Ujian Penyelenggara Pemilu

Hairul Anwar

Wed, 14 May 2008

Pemilu di Aceh akan diramaikan dengan kehadiran partai politik lokal. Apa saja tantangan anggota Komite Independen Pemilihan Aceh?

DI antara tiga lelaki yang duduk melingkari meja di ruang tamu itu, ia terlihat paling muda. Penampilannya pun paling dandy dengan celana hitam, kemeja biru tua dipadu lilitan dasi warna hijau muda garis-garis. Tubuhnya yang tinggi besar seperti menyembunyikan usianya yang muda.

Ia tak betah lama-lama duduk di sofa ruang tamu. Sebentar-sebentar ia berdiri, lalu duduk lagi. Ia juga terlihat kurang antusias ikut obrolan tiga orang rekan yang baru dikenalnya di tempat itu.

“Sepertinya masih lama,ya,” katanya kepada rekan di sebelahnya.

Ia kemudian melangkah masuk ke ruangan dekat kursi tamu. Tak lama ia kembali dan kini ia memilih duduk memisah dari tiga rekannya.

Seorang lelaki muda berkemeja putih muncul dari balik pintu ruangan. Tangannya menggapit map tebal sembari melempar senyum ke arah orang-orang di kursi tamu.

“Haah…Selesai sudah. Lulus…Lulus,” katanya sambil menghela napas dan kemudian bercakap-cakap dalam bahasa Aceh dengan yang lain.

Lelaki berdasi itu sejenak membaca lembaran kertas yang tadi ia simpan di tas jinjingnya. Ia memainkan jari-jari tangan kanan berulang-ulang ke atas paha. Mukanya tegang.

“Pak Yarwin… Silahkan masuk.” Suara pegawai berseragam coklat muda memanggil di depan pintu.

Lelaki berdasi itu menoleh dan bergegas mengikuti langkah pegawai itu masuk ke ruangan. Pintu hampir menutup kembali ketika seorang rekannya berseru, “Sukses ya!”

Rabu siang itu, 23 April 2008, Yarwin dan tiga lelaki tadi tengah memenuhi panggilan Komisi Pemerintahan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh untuk uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai calon anggota Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh, dulu bernama Komisi Pemilihan Umum atau KPU.

Sebuah tim penjaringan bentukan DPR Aceh menyodorkan 21 nama, setelah selama sebulan menjaring ratusan peminat. Yarwin, salah satunya, mendapat giliran di hari terakhir setelah Komisi memberi tes pada calon lain dua hari sebelumnya.

Sejam kemudian Yarwin keluar ruangan. Ia melepas ketegangan di ruangan itu dengan menghempaskan tubuhnya di sofa.

“Saya mendapat sekitar 24 pertanyaan,” katanya kepada saya, sambil melepaskan ikatan dasi di lehernya. “Dari sepuluh orang anggota komisi yang menguji hanya satu yang tidak mengajukan pertanyaan.”

Yarwin datang dari Aceh Singkil. Ia naik pesawat via Medan untuk sampai ke Banda Aceh. Ia bekerja sebagai anggota KIP Aceh Singkil.

“Pengalaman sebagai anggota KIP dulu mendorong saya cari peruntungan jadi anggota KIP provinsi. Saya yakin punya kemampuan,” katanya, lugas.

Di ruang tamu itu hanya ada kami berdua. Tiga rekannya sudah pergi sejak tadi karena tes akan dilanjutkan setelah istirahat makan siang.

“TIDAK bisa…Tidak bisa…”

Khairul Amal mengulang kalimat itu saat menanyakan apa saja yang diujikan kepada setiap calon anggota KIP Aceh. Ia menolak memberikan notulensi fit and proper tes

“Nanti 10 tahun, mungkin, baru bisa dibuka ke publik,” katanya, sambil terkekeh.

Saya menemui Khairul, Jumat, 2 Mei 2008 lalu. Ia politisi Partai Keadilan Sejahtera yang memimpin Komisi Pemerintahan di DPR Aceh.

Materi pertanyaan komisi kepada calon anggota KIP Aceh, antara lain tentang wawasan syariat Islam, integritas, kemampuan memecahkan masalah, pengalaman atau pengetahuan tentang pemilihan umum (pemilu).

Setiap penguji diberikan formulir penilaian berdasar materi pertanyaan dan angka nilai dari 10-100. Masing-masing penguji bebas memberikan nilai sesuai jawaban yang diberikan peserta ujian.

Catatan pertanyaan itu perlu dibuka supaya publik tahu bagaimana penguji menilai integritas calon anggota KIP. Sejauh mana kedekatan anggota komisi dengan calon yang diuji juga bisa dianalisis dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Bagaimana jika penguji bertanya sekenanya kepada calon tertentu tapi bertanya cukup detail pada calon lain?

Harap diingat bahwa kelak, saat sepuluh penguji itu mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, yang menilai layak atau tidaknya mereka jadi calon adalah tujuh orang anggota KIP itu.

Tapi, Khairul kembali bergeming.

“Tidak etis membuka siapa saja anggota komisi yang bertanya sekadarnya atau siapa yang bertanya cukup detail,” katanya, datar.

Tiga hari setelah ujian, Komisi mengumumkan tujuh orang yang lulus sebagai anggota KIP Aceh. Mereka adalah Abdul Salam Poroh, Ilham Saputra, Robby Syahputra, Akmal Abzal, Yarwin Adi Darma, Nurjani Abdullah, dan Zainal Abidin. Tiga nama terakhir merupakan anggota KIP lama.

Komisi Pemilihan Umum di Jakarta telah memutuskan pemilihan anggota parlemen serentak dilaksanakan pada 5 April 2009. Khusus Aceh, partisipan pemilihan ditambah dari partai lokal. Ini sesuai Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Itu artinya pekerjaan penyelenggara pemilihan di Aceh tentu lebih berat. Nah, kalau salah memilih orang bisa dibayangkan bagaimana kacaunya pemilihan nanti.

“Kami yakin tujuh nama itu orang-orang yang tepat sebagai penyelenggara pemilu di Aceh,” kata Khairul, tegas.

Tujuh nama itu, disahkan dalam rapat paripurna DPR Aceh pada Senin, 5 Mei lalu. Rapat dipimpin Ketua DPR Aceh Sayed Fuad Zakaria, dihadiri seluruh anggota dan Gubenur Aceh Irwandi Yusuf. Khairul membacakan laporan kerja Komisi Pemerintahan kepada peserta rapat.

“Dengan keikutsertaan partai politik lokal berarti kerja KIP akan makin berat,” kata Irwandi, saat memberi pidato.

Saat rapat hendak ditutup, seorang anggota dewan tiba-tiba interupsi.

“Saya mau nitip pesan, Pak Ketua,” katanya kepada Sayed, “Untuk anggota KIP yang baru jangan kayak anggota yang dulu. Setelah pemilu malah sibuk cari kerja sampingan. Fokus saja bekerja.”

Beberapa anggota KIP yang duduk di balkon ruang rapat tersenyum mendengar pesan itu.

TERPILIH sebagai anggota KIP Aceh membawa Ilham Syahputra seperti kembali pada ‘dunia lama’. Selama merantau belasan tahun di Jakarta ia bekerja di sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menggeluti isu-isu pemilihan umum. Ia lama di Center Electoral Reform (Cetro) Jakarta.

“Bedanya, sekarang saya berada dalam sistem pemilu, yang dulu saya kritik,” katanya ketika saya temui Sabtu, 3 Mei 2008 lalu.

Ilham diuji oleh Komisi Pemerintahan pada hari pertama. Pertanyaan yang diajukan datar-datar saja. Kebanyakan soal pengalamannya sebagai aktivis pemantau isu-isu pemilu.

“Masalah umum penyelenggara pemilu selalu lemah dalam sosialisasi aturan-aturan pemilihan,” katanya.

Seringkali, kata Ilham, penduduk yang punya hak pilih tidak mengerti tentang teknis pemilihan. Ada kejadian, saat pemungutan suara banyak kertas suara dinyatakan tidak sah karena salah coblos.

“Untuk pemilu nanti ada aturan baru. Nah, kalau tidak disosialisasi bisa-bisa banyak suara tidak sah,” katanya, lagi.

Pemilihan anggota parlemen pada 2009 nanti akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ada kalimat dalam aturan baru itu yang cukup membingungkan.

Misalnya, pasal 153 ayat 1 aturan itu bunyinya, “Pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara.”

“Kalau dulu kalimatnya berbunyi “mencoblos”. Alat coblosnya pakai paku. Karena sekarang ada kalimat “menanda” kemungkinan tidak pakai paku lagi,” kata Ilham.

Menurut aturan lama, surat suara dinyatakan sah bila pemilih mencoblos dua kali, yakni tanda partai dan nama orang. Kalau salah satu tidak dicoblos, artinya surat suara tidak sah.

“Nah, itu kan belum banyak penduduk yang mengerti. Sosialisasi nanti harus gencar dilakukan KIP Aceh,” katanya.

Selain itu, tampilnya partai lokal diperkirakan menambah rumit proses pemilihan di Aceh. Ini terkait dengan lama pencoblosan sampai penghitungan suara.

“Bayangan kami KIP akan sangat sibuk,” kata Yarwin Adi Darma.

Ia, misalnya, memberi gambaran pemilu 2004 yang diikuti 24 partai politik nasional. Lebar surat suara untuk anggota parlemen hampir sepenuh halaman koran. Pencoblosan dimulai pukul 08.00 dan penghitungan suara baru bisa selesai pukul 21.00.

Yarwin memberi gambaran kasar tentang pemilu mendatang. Anggap saja partai politik nasional yang sudah lulus ada 40, ditambah partai politik lokal ada 10. Pemilu di Aceh berarti diikuti 50 partai politik. Bisa dibayangkan betapa lebarnya surat suara nanti.

Otomatis itu akan berpengaruh pada saat penghitungan suara. Masing-masing pemilih biasanya menghabiskan waktu sepuluh menit. Mulai dari membuka empat lembar surat suara, melihat, menandai, lalu melipat kembali.

“Aturan mengharuskan satu tempat pemungutan diikuti minimal 500 orang. Bisa-bisa penghitungan suara baru bisa selesai subuh!” katanya.

Untuk menghemat waktu, Ilham dan Yarwin mengusulkan surat suara partai politik lokal tidak perlu terpisah dengan partai politik nasional.

“Misalnya partai nasional ada 40, maka urutan ke-41 sampai seterusnya diisi partai lokal,” kata Ilham.

Keduanya juga sepakat bahwa anggota KIP harus kerja keras mensukseskan pemilu di Aceh. Sukses bukan saja dinilai dari keikutsertaan pemilih tapi mencegah bagaimana konflik tidak terjadi.

Kerja awal, KIP akan memverifikasi partai politik nasional maupun lokal yang berhak ikut pemilu. Syaratnya sama saja, yakni punya pengurus lengkap di 2/3 kabupaten di provinsi Aceh. Khusus partai politik lokal, kata Yarwin, kemandirian anggota KIP sangat penting.

“Kalau nggak memenuhi syarat kenapa harus dipaksakan. Jadi kita lihat saja apakah partai lokal nanti mau bekerja sama,” katanya.

Tahun depan Aceh akan hiruk-pikuk oleh bendera partai politik. Jalan-jalan akan penuh oleh umbul-umbul dan poster para politisi. Sekali lagi, kedamaian Aceh bakal diuji. Mari kita lihat apakah tujuh orang anggota KIP itu mampu jadi “wasit” yang mandiri dan bebas dari tekanan politisi. ***

*) Hairul Anwar adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh.

kembali keatas

by:Hairul Anwar