Eternit Sekolah Saya Runtuh

Mifta Sugesty

Fri, 13 June 2008

SMPN 1 Banda Aceh adalah sekolah menengah pertama tertua di Banda Aceh. Pada zaman penjajahan Belanda, bangunan ini dulunya adalah rumah sakit. Namun berubah fungsi sebagai sekolah sejak tahun 1941.

SIANG itu, 9 Agustus 2004, dalam salah satu ruang kelas di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 (SMPN 1) Banda Aceh, saya tengah mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Guru bahasa berdiri di depan kelas. Ia bersemangat menjelaskan tentang para pujangga Angkatan 45 dan Angkatan Baru; dua generasi sastra di Indonesia. Teman semeja saya adalah Susan. Ia bertubuh jangkung dan langsing.

Kami berdua mengambil tempat di deret kedua pada baris kedua, tepat di tengah-tengah kelas. Kami menganggap bahwa inilah tempat yang sempurna untuk mendengar celoteh guru saat mengajar tanpa merasa terlalu bosan. Termasuk untuk tidur diam-diam tanpa menarik perhatian. Kami merasa sangat beruntung mendapatkan posisi itu.

Saat guru terus menjelaskan para pujangga dan karya sastra mereka, saya melihat Ivena dan Melin yang duduk di meja sebelah sedang membaca komik Namaku Miiko. Lalu saya memperhatikan Khaled yang duduk di meja seberang sedang sibuk mendiskusikan Ragnarok Online dengan beberapa teman yang lain. Ragnarok adalah jenis game komputer yang lagi digandrungi kalangan pelajar karena bisa dimainkan oleh lebih dari dua orang. Sisanya ada yang memperhatikan guru, ada juga yang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Saat itu mata saya sudah agak mengantuk. Rasa lapar, gerah, dan bosan membuat saya semakin malas berada di kelas. Suara guru di depan kelas hanya terdengar sayup-sayup, seperti sedang mendongeng.

Tiba-tiba, “ Braaakk!”

Langit-langit yang berada tepat di atas tempat saya duduk runtuh. Saya tak sempat menghindar.

Saya sempat merasakan darah mengalir dari pipi. Perih. Kebas. Pusing. Lalu saya tak ingat apa-apa lagi.

SMPN 1 Banda Aceh adalah sekolah menengah pertama tertua di Banda Aceh. Pada zaman penjajahan Belanda, bangunan ini dulunya adalah rumah sakit. Namun berubah fungsi sebagai sekolah sejak tahun 1941.

Letaknya cukup strategis. Pekarangannya luas. Kompleks sekolah ini berada di dekat lapangan Blang Padang, di samping Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN 1) dan kompleks Sekolah Dasar Negeri 1 (SDN 1). Fasilitas sekolah terbilang lengkap. Sekolah ini memiliki 33 kelas, masing-masing angkatan dibagi menjadi 11 kelas. Di sini juga terdapat sebuah masjid, sebuah studio musik, dan lapangan basket dan voli. Bangunan Unit Kegiatan Sekolah, Laboratorium Fisika dan Biologi berada di tempat terpisah dalam kompleks sekolah. Fasilitas lainnya adalah perpustakaan, ruang serba guna, dan empat kantin.

Jika dilihat dari depan, bangunan ini tampak eksotik. Arsitekturnya bergaya kolonial dengan tiga gerbang masuk, sedang halaman luar yang asri dinaungi pohon-pohon beringin dan ketapang tua yang sudah berumur ratusan tahun. Di sini juga terdapat sebuah kolam ikan dan jembatan kecil di atasnya.

Setiap Jumat dan Sabtu, murid-murid SMPN 1 diwajibkan mengenakan seragam putih-putih. Ini agak berbeda dengan pelajar SMP lain yang biasanya memakai baju pramuka pada hari tersebut.

SMP Negeri 1 juga dinilai sebagai salah satu sekolah bergengsi di Banda Aceh. Masyarakat beranggapan bahwa SMPN 1 adalah sarangnya anak-anak pejabat. Dan, selama berdiri, memang ada terselip satu atau dua anak pejabat yang bersekolah di situ tiap tahunnya. Ini semakin melekatkan citra eksklusif sekolah di mata masyarakat. Banyak siswa sekolah dasar yang ingin melanjutkan sekolah ke SMPN 1.

Termasuk saya. Saya diterima di sekolah menengah ini pada tahun 2003. Setelah diterima, saya menempati kelas I-XI. Sebuah kelas yang menurut sejumlah guru sebagai kelas unggul.

Kelas satu saya lalui nyaris tanpa masalah yang berarti. Dan saya pun naik ke kelas dua, tepatnya di kelas II-XI. Di sini saya duduk sebangku dengan Susan.

Meski SMP ini favorit, gedungnya jarang mendapat pemeliharaan. Seharusnya pemerintah, para staf dan guru memperhatikan keadaan sekolah yang dapat membahayakan murid. Seperti merenovasi bangunan sekolah tua bekas Belanda tersebut sehingga tidak lapuk.

SUASANA kelas berubah gaduh setelah langit-langit kelas runtuh. Susan sempat melompat ke samping untuk menghindari runtuhan. Semua terjadi sangat cepat dan tanpa diduga. Atap itu runtuh dengan posisi mengenai wajah saya duluan. Kelas kontan ramai.

Menurut penuturan Khalida dan Dela, teman yang duduk dibelakang saya, mereka melompat mendekati saya begitu menyadari bahwa kepala saya sudah tertimpa reruntuhan.

Keriuhan yang terjadi membuat anak kelas lain mulai berdatangan untuk melihat. Tidak ada yang ingat saat saya tanyai apa reaksi guru di kelas waktu itu terhadap kecelakaan yang saya alami. Teman-teman sudah panik.

Kemudian Elvira, teman sekelas saya yang berbadan tinggi-besar, segera mengusulkan untuk menggotong tubuh saya ke UKS (Unit Kesehatan Sekolah).

“Ayo, kita gotong rame-rame aja ke UKS! Darahnya banyak sekali!” ucapnya. Ia agak panik. Yang lain mengiyakan.

Di jalan menuju UKS, saya sempat sadar. Saya melihat tangan-tangan yang mengangkat badan saya. Banyak sekali tangan. Saya tidak tahu itu tangan siapa saja. Muka dan kepala saya ditutupi oleh jilbab seragam sekolah yang berwarna putih. Di dekat telinga, saya mendengar suara perempuan yang berteriak-teriak memanggil nama saya. Tapi saya tidak tahu siapa dia. Kemudian, saya kembali pingsan.

Ketika membuka mata, saya menyadari telah berada di ruang UKS. Tubuh saya terbaring di atas kasur berseprai putih. Teman-teman ramai berkumpul di depan pintu masuk karena tidak diperbolehkan masuk oleh guru-guru. Pak Bustami sudah berada di depan tempat tidur. Ia wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Selain Pak Bustami, ada beberapa orang guru wanita yang berdiri tidak jauh dari tempat yang berbaring.

Salah seorang menyodorkan air putih kepada saya. Lalu ada yang mengelap wajah saya dengan kapas yang telah dibasahi. Karena melihat darah yang keluar dari hidung saya cukup banyak, para guru sepakat untuk membawa saya ke rumah sakit. Mereka merasa kecelakaan yang menimpa saya adalah tanggung jawab mereka.

“Kuat jalan sampai ke mobil Bapak?” tanya Pak Bustami. Saya baru saja menengguk air putih yang diberikan.

“Kuat, Pak.” balas saya sambil sedikit menahan sakit dari luka di wajahku yang mulai menghebat.

Kami pun berjalan keluar ruangan UKS. Saya berjalan sambil membawa jilbab yang dipakai temanku untuk menutupi wajah saya yang penuh luka tadi. Sudah ada sedikit percikan darah di kain jilbab. Teman-teman masih menunggu saya di luar. Beberapa dari mereka telah menghubungi orang tua saya dan mengabari keadaan saya.

Baru beberapa langkah dari pintu keluar sekolah, saya kembali pingsan.

Devi, teman saya, menceritakan, saat itu yang mengangkat saya sampai ke mobil adalah Pak Bustami. Sekonyong-konyong Pak Bustami menggotong dan melarikan saya ke Rumah Sakit Fakinah di daerah Keutapang, Banda Aceh.

Sampai di sana, saya dibawa masuk ke UGD (Unit Gawat Darurat). Seorang dokter perempuan, yang oleh perawat dipanggil dengan sebutan Umi, mengeluarkan serpihan-serpihan kayu dan beton dari kulit hidung saya. Ia kemudian membersihkan luka-luka dengan cairan alkohol.

“Anak ini anak Bapak?” tanya sang dokter kepada Pak Bustami. Ia heran melihat saya terluka dan masih memakai seragam sekolah menengah.

“Bukan, ini murid saya,” jawab Pak Bustami.

“Kenapa luka-luka begini, Pak?”

“Tadi di sekolah, ia tertimpa asbes runtuh.”

“Di dalam kelas?”

“Iya.”

Dokter itu kontan tertawa mendengar jawaban Pak Bustami.

“Sungguh bahaya. Seharusnya tidak terjadi yang seperti ini,” katanya.

EMPAT bulan sesudah kejadian itu, tanggal 26 Desember 2004, gempa dan tsunami menerjang Aceh. Sekolah saya tak luput dari terjangan gelombang dan guncangan dahsyat. Kompleks bangunan SMPN 1 Banda Aceh hampir semuanya rata dengan tanah. Bangunan bersejarah sisa peninggalan Belanda itu nyaris tak berbentuk lagi.

Menurut situs Gatra.com, seluruh ruangan hancur sehingga kegiatan belajar SMPN 1 dipindahkan untuk sementara ke SMPN 3. Saya pun berangkat ke Medan untuk melanjutkan sekolah sambil menunggu keadaan Aceh membaik.

Saat ini SMPN 1 telah kembali berdiri. Sekolah ini dibangun ulang atas sumbangan PT.Gudang Garam T.bk. Dana yang dikeluarkan mencapai Rp 8 miliar untuk pembangunan 150 ruang kelas ditambah satu masjid di SMPN 1 Banda Aceh.

Tidak ada lagi arsitektur gaya Belanda. Yang ada hanya bangunan sekolah biasa di atas tanah yang luas. Namun yang lebih penting, bangunan ini lebih kokoh dari sebelumnya.

Sebenarnya kecelakaan saya sebagai murid yang tertimpa asbes sekolah bukanlah hal yang ′ajaib′ di Indonesia. Seperti diberitakan Kompas 2 Mei 2008 lalu. Harian itu memberitakan bahwa pada 27 Maret 2003 sebanyak 20 siswa kelas II A SD Pasundan III, Bandung, Jawa Barat, yang sedang belajar di kelas tertimpa atap ruang kelas. Lalu, pada 28 Maret 2003, Dicky Bastian, usia 7 tahun, murid SD Negeri 2 Cangkring, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, meninggal dunia tertimpa atap gedung sekolahnya.

Di seluruh pelosok Indonesia, masih banyak bangunan dan gedung sekolah yang tak layak untuk dijadikan tempat belajar. Bahkan sekolah-sekolah yang ada di Ibukota Jakarta, yang sangat dekat letaknya dengan pusat pemerintahan, juga bernasib serupa.

Padahal, pemerintah semestinya lebih peka terhadap fasilitas dan keadaan di sekolah-sekolah. Saya jadi berpikir, jika saya yang berada di sekolah favorit dengan fasilitas lengkap saja mengalami kecelakaan ini, bagaimana dengan mereka yang sekolahnya memang sudah perlu diperbaiki di sana-sini tapi tak kunjung diperhatikan?

Beruntung pada kecelakaan yang saya alami, saya tidak mengalami luka yang serius. Kecuali hanya beberapa luka di wajah yang masih berbekas  sampai sekarang. Tidak terbayang jika saya mesti mengalami hal yang sama dengan almarhum Dicky Bastian.  Menurut saya, ini salah satu dosa pemerintah dalam dunia pendidikan.

*) Mifta Sugesty adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Pelajar Ilmu Alam di SMAN 1 Banda Aceh dan murid Sekolah Menulis Dokarim.

kembali keatas

by:Mifta Sugesty