Bantu Kami Kau Selamat

Feri Kusuma

Mon, 24 March 2008

Dua remaja pencari kepiting di Langsa disiksa dan ditahan polisi dengan tuduhan merampok. Salah seorang hampir dibunuh. Kisah ini menunjukkan bagaimana perlakuan aparat kepolisian terhadap mereka yang belum tentu bersalah.

IA duduk termanggu dengan raut wajah galau di serambi rumahnya, sambil pandang matanya menyelidik ke lorong-lorong. Remaja berusia 15 tahun ini tidak tahu harus pergi ke mana hari itu.

Muhammad Aziz nama lengkapnya. Ia pelajar kelas satu sekolah menengah atas saat itu, termasuk anak yang  tidak betah di rumah. Sepulang sekolah ia gunakan waktunya untuk membantu saudaranya berjualan jeruk manis di pasar Langsa Kota, kotamadya Langsa, Aceh Timur. Ia ingin punya tambahan uang jajan.

Di penghujung bulan April 2006, ayahnya melarang ia bekerja karena khawatir hal itu akan mengganggu sekolahnya. Abdullah Yakop ingin anaknya “menjadi orang”.

Senin, 1 Mei 2006, hari itu ia libur sekolah karena kakak kelasnya sedang mengikuti ujian. Pada hari itu ia  berniat pergi bermain-main di seputar kampung. Dari pukul 08.00, ia keluar rumah dan pergi tanpa tujuan.

Di ujung lorong, di waktu bersamaan, Ilham pergi menuju boat (perahu mesin) Bang Pon yang baru pulang melaut. Ia membantu memuat ikan dari perahu ke dalam raga (keranjang) dan setelah selesai ia mengantar ikan-ikan itu kepada ayahnya di pasar Langsa Kota.

Rusli Taib, ayahnya, sudah lama jualan ikan di pasar tersebut.

Sepulang mengantar ikan, Ilham berencana untuk pergi ngangkul (mancing) kepiting. Setiba di perempatan jalan, ia bertemu dengan Azis. Ia menuturkan niatnya kepada Azis, yang tertarik untuk ikut serta. Semula Ilham keberatan Aziz ikut, karena ia mengira Aziz harus masuk sekolah. Setelah sepakat pergi bersama, mereka juga berencana mengajak kawan lain.

SAPRIADI bin Jamaluddin yang biasa disapa Adi baru saja selesai sarapan pagi itu. Pemuda perokok ini sudah berpengalaman ngangkul. Usianya 21 tahun. Badannya kekar dan tinggi.

Pagi itu setelah selesai sarapan ia hendak membeli rokok. Ia meminta uang Rp 1000 pada ibunya, lalu pergi ke kedai Baktiar yang tak berapa jauh dari rumahnya. Ketika ia sedang menikmati asap tembakau itulah Aziz dan Ilham mendekatinya. Adi tak menolak tawaran kedua remaja tersebut untukngangkul bersama.

Ilham dan Adi kemudian pergi ke rumah Adi untuk mengambil peralatan, sedangkan Aziz pulang ke rumahnya untuk mengambil bekal nasi dan perlengkapan ngangkul.

Jarak rumah mereka hanya terpaut puluhan meter.

Setengah berlari Aziz pulang ke rumah. Saat ia sedang memasukkan nasi dalam rantang, neneknya yang sudah uzur datang menghampirinya. “Mau ke mana?” selidik sang nenek.

Tanpa menoleh ke wajah neneknya, Azis menyahut, “Mau pergi ngangkul kepiting sama kawan-kawan.”

Jangan pergi, nanti dimarahin ayahmu, “ tukas neneknya.

Aziz buru-buru pergi. Teguran nenek tak digubrisnya. Ia pun meninggalkan sang nenek sendirian di rumah.

Sekitar pukul 10.00 Ilham, Aziz, dan Adi berjalan kaki menuju Sungai Pauh. Di tempat itu Ilham biasa ngangkul, tepatnya di lokasi tambak udang yang berhimpitan dengan alur sungai Kuala Langsa. Matahari mulai membakar kulit ketiganya.

Sekitar 20 menit, mereka pun tiba di tempat tujuan.

Mereka mulai memasang pancing sambil bercakap-cakap dengan seorang lelaki bernama Jubir, yang hari itu juga ngangkul di tempat yang sama. Selain Jubir, ada tiga anak lain dari desa Sungai Pauh yang ngangkul  di sana.

Setelah mereka mendapatkan sejumlah kepiting, air sungai pun mulai surut. Mereka bersiap-siap untuk pulang membawa hasil tangkapannya.

Tiba-tiba Muhammad Nur alias Dek Gam datang ke tempat mereka. Dek Gam yang biasa dipanggil “paman” oleh Azis ini datang bersama dua temannya. Dek Gam meminta tolong kepada Ilham untuk membelikan nasi untuknya.

Setelah berjalan kaki sekitar 20 menit, Ilham kembali membawa enam bungkus nasi di tangannya. Tiga bungkus diambil Dek Gam, sedang sisanya dibagi untuk Aziz, Ilham, Adi dan Jubir.

Setelah itu, Aziz dan teman-temannya menjauh dari Dek Gam dan dua temannya. Mereka makan bersama di pematang tambak, sedang Dek Gam dan lain-lain makan di dekat mulut sungai yang berjarak sekitar tujuh meter dari tempat Aziz dan teman-temannya berada.

Dek Gam kembali menghampiri Aziz dan teman-teman sesudah makan. Kali ini ia menyuruh mereka mengantar kedua temannya itu ke muara sungai Langsa dengan menggunakan boat Bang Pon. Rupanya ia mengambil boat Bang Pon tanpa sepengetahuan sang pemilik.

"Kamu bisa membawa boat?” tanya Dek Gam kepada Ilham kala itu.

Anak-anak ini tidak mengenal kedua teman Dek Gam, tapi karena diberi imbalan uang Rp 50 ribu mereka bersedia mengantarnya ke Kuala Langsa.

Pukul 14.50, setelah menghidupkan mesin boat Ilham melajukan boat ke hulu sungai. ditemani teman-temannya. Kedua teman Dek Gam membawa serta sepeda motor jenis Supra X naik boat itu dan juga meletakkan sepujuk senjata laras panjang yang sudah dibalut dengan jaket hitam di lantai boat

Dek Gam tidak ikut serta. Ia pulang ke rumahnya.

Aku menyusul,” ujarnya, saat melepas kepergian kedua temannya itu.

Riak cemas tercermin di wajah kedua pemuda, teman Dek Gam. Mereka seperti sedang menyembunyikan kegelisahannya dengan bersiulan. Sementara Azis dan teman-temannya bersikap masa bodoh.

Baru beberapa menit boat melaju, satuan polisi Airud atau polisi laut yang juga sedang menyisir perairan Kuala Langsa meminta Ilham menghentikan boat dan menepi. Seluruh penumpang boat panik.

Hei, berhenti kalian!” perintah anggota Airud, sambil memberi isyarat tangan sebagaimana dilihat Jubir kala itu.

Ayo kita lari,” kata salah seorang kawan Dek Gam yang berkulit hitam.

Jangan berhenti, nggak apa-apa jalan terus, cepat bawa ke pinggir,” sahut kawannya dengan wajah gelisah.

Perlahan-lahan boat menepi ke bibir sungai.

Alangkah kagetnya Ilham saat menyaksikan kedua orang tadi melompat ke dalam air, menyelam dan melarikan diri. Melihat gelagat mencurigakan, polisi Airud melepaskan tembakan dan memerintah kepada mereka yang berada di boat untuk menyerahkan diri.

Aziz ketakutan dan karena khawatir kena tembak, ia ikut melompat ke dalam air dan berenang ke arah speedboat Airud. Karena merasa tidak bersalah, Azis naik ke speedboat itu untuk menyelamatkan diri.

Niat menyelamatkan diri malah berbuah petaka. Ibarat pepatah “lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”, Azis ditangkap dan dituduh sebagai komplotan bersenjata yang beberapa jam lalu melakukan aksinya. Dugaan awal polisi menguat ketika di dalam boat yang dikemudikan Ilham ditemukan sepucuk senjata laras panjang AK-56 dan sepeda motor hasil rampasan. Tak ayal lagi, Azis langsung diganjar dengan pukulan. Adi dan Ilham menerima perlakuan yang sama.

Jubir dan kedua teman Dek Gam berhasil kabur.

Dengan sangat marah polisi menggiring ketiga pemuda ini ke tepi jalan, tepatnya di Kilometer Lima Kuala Langsa. Mereka dipukuli, diinjak-injak, lalu dimasukkan ke dalam mobil panser.

Ilham yang tak tahan menerima tinju polisi, menangis dan teriak minta ampun sampai polisi berhenti memukulinya. Di tengah situasi yang tegang itu, Aziz malah tertawa. Pasalnya, ia geli melihat Ilham menangis. Karena merasa diremehkan, polisi memukul Aziz bertubi-tubi hingga tubuh remaja ini mati rasa sejenak. Kedua tangannya bahkan diinjak dengan sepatu. Dalam panser itu, Aziz disuruh tiarap tanpa pakaian, begitu pula Adi. Ilham diperintahkan duduk di jok.

Ketiganya dibawa ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Langsa beserta sepeda motor dan senjata laras panjang itu. Sekitar pukul 15.00. Di markas polisi ini pun mereka tak luput dari penganiayaan.

Wartawan berdatangan dan memotret wajah-wajah pucat anak nelayan ini. Media cetak lokal kemudian berisi berita keberhasilan polisi Airud menangkap tiga orang pelaku perampokan bersenjata. Wajah Adi sempat terpampang jelas di suratkabar Serambi Indonesia saat ia digelandang polisi Airud ke kantor Polresta.

Sementara saat itu, waktu beranjak senja di Alu Beurawe. Tak berapa lama cahaya di ufuk timur yang memerah mulai menyerah pada kegelapan malam. Warga Alu Beurawe mulai digeluti keresahan. Isu penangkapan anak-anak yang ngangkul kepiting santer terdengar.

Abdullah Yakop ada di rumahnya dan ia belum tahu tentang penangkapan anaknya. Namun, tak berapa lama sekitar lima polisi datang memberitahunya soal Aziz. Ia kaget bukan kepalang. Ia benar-benar syok ketika mendengar Azis dituduh terlibat perampokan bersenjata dan sekarang ditahan di Polresta Langsa.

Tanpa menunda-nunda waktu, ia bergegas mendatangi kantor Polresta. Ia ingin bertemu anaknya, tetapi ditolak petugas. Alasan mereka, para pelaku sedang dalam pemeriksaan.

Ruang reserse sesak oleh polisi. Aziz dan Ilham diinterogasi. Adi dibawa ke ruang lain. Ketiganya diminta mengakui aksi perampokan yang tidak mereka lakukan. Mereka juga diminta memberitahu keberadaan kedua pemuda yang bersama mereka di boat tadi, yang dikenal sebagai “teman Dek Gam”.

Aku tidak tahu dan juga tidak mengenal ke dua teman paman aku itu,” sahut Aziz, dengan gugup.

Sebagai ganjarannya, mulutnya dihajar sampai tak bisa mengunyah makanan selama dua hari.

Ilham dan Adi dipukul dengan popor senjata, juga ditendang.

Mereka tetap ditahan, meski sudah menyatakan tak tahu-menahu tentang perampokan tersebut.

Jubir masih berada di sekitar tepi sungai. Ketika hari mulai gelap, bunyi riuh tak terdengar lagi, ia pun memberanikan dirinya keluar dari balik semak-belukar. Geraknya amat pelan. Tubuhnya gemetar.

Seraya berjalan menuju rumah, ia terus berpikir tentang polisi Airud yang mengejar mereka. Ia tiba di rumahnya menjelang shalat Isya, dalam keadaan menggigil. Saat itulah ia baru mengetahui bahwa ada perampok dalamboattadi dan itu pun dari pembicaraan warga sekitar yang serba sekilas.

Gerimis membasahi kota Langsa. Udara dingin mulai menyentuh pori-pori. Aziz, Ilham, dan Adi masih berada di ruang reserse.

Mereka terus dipaksa mengaku terlibat perampokan. Pada pukul 04.00, ketiganya dijebloskan ke sel.

Pagi-pagi mereka diperintah untuk mencium lantai, push up, merayap, jongkok dengan tangan di belakang kepala layaknya tahanan dewasa. Tak ada kepastian kapan mereka akan dibebaskan dari tahanan.

Minggu tengah malam, 7 Mei 2006, suasana hati Aziz mulai tidak karuan. Ia dibawa keluar dari sel dan diangkut dengan sebuah mobil Kijang dengan kawalan tiga polisi. Aziz menyangka ia akan dihabisi malam itu juga. Ia hanya bercelana. Bajunya telah dijadikan penutup matanya oleh polisi-polisi tersebut.

Tubuhnya ditempelin pistol oleh salah seorang polisi dan ia diancam, “Kau harus ngaku, kalau gak, kubuang kau malam ini.”

Kalau kau bantu kami, kau selamat,” kata polisi itu.

Dengan bibir gemetar, Aziz terbata-bata mengatakan bahwa ia tidak mengenal kedua perampok tersebut.

Polisi tetap meragukan pernyataan Aziz. Menjelang pukul 04.00, Aziz digiring kembali ke sel.

Ia tak bisa memejamkan mata. Berbagai pikiran buruk melintas. Ia benar-benar ketakutan.

Belum lama tubuhnya rebah di atas dipan, ia kembali dipanggil ke ruang pemeriksaan.  

Salah seorang intel menjemputnya. Rambutnya dijambak.

Di ruangan tersebut sudah menunggu dua polisi lain. Azis kembali diinterogasi.

Polisi kurang puas mendengar jawaban Azis yang mereka anggap membingungkan. Mereka geram, lalu menampar Aziz. Belum puas menyiksa remaja ini, salah seorang polisi menutup mulut Aziz dengan isolasi. Ia diminta membuka pakaiannya dan setelah itu polisi-polisi tersebut menghajar tubuhnya sampai tumbang ke lantai.

Kepala Azis ditusuk-tusuk dengan pulpen. Punggungnya dicambuk berkali-kali.

Ia tetap dipaksa membuat pengakuan.

Kau cerita yang sebenarnya, kalau bohong muka kamu saya buat macam triplek,” kata salah seorang polisi.

SEBELAS hari sudah Aziz berada di rumah tahanan. Keluarganya tidak diizinkan menjenguknya.

Pada 12 Mei 2006, Abdullah meminta penangguhan penahanan terhadap anaknya. Ia ingin anaknya kembali belajar di sekolah. Lagipula polisi menahan Aziz tanpa surat keterangan, sehingga Abdullah tak tahu tindak pidana apa yang dituduhkan kepada anaknya.

Pada hari Senin, 15 Mei 2006, Abdullah dipanggil ke kantor Polresta Langsa. Baru pada hari itu pihak Polresta memberikan Surat Perintah Penangkapan dan sekaligus Surat Perintah Penahanan atas nama M.Azis, Ilham dan Supriadi, kepadanya.

Selasa, 16 Mei 2006, Abdullah menerima surat panggilan Polresta Langsa yang kedua kali. Ia diminta menghadap Kasat Reskrim Iptu Burhanuddin.

Polisi bersedia menangguhkan penahanan anaknya dengan syarat ia harus memberikan uang jaminan sebesar Rp 10 juta. Tapi Abdullah menolak.

Selidik punya selidik, polisi menemukan informasi bahwa pelaku perampokan yang sesungguhnya memang bukan Aziz, Adi, dan Ilham. Mereka dibebaskan. Ketiganya 

dijemput keluarganya beserta perangkat desa.

Menurut Kapolres Langsa Ajun Komisaris Besar Polisi Hendro Sugiatno, sebagaimana dikutip Serambi Indonesia, anak-anak tersebut memang bukan tersangka utama dan mereka dianggap membantu perampok melarikan diri dengan perahu.

Perampokan itu dilakukan M.Nur alias Dek Gam alias Kruntung dan kedua temannya, Amad alias Maup dan Banta. Ketiganya mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka yang sudah desersi dari keanggotaannya sejak status darurat militer diberlakukan di Aceh.

Perampokan bersenjata itu terjadi di kantor Dinas Kesehatan di Jalan Prof. A Majid Ibrahim, di desa Sungai Pauh, Langsa. Tepatnya di tepi jalan raya Banda Aceh-Medan. Kejadiannya siang bolong.

Para perampok menggondol uang tunai Rp 25 juta dan mengambil barang-barang berharga milik para pegawai yang pada hari itu sedang menunggu pembayaran uang insentif dan kebetulan bertepatan dengan hari gajian.

Beberapa pegawai cedera, tapi tak ada korban jiwa.

Perampok juga merampas sepeda motor jenis Supra X BL 2331 XD milik Zainudin Hasyim yang kala itu sedang melintas di tempat kejadian.

Setelah melakukan aksinya, mereka melarikan diri ke arah Kuala Langsa, tempat Azis sedang ngangkul kepiting bersama Ilham dan Adi.

Jumilah, ibu Ilham, menyesali tindakan polisi yang telah menangkap  anaknya.

Abdullah sangat berduka atas musibah yang menimpa putranya, Aziz. Setiap hari ia menjaga anaknya, mengingatkannya untuk tidak berjualan atau ngangkul kepiting agar tak mengganggu sekolahnya, tapi ternyata dapat musibah juga.

Aziz masih ingat pesan neneknya yang melarangnya pergi. Ia menyesal tak mendengarkan saran nenek. Ia masih mengenang peristiwa yang hampir merenggutnya nyawanya itu dengan rasa marah dan dada bergemuruh.***

*) Feri Kusuma adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Ia bekerja sebagai staf advokasi dan kampanye Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh

kembali keatas

by:Feri Kusuma