Pengembara dari Selatan Aceh

Basilius Triharyanto

Tue, 19 February 2008

Kala Aceh mengalami darurat militer, banyak pemuda Aceh Singkil mencari selamat ke Jawa. Mereka bergerak dari satu kota ke kota lain. Salah satunya, Wilda Sastra Sholien, yang meninggalkan Aceh pada Maret 2003, naik bus Medan-Jogjakarta.

Kala Aceh mengalami darurat militer, banyak pemuda Aceh Singkil mencari selamat ke Jawa. Mereka bergerak dari satu kota ke kota lain. Salah satunya, Wilda Sastra Sholien, yang meninggalkan Aceh pada Maret 2003, naik bus Medan-Jogjakarta. Pada hari keempat, bus ALS menurunkannya di terminal Jogjakarta. Ini kali pertama dia menginjakkan kaki di Jogjakarta.

Wilda lahir di desa Dah, kota Subulussalam, Aceh Singkil tahun 1983. Sekolahnya dipaksa berhenti oleh situasi konflik di Aceh saat sekolah menengah. Keluarganya menjadi pengungsi. Tak tahan di barak pengungsian, ia putuskan untuk pergi ke Jawa.  “Bayangan saya, Jogja itu kota yang penuh kemajuan, kota intelektual,” kata Wilda.

Di Jogja, Wilda tinggal di pesantren Taruna Alqur’an, Sleman. Dia mencoba daftar sekolah biasa namun terhambat identitas dirinya, yang berasal dari Aceh. Ia ditolak beberapa sekolah karena Aceh hendak merdeka dari Indonesia. “Saya sampai nangis. Ini pengalaman sangat sulit terlupakan seumur hidup saya,” kata Wilda.

Ia sempat pergi ke daerah pinggir Jogjakarta, yaitu Wonosari, ibukota kabupaten Gunung Kidul. Namun, kota kecil itu tak juga membuka harapan untuknya. Mereka menolaknya dengan alasan sama: orang Aceh.

Wilda lalu mengembara ke Jepara. “Di Jepara, uang saya tinggal 600 rupiah,” kenangnya. Itu pun di perjalanan ia tak makan sama sekali. Ia nekad berterus terang kepada pemilik warung nasi, yang letaknya di pinggir jalan.

“Saya malu betul itu. Saya bilang ke ibu itu (penjaga warung) kehabisan uang dan sudah sangat lapar,” katanya. Ibu itu pun memberikan sepiring mie rebus dan nasi. “Di Jepara ini, saya dihormati oleh orang Jawa. Meski, saya tak punya uang, dia menghargai saya. Di sini, saya jadi tak benci orang Jawa haaa haaa,” kata Wilda, sambil tertawa.

Ia pun mendapatkan sekolah di Jepara. “Ketika ke Jakarta, hati kami terbagi dua, ke Jepara dan ke Aceh,” kata Wilda. Namun Wilda memutuskan pindah ke Jakarta, bersama Sapriadi, teman dekat dari Aceh, yang menyusulnya ke Jepara.

PADA TAHUN 2006, sejumlah anak muda kelahiran 1980-an, asal kota Subulussalam dan Aceh Singkil, mulai bertemu di Jakarta. Hampir semua pemuda itu berkelana dahulu dari Aceh ke beberapa tempat di tanah Jawa. Dan, di kota Jakarta, mereka bertemu, hingga sepakat membentuk sebuah organisasi mahasiswa bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Subulussalam-Aceh Singkil, disingkat KAMSAS.

Pertemuan pertama Wilda dan Sapri dengan sesama pemuda Aceh Singkil terjadi ketika pengajian di masjid Attauhid, Bintaro, Jakarta Selatan. Salah satunya, Hasby Gomok, kelahiran Sigrun, Aceh Singkil, yang kala itu membawa dua teman asal Subulussalam. “Dia punya beberapa teman, yang lain juga begitu, mungkin cuman bertiga, berdua,” kata Wilda. Dari obrolan lisan beberapa kawan itu, muncullah gagasan untuk berkumpul bersama.

Maka berkumpullah enam pemuda Subulussalam-Aceh Singkil di masjid Attauhid secara teratur. Sebagian besar pemuda itu korban konflik Aceh.

Sapri turut menjadi bagian korban perang itu sendiri. Pada 2003, di daerah Subulussalam diberlakukan jam malam. Para pemuda diwajibkan polisi menjaga desa. Tak terkecuali bagi Sapri.

Suatu malam, ia melewatkan ronda karena ketiduran. Siangnya, ia didatangi satu kompi polisi. Kepala dan anggota badan lainnya memar dan benjol oleh tinju dan pukulan pentung kayu. “Pokoknya seluruh badan ini sakit-sakit semua,” kata Sapri kepada saya.

Secara psikologis, Sapri tak merasa takut lagi dengan senjata tentara. Karena sering menyaksikan adegan tembak-menembak antara TNI dan GAM. Ia juga tak lagi takut menjumpai mayat tergeletak mengenaskan. “Itu sudah biasa. Saya sering melihat orang mati karena perang,” katanya.

Pada 2002, kakeknya Wilda dibunuh oleh GAM. Kakek Wilda bernama Haji Kasman, seorang keuchik Dah. “Keuchik keluar…Keuchik, keuchik…,” kata Wilda, menirukan panggilan GAM. Keuchik adalah panggilan untuk kepala desa. “Kakek dibunuh pada sore hari. Kakek ditembak, pecinya sempat jatuh lalu diambil lagi,” kata Wilda, dari seorang kawan yang menyaksikan penembakan itu.

“Kampung saya dibakar oleh GAM. Semua keluarga saya mengungsi,” kata Wilda. Ia bergabung dengan ribuan penduduk Aceh yang tinggal di barak-barak pengungsian.

Hasby Gomok juga punya kisah korban perang Aceh. Pada tahun 2000, salah satu anggota keluarganya diculik oleh gerilyawan GAM. “Kakak nomor tiga sampai sekarang tidak terdengar kabarnya,” katanya. Kabar dari seorang saksi mata yang ia terima, kakaknya diculik di kawasan hutan di balik kampungnya. “Waktu itu lagi ngambil (kayu), di sana kan kerjanya illegal logging,” kata Gomok, menambahkan. Menurutnya, Sigrun adalah salah satu desa yang menantang bagi gerakan GAM. Usai penculikan itu, tak terdengar lagi kabarnya. Ia dan keluarganya sama sekali tak tahu, apakah kakaknya masih hidup atau sudah mati.

Hasby didorong orang tuanya untuk meninggalkan Aceh segera. Saat itu, tahun 2003, ia pun cepat meninggalkan Aceh menuju Jogjakarta. “Katanya, di Jogja waktu itu ada pesantren gratis. Di sana, katanya, kerjanya cuman menghafal Alqur’an dan siangnya sekolah formal,” kata Gomok. Ternyata, di sana nggak ada sekolahnya, cuman menghafal Alqur’an, kata Gomok.

Pada September 2003, ia meninggalkan Jogjakarta ke Jakarta dengan kereta api kelas ekonomi. Kali pertama ia tinggal di Serpong. Ia tinggal dengan seorang temannya dari Aceh. Satu tahun ia sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Serpong. Lalu, pindah ke Jakarta Timur, masuk ke MAN 9. Hanya bertahan satu tahun. Lalu ke Tangerang, pindah ke SMU Bina Bangsa Ciledug. Beberapa kali sekolahnya terhenti karena tak mampu membayar. Kiriman uang dari keluarga di Aceh juga tak tentu datangnya. Pernah, selama satu tahun, ia bekerja menjadi penjaga masjid. Sehingga, SMU Bina Bangsa ia bisa selesaikan pada 2006.

Kemudian ia kuliah di Bina Sarana Informatika, tahun pertama kandas karena biaya. Ia coba lagi ke Universitas Al Azhar jurusan sastra Arab. “Alhamdulillah, masuk juga. Akhirnya, ngulang lagi semester satu,” kata Gomok.

Dengan latar belakang sejarah yang sama dan ikatan emosional yang kuat, keenam pemuda itu menggagas pertemuan para mahasiswa sedaerah Subulussalam-Aceh Singkil guna membentuk sebuah organisasi mahasiswa. Enam pemuda Aceh yang biasa kumpul di Bintaro itu menyebarkan selebaran undangan ke berbagai kampus di Jakarta, seperti seperti di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayahtullah Jakarta, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Fatahillah Jakarta, STAI Darul Fathah Tangerang, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Al Azhar Jakarta.

Dalam pertemuan di Lembaga Bahasa Universitas Indonesia (LB UI), Depok, pada 15 Oktober 2006, para pemuda itu bersepakat mendeklarasikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Bangkit Aceh Singkil (KAMBAS).

“Waktu itu, hampir semua teman-teman tidak menyukai model organisasi himpunan mahasiswa,” kata Wilda. “Kami lebih suka dengan model kesatuan aksi. Selain itu, kami terbiasa dengan permasalahan, realitas,” kata Wilda.

Pada 8 Juli 2007, di Bumi Serpong Damai, Tangerang, para pemuda Aceh tersebut berkumpul kembali, setelah terjadi perkembangan politik tata pemerintahan kota, yaitu pemerintah kota Subulussalam berdiri sendiri. Sebelumnya kota itu dibawah naungan pemerintah daerah Aceh Singkil. Nama organisasi diubah sedikit, dari KAMBAS menjadi KAMSAS.

Di bulan Ramadhan tahun 2007, KAMSAS mulai bergerak ke Aceh. Sekitar enam orang, secara bertahap, masuk ke beberapa desa pedalaman di wilayah Subulussalam dan Aceh Singkil. Mereka memberikan penyuluhan politik untuk menghadapi pemilihan kepala daerah 2009. Pendidikan politik ini dilakukan tanpa berkoar-koar, memasang spanduk besar untuk mengkampanyekan kegiatan organisasi. “Kita benar-benar independen,” kata Wilda.

“Kita tidak berada di pihak tertentu,” katanya. “Jangan sampai suara mereka dibeli oleh orang yang bermodal bual, omong kosong, atau pun sehelai baju. Karena di sana, banyak orang berduit yang nggak bisa dijadikan pemimpin,” katanya.

Selain turun ke kampung-kampung, mereka juga bergerak ke partai politik di Subulussalam- Aceh Singkil, mendesak agar dijalankan pendidikan politik terhadap kader-kadernya. “Salah satu sumber dari kondisi carut-marut di Aceh Singkil itu, pengkaderan politik di partai-partai yang belum memadai,” kata Wilda.

Aceh pasca perjanjian damai Helsinki pada 15 Agustus 2005, KAMSAS menilai Subulussalam-Aceh Singkil belum tersentuh oleh perubahan. Subulussalam dan Aceh Singkil masih tetap terbelakang, kecuali kondisi lebih aman. “Keluarga kami tetap petani miskin,” kata Hasby Gomok.

“Perjanjian Helsinki tidak ada dampak apa-apa bagi saya dan keluarga di sana,” kata Gomok. “Masih miskin, dari dulu tani sampai sekarang. Bahkan, pertanian lebih susah,” katanya dengan nada pelan.

“Saat ini kalau bergerak, lebih ke pemikiran (intelektual), karena belum kuat,” kata Sapri. “Bergerak bukan dari konflik, tapi mutu pendidikan dan ekonomi masyarakat.” Menurutnya, konflik tak menyelesaikan masalah di Aceh.

Organisasi KAMSAS masih kecil. Sekretariat pun tak punya. Kalau rapat selalu berpindah-pindah, dari kos ke kos, warung ke warung, terkadang pinjam ruangan milik organisasi mahasiswa kampus lainnya.

“Organisasi ini didirikan memang oleh orang-orang gembel,” kata Wilda, menambahkan. Namun pengembaraan mereka, serta keberanian berkorban, bukan tak mungkin membuat para pemuda ini kelak memainkan peran penting.

*) Basilius Triharyanto, kontributor sindikasi Pantau di Jakarta

kembali keatas

by:Basilius Triharyanto