WOLOWARU adalah sebuah desa kecil yang terletak di kaki Gunung Kelimutu, Ende, Pulau Flores. Desa ini cantik. Airnya segar dan banyak pohon. Wolowaru menjadi tempat istirahat bagi para pesiar. Baik yang hendak ke Maumere maupun ke Ende.

Di sini, ada sebuah warung makan, namanya, Jawa Timur. Jagoannya, soto dan goreng ayam. Pemiliknya, Sucahyo Lukito. Perawakannya sederhana. Memakai kaos belel. Celana pendek. Dan sandal jepit.

Pagi itu, Selasa, 29 April 2008, beberapa pelanggannya tengah makan lahap di warung makannya. Beberapa sopir juga terlihat membakar rokok kretek. Di samping kiri kanan warung terdapat toko yang menjual aneka barang sehari-hari.

Sehari-hari, Sucahyo Lukito bekerja di belakang warung makan itu. Memang, ia bukan juru masak warung makan itu. Tapi bersama 123 orang pekerja lainnya mengolah kacang mete. Dari memecah batok gelondong mete hingga menyajikan mete dalam bentuk cemilan. Ia membangun sebuah usaha dagang dengan bendera Nusa Permai.

Sucahyo Lukito mengolah mete organik dalam bentuk kernel putih dan kacang garing. Prosesnya melalui pematangan oven hingga 12 jam dengan suhu panas mencapai 45 derajat celcius. Mete organik ini pun langsung terasa renyah, manis dan gurih.

"Sudah lulus uji laboratorium dari Jerman. Metenya diperiksa apa ada bakteri dan virusnya, nutrisinya bagaimana," kata Sucahyo Lukito kepada saya.

Kantornya kecil. Lantai keramik putih. Mesin pendingin udara menyala memberikan sedikit kesejukan. Laptop terongok di sudut meja kerjanya. Ia juga mengoleksi produk-produk organik mete dunia. Dari India hingga Kanada.

Ia mengecek olahan kacang mete di laboratorium Ifmulm atau Institut für Mikrobiologie Dr. Rolf Bäuerle. Hasilnya, mete organik ini layak dikonsumsi dan sehat.

Ini adalah salahsatu syarat agar metenya bisa masuk pasar perdagangan Eropa maupun Amerika. Selain itu, ia juga mendongkrak nilai cemilan metenya dengan sebuah sertifikat organik internasional dari IMO atau Institute for Marketecology untuk pengolahan dan pemasaran produk organik.

Setiap tahunnya ia mengeluarkan uang sebesar 1600 Euro atau Rp 20 juta untuk memperpanjang sertifikasi tersebut. IMO melakukan pengecekan di lapangan. Dari mulai kebun mete yang berada di Maumere, Sikka, Ngada hingga di Ilepadung, Flores Timur. Termasuk memeriksa kebersihan pengolahan mete di belakang warung makan Jawa Timur di Wolowaru, Ende itu.  Tujuannya sama, untuk memastikan mete itu bersih dan bebas dari kontaminasi kimia.

Perkebunan mete ini telah mendapatkan sertifikasi organik. Ada sekitar 600 petani mete organik dan menghasilkan sekitar 240 ton setiap panen. Pulau Flores kaya dengan ragam komoditas rempah-rempah.

Bagian Flores Barat menjadi basis perkebunan kopi. Sementara di bagian utara hingga timur menjadi basis komoditas rempah-rempah lainnya. Seperti hamparan perkebunan jambu mete di Larantuka, Flores Timur.

"Flores itu terlalu kaya. Apa yang tidak ada di Flores ini. Hanya terarah atau tidak. Flores ini bisa makmur. Kaya sekali. Itu baru mete, belum kopi, vanili, coklat, kopra. Tapi bagaimana itu," katanya seperti hendak menggugat.

Tak jauh dari ruang kerjanya, beberapa perempuan tengah sibuk bekerja membersihkan mete hingga menjadi kernel berwarna putih. Menggunakan kuas untuk mengupas potongan kulit ari mete yang sudah kering. Mete-mete itu diperiksa satu persatu seperti seorang antropolog yang tengah membersihkan tulang belulang Dinosaurus.

FLORES adalah salahsatu pulau besar di Nusa Tenggara Timur. Saat ini Nusa Tenggara Timur tergolong provinsi miskin di Indonesia. Diperkirakan penduduk miskinnya sebanyak 30.74 persen. Sisanya Papua 41.80 persen, Maluku 34.78 persen dan Gorontalo 32.12 persen. Nusa Tenggara Timur juga punya masalah besar lainnya seperti wilayah Indonesia kebanyakan, korupsi.

Sebuah yayasan nirlaba, Swisscontact dari Swiss melakukan sejumlah penelitian soal kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Ia mulai bekerja di Pulau Jawa dan mendirikan sekolah politeknik di Bandung pada tahun 1970an. Saat ini, Swisscontact telah bekerja di 30 buah negara Dunia Ketiga.

Swisscontact hendak mencari tahu bagaimana memerangi kemiskinan penduduk di Pulau Flores ini. Dan komoditas mete Flores menjadi jalan keluarnya. Penelitian dan aktivitas Swisscontact di Flores ini sempat disampaikan melalui sebuah seminar di hotel berbintang di Jakarta.

Acara ini dihadiri oleh perwakilan Badan Perencanaan Nasional, Departemen Pertanian, Kementerian Daerah Tertinggal, maupun berbagai organisasi donor internasional seperti United States Agency for International Development hingga World Bank.

Swisscontact mengembangkan sistem pertanian dan perdagangan organik. Ia memetakan perkebunan organik di Flores ini. Menceritakan strategi dan pengembangan organik pada petani, pelaku usaha, bank dan pemerintahan Flores.

Tak mudah menceritakan dan menerapkan organik. Pengembangan organik secara serius di Indonesia tidak ada. Ini membuat Indonesia tidak masuk dalam jajaran perdagangan organik internasional. Padahal, Indonesia menghasilkan banyak komoditas rempah-rempah yang bisa mengisi perdagangan internasional. Organik terbilang makhluk baru di Indonesia. Ia tidak dikenal oleh pemerintah apalagi oleh para petani saat ini.

Semasa pemerintahan  rezim Orde Baru, Soeharto mengembangkan konsep Revolusi Hijau dalam pertanian. Lahan-lahan pertanian dipaksa untuk mendongkrak perekonomian negara. Dari mulai lahan persawahan, kelapa sawit, beras hingga sayuran.

Revolusi Hijau melibatkan penggunaan pupuk kimia, dari Urea, Peptisida hingga DDT. Soeharto juga mendirikan pabrik-pabrik pupuk kimia besar dan mengundang investor asing untuk mengembangkan benih-benih transgenik.

Penggunaan kimia ini membuat lahan pertanian Indonesia rusak dan keras. Tanah menjadi kering dan membatu. Kimia ini juga membuat hama menjadi lebih ganas dan kebal sekaligus bandel dari pembasmi hama kimia biasa.

Dampak buruk lainnya adalah Indonesia banyak kehilangan benih lokal. Dan membuat jutaan petani semakin terpuruk akibat ketergantungan pada pupuk dan benih-benih pertanian. Tak jarang Orde Baru juga melakukan kekerasan untuk memaksa para petani menggunakan pupuk Urea untuk lahan persawahannya.

Sampai sekarang orientasi pengembangan pertanian Indonesia tidak jelas. Pemerintah masih suka mengimpor beras. Sekolah-sekolah pertanian banyak kehilangan muridnya. Siapa pemuda sekarang yang berkeinginan menjadi seorang petani?

Aridito Prihananto tahu betul sejarah kelam ini membekas dalam benak birokrasi dan petani. Organik tidak sekedar mengharamkan penggunaan kimia saja. Namun organik juga membicarakan sebuah mekanisme pasar baru, keterbukaan dan keadilan perdagangan.

"Ini butuh perjuangan. Perlu dukungan dari pemerintah. Petani mau, tapi pemerintah tetap jual pupuk, ya bagaimana?," katanya.

Saat ini, Aridito Prihananto bekerja di Swisscontact sebagai senior consultant for quality control. Setiap hari ia melakukan pendampingan di pengolahan mete organik, milik Sucahyo Lukito ini.

Organik membutuhkan sejumlah syarat ketat. Menurutnya, lahan-lahan pertanian perlu konservasi hingga tiga tahun lamanya. Tujuannya agar lahan pertanian tersebut menjadi bebas kimia atau rendah kimia.

Ia sudah enam tahun tinggal di Flores ini untuk melakukan sejumlah penelitian komoditas rempah-rempah. Termasuk mengembangkan pertanian organik Jambu Mete. Saat ini, menurutnya, baru empat kelompok tani yang sudah mendapatkan sertifikat organik dari IMO.

Rencananya ada dua kelompok tani lagi di Larantuka yang masih dalam proses konversi sertifikasi. IMO mencatat secara detail lahan-lahan perkebunan petani itu. Termasuk melakukan wawancara terhadap para petaninya untuk mengetahui bagaimana mereka bekerja merawat kebun metenya itu.

Swisscontact membantu dan mendampingi petani dengan membentuk kelompok-kelompok kecil itu. Idealnya satu sertifikat organik mencakup luas lahan sebesar 80 hektar. Namun saat ini tiap satu kelompok baru menampung 30 hingga 35 petani. Dengan luas lahan tiap kebun mencapai 1 hingga 1.5 hektar. Lahan ini kebanyakan lahan keluarga atau ulayat

"Pemerintah membantu pendanaan sertifikasi awal. Selanjutnya pembeli dan petani yang melanjutkan," katanya.

Para petani tidak mungkin membeli sertifikat organik itu secara pribadi karena cukup mahal. Indonesia belum memiliki satu lembaga yang menyediakan sertifikat organik internasional. Beberapa lembaga sertifikat lokal, seperti Biocert di Bogor hanya mengeluarkan sertifikat organik secara nasional.

Tiap kelompok petani mete kemudian mendirikan sebuah kantong pendanaan bersama melalui ecofund. Petani dan pembeli, macam Sucahyo Lukito, menyisihkan uang setiap penjualan dan pembelian tiap kilogram hasil panen mete. Saat ini, harga satu kilogram gelondong mete kering di petani senilai Rp 8500. Dan sudah termasuk dana ecofund sebesar Rp 500.

Para petani, menurutnya, harus kerja keras dan mau belajar tentang organik. Untuk pendampingan dan pengawasan, kemudian membentuk satu sistem pengendalian internal. Di sini melibatkan para petani dan koordinator lapangan. Fungsinya untuk menjaga kualitas mete dan mengatasi semua persoalan di lapangan. Misalnya, berdiskusi mengenai pencegahan hama secara alami dan sebagainya.

"Tidak boleh ada penyimpangan. Sudah empat tahun ini ada kekurangan tapi tidak parah. Salah prosedur saja. Masalah pencatatan. Prediksi ini lima ton, misalnya. Harus jual lima ton jangan sampai enam ton. Satu ton darimana? Yang tercatat kan lima ton?," katanya.

Pengawasan dari pihak luar datang dari tim IMO setiap tahun. Ia akan berkunjung secara mendadak dan acak pada perkebunan mete itu.

Flores menghasilkan ribuan ton gelondong mete setiap panen. Ini membuat negara-negara dan pedagang pengolah mete internasional masuk ke Flores. Para pedagang ini kebanyakan datang dari India.

Maklum saja, saat ini India menjadi negara terbesar pengekspor olahan mete untuk perdagangan dunia. Walau, sebagian besar mete itu datang dari perkebunan mete di Flores ini.

India mampu memborong komoditas mete ini karena dana belinya besar. Sucahyo Lukito dan pedagang olahan mete lokal lainnya tak sanggup bersaing dengan pedagang India itu. Para pedagang India biasaya mulai wara wiri di Flores pada bulan Juli hingga Desember.

Mereka melakukan penawaran langsung untuk menekan harga mete dengan para petani. Pasar perdagangan mete juga disibukkan dengan para tengkulak yang jauh-jauh hari sudah memberikan sejumlah uang pada petani mete.

Pasar begini memang gelap. Dan tidak membedakan antara harga jual organik maupun non organik. Panen mete melimpah namun pembeli lokal tak sanggup menyerap komoditas ini.

"India menguasai pasar. Dari Flores, ribuan ton ambil mete.Dia harus beli dan sistemnya kuota. Sekarang harus bersaing dengan India. Kalau tidak disikat semua. Semua dianggap non organik," kata Aridito kepada saya.

Panen mete setiap tahun berlangsung pada empat bulan terakhir. Pembeli lokal, seperti Sucahyo Lukito harus memborong sebanyak mungkin hasil panen mete ini untuk kebutuhan pengolahan selama satu tahun. Kebutuhan pasar tinggi. Namun daya beli lokal rendah.

Ia memberikan kalkulasi gratisan titik terendah ekspor mete dari Flores ini. Minimal kebutuhan ekspor mete setiap bulannya satu kontainer atau sebesar 16 ton gelondong mete. Satu tahun mencapai 192 ton. Jika dikalikan dengan harga tiap satu kilo senilai Rp 9000 saja membutuhkan uang segar senilai Rp 1.7 miliar.

Titik ekspor maksimal Flores, menurutnya, mampu mengirim gelondong mete kering hingga 800 ton setiap tahunnya atau senilai Rp 7.2 miliar. Di Larantuka, Flores Timur saja hasil panen mete tiap tahun mencapai  20 ribu ton mete atau senilai Rp 1.8 miliar!

Perputaran uang pada jalur bisnis mete memang besar. Tidak menutup kemungkinan perdagangan dari komoditas mete saja bisa mendongkrak perekonomian Flores. Termasuk ikut memperbaiki perekonomian para petaninya.

Tak perlu warga Flores berbondong-bondong menjadi tenaga kerja untuk Malaysia hingga Arab Saudi. Apalagi menjadi pengangguran dan ikut menambah beban kemiskinan saja.

"Pemerintah saja tidak mengambil pajak dari sana. Retribusi juga tidak. Padahal nilainya besar. Dan pajak dan retribusi ini akan kembali pada rakyat lagi," katanya.

Melawan kemiskinan dengan jambu mete adalah salahsatu pengabdian dan perjuangan Swisscontact. Namun, menurut Yadi Suriadinata dari Winrock International kepada Andreas Harsono dari Pantau mengatakan dalam sebuah seminar "amunisinya (Swisscontact) terlalu kecil" untuk menghadapi "masalah begini besar."

Masalah kemiskinan, mau tidak mau, membutuhkan infrastruktur dasar macam jalan dan pelabuhan serta fasilitas berupa kredit, pemerintah dan sebagainya.

"Bank masih melihat sisi anggunan. Kita bangun bisnisnya. Tapi mau enggak bank ikut rencana bisnis kita. Kalau anggunan mencukupi bank mau mengeluarkan. Kalau tidak cukup ya dikeluarkan secukupnya. Kalau koperasi terlalu kecil," kata Sucahyo Lukito.

Ia mengaku tidak mengerti bagaimana mekanisme sebuah bank berjalan. Baik untuk memberikan modal maupun kredit usaha. Namun, beruntung dirinya mendapatkan pinjaman dari Bank Rakyat Indonesia atau BRI sebesar Rp 900 juta.

Dana ini, menurutnya bisa menutupi hutang pinjaman modal awal usaha pengolahan mete. Ia sudah banyak mengeluarkan uang untuk terjun di bisnis pengolahan mete ini. Tahun ini, perusahaanya, Nusa Permai menargetkan pembelian gelondong mete kering sebanyak 400 ton. Pada tahun sebelumnya hanya sanggup mengolah mete sebanyak 68 ton saja.

"Jangan sampai gagal. Saya fokus ke bisnis mete saja," katanya yang telah merintis pengolahan mete mulai tahun 2006 ini.

SAYA melihat bagaimana pengolahan mete di Nusa Permai ini berjalan. Sucahyo Lukito menunjukkan keahliannya memecah batok gelondong mete. Di ruang seluas 3 x 8 meter persegi berjejer alat pemecah batok gelondong mete itu.

Di ruangan ini pertama kali pengolahan mete berjalan. Kemudian masuk ruang oven pertama untuk mengelupaskan kulit ari mete yang berwarna merah. Selanjutnya tahap pemisahan antara mete yang pecah dan utuh, kecil dan besar.

Di ruang terpisah mete-mete ini masuk tahap pembersihan, pematangan ulang dan proses pengepakan. Para pekerjanya meneliti setiap biji mete untuk mendapatkan kualitas yang bermutu.

Ia sudah jatuh cinta dengan mete organik ini. Walau bisnis mete non organik pada tahun 1997 dan 1998 pernah terpuruk akibat lonjakan dollar.Perekonomian Indonesia ambruk hingga pelaku usaha kecil macam Sucahyo Lukito dari Desa Wolowaru, Ende, Flores ini jatuh.

Waktu itu ia sempat menjual gelondong mete kering pada pedagang Surabaya dan Jakarta untuk ekspor ke India. Penjualan metenya mencapai 340 ton. Ia berhenti setelah pedagang India itu turun gunung hingga ke perkebunan-perkebunan mete di Flores ini. Tahun 2005 ia bertemu dengan Swisscontact dan kemudian mendorongnya untuk terjun dipengolahan mete organik ini.

"Waktu itu saya sama sekali tidak mengenal organik. Saya pesimis saja dengan organik itu. Saya bilang nonsens. Kalau mau jual organik kapan dapat keuntungan. Tapi organik ini tidak ada persaingan. Terbuka tidak gelap. Ada kontrak jual beli. Kemudian saya tertarik sendiri," katanya.

Ia menilai sistem dagang organik ini lebih adil. Semua pelaku dari hulu hingga hilir tahu proses dan bagaimana produknya itu berjalan. Sistem ini juga berpihak pada petani karena ikut terbantu dengan harga yang cukup tinggi ketimbang mete non organik. Selain itu, menurutnya, sistem pertanian organik sehat dan tidak merusak lingkungan.

Ia mengambil keuntungan dari penjualan mete organik ini sebesar 20 persen. Setiap hari ia mengolah mete hingga 1.5 ton. Harga penjualan dan pembelian mete organik ini juga mengikuti harga pasar non organik. Namun bedanya, mete organik ini lebih tinggi sebesar 30 persen dari nilai mete non organik.

Ia memasok jenis kacang mete kernel putih ke perusahaan Big Tree Farm  di Amerika dan Flores Farm yang berada di Jerman. Big Tree Farm membeli kernel sebesar Rp 72 ribu tiap kilogramnya. Sementara Flores Farm membeli kernel sebesar Rp 99 ribu tiap kilo.

Harga ini belum termasuk ongkos pengiriman dan pengemasan. Ia menilai ongkos produksi ekspor mete ini tergolong besar. Tiap satu kilo biaya ongkos produksi jatuh pada harga Rp 23200. Setiap tanggal 20 rata-rata ia mengirim mete olahannya sebanyak 15 ton. Kapal ekspedisi membawa metenya dari Maumere hingga Bali. Dan kemudian menuju Amerika dan Eropa.

Modal menjadi kendala utama dalam pengembangan usaha pengolahan mete. Produksi mete tiap tahun melimpah. Namun perbankan belum melihat ini sebagai peluang untuk memberikan bantuan dana permodalan.

Petani mengalami kesulitan untuk mengajukan pinjaman termasuk juga para pengusaha olahannya. Anggunan bank terlalu berat. Tiap bulan, jika meminjam dana sebesar satu miliar, mencapai Rp 12 juta. Sementara uang masuk dari hasil penjualan pihak luar datang belakangan.

Beban lainnya tak jarang para petani organik ini sudah terdesak untuk meminjam uang atau sebagai uang talangan. Sucahyo Lukito harus siap mengeluarkan uang pinjaman itu kepada petani organik.

Setiap akhir pekan ia mesti mengeluarkan gaji untuk karyawan sebesar Rp 8 juta. Ditambah dengan beli plastik, bahan baku, listrik, dan elpiji, total jenderal mencapai 40  hingga 42 juta. Ongkos operasional sebesar ini di Flores tergolong tinggi.

Namun ia tetap yakin dan bersemangat bahwa ongkos tiap bulan ini masih dapat tertutupi dengan penjualan mete organik ke luarnegeri. Permintaan pasar tergolong tinggi. Rencananya ia menambah jumlah karyawan hingga 100 orang lagi.

"Di sini perusahaan cari orang. Saya cari orang dari rumah ke rumah. Dan ngajak anaknya ngupas jambu mete. Selang dua minggu baru ada pekerja," kenangnya.

Ia sudah tinggal di Wolowaru selama 25 tahun. Ia tahu persis bagaimana kondisi warga di Wolowaru ini. Sangat sulit mencari uang di Flores. Beras menjadi kebutuhan mahal dan istimewa.

Pekerjanya banyak yang buta huruf. Termasuk berstatus janda yang suaminya tak kembali setelah tiba di Malaysia. Ia tidak memberikan syarat ijazah untuk melamar menjadi seorang pekerja. Namun, paling penting pandai dan mau kerja keras.

Manajemen Nusa Permai memberikan gaji sesuai kemampuan mereka mengolah mete. Tiap satu kilo mete dihargai senilai Rp 7000. Tiap hari dapat jatah makan satu kali. Bekerja dari jam 7.00 hingga pukul 17.00. Ia juga memberikan ijin jika para pekerjanya mau mengambil beras atau kebutuhan sehari-hari di toko milik istrinya itu.

"Ada bantuan buat biaya sekolah, beli baju, beli lipstik, ya kelihatan normal saja. Saya bangga melihat anak buah saya dapat beli beras satu karung. Mereka tinggal di daerah gunung di bawah lembah-lembah. Dan untuk pertanian kalah sama kera. Tanam jagung disikat sama kera," katanya.

Ia tengah mengembangkan produk mete dalam bentuk selai kacang mete. Untuk kebutuhan gula, ia memesan gula semut merah dari Jogjakarta. Ini termasuk organik karena bahan bakunya dari sari pohon Kelapa atau Enau. Pengemasan juga dalam bentuk kaleng dan mencantumkan label sertifikasi IMO. Ia tengah berusaha keras untuk membuka pasar organik tingkat lokal.

Maret 2008 lalu ia mendapatkan kesempatan juga pengalaman berharga. Produk olahan dari Wolowaru, Pulau Flores ini masuk dalam sebuah pameran pangan organik Internasional di Jerman. Ia memiliki kesempatan untuk melihat pertanian dan supermarket organik Frankfurt. 

Pameran terbesar dunia ini diikuti dari semua negara. Mulai dari negara Ethiopia, Kuba, India, Jepang, Malaysia, Swiss, Kanada dan peserta baru, Indonesia. Dari komoditas kentang, telur, sabun mandi, babi hingga sapi.

Indonesia cuma satu produk saja, ya mete dari Flores ini. Ia senang melihat pasar organik dunia ini, namun sedih melihat peserta dari Indonesia cuma satu orang dari desa Wolowaru ini. Padahal, menurutnya, semua komoditas organik dunia ini ada di Indonesia.

"Organik pasar masa depan. Saya tidak habis pikir mengapa kerupuk bikinan Sidoarjo kok labelnya Thailand. Saya tahu itu. Indonesia butuh waktu 100 tahun lagi," katanya sambil menghela nafas.

*) Ahmad Yunus adalah Editor Pantau Ende Media Center

by:Ahmad Yunus