Kota Pontianak. Mereka menyarankan kegiatan festival naga, yang biasa dilakukan untuk merayakan tahun baru Imlek maupun Cap Goh Meh, tidak diadakan dulu.

“Selesai rapat Muspida, saya panggil sekitar 20-an pemuka-pemuka masyarakat Tionghoa, menjelaskan SK Naga. Banyak yang mendukung dan hanya satu-dua saja yang menolak. Pertimbangan yang diambil sudah luar biasa, kalau diizinkan bisa kacau,” katanya.

Pada 5 Februari 2008, Buchary Abdurrahman mengeluarkan SK No. 127, biasa disebut “SK Naga.” Isinya, dalam melaksanakan perayaan Imlek dan Cap Go Meh, pemerintah Pontianak melarang: (a) Perdagangan dan pemasangan petasan; (b) Arakan naga, barongsai di jalan umum dan fasilitas umum. Permainan naga, barongsai, bisa dilaksanakan di Stadion Sultan Syarif Abdurrachman Pontianak. Mobilisasi naga ke stadion, harus menggunakan kendaraan truk.

Reaksi di kalangan orang Tionghoa cukup ramai. Beberapa organisasi, yang sudah bikin naga, memutuskan pindah permainan ke Singkawang. Mereka tak mau main di stadion. Alex Hasim dari Yayasan Bhakti Suci mengatakan pada saya pemindahan permainan, dari jalanan ke stadion, sebenarnya memotong sumber penghasilan panitia. Pembuatan satu naga, tergantung panjangnya, Rp 100-200 juta. Belum lagi untuk operasi 100an pemain. Panitia harus beli baju dan sepatu. “Mereka harapkan angpao. Kalau di lapangan nggak ada yang kasih angpao. Satu ruko amplop satu, sepanjang (Jalan) Gajah Mada berapa?” kata Hasim.

“Nggak ada angpao, ya nggak bisa jalan. Mereka yang arakan naga, marah semua. Mereka sudah bikin persiapan segala.”

Saya menemui Buchary Abdurrahman dua kali. Dia seorang dokter. Pada tahun 1980an, beberapa kenalan saya mengatakan dia dikenal sebagai dokter yang naik motor, rendah hati melayani pasiennya di kampung-kampung. Dia juga bangga mengatakan semua anaknya selesai kuliah. Buchary menekankan bahwa dia termasuk orang yang menggagas festival naga pasca-Orde Baru. Buchary bikin “Piala Walikota” untuk naga terbaik. Menurutnya, perkelahian Gang Tujuhbelas bisa diselesaikan secara formal tetapi tidak bisa selesai secara emosional. Dia ingin mendinginkan suasana.

Keluarnya SK Naga tersebut, membuatnya mendapatkan kecaman. Banyak orang mengatakan tindakan itu rasialis, termasuk Farid Muchsin Panjianom dari MABM.

“Bagaimana Pontianak melarang sementara tetangga kita, Kubu Raya, memperbolehkan?” kata Muchsin. Bong Su Mian dari Forum Komunikasi Pemuda Tionghoa mengatakan Cap Goh Meh suatu kebudayaan bagi sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia. “Itu ritual. Manusia punya hak untuk liturgi,” katanya.

Menurut Buchary, “Itu sifatnya situasional. Ini tanggungjawab dan resiko pemimpin. Ini untuk menyelamatkan kepentingan lebih besar walaupun akibatnya saya tidak populis.”

Buchary berpendapat, “Kadang-kadang kita mau meniru Amerika, tapi nggak tahu apa yang mau ditiru. Disana sesudah kalah ya salaman. Bu Mega sampai sekarang nggak mau salaman dengan (Presiden) SBY.”

Zaman Presiden Soeharto, tarian naga dilarang sama sekali. Orang-orang Tionghoa mengalami diskriminasi. Mereka dipaksa ganti nama. Agama Khong Hu Chu dilarang. “Kelenteng saja masih susah ditahan,” kata Alex Hasim.

Buchary mengatakan dia pernah menerima pengungsi Madura asal Sambas, selama tiga tahun, sejumlah 30.000 orang. Mereka ditempatkan di tengah-tengah Pontianak. “Masyarakat Pontianak ini beragam, penuh dinamika, sehingga ada kemungkinan berbuat ekstrem,” katanya.

Kaum ekstrem cenderung menggiring gerbong-gerbong besar golongan mereka, yang mayoritas lebih moderat, untuk mengikuti militansi mereka.

Pada 20 Februari 2008, Erwan Irawan dari Permak membawa seratusan pendukungnya ke Rumah Melayu. Mereka menyatakan dukungan terhadap SK Naga. Mereka minta DPRD Kota Pontianak mengubah SK menjadi Peraturan Daerah. Artinya, larangan bukan sementara namun permanen.

Mereka menamakan diri Barisan Melayu Bersatu. Maklumat mereka: (1) Minta seluruh warga Pontianak menggunakan bahasa Indonesia; (2) Terus mengawal SK Walikota dan minta DPRD Pontianak segera melarang naga; (3) Mengganti semua tulisan asing di tempat-tempat umum dengan bahasa Indonesia; (4) mengganti nama-nama pahlawan dengan terutama pahlawan Kalimantan Barat; (5) Mengharap aparat keamanan menjaga keberlangsungan SK tersebut; (6) Maklumat yang mereka sampaikan bersifat kekal dan abadi.

Erwan berdiri di podium ketika menyampaikan maklumat Barisan Melayu Bersatu. “Hidup Melayu, hidup Melayu! Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriak pendukungnya.

Erwan mengatakan pada saya barongsai dan naga bikin macet lalu lintas. Kalau satu naga panjangnya 20 meter, “Kalau 20 yang main, maka 400 meter. Kasihan sopir oplet, sopir taxi, yang perlu sampai ke rumah macet total.”

Seorang aktivis Madura, Subro, mengirim pesan singkat kepada saya, “Ini persoalan arogansi, merasa mayoritas dan politisasi identitas Melayu yang berlebihan. Selain Dayak, Tionghoa dan Madura, semua ngaku Melayu –termasuk Arab.

KETIKA di Pulau Jawa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merayakan apa yang disebut “Seabad Kebangkitan Nasional Indonesia,” dengan acara kolosal di Stadion Senayan, dan berbagai macam seminar, pameran serta … kenaikan harga BBM, pada hari yang sama, saya menikmati tari-tarian dalam pembukaan sepekan Gawai Dayak di Pontianak.

Acaranya diadakan di Rumah Betang, sebuah bangunan dua lantai terbuka, penuh ukiran-ukiran Dayak dan dominasi warna merah. Ada baliho-baliho dengan gambar Gubernur Cornelis dan Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya. Walikota Buchary Abdurrahman dan isterinya masing-masing juga pasang satu baliho.

Di halaman ada puluhan kios. Ada kios majalah Kalimantan Review, Super Mie, permen Relaxa, spanduk ucapan selamat dari Kerukunan Masyarakat Batak serta 38 sanggar kesenian Dayak. Banyak kios menjual manik-manik Dayak. Ada juga kios yang menjual lotion pemutih kulit. Di bagian belakang, jual rupa-rupa penganan Dayak.

Semua hadirin berdiri ketika “Mars Dayak” karya F.C. Palaoensoeka, politikus Partai Dayak, dinyanyikan. “Zaman Orde Baru tidak boleh dinyanyikan,” bisik Tanto Yakobus, wartawan Dayak dari Borneo Tribune. Dulu lagu ini dianggap lagunya Partai Dayak. Di Jakarta, mungkin Palaoensoeka lebih dikenal sebagai salah satu pendiri harian Kompas bersama I.J. Kasimo, Frans Seda, Jakob Oetama dan Auwjong Peng Koen.

“Baru tahun ini Gawai Dayak dibuka oleh gubernur yang asli Dayak,” teriak Tarsisius Ivan Subandap dari Sekretariat Bersama Kesenian Dayak. Ada nada bangga dalam pidato Subandap.

Rumah panjang ini milik Dewan Adat Dayak. Ketuanya, Thadeus Yus, memimpin pembukaan. Yus bilang gawai adalah perayaan “masa habis baladang.” Maknanya, ucapan syukur kepada alam dan kehidupan. Orang Dayak dekat dengan alam. Mereka ramah terhadap lingkungan. Ancaman lingkungan adalah ancaman buat masyarakat Dayak.

Yus juga menyinggung bahwa Rumah Betang perlu yang “lebih representatif.” Gubernur Cornelis, yang duduk di deretan sofa depan, tergelak-gelak. Tampaknya, Yus menyindir Cornelis. Bangunan ini lebih sederhana dari Rumah Melayu.

Puncak acara adalah Cornelis pidato. Dia mengenakan jas merah darah dengan sulaman Dayak Iban. Dia didampingi dua prajurit Dayak, telanjang dada, penuh tatto, memegang mandau dan perisai.

Sudah lama saya tak lihat ada politikus bisa pidato di Indonesia. Mungkin ini peninggalan zaman Soeharto, ketika pidato isinya angka, slogan dan dingin. Cornelis mengajak hadirin tergelak, diam, tersenyum seraya mentertawakan diri sendiri. Saya terkesan dengan kemampuan Cornelis pidato.

“Salah nggak, saya jadi tuan di negeri sendiri?” tanyanya.

Dia juga mengeluh orang tak sabar menunggu kinerjanya. Dia bilang baru empat bulan jadi gubernur. Sekarang masih menyusun anggaran. Belum bisa memperlihatkan hasil. Dia juga capek dimintai sumbangan.

“Saya tidur saja nggak sempat. Empat jam sehari.”

“Semua rakyat kita, yang tidak mendukung juga warga kita.”

Dia juga bilang soal pemberian hak pengelolaan hutan zaman Orde Baru. “Booming HPH konyol itu. Bayangkan 1.5 juta hektar hutan dijadikan HPH. Karena pembuat kebijakan tidak berpihak.”

“Kebijakan 40 tahun mana mungkin saya tanggung sendirian? Baru empat bulan jadi gubernur.”

Cornelis juga mengajak hadirin menghargai keragaman etnik. Di Kalimantan Barat ada orang Madura, Bugis, Jawa, Tionghoa, Melayu, “Itulah hebatnya Kalimantan Barat.”

Di deretan hadirin, saya lihat ada Haji Sulaiman, ketua Ikatan Keluarga Madura. Orang Madura banyak mendukung pemilihan Cornelis. Para pengurus Yayasan Bhakti Suci juga ada. Hartono Azas, politikus Tionghoa, yang menolak teken permintaan maaf juga ada.

Thadeus Yus sempat celingukan mencari tamu dari MABM. Dia menyatakan heran mengapa tak ada pengurus puak Melayu datang.

Sesudah pidato Cornelis, hadirin dipersilahkan makan siang, di lantai dua. Saya agak ngeri melihat tangga tipis, sebatang kayu, sekitar 25 centimeter, dipakai naik ke lantai dua. Bapak-bapak, ada yang bertongkat, serta ibu-ibu dengan kain panjang, ramai-ramai meniti tangga. Bagaimana kalau jatuh?

Acara kesenian pun dikeluarkan. Ada tari-tarian dan karnaval. Alamak … ada dua naga diikutkan: kuning dan orange. Mereka dimainkan di jalanan umum. Saya tanya Thadeus Yus soal larangan memainkan naga. “Ini acara syukuran masyarakat Dayak. Semua etnik diundang, termasuk Tionghoa. Larangan Cap Goh Meh itu eksklusif untuk orang Chinese,” katanya.

Saya jadi ingat analisis Dr. Yusriadi. Hubungan Dayak-Tionghoa sedang mesra. Maka naga pun tampil dalam Gawai Dayak. Namun Yusriadi menerangkan hubungan antar Tionghoa-Melayu saat ini, bukan saja bermasalah, tapi sangat kritis. “Ibarat retak menunggu belah,” katanya.

“Orang Melayu tertentu terus menekan dan tidak memberi ruang. Sekarang ini mereka menjual tantangan, menunggu orang Tionghoa mau membelinya. Ketika orang Tionghoa melawan, itulah yang ditunggu. Soalnya sekarang, sampai kapan orang Tionghoa bisa bersabar ketika berada di bawah tekanan?”

Namun orang Melayu berhitung dengan kekuatan Dayak. Menurut Yusriadi, hitungan akan berubah ketika hubungan Tionghoa-Dayak tidak mesra lagi. Mungkin ada kebijakan Cornelis dan Sanjaya yang berbenturan. “Nah, ketika itu terjadi, mungkin orang Melayu yang selama ini agak gerun terhadap kekuatan orang Dayak, di belakang Tionghoa, akan melakukan gerakan.” Orang Tionghoa bisa menjadi “musuh bersama.”

Yusriadi mengatakan ada optimisme pembunuhan Tionghoa takkan mudah terjadi. Mereka terlalu penting secara ekonomi. Banyak orang Melayu akrab dengan Tionghoa. Tionghoa juga kelompok pendatang tertua di Kalimantan Barat. Dia mengatakan bahwa yang sekarang ribut adalah “kelompok pinggiran.” Namun, dalam banyak contoh, pembunuhan besar-besaran selalu bermula dari masalah kecil. Selain itu dalam banyak contoh untuk kasus perlawanan kelompok, ada strategi silang diterapkan.

Menurut Yohanes Supriyadi, sengketa Dayak-Cina bisa terjadi. “Cuma sekarang Cina baru mengancam basis Melayu.”

Saya setuju dengan analisis Yusriadi maupun Supriyadi. Orang Tionghoa, meminjam istilah Amy Chua, adalah market dominant minority. Mereka etnik minoritas namun mendominasi perekonomian Borneo Barat. Posisi ini rentan menciptakan letupan-letupan sosial di sepanjang sejarah migrasi manusia. Etnik Tionghoa di Asia Tenggara setara dengan kaum Yahudi di Rusia, kaum Sunni di Irak, etnik Kroasia di Yugoslavia, orang India di Afrika Tengah dan sebagainya. Dalam buku World on Fire, Chua menganjurkan kaum minoritas ini membuat program-program redistribusi kekayaan.

Benedict Anderson dalam pengantar buku Indonesia Dalem Api dan Bara, menulis salah satu prinsip Kwee Thiam Tjing, orang Tionghoa yang menulis buku itu, bahwa tindakan buruk individu tak boleh diterapkan kepada seantero bangsanya. Setiap bangsa pada dasarnya sama, dengan manusia baiknya, dan juga bajingan-bajingannya. Anderson dan Kwee sama-sama melawan rasialisme.

Oktober nanti, ada empat pemilihan kepala daerah di Kalimantan Barat. Warga akan memilih walikota Pontianak, bupati kabupaten Pontianak, bupati Kubu Raya serta bupati Sanggau. Dalam sistem demokrasi yang masih bayi ini, lowongan walikota Pontianak bisa dimenangkan oleh siapa saja.

Saya bertanya pada Erwan Irawan apa yang akan terjadi Oktober nanti? Erwan menjawab penduduk Pontianak, 30 persen orang Cina. “Kalau Melayu empat calon maju, apa nggak jebol Melayunya? Matematis sudah ketahuan.”

Ketika meninggalkan Pontianak, di airport Supadio saya merasa pesimis dengan peluang damai di Pontianak. Azas kebersamaan macam apa yang dikembangkan di sini? Kebebasan sipil lemah. Saya kira selama tak ada pengadilan terhadap kejahatan masa lampau, selama orang belum bisa belajar dari sejarah masa lalu, mereka yang dulu melakukan kejahatan kemanusiaan, takkan takut untuk melakukannya lagi. Kasarnya, kalau Soeharto, yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Pulau Jawa, belum bisa diakui melakukannya, maka soeharto-soeharto lain akan tetap muncul di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.***

*) Andreas Harsono adalah wartawan Jakarta, isterinya perempuan Madura kelahiran Pontianak. Kini dia lagi menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Transportasi liputan ini disponsori Yayasan Nabil untuk Nation Building.

by:Andreas Harsono