Pesta Ganja dan Keurja Udeep

Teuku Fajriman

Fri, 29 February 2008

Ganja Aceh amat terkenal. Tanaman ini punya banyak khasiat untuk kesehatan, selain efek negatifnya. Pesta ganja juga jadi hal lumrah di malam persiapan kenduri atau resepsi perkawinan warga.

SAYA menyalami beberapa orang penerima tamu. Di ujung barisan, seseorang menyodorkan kantong plastik putih. Satu per satu tamu yang datang merogoh dan mengambil satu isi di dalamnya. Saya menduga, mungkin di dalam kantong itu ranup atau sirih yang biasa disajikan sebagai simbol penyambutan tamu saat kenduri. Biasanya, di dalam gulungan sirih terdapat potongan buah pinang.

“Ya sudah, ambil saja!” kata lelaki yang memegang kantong plastik itu.

Antara ya dan tidak, saya pun ikut merogoh. Tapi saya salah. Bukan sirih yang saya dapat. Ini sebatang rokok yang sudah dilinting ganja.

Malam itu saya datang ke rumah salah seorang warga kampung Pantoun, Pidie Jaya. Kampung ini berada di pedalaman, dekat kaki Bukit Barisan. Saya diajak oleh Muhammad Nasir, kawan sekelas saya di bangku sekolah dasar 10 tahun lalu. Tubuhnya kekar. Kulitnya hitam legam. Tapi dia suka bicara macam-macam, diselingi lelucon. Dia tidak pernah meninggalkan malam pesta perkawinan.

“Sir!” panggil Mahlil. Ia salah seorang kenalan Nasir.

“Silahkan duduk!” kata Mahlil sambil mengatur kursi plastik.

“Ini tempat anak muda, yang sudah tua di sana, depan rumah,” kata Amin, juga seorang sahabat Nasir. Usianya sekitar 25 tahun. Tiga tahun lebih tua dari Nasir.

Tempat kumpul-kumpul terpisah dari rumah yang akan melaksanakan pesta. Tamu-tamu muda ini duduk berkelompok membuat lingkaran kecil.

Asap rokok ganja begitu kental bercampur udara malam membuat siapa saja mabuk. Dendang dangdut Ona Saputra membikin kepala mereka manggut-manggut kecil. Sesekali mereka bergantian menyanyi. Obrolan dan gelak tawa tak terkendali.

Saya hanya menghisap rokok kretek biasa. Meski begitu, saya bisa ikut merasakan sensasi yang ditimbulkan ganja. Kepala saya seolah-olah menjadi ‘dua’, dan pelan-pelan terasa berat. Namun sangat nyaman. Saya membayangkan hal serupa juga dirasakan teman-teman. Tak ada segala rasa, selain ‘senang’.

Saya cepat akrab dengan dengan mereka. Mereka ramah, dan tidak menganganggap saya sebagai orang yang baru dikenal. Mereka suka bergurau dan melucu, meski masing-masing wajah kami tak tampak jelas karena kepulan asap.

Mata saya terus memperhatikan muka Amin. Ia menatap saya dengan mata kuyu dan merah. Seolah ia tahu keheranan saya.

“Pesta ganja biasa di malam pesta perkawinan. Hampir tiap malam pesta perkawinan menyediakan ganja,” ujar Amin, pelan.

“Apalagi ahli rumah yang melaksanakan hajatan memiliki anak laki-laki dewasa. Kalaupun tidak, sang kepala ahli rumah akan memberikan sejumlah uang khusus, dengan berkata, ‘ini untuk kalian, anak muda!’ Pokoknya cukup untuk dua ons ganja, kira-kira seratus limapuluh ribuan lah,” lanjutnya.

“Kalau gak ada ganja, anak muda tidak mau datang ke rumah pesta. Dan, tidak ada yang bantu mempersiapkan pesta,” sahut Mahlil.

“Selain daerah kita, di Ulee Glee, Keumbang Tanjong, Beureunuen, Bireun, Lamteuba, dan Panca juga menyediakan ganja di malam pesta,” timpal Nasir yang mengaku beberapa kali ikut pesta ganja setelah keurja udeep

SELAIN dikenal sebagai wilayah konflik, Aceh sering diidentikan dengan ganja. Kondisi geografis Aceh yang sangat mendukung tanaman ganja. Tak ayal, ini membuat Aceh menjadi kawasan lumbung ganja.

Ini juga diakui direktur Badan Narkotika Nasional, Made Mangku Pastika di suratkabar Serambi Indonesia, 31 Januari 2008. Lembaga ini melaporkan beberapa penemuan ladang ganja di beberapa daerah di Aceh, seperti di kabupaten Bireuen dan Lamteuba, Aceh Besar.

Kabupaten Bireuen disebut-sebut mempunyai ladang ganja terluas di Aceh. Diperkirakan ada 44 titik ladang ganja yang tersebar di enam lokasi di lima kecamatan. Dalam satu kali operasi di Bireuen saja aparat bisa menemukan 20 hingga 90 hektare ladang ganja.

Selain dua lokasi itu, baru-baru ini, seperti diberitakan Serambi tanggal 16 Februari 2008, ditemukan tiga hektare ladang ganja di Peureulak, Aceh Timur.

Ganja termasuk salah satu jenis tanaman herba tahunan yang tingginya dapat mencapai empat meter. Batang dewasanya kaku dan berserat, susunan daun oposit, dan tiap daun berbentuk palmatus, menjari. Ganja merupakan asli tanaman daerah tropis di Asia. Secara historis ganja pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2737 SM (sebelum masehi). Masyarakat Cina telah mengenal ganja sejak zaman batu. Mereka menggunakan ganja sebagai bahan bakar dan sebagai obat-obatan.

Ganja memang mengandung bahan aktif kimia yang disebut delta -9- THC, yang mempunyai efek mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui cara melihat sesuatu, mendengar, dan mempengaruhi suasana hati pemakainya.

Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang beraliran musik reggae. Marijuana, hemp, hashish, nama-nama untuk menyebutkan tanaman ganja. Cannabis sativa adalah nama latin tumbuhan ini. Sedangkan marijuana berasal dari bahasa Portugis, yaitu mariguango atau barang yang memabukkan. Bunga yang dikeringkan dikenal dengan hashish. Hemp, nama untuk membedakan ganja yang dipakai sebagai bahan industri.

Tapi, Indonesia tidak ada pembedaan jenis ganja untuk penggunaan terlarang yang dikenal sebagai Cannabis, dengan ganja untuk penggunaan industri dikenal dengan istilah Hemp. Indonesia hanya mengenal ‘ganja’ yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Aturan ini menyebutkan bahwa ganja termasuk sebagai narkotika golongan I. Ini berarti, ganja satu kelas dengan opium dan kokain.

DI sebagian daerah Aceh masih berlaku keurja udeep. Sebuah tradisi masyarakat kampung untuk saling membantu warga yang akan menggelar kenduri atau pesta perkawinan. Mulai dari pembentukan panitia, menyiapkan tempat, memasak, sampai mencuci piring dikerjakan oleh warga secara bergotong-royong.

“Tapi, kadang-kadang tak tampak ada pesta ganja, karena dibagikan secara sembunyi-sembunyi, tidak seperti tadi yang menunggu di pintu masuk,” kata Nasir.

Saya heran, mengapa kaum muda di kampung bisa bebas berpesta ganja. Apa tidak ada yang melarang?

“Polisi tak berani masuk ke sini. Apalagi menangkap orang! Kalau mereka ke sini, bukannya menyelesaikan masalah, tapi mencari masalah sibuk aja! Apa mau membawa kita sekampung?” sahut Amin.

“Hahahaha….” Beberapa teman spontan menjawab dengan tawa.

Tradisi seperti ini sudah sejak dulu berlangsung. Bahkan ketika konflik dan Aceh berstatus Darurat Militer, malah ada tentara Indonesia yang ikut nimbrung kalau ada pesta atau kenduri kampung. Rupanya, mereka juga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan menikmati ganja. Di luar Aceh, barang ini sangat susah didapatkan. Harganya mahal dan berisiko penggrebekan.

Orang-orang tua kampung pun tahu, ada pesta ganja tiap malam pesta perkawinan.

“Tapi mereka tidak mau acara yang sudah dibangun bersama kacau hanya karena nggak boleh isap ganja,” ujar Mahlil.

“Itu pun sesekali kalau ada pesta seperti ini,” tambah Nasir.

“Apa ngelarang!” sahut Amin.

“Dulu, mereka juga ‘pakai’. Asal, para pemakai masih menghormati tata krama menghisap ganja. Tidak berkeliaran dan di tempat sedikit terpisah dari tempat umum,” lanjut Amin.

Mereka menyebutkan beberapa nama orang tua yang dulu sebagai pemakai. Malah orang-orang tua itu, menurut mereka, memakai ganja sebagai pengganti tembakau rukok on, rokok daun nipah. Tanpa mencampur dengan tembakau biasa. Biasanya ganja yang mereka konsumsi hasil tanam sendiri, satu atau dua batang yang tidak untuk diproduksi.

Kawan-kawan saya punya anggapan berbeda soal menghisap ganja. Menurut mereka, ganja tidak selamanya membawa efek buruk bagi kehidupan. Atau merusak generasi bangsa seperti yang selalu didengungkan poster-poster anti narkoba. Mereka malah menguatkan argumen dengan menyebut nama beberapa pemakai ganja yang dikenal memiliki ide-ide cemerlang bagi kemajuan kampungnya dan dikenal juga sebagai pekerja keras.

“Sebenarnya ganja hanya memberi efek kecenderungan. Saat orang sedang bekerja ‘makai’ ganja, dia akan cenderung terus bekerja sampai lupa waktu. Tapi, bila dia sedang santai, maka dia akan cenderung bermalas-malas. Nah, ini yang merusak generasi bangsa,” komentar Amin.

“Bila itu semua bisa dikontrol, malah menjadi obat. Semua akan baik-baik saja,” tegas Mahlil.

Dalam dunia medis dan farmasi, bahan kimia pada ganja mempunyai sifat-sifat yang membantu penyembuhan penyakit dalam tubuh, seperti tonic (penguat), analgesic, stomachic dan antispasmodic (penghilang rasa sakit), sedative dan anodyne (penenang), serta intoxicant (racun keras). Daun dan biji ganja dapat membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker. Akar dan batangnya bisa dibuat menjadi jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, dan bronchitis. Namun, ganja juga mempunyai sifat toksik atau racun yang dapat mengganggu kinerja otot, pusing-pusing, susah konsentrasi, kebingungan, susah berjalan, mulut kering, penglihatan kabur hingga muntah-muntah.

Di Inggris terdapat Marijuana Center, sebuah lembaga yang melakukan penelitian ganja untuk keperluan medis dan farmasi. Demikian pula di Kanada. Di sana ganja bisa didapatkan di apotek, tapi mesti sesuai dengan resep dokter. Di Aceh, pemerintah Aceh sendiri berusaha membebaskan Aceh dari status sebagai lumbung ganja nasional. Salah satunya menerapkan pembangunan alternatif, seperti menanam sayur. Baru-baru ini, usaha pembangunan ini dilakukan bekerja sama dengan United On Drugs and Crime (UNODC) dan Mea Fah Lung Foundation (MFLF). Dua lembaga internasional ini, seperti diberitakan Serambi Indonesia tanggal 31 Januari 2008, kabarnya berhasil memberantas opium di kawasan segitiga emas, Thailand Utara.

Malam makin larut. Beberapa tamu masih menikmati sisa pesta ganja. Saya pamit.

Besok, Nasir harus bangun pagi-pagi sekali untuk mengurus tanaman cabai di ladangnya yang juga ditanami ganja sebagai pengusir hama. ***

*) Teuku Fajriman adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia murid Sekolah Menulis Dokarim.


kembali keatas

by:Teuku Fajriman