Janji Tak Berujung

Hairul Anwar

Tue, 29 April 2008

Jika pengungsi di barak Bakoy tidak mendapat bantuan rumah tahun ini, mereka terancam akan tinggal di barak selamanya.

SEPERTI minggu-minggu yang telah lewat, Muhammad Nasir menerima kedatangan staf pengawas dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias di meunasah barak. Namun, kali ini dua orang pengawas itu tidak begitu dikenal Nasir. Satu lelaki berbadan sedang berkacamata tebal, satu lagi usianya lebih muda.

Nasir hapal apa yang mesti disiapkan, yakni lembaran-lembaran kertas yang terbungkus kantong plastik dan disimpan dalam tas kecil warna hitam. Mereka mengobrol serius sambil duduk bersila. Pengawas yang usianya lebih muda itu sibuk menjepret kameranya ke arah Nasir.

“Berapa pengungsi yang ada di barak, Pak Nasir?” tanya lelaki berkacamata itu.

“Lima ratus jiwa, Pak. Ada 168 barak. Yang kosong ada empat kamar.” Nasir menjawab sambil membolak-balik lembaran kertas yang dipegangnya.

Lelaki itu hanya bersungut-sungut. “Nanti akan datang pengungsi baru, Pak Nasir. Saya mengecek data biar jelas.”

“Kapan kami mendapat rumah. Sampai kapan harus tinggal di barak,” kata Nasir sambil merapikan kembali lembaran-lembaran kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas hitam.

Lelaki berkacamata itu hanya menarik napas. “Jangan tanya kami. Itu urusan pimpinan. Kami tidak bisa memberi kepastian.”

Mendengar jawaban itu, wajah Nasir berubah muram. Sejatinya, jawaban itu acap kali ia dengar setiap orang-orang BRR datang. Dan hal itu harus ia sampaikan kepada penghuni barak lainnya.

Kamis sore, 17 April 2008 lalu, saya mengobrol dengan Nasir setelah ia mengantar orang-orang BRR itu meninggalkan barak pengungsi di Bakoy, kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Tak lama kemudian Muhammad Idris, rekan Nasir, ikut nimbrung.

“Mereka bilang mau menyelamatkan nasib pengungsi di sini,” kata Nasir kepada saya.

Tapi Nasir tidak mendapat penjelasan bagaimana pengawas BBR tadi mau menyelamatkan para pengungsi.

“Pokoknya dia bilang akan menyelamatkan,” sahut Idris.

Dua lelaki itu didaulat sebagai koordinator barak pengungsi di Bakoy. Idris bertanggung jawab pada barak 1 sampai 14, sedang Nasir memimpin barak 15 sampai 36. Tugas mereka menjadi penghubung aspirasi penghuni barak kepada lembaga lain yang terkait dengan urusan pengungsi.

“Mereka tanya berapa jumlah kamar yang kosong. Sebentar lagi akan ada pengungsi yang masuk barak,” sambung Idris.

DERETAN bangunan berbentuk panggung yang berdiri di Bakoy menampung para korban bencana tsunami yang melanda Aceh tiga tahun silam. Belakangan tempat itu dikenal dengan sebutan barak Bakoy.

Setidaknya ada 1300 jiwa berdiam di barak Bakoy. Tampaknya, tempat itu akan menjadi penampungan pengungsi terbesar setelah BRR secara perlahan memindahkan pengungsi dari barak-barak wilayah lain ke barak ini.

“BRR akan menjadikan barak Bakoy sebagai pusat re-droping pengungsi dari daerah lain,” tutur Muhammad Idris kepada saya.

Idris awalnya mendiami barak pengungsi di Ulee Lheue, Banda Aceh. Hampir dua tahun lalu ia bersama puluhan pengungsi lain dipindahkan BRR ke barak Bakoy.

Bangunan barak Bakoy mengular dan bagian muka saling berhadapan. Kecuali atap dari seng, semua dinding dan bagian lain terbuat dari papan warna senada, yakni hijau muda.

Sepintas lalu tempat itu tak menyiratkan tempat pengungsian. Ia lebih mirip perumahan yang baru berdiri di tanah sepi. Rumah-rumah penduduk Bakoy jaraknya jarang-jarang. Jalan utama masih bebatuan dan di kanan-kiri hanya sawah atau kebun.

Sejauh mata memandang, terlihat di atap-atap bangunan bertengger antena parabola bertulis “Astro”, sebuah layanan televisi kabel asal Malaysia. Aneka jenis mobil lalu-lalang di lorong-lorong, dan terkadang lajunya terhalang mobil-mobil yang diparkir pemiliknya.

Barangkali tanda-tanda yang menunjukkan bahwa itu tempat penampungan para pengungsi adalah pada pakaian-pakaian yang disampir tak karuan di bagian depan barak. Lalu, bilik-bilik kecil dari terpal untuk mandi dan kerumunan orang-orang yang mengantre mengisi air di bak besar. Ciri lain, deretan papan nama dari berbagai lembaga yang mendonasikan bantuan, terpancang di mana-mana. 

“Sampai sekarang, kebutuhan pengungsi seperti air, listrik, bahkan uang sampah gratis,” kata Nasir.

Nasir asal Idi Rayeuk, Aceh Timur. Sebelum bencana ia merantau ke Banda Aceh dan bekerja sebagai tukang becak. Di kota itu ia menyewa rumah bersama istri dan tiga orang anaknya. Ia jadi koordinator barak sejak pertama kali mengungsi di barak Bakoy.

“Hampir 100 persen penghuni barak Bakoy adalah penyewa rumah sebelum bencana. Kalau pengungsi yang punya tanah dan rumah umumnya sudah pindah karena sudah dibangunkan (rumah) oleh BRR atau NGO (Non Government Organization = lembaga swadaya masyarakat),” kata Nasir.

Namun, kemudahan hidup itu tak urung mengundang niat buruk sebagian pengungsi. Meski sudah mendapat bantuan rumah, tapi mereka enggan untuk pindah dari barak. Mereka memilih menyewakan rumah itu untuk mendapat penghasilan, lalu hidup gratis di barak pengungsi.

Nasir sudah mengantongi beberapa nama dan menelusuri kebenaran itu sampai ke kepala desa asal si pengungsi.

“Kalau saya tanya orangnya langsung khawatir nanti ada konflik. Kalau benar sudah punya rumah, saya akan laporkan ke BRR,” katanya.

Karena hidup gratis itu pula, Nasir pernah menemukan pengungsi barak yang memboyong keluarga lain untuk tinggal di barak.

“Ngakunya korban tsunami. Saya tidak terima karena dia tidak bawa surat keterangan dari BRR yang menyatakan dia korban,” kata Nasir, terkekeh.

Ketika asyik menjawab pertanyaan saya, tiba-tiba seorang pemuda menghampiri Nasir. Mereka terlibat obrolan dalan bahasa Aceh. Mimik muka keduanya serius. Sesekali si pemuda itu meninggikan suaranya lalu dibalas hal serupa oleh Nasir. Pemuda itu kemudian menjauh dari kami.

“Siapa dia?” tanya saya penasaran.

“Oh, dia warga (pengungsi) barak.”

“Ada apa,” saya mendesak.

“Dia sedang bertengkar dengan adiknya. Dia mau minta kamar karena sudah tidak mungkin harus tinggal sekamar lagi.  Saya bilang tidak bisa. Itu bukan urusan saya. Saya bilang, satu kamar itulah hak dia sebagai pengungsi. Kamar yang kosong itu jatah pengungsi yang mungkin akan datang ke barak,” kata Nasir.

“Pak Nasir!” Si pemuda tadi memanggil Nasir sambil melambaikan tangan meminta yang dipanggil datang ke tempatnya. Ia tampak mengadu ke beberapa rekannya.

Nasir menoleh sebentar, tapi tidak mengindahkan panggilannya.

“MAAF cakap, kalau saya punya uang dulu mungkin saya sudah dapat rumah,” kata Selamet Ardiyantoro, lirih.

Selamet ingat ketika awal-awal mengungsi di barak Bakoy, orang-orang yang tidak ia kenal datang menawari dia rumah bantuan dari NGO. Syaratnya, ia harus membayar uang Rp 2 juta. Saat itu situasi masih tidak menentu dan uang sebesar itu cukup besar.

“Katanya untuk uang administrasi pengurusan rumah bantuan. Saya tolak karena tidak punya uang,” katanya kepada saya.

Sejak tadi ia ikut mendengar wawancara saya dengan Muhammad Nasir.

Selamet menghabiskan masa kecil di Meulaboh, Aceh Barat. Ia ikut orangtuanya merantau dari Jawa ke Aceh pada 1976. Kelak ia menikah dengan perempuan asal Aceh Selatan dan mengontrak rumah di wilayah Lamnyong, Banda Aceh. Sehari-hari Selamet bekerja sebagai tukang becak.

“Hidup di barak nyaman karena gratis. Tapi kami tetap mengharap bantuan rumah,” katanya, tersenyum.

Selamet tidak terpengaruh beberapa temannya yang sudah mendapat rumah lewat “jalur cepat” itu. Ia tetap mengharap BRR memberi kepastian kapan ia akan pindah dari barak dan dapat rumah bantuan.

“Kadang bosan kami bertanya. Mereka hanya bilang akan mengusahakan…akan mengusahakan..Tak pernah kami dengar kapan waktu yang jelas,” katanya.

Selamet tinggal di kamar 12/4 ukuran 4×5 meter bersama istri dan tiga anaknya. Angka 12/4 ini artinya barak 12 kamar 4, untuk mengurutkan jumlah kamar yang ada di barak itu.

Agar terlihat lapang, ia menyekat kamarnya sehingga memiliki dua bilik tidur. Sisa ruang digunakan sebagai dapur dan ruang tamu. Selama tiga tahun, sudah banyak yang berubah. Sekarang ia sudah punya lemari es dan berlangganan televisi kabel.

“Pelan-pelan kami sudah bisa memperbaiki hidup. Yaa… tinggal rumah saja,” katanya.

Ketidakjelasan nasib pengungsi di barak Bakoy menyiratkan satu hal bahwa pembangunan perumahan bagi korban tsunami masih belum beres. Tapi, saya tidak paham apakah BRR belum membangunkan rumah karena para pengungsi itu dulu hanya penduduk penyewa rumah dan tidak punya lahan. Atau ada alasan lain?

Saya kebetulan bertemu dengan pegawai BRR bagian Unit Percepatan Barak ketika mengunjungi barak Bakoy, Kamis sore itu. Namanya Rahmad Fadli. Badannya tinggi besar. Ia sempat menyela saat saya mengobrol dengan Nasir dan Idris.

Fadli mengatakan bahwa BRR akan mendesak negara-negara donor dan NGO asing untuk membantu membangunkan rumah bagi pengungsi yang dulu tak punya tanah.

“Kalau mengharap anggaran BRR tidak cukup. Karena sudah diplot untuk membangun infrastruktur lain,” katanya menjawab pertanyaan saya.

Saya tidak sempat bertanya lebih jauh lagi karena Fadli buru-buru pamit.

Nasir buru-buru berbisik pelan pada saya, “Tadi pengawas BRR itu bilang jika tahun ini belum juga pindah rumah, kemungkinan kami akan tinggal di barak selamanya.”

*) Hairul Anwar adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Hairul Anwar