Setelah Atap Dibelah

Linda Christanty

Sun, 27 January 2008

Kesan orang Aceh terhadap kematian mantan presiden Soeharto. Ada yang mengatakan di masa Soeharto, keadaan lebih aman. Ada juga yang mengatakan bahwa Soeharto telah menghancurkan Aceh dan keluarganya harus minta maaf.

“YOUR former president has just passed away,” kata teman makan siang saya. Dia menunjukkan pesan pendek di telepon selulernya kepada saya. Dia juga menunggu reaksi saya ketika mendengar kabar kematian itu. Tak berapa lama telepon saya berdering. Seorang teman di Jakarta memberitahukan hal yang sama.

Soeharto, mantan presiden kedua Negara Kesatuan Republik Indonesia, meninggal hari ini, tanggal 27 Januari 2008, pukul 13.10 di satu rumah sakit Jakarta. Penyakit yang dideritanya macam-macam, dari ginjal sampai jantung.

“Kalau yang dekat sama dia ya pasti menyebut dia baik, tapi kalau yang jadi sasaran dan merasa dirugikan selama ini ya pasti tidak suka. Dia yang memberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh,” kata Muhlis, sopir taksi yang sering mengantar jemput saya.

“Tapi di masa Soeharto, keadaan Aceh ini lebih aman. Tentara di mana-mana. Waktu Soeharto berkuasa, TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) berperang di hutan. Begitu Soeharto turun, keadaan malah makin gawat. Konflik muncul di berbagai tempat. Sebelum tsunami itu, orang GAM dan TNI perang di lapangan Blang Padang, tembak-tembakan dari atas Honda (sepeda motor). Mereka perang di tengah kota perang. Orang yang tak salah, ada yang kena tembak,” lanjutnya.

Muhlis berbicara berdasarkan pengalamannya sebagai warga biasa. Dia juga tinggal di Banda Aceh, yang relatif aman selama perang 20-tahun antara Indonesia dan GAM. Andaikata dia tinggal di desa-desa Aceh, yang biasanya jadi sasaran pihak yang berperang, bisa jadi pendapatnya akan beda.

Pada 1989 hingga 1998, Soeharto memberlakukan DOM di Aceh. Operasi militer ini terkenal dengan sandi “Operasi Jaring Merah”. Menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia, diperkirakan 2000 orang meninggal dalam kurun waktu itu. Ini belum termasuk kasus yang tak tercatat.

Parlemen Jakarta pernah membentuk panitia khusus untuk memeriksa dan mendengar kesaksian Soeharto soal penerapan DOM di Aceh pada November 1999, setahun setelah dia lengser. Selain Soeharto, panitia juga menginginkan keterangan dari mereka yang dianggap terlihat dalam penerapan DOM, antara lain LB Moerdani, Feisal Tandjung, Syarwan Hamid, Try Soetrisno, dan mantan gubernur Aceh, Ibrahim Hasan.

"Penerapan DOM selama 10 tahun telah meruntuhkan sisi-sisi kemanusiaan di Aceh. Rakyat Aceh dizalimi dengan begitu sadis," kata Ghazali Abbas Adan, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang juga orang Aceh, kepada situs Indonews pada 1999.

Kekejaman ini terjadi sejak Deklarasi Bangsa Acheh dilakukan pada 4 Desember 1976 oleh Hasan di Tiro. Deklarasi ini menyatakan keinginan Hasan di Tiro agar “bangsa Acheh” berjuang untuk memerdekakan diri dari apa yang disebutnya “penjajahan oleh bangsa Jawa.”

Soeharto tak kenal tawar-menawar dengan gerakan ini. Pada awal 1980an, militer Indonesia praktis sudah mengejar habis semua pendukung Acheh/Sumatra National Liberation Front pimpinan Hasan di Tiro. Soeharto juga menciptakan istilah “Gerakan Pengacau Keamanan” maupun “Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro.” Ironisnya, Soeharto pula yang menamai ASNLF dengan istilah “Gerakan Aceh Merdeka.” Nama belakangan ini justru jadi lebih populer dari ASNLF.

Upaya menggempur GAM menciptakan macam-macam kekejaman. Isteri kehilangan suami. Ibu kehilangan anak. Lelaki dibunuh depan anak-anaknya. Perempuan diperkosa di depan suaminya.

Tentu saja, upaya panitia khusus itu tak menghasilkan apa-apa. Tak hanya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh masuk peti es, tetapi juga kasus-kasus lain yang melibatkan Soeharto dan militer di seluruh Indonesia, seperti pembunuhan massal 1965, peristiwa Tanjung Priok, penculikan aktivis pro-demokrasi, dan macam-macam lagi. Soeharto turun tahta namun kekuasaan Orde Baru bercokol erat.

Teuku Zulfahmi, sekretaris jenderal Partai Gabthat, berkata bahwa Soeharto memang sudah saatnya meninggal dunia. Gabthat adalah salah satu partai lokal Aceh.

“Sudah dibelah atap rupanya. Orang Aceh punya kepercayaan kalau orang sulit meninggal karena jin atau sihir, maka atap rumahnya harus dibelah. Seharusnya dia sudah meninggal 20 hari yang lalu, tapi dihidup-hidupkan dengan mesin. Dua ribu santri berdzikir di masjid Raya Baiturrahman hari ini, pukul sepuluh pagi, untuk kedamaian dan tolak bala di Aceh. Alhasil? Allah SWT mengabulkannya. Soeharto sebagai bala pun langsung  saja ditiadakanNya dari peredaran,” kata Zulfahmi kepada saya.

Dia juga berharap keluarga Soeharto meminta maaf kepada orang Aceh.

“Bagaimana pun yang menghancurkan Aceh ini pemerintah Soeharto atau Orde Baru, bukan pemerintah Sukarno,” lanjutnya.

*) Linda Christanty adalah editor sindikasi Pantau di Aceh.

kembali keatas

by:Linda Christanty