Rapa’i

Siti Rahmah

Fri, 16 May 2008

Tarian tradisional Aceh yang dibawakan oleh kaum pria. Sempat menghilang di masa konflik, kemudian jadi alat kampanye perdamaian di Aceh.

SEBELAS lelaki itu duduk berbanjar atau bersaf, laksana duduk di antara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan ke kanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk-nepuk tangan ke paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa, syech, aneuk dhiek atau aneuk syahi. Mereka adalah penari Rapa’i.

"Posisi syech tidak sembarangan. Orangnya harus sudah peka sekali terhadap Rapa’i Geleng dan juga dengan pemain yang lain," ucap Imam Juwaini sambil mengisap sebatang rokok.

Imam adalah pelatih Rapa’i Geleng di Sanggar Seni Seulawet. Dia bergabung di sana sejak tahun 1998. Saat itu dia masih kuliah di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, jurusan Tarbiyah Konseling Islam atau TKI. Dia juga pernah menjabat ketua Sanggar Seni Seulawet di tahun 2003 sampai 2005.

Syech duduk di tengah penari dan bertugas mengatur tempo serta memancing suasana. Intinya, dia bertugas mengkoordinasi tim. Aneuk syahi atau aneuk dhiek adalah orang yang melantunkan lagu. Mereka masing-masing duduk paling ujung sebelah kiri atau sebelah kanan pemain, sedikit terpisah dari tim yang lain.

Lagu yang dinyanyikan selalu dalam bahasa Aceh. Isinya tentang syiar agama Islam, nilai-nilai moral dan pesan sosial.

Tarian ini diperuntukkan untuk para lelaki dan dilakukan secara kelompok. Jumlah penari selalu ganjil, maksimal 15 orang.

"Kita harus memiliki jiwa, karena kita butuh berkonsentrasi dan keseriusan," ujar Imam saat diwawancarai di tengah persiapannya pergi ke Jakarta untuk mengikuti workshop musik.

Beberapa tarian Aceh ternyata sangat mirip satu sama lain. Gerakan yang paling umum adalah duduk, gerak kepala, bertepuk tangan dan menepuk dada.

Namun, panjang pendeknya pementasan Rapa’i berubah dari masa ke masa.

"Awal sejarahnya, sampai pagi. Dulu Rapa’i itu dipertandingkan. Siapa yang kalah akan memainkannya sampai subuh. Saat ini lebih kepada pertunjukan. Sekitar 15 menit," kata Imam.

Ritme gerak pada tarian Rapa’i Geleng hanya terdiri dari empat tingkatan yaitu lambat, sedang, cepat, dan diam. Tari ini terdiri dari tiga babak, yaitu saleum (salam), kisah (baik kisah Rasul, Nabi, Raja, dan ajaran agama) dan lani (penutup). 

Imam menemukan kenikmatan dalam menari.

Enjoy aja. Ada kesenangan dan kelebihan tersendiri di mata orang," jawabnya.

"Tarian ini banyak disukai, namun tidak semua bisa memainkannya. Beda dengan lagu yang bisa diikuti banyak orang," tambahnya.

Untuk sekali pertunjukan, bisa menghasilkan uang Rp 2.300.000. Jika di luar Banda Aceh, rombongan penari ini bisa dibayar sekitar Rp 5.000.000 sekali main. Mereka tak mematok harga bila acaranya untuk warga biasa.

Rapa’i Geleng populer tak hanya di Aceh, tapi juga di mancanegara. Selain Rapa’i, tari-tarian Aceh yang juga dikenal di dunia internasional adalah Seudati, Saman, Pukat, dan Ratip Meusekat.

Di masa konflik orang Aceh jarang menyaksikan Rapa’i Geleng. Kini tarian ini muncul kembali untuk menghibur warga Aceh, dengan gerak dan syairnya.

Dedi Saputra adalah salah seorang penari dan pengurus Sanggar Seni Seulawet. Dia mulai bergabung dengan Sanggar Seni Seulawet pada tahun 1996. Dengan keahliannya itu Dedi dan rekan-rekannya di Sanggar Seni Seulawet sudah melawat sampai ke Malaysia (2004 dan 2005) dan Singapura (2007) untuk tampil di acara seni budaya Aceh di sana. Dan mereka akan ke Cina untuk turut memeriahkan pembukaan Olimpiade Beijing di bulan Juni 2008.

Dedi sangat menyukai Rapa’i Geleng karena dia melihat ada keunikan dan keserasian juga rasa kebersamaan yang terjalin di dalamnya.

"Rapa’i Geleng merupakan salah satu tarian yang unik. Penyelarasan antara kecepatan gerak yang heroik dan selang-seling antara pemain di sebelahnya namun tidak bertabrakan. Hal ini membuat penonton terheran-heran dan kagum," katanya, sambil memperagakan gerak tarian tersebut.

Kostum yang sering mereka pakai saat tampil adalah baju kuning dengan kombinasi hitam. Di antara jahitan hitam dan kuning dihias manik-manik warna emas. Celana hitam yang dikenakan juga berhias manik-manik di kedua ujungnya. Para penari memakai tengkulok atau ikat kepala warna merah  kombinasi kuning. Mereka juga mengenakan songket merah yang bersulam benang emas.

Sesungguhnya, para penari ini memiliki banyak kostum. Dan selalu berganti-ganti di setiap pertunjukan. Tapi, mereka tak punya pakaian khusus.

Biasanya mereka akan berlatih selama 6 bulan atau sekitar 24 kali pertemuan sebelum tampil.

Mengapa tarian ini dinamakan Rapa’i?

Menurut data dari Badan Arsip dan Museum Negeri Aceh, rapa’i merupakan sejenis alat musik instrumen tradisio­nal Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapa’i dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari pohon nangka), yang setelah dibulatkan lalu diberi lubang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lubang ini disebut baloh, yang lebih besar di bagian atas daripada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing, sedangkan bagian bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak

Tarian Rapa’i juga jadi simbol perdamaian. Sebuah atraksi seni bertajuk "Uroh Taloe Rod" atau "Tabuhan Rapa’i Sepanjang Jalan (Percussion on the Road)" digelar pada tanggal 7 Agustus sampai 8 Agustus 2005. Atraksi ini dimulai dari Banda Aceh hingga ke Peureulak, Aceh Timur, dan diakhiri di Panton Labu, Aceh Utara.

Di tengah malam itu, 114 kelompok Rapa’i Pasee dengan 288 penabuh yang berasal dari seniman tradisional di wilayah Aceh Utara berkumpul di pendopo Gubernur Aceh. Dua puluh empat truk interkuler terparkir di situ. Mereka tidak sedang melakukan aksi protes, tapi akan memulai konvoi perdamaian.

Konvoi tadi akan menempuh jarak 393 kilometer. Keberangkatan mereka dilepas oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hidayat Nur Wahid. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, juga turut hadir.

Acara itu terselenggara atas kerja sama pemerintah daerah dengan Keurukon Aneuk Papah Adat Keuneubah Aceh Darussalam (KANAPAKAD) dan Yayasan Aceh Kita. Misinya adalah kampanye damai secara adat.

Rombongan Rapa’i tersebut dipimpin seorang penggiat seni Aceh, Syamsuddin Djalil atau dikenal sebagai Ayah Panton.

"Di Aceh ini unik. Ada musik tanpa syair. Ada syair tanpa musik dan ada musik tanpa alat," tuturnya.

"Kalau Rapa’i Pasee, jenis keseniannya uroh. Di uroh tidak memakai gerakan tetapi hanya mengandalkan bunyi," katanya kepada saya.

Alat musik yang digunakan dalam kesenian Rapa’i dibagi dua yaitu, rapa’i (gendang) besar dan kecil. Rapa’i besar dimainkan dengan cara digantung. Contohnya  dalam pertunjukan Rapa’i Pasee.

“Rapa’i yang lainnya termasuk dalam rapa’i kecil,” tutur Ayah Panton.

Ayah Panton menganggap Rapa’i Pasee dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik di Aceh waktu itu. Cara-cara politik sudah dilakukan. Cara bersenjata juga sudah.

"Kenapa tidak dengan budaya yang lebih pasti akan menyatukan pikiran orang, karena dianggap lawan atau kawan (sebagai) milik bersama," katanya.***

*) Siti Rahmah adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Ia bekerja di World Bank, Banda Aceh.

kembali keatas

by:Siti Rahmah