Partai Rakyat Aceh

Mulyani Hasan

Thu, 28 February 2008

Partai-partai lokal berdiri di Aceh pasca Helsinki. Tapi hal ini tidak menandakan bahwa kebebasan berserikat telah sepenuhnya dijamin.

Di sebuah kedai kopi di Lampineung, Banda Aceh, seorang buruh bangunan melepas lelah. Peluhnya mengering sesaat setelah kursi-kursi bambu menyanggah tubuhnya.

“Kerja di sini, bang?” tanya Zulkarnaen, seorang lelaki muda yang menyapanya.

Namanya  Rasyidi, dia baru saja tamat Sekolah Menengah Umum atau SMU di Sigli. Tubuhnya kurus jangkung. Bajunya lusuh, penuh bercak cat.

“Berapa upahnya?” tanya Zulkarnaen.

“45 sampai 50 ribu sehari,” sahut Rasyidi.

Hari itu Rasyidi sedang mengecat dinding sebuah rumah sakit bersalin di pusat kota Banda Aceh. Setelah tsunami meluluh-lantakkan kota ini, pemerintah dan lembaga asing gencar membangun jalan, jembatan dan gedung-gedung.

Kedua laki-laki itu menyeruput kopi, sementara matahari terus meninggi. Zulkarnaen seperti menyimpan penasaran terhadap pemuda ini.

“Harusnya tidak seperti itu,” ujar Zulkarnaen. Sementara Rasyidi mendengar dengan seksama apa yang akan dikatakan Zulkarnaen selanjutnya.

“Kalau mau adil, seharusnya pemilik proyek tidak menentukan upah secara sepihak. Dia harus menghitung keuntungan dari proyek itu, lalu keuntungan itu dibagi dengan pekerja sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan.”

“Tapi peraturannya kan sudah seperti itu,” Rasyidi membantah.

“Kalau kita mau kaya, ya kita harus punya modal,” lanjutnya.

Zulkarnaen menimpal, “Kalau ada modal tapi tak ada yang mengerjakan, tidak akan jadi apa-apa.”

Rasyidi sepertinya berpikir ulang. Pikirnya, apa yang dikatakan teman barunya itu, ada benarnya juga.

“Kamu lihat Pante Pirak itu?” ujar Zulkarnaen. Dia mencontohkan sistem kerja di sebuah swalayan bernama  Pante Pirak milik Abu Bakar, seorang pengusaha Aceh. Tanpa para pekerja, tak mungkin Abu Bakar bisa mendirikan Pante Pirak di beberapa tempat lagi. Sekarang sudah ada sedikitnya lima, yang tersebar di beberapa tempat di Banda Aceh.  Sementara para buruhnya dari dulu hingga sekarang, nasibnya tetap seperti itu. Upah mereka di bawah Rp 1 juta setiap bulan.

Percakapan terputus jam kerja, lalu mereka bertukar alamat.  Zulkarnaen mendatangi kediaman Rasyidi di Kutaraja, masih di wilayah kota Banda Aceh. Selama seminggu mereka berdiskusi soal politik dan ekonomi rakyat.

“Jadi bagaimana caranya?” ujar Rasyidi, sekonyong-konyong bertanya.

“Kita harus punya alat politik dan tidak bisa mengerjakannya sendirian,” jawab Zulkarnaen.

Rasyidi tambah bingung ke arah mana maksud lawan bicaranya. Pertanyaan berikutnya terlontar, ”Wadah apa yang ada sekarang?”

“PRA salah satu alat politik yang bisa digunakan,” jawabannya,

PRA singkatan dari Partai Rakyat Aceh, partai lokal pertama yang mendeklarasikan diri, tidak lama setelah Undang Undang Pemerintahan Aceh diberlakukan pada tahun 2006 lalu.  Undang-Undang itu membolehkan pendirian partai lokal di Aceh. Bahkan beberapa bulan sebelum peraturan itu disahkan, sejumlah anak muda telah membentuk Komite Persiapan PRA.

Zulkarnaen adalah Ketua Dewan Pimpinan PRA Wilayah Banda Aceh. Usianya 26 tahun. Dia masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Banda Aceh. Begitulah cara Zulkarnaen merekrut orang untuk jadi anggota partainya.

PRA didirikan oleh sejumlah aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh pada 2 Maret 2006. Front itu adalah pengembangan dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat atau SMUR, organisasi mahasiswa pro demokrasi di Aceh.

SMUR berafiliasi dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokratik atau LMND saat melawan rezim Soeharto. LMND merupakan underbouw  Partai Rakyat Demokratik atau PRD di Jakarta. PRD menjadi buruan nomor satu pemerintah Soeharto, karena dikenal radikal, antikapitalisme, anti militerisme. Sebagian pengurus PRD dijebloskan ke penjara dan sejumlah kadernya dihilangkan negara sampai hari ini.

Di Aceh perburuan para aktivis juga terjadi. Banyak aktivis diculik, disiksa dan dibunuh tentara Indonesia. Banyak juga yang nasibnya tak karuan sampai sekarang. Ada yang lari ke luar negeri di bawah lindungan lembaga–lembaga hak asasi manusia. Yang lainnya berhamburan ke Jakarta. Hingga memasuki tahun 2005 dan sebelum Perjanjian Helsinki, pemerintah Indonesia masih memburu para aktivis Aceh.

PRA dideklarasikan oleh empat pemuda. Mereka adalah Thamrin Ananda, Mulyadi, Malahayati dan Ma’arif. Sekarang partai itu sudah punya cabang di 15 kabupaten dan kota, dan di 137 kecamatan.

Ada 5 komitmen PRA:

1.   Pemerintahan Aceh yang demokratis, bersih, modern dan internasionalis

2.   Rakyat Aceh berdaulat atas sumber daya energi dan pertambangan

3.   Membuka lapangan kerja melalui industri milik pemerintah Aceh

4.   Rakyat Aceh mendapat pendidikan, kesehatan gratis dan berkualitas

5.   Memperjuangkan kebebasan perempuan sepenuhnya dan anti diskriminasi terhadap perempuan

“Ini sudah kehendak sejarah, rakyat Aceh butuh alat politik yang maju dan mensejahterakan,” ujar Ma’arif, salah satu deklalator. Sekarang dia menjabat Ketua Divisi Media dan Informasi.

Dia menganggap rakyat Aceh sudah terkotak-kotak. Ada yang ingin merdeka, ada yang ingin referendum, ada pula yang tak peduli dengan status asalkan hidup sejahtera.

Thamrin Ananda, sekretaris jendral PRA mengatakan, kebijakan politik dan ekonomi selama ini tidak menyelesaikan persoalan pokok rakyat Aceh.

“Jadi, harus diselesaikan dengan cara politik,” tegasnya.

PRA mengikis citra partai politik di Aceh. Para pengurus di Dewan Pimpinan Pusat berusia 25 hingga 30 tahun. Lihat saja partai-partai lain yang selama ini bermain, di sana berjejal orang-orang tua dan umumnya, pemain lama.

PRA muncul segar. Saat pemerintah menggalakkan upaya menarik modal asing, PRA justru berani menolak sistem pasar bebas.

Sejak awal partai ini sudah menobatkan dirinya sebagai anti kapitalisme dan anti kebijakan ekonomi politik Amerika Serikat.

“Kami bangga disebut kiri, jika itu sebutan untuk kelompok yang menentang kapitalisme,” ujar Thamrin.

SAYA menemui Rasyidi di rumahnya tepat ketika televisi menayangkan pemakaman Soeharto, mantan presiden kedua Indonesia itu. Puja-puji kepada Soeharto ditayangkan hampir setiap jam, terlebih di Metro TV. Komentar dan duka-cita datang dari bermacam orang, mulai dari artis, petani hingga Susi Susanti, atlet bulu tangkis yang meraih emas pertama untuk Indonesia dalam Olimpiade.

Metro TV adalah stasiun televisi berita milik Surya Paloh, konglomerat asal Aceh juga Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar atau Golongan Karya. Paloh lahir di Kecamatan Kutaraja tempat Rasyidi tinggal.

Tapi di Banda Aceh, suasana duka tak terasa. Bendera setengah tiang hanya berkibar di markas markas Tentara Nasional Indonesia atau TNI.  Sayup terdengar musik Gugur Bunga juga datang dari komplek perwira.

“Sayang sekali dia meninggal sebelum kasusnya diadili, dia membunuh banyak rakyat Aceh, dia korupsi,” ujar Rasyidi, terbatuk-batuk. Wajahnya pucat, lesu.

“Maaf, saya lagi sakit,” katanya kepada saya.

Rasyidi tinggal di sebuah rumah tipe 21. Rumah itu juga dijadikan kantor Dewan Pimpinan Daerah PRA Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Dia kini ketuanya. Ada plang partai mencolok dengan warna merah dan bintang kuning di bawah atap depan.

Bendera PRA mengingatkan saya kepada bendera negara Vietnam. Bedanya, bendera PRA memiliki dua garis hitam di atas dan bawah, mengapit bintang kuning. Menurut Thamrin, kedua garis hitam itu menandakan Aceh dan Indonesia masih terkungkung oleh penjajahan.

Di ruang utama rumah itu hanya ada sehelai karpet. Rasyidi mengenakan kaos dan celana training. Dia duduk bersila di situ.

Rasyidi mempunyai lima kawan lainnya di jajaran pengurus. Biaya partai ditanggung bersama. Dana operasional sehari-hari diambil dari iuran pengurus sebesar Rp 1.000 setiap bulannya.

Rasyidi tak punya cita-cita jadi pejabat seandainya PRA menang. Baginya cukup bisa makan tiga kali sehari.

“Kalau PRA menang, jangan lupa sama orang kecil seperti kami,” tambahnya.

Rasyidi lahir di Sigli, 15 Juni 1984. Orang tuanya meninggal sejak dia berusia dua tahun. Dia tak mau menceritakan penyebab kematian kedua orang tuanya.

“Saya hanya punya satu kakak,” ungkapnya, sambil menutup diri dari pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan orang tuanya.

Sejak kecil dia tinggal bersama paman dan bibinya. Sang bibi menyuruhnya meninggalkan kampung setelah dia lulus SMU.

“Mak Chik  khawatir saya bergabung dengan GAM,” katanya.

Ketika itu pamannya, Jaelani, menjadi salah satu panglima sagoe GAM.. Jaelani tewas dihantam peluru tentara Indonesia sesaat setelah pengepungan rumahnya. Rasyidi sedang main bola saat peluru menembus tubuh Jaelani. Tapi dia masih sempat menyaksikan darah segar menyembur dari tubuh pamannya. Sejak itulah dia bertekad pergi ke Banda Aceh, sekitar tahun 2003.

Dia menyimpan dendam. Dia mencari-cari cara untuk bergabung dengan GAM. Namun, dia tak berhasil menghubungi siapa pun dan gagal.

“Sekarang GAM pecah, saya tidak tertarik lagi,” ujarnya.

“Saya tidak memikirkan Aceh merdeka atau tidak, yang penting rakyatnya merdeka dari penindasan,” lanjutnya dengan suara datar.

GAM menginginkan Aceh dikembalikan ke bentuk kesultanan dan Hasan Tiro sebagai rajanya, seperti yang diungkapkan panglima GAM, almarhum Abdullah Safe’i dalam sebuah wawancara dengan Vanessa Johanson tahun 1999 dan dimuat situs Acheh-Eye

GAM pun bermutasi menjadi partai lokal pasca Helsinki. Salah satunya, Partai GAM. Tapi, kepanjangan GAM di sini adalah Gerakan Aceh Mandiri bukan Gerakan Aceh Merdeka. Partai ini menggunakan lambang dan bendera GAM, meski menuai reaksi keras dari pemerintah Jakarta.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat protes terhadap partai lokal yang menggunakan simbol-simbol GAM.

Dari sembilan partai lokal yang mendaftar, baru PRA dan Partai GAM yang sudah memenuhi syarat administrasi. Ini menurut Jaelani, Kepala Bidang Hukum Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Wilayah Banda Aceh.

Tentang bendera GAM yang diprotes Jakarta, menurut Jaelani, itu sama sekali tidak masuk dalam ketentuan administrasi.

DI tepi laut di Lamleumpang, seorang nelayan bernama Sofian tak tahu ada partai lokal. Dia hanya tahu Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sofian tak peduli dengan politik. Dia hanya ingin mempunyai jaring untuk menangkap ikan di laut. Dia hanya ingin agar harga kebutuhan sehari-hari tidak naik.

“Kita ini seperti rumput, diinjak dari sana-sini,” katanya.

Amri Khaifar Ikhan, seorang penarik becak di pasar Aceh juga berpikiran sama. Dia tidak tahu soal partai lokal. Dia tidak merasakan ada perubahan ekonomi.

“Punya gubernur sendiri juga tidak ada perubahan, hanya elit saja yang senang. Makanya, saya tidak akan memilih siapapun pada pemilihan nanti,” katanya.

Amri hanya ingin pemerintah membuka lapangan pekerjaan. Di usianya yang baru menginjak 29 tahun, Amir tak punya pilihan selain menarik becak.

Lain di Lamleupang, lain di Baiturrahman. Di sini sebuah keluarga merelakan kiosnya untuk kantor PRA. Sama seperti kios lainnya, kios berukuran sekitar 6×3 meter persegi itu padat dengan bermacam dagangan. Bedanya dengan kios lain, di situ terpasang plang PRA dan kursi empuk yang dapat diputar 360 derajat, yang teronggok di sudut warung berdinding kayu dan berlantai tanah ini.

Surya Murni, si pemilik kios, juga guru mengaji. Di usianya yang menginjak 45 tahun, baru kali ini dia berpartai. Dia tak lagi percaya terhadap partai nasional.

“Mereka hanya mengeruk kepentingan pribadi dan kelompok,” kata Surya.

Itu sebabnya dia tak pernah menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Namun, cerita kawannya soal PRA menggugah kesadaran politiknya. Surya bertekad mendatangi kantor pusat PRA. Dia pun bicara langsung dengan Sekretaris Jenderal PRA, Thamrin Ananda.

“Jangan sampai PRA ini menjadi partai penghianat rakyat,” tegasnya kepada sang Sekjen.

Tak kepalang gembiranya Thamrin saat itu, ketika menyaksikan seseorang dengan semangat tinggi mendatanginya.

Dengan tekad bulat, Surya Murni lantas menerima kepercayaan sebagai ketua Dewan Pimpinan Daerah Baiturrahman, Banda Aceh.

Hanya satu hal yang membuat Surya kecewa pada PRA: dia belum pernah berjumpa dengan sang ketua, Aguswandi.

“Saya ingin bertemu, barang sedetik saja,” katanya.

Aguswandi, politisi muda kelahiran Aceh Besar, 17 Agustus 1977. Di masa konflik dia masuk daftar orang-orang yang diincar aparat keamanan Indonesia.

Dalam pelariannya, dia mendapat dukungan dari Tapol untuk menyelamatkan diri ke London. Tapol singkatan dari Tahanan Politik, organisasi kemanusiaan yang didirikan oleh Carmel Budiardjo seorang perempuan Yahudi-Inggris yang menikah dengan pria Jawa, Suwondo Budiardjo yang anggota Partai Komunis Indonesia.

Menurut Aguswandi, Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang memberi hadiah tumbuhnya partai lokal merupakan momentum besar yang harus dimanfaatkan.

“Di daerah lain, kalau Anda ingin masuk partai politik, paling masuk partai yang ada sekarang,” katanya kepada saya.

Aguswandi memimpikan Aceh seperti Hongkong di Cina. Namun, sang sekjen Thamrin justru mengagumi Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez.

Menurut Thamrin, nasionalisasi aset-aset negara dan sumber daya alam juga memungkinkan di Aceh sebagaimana yang dilakukan rakyat Venezuela. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 tentang pengelolaan sumber daya alam menjadi landasan pokok bagi PRA untuk merebut aset dan sumber daya alam lalu menjadikannya perusahaan yang dikuasai oleh pemerintah daerah.

“Apa yang terjadi dengan tambang minyak yang dikuasai oleh Exxon Mobil? 35% sahamnya dikuasai oleh pengusaha Amerika, 20% dimiliki oleh pengusaha Jepang dan sisanya milik Pertamina. Sedangkan rakyat Aceh melalui pemerintah daerah hanya kebagian pajaknya saja. Tak sebanding dengan keuntungan yang digondol oleh para pengusaha itu. Dari satu barel eksport gas alam, Exxon Mobil mendapat untung US$1 milyar. Dalam sehari sedikitnya mereka mengekport 10 barel,” begitulah alasan Thamrin.

“Kenapa gas alam itu justru dieksport ke Jepang dan Amerika? Padahal banyak pembangkit di dalam negeri yang membutuhkan gas,”ujar Thamrin, di salah satu diskusi tentang sumber daya alam Aceh.

PASCA Helsinki, kelihatannya kebebasan berserikat dan berpendapat terbuka luas di Aceh. Partai-partai lokal tumbuh. Namun, itu hanya tampak di permukaan.

Pada 7 Februari 2008, sekitar pukul sebelas malam, saya tengah berada di kantor Care Aceh. Ini lembaga swadaya lokal yang berkonsentrasi di bidang pemberdayaan petani dan pedagang kecil. Care Aceh didirikan oleh sejumlah aktivis PRA.

Di salah satu ruang kantor ini, saya  menggunakan fasilitas internet.

Tiba-tiba sekitar enam polisi berpakaian sipil datang. Mereka memeriksa ruangan, buku-buku, dan laptop saya yang sedang menyala. Mereka tak mempunyai surat perintah penggeledahan. Salah seorang menghampiri saya.

“Kamu anggota PRA?” katanya.

“Saya jurnalis,” jawab saya.***

*) Mulyani Hasan pernah bekerja sebagai editor tamu koran Haba Rakyat, koran Partai Rakyat Aceh.

kembali keatas

by:Mulyani Hasan