Lambang Terakhir

Samiaji Bintang

Sun, 25 May 2008

GAM dua kali mengubah nama partai. Kini memilih nama Partai Aceh agar dapat ikut pemilihan umum 2009.

imageJIMI menggerakkan tangan kanannya pelan-pelan, naik-turun, pada papan berukuran sekitar 2,5 x 2 meter itu. Tangan kirinya memegang kaleng cat. Dia memulas huruf-huruf G-A-M yang semula berwarna putih dengan cat merah, agar huruf-huruf itu hilang dan menyatu dengan warna yang semula jadi latarnya. Seorang kawannya berjaga di bawah, memegangi tangga alumunium yang dinaiki Jimi.

“Ini sudah ketiga kali,” ujarnya kepada saya, seusai mengecat.

Jimi bekerja di Menara Grafika, perusahaan pembuat papan reklame di Banda Aceh. Sewaktu Partai GAM meresmikan kantornya pada awal Juli 2007, Jimi ikut andil. Papan nama itu buatannya.

Di hadapan wartawan dan undangan yang hadir ketika itu, Muzzakir Manaf selaku ketua dan petinggi partai lainnya memperkenalkan lambang partai mereka, yaitu bulan sabit dan bintang putih di atas dasar merah.

Tapi pemerintah menolak lambang partai yang serupa dengan lambang Gerakan Aceh Merdeka itu. Bahkan, kepala Kepolisian Kota Banda Aceh, Komisaris Besar Zulkarnain, segera memerintahkan papan nama Partai GAM ditutup.

Sore hari setelah deklarasi itu, papan nama partai tersebut diselubungi kain kuning.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya menjelang akhir Februari 2008, Jimi dipanggil untuk menghapus lambang bulan sabit dan bintang tadi dan menggantinya dengan tiga huruf, G-A-M, dengan cat putih.

Belum selesai sampai di situ. Pada Rabu siang, 21 Mei 2008, Jimi diminta mengecat kembali lambang partai GAM. Kali ini ia harus mengganti huruf G-A-M dengan huruf A-C-E-H.

Partai Aceh. Itulah nama resmi terakhir partai yang didirikan orang-orang yang dulunya bergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka atau disingkat GAM ini.

Bagaimana jika nama atau lambang berubah lagi?

“Ya order lagi,” sahut Jimi, tersenyum. Maksudnya, tiap penggantian nama atau lambang adalah rezeki baginya.

Ketika Jimi tengah sibuk mengukir huruf A-C-E-H dengan kuasnya itulah, Adnan Beuransah yang didampingi Ibrahim bin Syamsuddin mengumumkan peresmian penggantian nama Partai GAM menjadi Partai Aceh di hadapan belasan wartawan. Adnan adalah juru bicara partai, sedangkan Ibrahim menjabat juru bicara Komite Peralihan Aceh atau KPA, organisasi yang beranggotakan mantan GAM.

“Perubahan itu sudah direstui Meuntroe Malik (Perdana Menteri GAM Malik Mahmud),” kata Adnan. Ia pernah menjadi juru bicara GAM di , tempat ia mengasingkan diri dari tahun 1998 hingga 2006.

Menurut Adnan, pergantian itu terpaksa dilakukan karena protes pemerintah Inodnesia.

“Kami (berubah) mengikuti alur cerita. Kalau tidak, kami tidak akan bisa maju,” imbuh Adnan.

GAM mengubah jalur perjuangannya dari bersenjata ke politik berdasarkan Perjanjian Damai di Helsinki, Finlandia yang ditandatangani GAM dan  pemerintah pada 15 Agustus 2005 lalu. Disebutkan dalam butir 1.2.1 perjanjian itu bahwa pemerintah setuju dan akan memfasilitasi pendirian partai-partai politik lokal Aceh.

Pembentukan partai politik lokal di Aceh pun diatur dalam Bab XI Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selain itu, dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 (PP Nomor 20/2007). Di situ diatur dari tata cara pendaftaran, anggaran dasar, kerja sama dengan partai nasional, penyelesaian perselisihan hingga pembubaran partai.

Dalam pasal 22 ayat 4 peraturan itu disebutkan ketentuan bahwa nama, lambang, dan tanda gambar tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan lambang negara, lambang lembaga negara, lambang pemerintah, lambang pemerintah daerah, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik atau partai politik lokal lain.

Tapi pemerintah segera menerbitkan aturan baru setelah mereka melarang lambang Partai GAM.

imageDi akhir Desember 2007, keluar Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Aturan ini menjelaskan jenis lambang daerah, kedudukan dan fungsi, desain, hingga rincian aturan penempatan lambang dan logo daerah. Pada ayat 4 pasal 6 pada bab Desain Lambang Daerah tercantum kalimat ini: “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain dan logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik .”

Yang dimaksud logo dan bendera organisasi terlarang maupun gerakan separatis diterangkan dalam bagian penjelasan. Yaitu, “logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.”

Motif pelarangan pun jadi jelas. Bulan sabit dan bintang merupakan lambang yang dipakai Hasan Tiro sebagai lambang pada bendera Front Pembebasan Aceh Sumatera yang diproklamasikannya pada Desember 1976. Front itu kemudian dikenal dengan nama GAM, julukan yang diberikan pemerintah terhadap gerakan kemerdekaan Aceh.

Tak ayal lagi aturan tadi jadi pembicaraan utama dalam round table meeting di Jakarta awal Februari 2008. Forum ini disponsori Institute for Indonesian Peace-Interpeace Aceh Program. Forum ini mempertemukan petinggi GAM dan pemerintah untuk membahas perkembangan dan keberlangsungan perdamaian di Aceh. Wakil GAM yang hadir, antara lain Perdana Menteri Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Zaini Abdullah, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzzakir Manaf, dan juru bicara Ibrahim bin Syamsuddin.

Aturan ini juga sempat diprotes Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Sebab penerbitan peraturan itu, menurut Irwandi, tak melalui konsultasi dengan gubernur Aceh seperti yang tercantum di Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006. Ia juga cemas PP Nomor 77/2007 bakal merusak perdamaian di Aceh.

Atas nama pemerintah Aceh, Irwandi mengirim bernomor 188.31/545 kepada pemerintah di pada 4 Januari 2008. Salah satu bunyi poin surat itu adalah “meminta agar pemerintah pusat agar mencabut dan meninjau ulang Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007”, serta mengatur kembali aturan tersebut setelah melalui proses konsultasi dengan gubernur dan mendapat pertimbangannya.

Pemerintah Jakarta tak menggubris protes Irwandi. Sebaliknya, belakangan GAM memilih jalan kompromi.

Pada Kamis 25 Februari 2008, lambang partai GAM berubah jadi logo “GAM”. Kepanjangan GAM di logo ini bukan “Gerakan Aceh Merdeka”, melainkan menjadi “Gerakan Aceh Mandiri”.

Ternyata pemerintah belum tenang juga. Mereka keberatan dengan kata “gerakan” dalam nama partai GAM.

Partai GAM kemudian berganti nama jadi Partai Aceh. Mengalah untuk menang.

Juru bicara Adnan Beuransah menegaskan bahwa Partai Aceh bakal mengusai kursi parlemen di Aceh.

“Ya mungkin tidak seratus persen. Tapi kami optimis (menang),” katanya.

Saat ini, meski belum ada data resmi, jumlah formulir keanggotaan yang masuk ke partai sudah sekitar 50 ribuan. pendukung utama Partai Aceh ada di Aceh Utara dan Pidie.

“Yang masih diproses sekitar 150 ribu. Kami perkirakan jumlah anggota sekitar 500 ribuan,” kata Adnan.

“Dari mana dana partai?” tanya saya.

“Kami ini partai rakyat, kalau ada yang sumbang silakan.”

“ iuran anggota?”

“, tapi sampai sekarang belum diputuskan.”

Dua kali ganti nama dan lambang partai bukan tanpa risiko. Menurut Adnan, tiap kali ganti nama membutuhkan dana jutaan rupiah untuk mensosialisasikan kepada pengurus dan pimpinan partai di daerah. Pengurus partai di pusat harus mendatangi dan menyampaikan sendiri perubahan nama partai.

Bagaimana kalau pemerintah menolak nama dan lambang terakhir ini?

“Tidak akan ada perubahan (nama dan lambang) lagi,” tegas Ibrahim bin Syamsuddin yang mendampingi Adnan.

“Kami optimis, ini tidak akan ditolak,” tandasnya.

Pernyataan Ibrahim terbukti. Pada 23 Mei 2008, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta mengumumkan bahwa 12 dari 14 partai lokal di Aceh lulus verifikasi, termasuk Partai Aceh.***

*) Samiaji Bintang adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang