SETELAH hampir dua jam berlalu dari kota Banda Aceh, mobil kami berhenti di tepi sungai. Dari depan sudah berderet tiga mobil yang searah dengan kami.  Kendaraan yang hendak menuju Banda Aceh  juga terlihat antri di seberang sungai.

Sungai itu membelah desa Krueng Atueh, kecamatan Lamno, kabupaten Aceh Jaya. Desa ini merupakan perlintasan utama Banda Aceh menuju kota-kota di pesisir barat, seperti Meulaboh, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, sampai Aceh Selatan.

Satu-satunya jalan untuk menjangkau kawasan itu dengan cepat adalah rakit. Jembatan di jalur biasa masih diperbaiki setelah ambrol karena tak kuat menahan beban.

“Akin, kamu saja yang setir mobil. Saya tidak berani,” kata Hendra Fadli dari Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, yang sejak tadi memegang kemudi, kepada Razikin.

“Santai saja, bang,” seloroh Razikin, sambil mengambil alih kemudi. Dia mencoba tenang meski aura wajahnya terlihat tegang.

Hendra merasa ngeri menyetir mobil ke atas rakit.  Saya dan empat orang di dalam mobil memilih keluar. Ketegangan kami agak kendur setelah mobil kijang hijau itu nangkring di atas rakit.

Rakit hanya mampu memuat empat kendaraan jenis Kijang atau Colt. Posisi kendaraan berdempetan, dan masing-masing rodanya ditahan balok kayu. Jarak ban mobil dengan tepi rakit cuma sejengkal!

Bukan hal mudah menaikkan mobil ke atas rakit. Selain harus jeli menyiasati pijakan kayu yang licin, sopir harus pintar mengatur kecepatan mobil saat naik. Silap sedikit saja bisa-bisa mobil nyemplung ke sungai.

Di sungai itu ada dua rakit yang tiap hari bolak-balik menyeberangkan kendaraan dan penumpang. Ia terbuat dari berlapis-lapis balok kayu. Ukurannya tak lebih 3 x 4 meter. Rakit dijalankan dengan tenaga mesin diesel dan tali tambang. Pemilik rakit memungut upah Rp 50 ribu dari setiap pengendara.

Pengalaman itu saya rasakan di pertengahan November 2007, ketika meliput kegiatan Kontras Aceh ke beberapa wilayah pesisir barat-selatan Aceh.

Agaknya, proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang sudah berlangsung tiga tahun belum mengubah wajah kawasan itu. Sepanjang jalanan yang kami lalui masih berupa jalanan berbatu, berdebu, dan penuh lubang di sana-sini. Jika musim hujan jalanan berubah jadi kubangan lumpur.

“KEADILAN APBA 2008 sangat menentukan perubahan pantai Barat-Selatan.”

“Tiga tahun sudah bencana tsunami di Aceh tapi jalan Banda Aceh-Calang belum dituntaskan juga. Bahkan sampai hari ini transportasi masih menggunakan rakit!”

Kalimat-kalimat itu terpampang di poster-poster dan spanduk yang dibentang peserta unjuk rasa di kantor gubernur Aceh, 24 2008 Maret lalu.

Pagi itu, sekitar 50 mahasiswa menyemut di depan pintu masuk gedung. Mereka menamakan diri Aliansi Pemuda Pelajar Mahasiswa Pantai Barat-Selatan, yang sedang belajar di Banda Aceh. Suara teriakan dan yel-yel mereka mengundang perhatian sejumlah pegawai untuk melongok ke luar.

Pengunjuk rasa yang datang mewakili daerah-daerah di kawasan itu. Ada dari Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Seumelue.

Kedatangan mereka tujuannya jelas: hendak bertemu Gubernur Irwandi Yusuf. Sembari menunggu, sebagian pengunjuk rasa melakukan orasi.

“Pantai barat-selatan adalah daerah terparah terkena tsunami, tapi kenapa sampai sekarang jalan saja belum beres-beres,” teriak seorang peserta aksi.

“Anggaran pembangunan di Aceh jangan berat sebelah. Gubernur Irwandi harus adil…”

Namun, setelah berjam-jam menunggu sang gubernur tak nongol juga. Polisi dan pamong praja membentuk barikade, mencegah mereka masuk ke dalam gedung.

Wawan Darmawan, koordinator aksi, memberi instruksi kepada para pengunjuk rasa untuk pindah ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Ia mendengar kabar Irwandi sedang berada di sana.

Benar saja. Irwandi menemui pengunjuk rasa di halaman depan kantor tersebut. Ia mengenakan kemeja putih lengan pendek, dengan dasi terpasang di leher.  Tubuhnya diapit sejumlah anggota dewan.

“Jalan Banda Aceh-Calang akan selesai dibangun paling lambat 2010. Pembangunannya terkendala pembebasan tanah,” kata Irwandi, menjawab pertanyaan pengunjuk rasa.

Pembangunan daerah-daerah pantai barat-selatan akan dilakukan bertahap. Semuanya, kata Irwandi, tidak mungkin bisa dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.

“Setiap tahun, daerah-daerah akan ada alokasi anggaran sesuai proporsi masing-masing. Untuk tahun ini sudah saya serahkan rancangannya ke Dewan hari ini,” kata Irwandi.

Sekitar setengah jam kemudian, Irwandi pun meninggalkan gedung tersebut.

Wawan tidak puas mendengar jawaban Irwandi. Ia meminta keseriusan anggota dewan membahas anggaran Aceh.

“Anggota dewan harus jeli melihat apakah anggaran benar-benar berpihak  kepada kawasan pantai barat-selatan. Harus ada kepastian hari ini juga,” tegasnya.

Ia lantas meminta anggota dewan membubuhkan tanda tangan di sehelai surat, sebagai tanda keseriusan memberi prioritas anggaran untuk kawasan pantai barat-selatan. Saat itu, ada tiga orang anggota dewan yang membubuhkan tanda tangan.

“Surat kesedian ini menjadi pegangan kami. Kalau sebulan belum juga ada hasil, kami akan datang lagi menuntut ke sini, dengan massa yang lebih besar,” kata Wawan dengan suara tinggi.

ISU ketidakadilan pembangunan di Aceh juga telah disuarakan elit-elit politik dari wilayah pantai barat-selatan. Mereka menamakan diri Kaukus Pantai Barat-Selatan. Penggagasnya bupati Aceh Barat Daya, Akmal Ibrahim, pada 2 Juli 2007.

Langkah pertama kelompok itu adalah membuat seminar sehari tentang strategi percepatan pembangunan di kawasan itu di kampus Universitas Syah Kuala pada 1 September 2007. Peserta yang datang membludak. Ada para bupati, legislator, pemuda, dan mahasiswa dari delapan wilayah kawasan itu.

Belakangan, kemunculan kelompok ini dianggap bermuatan politik. Ia dikaitkan dengan wacana pembentukan provinsi baru di Aceh, bernama Aceh Barat Selatan atau dikenal dengan singkatan ABAS.

Dalam liputan khusus Metro TV , 26 November 2007, mengenai sepak terjang Kaukus Akmal Ibrahim membantah tudingan itu.  “Kaukus ini tidak terkait dengan wacana pembentukan provinsi ABAS. Fokus kami keadilan pembangunan antarprovinsi di Aceh, bukan provinsi,” katanya.

“Ini adalah upaya agar ada perhatian seperti pengalokasian anggaran dari pemerintah atasan (provinsi). Seperti diketahui banyak orang, pantai barat-selatan sangat terbelakang. Angka kemiskinan di kawasan ini juga sangat menonjol di kawasan ini,” ujarnya dalam program televisi itu.

Lalu seberapa efektif gerakan kelompok itu mendesakkan tuntutannya kepada pemerintah provinsi?

“Masih berjuang. Kami kan hanya bermain dalam tataran isu, yakni bagaimana mendorong percepatan pembangunan di kawasan barat-selatan  yang sangat tertinggal dibanding kawasan Utara-Timur,” kata Teuku Achmad Fuad Haikal, juru bicara Kaukus kepada saya, awal Maret lalu.

Haikal asal Aceh Selatan. Sehari-hari ia mengelola hotel Oasis milik pengacara kondang dari Jakarta, Todung Mulya Lubis. Selain itu, ia juga laris sebagai fasilitator pelatihan di beberapa lembaga swadaya masyarakat.

Saat saya tanya apakah Kaukus ini arahnya memang pada gerakan politik, Haikal lebih suka memakai istilah kelompok penekan. Kelompok ini muncul berdasar kesamaan nasib lalu sama-sama menuntut pemerintah provinsi memberi perhatian lebih kepada kawasan barat-selatan.

“Contohnya, kami sama-sama sepakat bahwa anggaran pembangunan Aceh 2008 masih belum memprioritaskan pesisir barat-selatan,” katanya.

Haikal lalu menyodori saya beberapa lembar kertas kajian plafon anggaran pembangunan Aceh 2008 yang dikeluarkan Kaukus.

“Kami mengambil 3 sampai 4 dinas yang anggarannya paling besar sebagai sample. Empat hari kami analisa,” katanya.

Gubernur Irwandi membutuhkan anggaran sebesar Rp 8,1 triliun untuk membangun Aceh tahun ini atau meningkat dua kali lipat dari tahun lalu. Ada empat sektor yang memakan anggaran besar, yakni infrastruktur Rp 2,3 triliun, pendidikan Rp 1,5 triliun, kesehatan Rp 800 miliar, dan ekonomi Rp 1 triliun.

Nah, pertanyaan muncul tatkala alokasi paling besar dari belanja infrastruktur khususnya sektor pertanian diperoleh kabupaten Bireun. Jumlahnya hampir 51 persen atau sekitar Rp 23,5 miliar. Sedang alokasi sektor itu untuk delapan kabupaten di kawasan pantai barat-selatan kalau ditotal hanya 0,5 persen.

“Apa karena Bireun itu kampung halaman Irwandi, makanya alokasinya paling besar. Padahal kawasan pantai barat-selatan juga memprioritaskan pertanian,” kata Haikal, dengan nada curiga.

Dibanding wilayah utara-timur Aceh, pembangunan pascastunami di pesisir barat-selatan Aceh berjalan lamban.  Data yang dikeluarkan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, per 31 Mei 2007,  menyebut rumah yang selesai dibangun di kabupaten Aceh Jaya baru 487 unit dari kebutuhan 14.526. Di Aceh Barat, ada 16.786 unit rumah yang dibutuhkan tapi baru dibangun 784 unit.

Di sisi lain, daerah-daerah pesisir barat-selatan merupakan kantong-kantong penduduk miskin di Aceh. Angka statistik delapan kabupaten di kawasan itu mencapai lebih dari 50 persen. Urutan pertama ditempati kabupaten Seumelue dengan tingkat kemiskinan 81 persen.

Kaukus membeberkan data itu ke pimpinan DPR Aceh pada 16 Februari 2008 lalu. Saat itu, Bupati Akmal Ibrahim ikut hadir tanpa mengenakan seragam dinas.

Setelah mendapat giliran bicara, Akmal mengeluarkan uneg-unegnya. Selama ini, katanya, pihaknya sudah lelah meminta perhatian dari pemerintah provinsi.

“Saya sudah lima kali datang ke Dinas Sumber Daya Air dan meminta pemerintah mengalokasikan dana untuk membangun kembali irigasi di Krueng Susoh. Tapi tidak pernah ditanggapi. Begitu juga untuk membangun jalan,” katanya.

Ketua DPR Aceh Sayed Fuad Zakaria sependapat dengan analisa orang-orang Kaukus. “Saya tidak mengatakan barat-selatan saja yang diperhatikan, tapi wilayah lain juga sama. Maka, kami di Dewan akan memperjuangkan aspirasi ini,” katanya.

Janji serupa dilontarkan belasan anggota Dewan yang hadir dalam pertemuan itu.

RANCANGAN anggaran pendapatan dan belanja Aceh (RAPBA) tahun 2008 memasuki babak baru, yakni pembahasan oleh panitia anggaran DPR Aceh. Panitia ini akan mengkaji lebih rinci dalam rapat-rapat bersama dinas-dinas pemerintah.

Meski sangat terlambat, rancangan itu sudah diserahkan Irwandi, Senin, 24 Maret 2008 lalu. Harusnya, sesuai jadwal rancangan itu diserahkan Irwandi pada awal tahun sehingga penggunaannya dapat segera berjalan.

Di hadapan rapat panitia anggaran, Irwandi menyampaikan pidato penjelasan pokok-pokok kegiatan dan anggaran pemerintahannya tahun ini.

“Volume anggaran tahun ini lebih besar dari tahun lalu, namun kami sadari belum mampu menampung seluruh kepentingan semua pihak sekaligus. Ini karena keterbatasan kemampuan sumber penerimaan dibandingkan dengan tuntutan kebutuhan pembiayaan daerah yang semakin kompleks,” katanya.

Bola kini ada di tangan DPR Aceh. Sesuai aturan perundangan, lembaga ini sangat menentukan hitam-putihnya anggaran yang diajukan pemerintah Irwandi. Jika disetujui, Irwandi bisa segera memakai anggaran itu. Sebaliknya, jika ditolak pemerintah Irwandi harus kembali menggunakan anggaran tahun sebelumnya.

Biasanya, pembahasan oleh DPR Aceh memakan waktu satu bulan atau akhir April 2008 sudah bisa disahkan. Dokumen itu masih harus dikoreksi lagi oleh Departemen Dalam Negeri, biasanya makan waktu satu bulan. Belum lagi akan ada proses lelang proyek-proyek.. Kalau dihitung-hitung, Irwandi punya waktu sekitar lima bulan untuk menggunakan anggaran 2008.

Keterlambatan itu terjadi karena Irwandi melakukan beberapa perubahan dalam pemerintahannya. Awal tahun lalu, ia merombak dinas-dinas provinsi yang dianggapnya terlalu gemuk. Lalu, ia menyeleksi ulang pejabat-pejabat yang akan duduk di dinas-dinas.

Cara Irwandi itu melanggar pakem jenjang karir yang selama ini berlaku di birokrasi. Irwandi membuka lowongan di koran lalu siapapun bisa melamar untuk posisi tertentu asal memenuhi syarat yang ditentukan. Pelamar yang lolos seleksi kemudian mengikuti tes tertulis, wawancara hingga psikologi.

Ini cara yang tepat untuk merekrut orang yang benar-benar profesional di bidangnya, cara melawan kolusi dan nepotisme yang sudah berakar di pemerintahan Indonesia selama puluhan tahun. Tidak mudah dan tentu saja, memakan waktu.

Kebijakan itu membuat jengah anggota DPR Aceh yang bertugas di panitia anggaran. Rapat-rapat di Dewan sering tertunda karena menunggu pejabat yang resmi. Anggota dewan pun tidak mau rapat kalau yang datang cuma pejabat bawahan.

“Kepala dinas kadang tidak bisa ikut rapat karena sibuk ikut seleksi. Kalau rapat dengan bawahan percuma saja karena tidak bisa mengambil keputusan,” kata Teuku Surya Darma, anggota panitia anggaran DPR Aceh kepada saya, 21 Februari 2008 lalu.

Surya politisi Partai Keadilan Sejahtera asal pemilihan Kota Banda Aceh dan Sabang. Hampir tiap hari, komentarnya menghiasi koran-koran jika  menyangkut pembahasan anggaran Aceh.

Ia mengkritik cara Irwandi mengangkat pejabat, yang disebutnya telah merusak tatanan birokrasi.

“Terus terang, dulu para pejabat birokrasi itu tunduk secara struktural kepada sekretaris daerah. Sekretaris inilah yang menjadi koordinator panitia anggaran pemerintah. Dia bisa mengontrol kinerja kepala-kepala dinas, menyusun eselon pejabat. Tapi sekarang itu dilakukan oleh gubernur,” katanya.

Namun, Surya tidak berpikir bahwa model perekrutan ala Irwandi ini tidak baik. Selama ini, katanya,  sekretaris daerah juga tidak menjalankan administrasi dengan baik. Ada mutasi pejabat besar-besaran, ada yang dipindah tanpa alasan jelas. Atau, kadang diangkat karena pendekatan suka sama suka.

“Irwandi sudah memutuskan, ya, karena itu memang hak dia sebagai gubernur. Kalau sudah modelnya kayak gini, Irwandi juga harus disiplin mengawasi pembantunya ketika pembahasan anggaran. Tongkrongin mereka agar program-program pemerintah bisa berjalan efektif. Itu syaratnya,” kata Surya, panjang lebar.

Selama menjadi anggota panitia anggaran, Surya merasa aroma perdebatan lebih terbuka saat kepemimpinan Irwandi-Nazar. Mungkin, katanya, karena tuntutan yang dibebankan kepada keduanya sangat banyak.

“Apa yang membedakan pembahasan anggaran era Irwandi dengan sebelumnya?” tanya saya.

“Irwandi punya banyak agenda pembangunan dan sudah disusun dalam konsep lima tahun. Saya menghitung Irwandi butuh anggaran sebesar Rp 63 triliun selama lima tahun kepemimpinannya. Ini butuh tenaga ekstra agar setiap alokasinya tepat sasaran. Cuma, agenda dia kadang kurang bisa diterjemahkan para birokratnya,” kata Surya.

Misalnya?

“Kegiatan-kegiatan yang diajukan masih ada kesan dipaksakan. Mengulang rutinitas sebelumnya. Buktinya, tahun lalu anggaran yang dipakai sangat sedikit karena program-program tidak dijalankan dengan baik. Akibatnya uang mandek dan ujung-ujungnya masyarakat yang kena dampak,” jawab Surya.

Itu tantangan bagi duet Irwandi-Nazar membawa Aceh lima tahun ke depan menjadi lebih baik.

UDARA dingin yang menyergap seisi ruang pertemuan Europe House tak mengganggu semangat Surya Darma bicara tentang anggaran Aceh. Suaranya naik turun menjelaskan angka-angka yang muncul di layar in focus.

Orang-orang yang hadir menyimak takzim. Tapi udara dingin yang menyengat kulit membuat sebagian mereka tak tahan untuk tidak ke toilet. Surya sesekali merapatkan jas hitamnya.

Europe House adalah lembaga donor yang mengelola dana bantuan negara-negara Eropa untuk pembangunan kembali Aceh pascatsunami. Lembaga ini mengundang Surya sebagai pembicara diskusi panel bertajuk “Aceh: Di antara Melimpahnya Dana dan Tantangan Manajemen Anggaran,” pada 28 Februari 2008 lalu.

Diskusi itu juga menghadirkan dua pembicara lain. Abdurrahman Lubis, kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh dan Islahuddin, doktor ekonomi Universitas Syah Kuala.

Umumnya penjelasan Surya sudah saya dengar ketika kami bertemu sebelumnya. Mungkin, karena ada banyak orang, kali ini Surya lebih semangat bicara.

“Sepanjang fungsi distribusi anggaran belum dirasakan ada keberpihakan oleh kabupaten/kota disertai dengan solusi kongkritnya, maka sepanjang waktu itu pula gerakan masyarakat untuk meminta berdirinya ALA dan ABAS akan semakin gencar,” katanya.

ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan), merupakan dua kawasan yang meniatkan diri pisah dari provinsi Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam. Wacana pembentukan dua provinsi itu kian gencar disuarakan.

Menurut Surya, sebabnya dipicu belum terwujudnya keadilan distribusi anggaran pembangunan yang telah berlangsung selama dua dasawarsa.

“Saya sih tidak masalah dengan munculnya keinginan itu. Saya setuju ada pemekaran,” kata Surya.

Seketika ruangan berubah oleh riuh-rendah orang-orang yang hadir. Ada yang tertawa, ada pula yang berbisik-bisik.

“Pemerintah Aceh harus melihat fenomena ini bukan sebagai riak-riak kecil. Sebaliknya,  pemerintah harus bersikap tegas agar realisasi anggaran tahun 2008 menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian Aceh di daerah-daerah.”

Masalahnya, kata Surya, kebijakan pemerintahan Irwandi-Nazar belum menyentuh hal yang fundamental di berbagai sektor. Keduanya baru membuat kebijakan agar terlihat populis. Ini tampak dari kegiatan-kegiatan yang muncul dalam anggaran 2008.

Misalnya, Irwandi membuat program bantuan tunai untuk anak yatim dan fakir miskin sejumlah Rp 180 miliar. Namun, berapa jumlah anak yatim dan fakir miskin, belum ada data sampai sekarang. Pemerintah ternyata belum melakukan survei. Alhasil, program inipun gagal.

Program lain adalah green province. Irwandi ingin membuka lahan perkebunan kelapa sawit hampir seluas 40 ribu hektare pada tahun ini. Anggaran sudah diplot lebih dari Rp 500 miliar. Cuma, sampai sekarang belum ada data kepastian lahannya di mana, bagaimana bibit diperoleh, dan bagaimana teknis pembibitan dan penanamannya.

“Bagaimana semua itu bisa direalisasikan dalam satu tahun anggaran. Sangat tidak realistis! Ujung-ujungnya kita melihat ada yang tidak beres dalam perencanaan pembangunan dari pemerintah ini,” kata Surya, dengan nada tinggi.

Abdurrahman Lubis, yang duduk di sebelah Surya hanya mesem-mesem mendengar pendapat itu. Ia lebih banyak bicara soal target-target ekonomi yang ingin dicapai pemerintah. Caranya bagaimana, dia tidak banyak memberi penjelasan.

Soal ide pembukaan lahan perkebunan sawit ribuan hektare, menurut Lubis, adalah salah satu terobosan pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Saat ini dari 4 juta penduduk Aceh ada 26,5 persen termasuk kategori miskin. Harga-harga melambung tinggi. Banda Aceh kini termasuk kota termahal se-Indonesia!

“Kondisi ini lumrah karena Aceh baru lepas dari konflik dan bencana,” kata Lubis.

Membuka ribuan hektare kebun sawit juga terobosan membantu masyarakat pedesaan yang notabene sumber kemiskinan paling besar. Lubis juga menanyakan berkali-kali kesanggupan dinas teknis melaksanakan program ini.

“Dinas-dinas bilang sanggup, makanya saya juga yakin memasukkannya dalam program. Soal bagaimana teknisnya nanti dibicarakan dengan Dewan,” katanya.

Ketika memberi paparan, ponsel Lubis berkali-kali berdering. Ia merasa terganggu. Setelah mengecek sebentar, rupanya itu telepon dari Irwandi.

“Maaf, saya minta izin menyudahi lebih awal diskusi ini. Pak gubernur minta saya menghadap,” katanya.

Itulah penampilan terakhir Lubis sebagai seorang pejabat pemerintah. Sebulan setelah diskusi itu, posisinya diganti Munirwansyah, seorang profesor ekonomi Universitas Syah Kuala.  Lubis dinyatakan tidak lulus seleksi ketika ikut tes pejabat untuk kepala Bappeda periode selanjutnya.

Saya meminta waktu kepada dua orang itu untuk wawancara. Menarik mengetahui apakah Munirwansyah melakukan perubahan atas program-program yang disusun Lubis. Saya juga ingin tahu bagaimana Lubis sampai tidak lulus seleksi, padahal ia terbilang lama sebagai pejabat birokrasi.

Sayang, beberapa kali permohonan saya kirim lewat pesan pendek dan telepon tidak dibalas keduanya.

Islahuddin mewanti-wanti pemerintah Aceh agar cakap mengelola dana yang sebegitu besar. Tahun ini, katanya, jumlah penerimaan daerah meningkat karena pemerintah pusat memberi porsi lebih kepada Aceh. Antara lain dana otonomi khusus Rp 3,6 triliun, bagi hasil minyak dan gas Rp 2,2 triliun. Tambahan lain, proyek-proyek pemerintah pusat yang dikerjakan di Aceh senilai Rp 18,1 triliun.

“Agar tidak muncul konflik dan kecemburuan antardaerah, pemerintah provinsi harus menyusun mekanisme alokasi bersama kabupaten dan kota. Bila perlu gunakan rumus formulasi akademis,” katanya.

WAWAN Darmawan menjelojorkan kakinya di tangga rumah adat Aceh Selatan di kompleks taman budaya Ratu Safiatuddin. Taman ini bersebelahan dengan kantor gubernur Aceh. Ia melepas lelah setelah seharian berdemonstrasi.  Hal serupa dilakukan rekan-rekannya di rumah adat asal masing-masing.

Bekas gelas minuman plastik dan bungkusan nasi berserakan di sana-sini.

“Jujur saja, kami tidak tahu persis berapa sih anggaran yang dialokasikan untuk kawasan pantai barat-selatan,” katanya kepada saya.

“Kenapa tidak minta datanya ke pemerintah atau Dewan?”

“Kawan-kawan sudah berulang kali minta ke Dewan tapi tak pernah dikasih. Lembaga itu terkesan tertutup,” katanya.

Meski tidak memegang data yang jelas, tekad Wawan dan anggota aliansi menuntut keadilan pembangunan di daerahnya tidak surut.

“Kami berpegang pada kondisi daerah yang masih kami rasakan sulit sampai sekarang,” ujarnya.

Aceh Selatan adalah kampung halaman Wawan. Ia masih kuliah di semester delapan di Institut Agama Islam Negeri Ar-Ranniry. Selain kuliah, ia menyibukkan diri sebagai ketua umum Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan.

Pergaulan Wawan meningkat seiring merebaknya isu barat-selatan dalam pembangunan Aceh. Ia kerap bikin pertemuan dan diskusi-diskusi dengan perkumpulan mahasiswa lain. Ada persamaan nasib diantara mereka.

Ia buru-buru menyangkal kalau aliansi mahasiwa itu terkait Kaukus Pantai Barat-Selatan bentukan elit politik.

“Prinsip kami semakin bagus kalau banyak kelompok yang terlibat isu pembangunan di kawasan barat-selatan Aceh. Itu artinya banyak yang peduli. Tapi kami ingin jaga jarak dengan isu politik,” kata Wawan.

Dulu  Wawan selalu pulang kampung setiap liburan kuliah tiba. Kadang-kadang naik sepeda motor bergerombol bersama teman-teman sekampung. Jalur Banda Aceh – Aceh Barat, sebagai jalan utama ke kampungnya masih mulus.

Kebiasaan itu perlahan hilang setelah tsunami menerjang Aceh. Apalagi jalur itu rusak parah terkena bencana. Jalur alternatif yakni lewat utara ternyata lebih buruk.

“Bisa lewat daerah Tutut di kabupaten Aceh Barat. Namun, kiri-kanan jalannya curam dan penuh lubang. Kendaraan yang lewat jalur ini beberapa kali celaka. Pokoknya, keselamatan tidak terjamin deh,” kata Wawan.

Alhasil, Wawan hanya pulang sekali setahun ke Aceh Selatan. Itu pun pas Lebaran saja.

“Lebih sedih lagi teman-teman asal kabupaten Seumelue, bang. Mereka harus bermalam dulu di Labuhan Haji, Aceh Selatan karena kapal penyeberangan tak cukup muat penumpang ke Seumelue,” timpal rekan Wawan yang ikut nimbrung perbincangan kami.

“Kadang kami cemburu lihat teman-teman dari wilayah utara atau timur Aceh yang bisa pulang kampung setiap saat. Jalan mereka lebih mulus,” kata Wawan, dengan nada lirih.

*) Hairul Anwar adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh.

by:Hairul Anwar