Keluarga Pelarian

Basilius Triharyanto

Tue, 15 January 2008

Di usia 84 tahun, tubuhnya masih terlihat kuat. Rambutnya lebat berwarna putih. Ia bicara meledak-ledak saat bercerita tentang penderitaannya di negeri rantau, Indonesia. Ia juga berkisah soal pelariannya dari kejaran serdadu Jepang. Dan, juga pelarian orangtuanya dari negeri ini.

imageTjiong Ping Kwan duduk termenung di kursi kecil. Berkali-kali ia mengibaskan kipas bambu, mengusir udara panas. Hari ke hari dihabiskan dengan duduk di dalam toko sekaligus rumah di kawasan Pecinan, Petak Sembilan, Jakarta Kota. Ia tak bekerja lagi, toko telah diurusi oleh anak-anaknya. Tan Goet Be, istri yang dinikahi lebih muda lima tahun, mati dalam usia 71 tahun.

Beberapa lembar koran berbahasa Mandarin, juga buku-buku Tionghoa, seperti cerita silat, obat-obatan, dan tentang keturunan keluarga, berserakan di atas meja di antara barang-barang dagangan. Kalimat yang punya arti tentang kehidupan ia catat dalam potongan kertas kecil.

Kutipan-kutipan itu ia tulis dengan huruf bahasa Mandarin. Lalu, potongan kertas itu dilubangi dan dimasukkan pada sebuah paku di dinding. Letaknya, dekat dengan barang dagangan, seperti lilin, hio, baju-baju kematian, uang cina. Ada sembilan kutipan yang tergantung pada dinding itu.

Satu per satu ia baca dalam lafal Mandarin, setelah itu ia artikan dalam bahasa Melayu. Meskipun lafal melayunya terbata-bata, tapi pesannya bisa saya mengerti. Ia tak pernah belajar bahasa Melayu secara mendalam. Kali pertama ia kenal bahasa Melayu pada tahun 1937. Ia ikut sebuah kursus privat bahasa Melayu, tak jauh dari rumahnya, di daerah Petak Sembilan. Setiap malam selama beberapa bulan seorang guru privat datang untuk memberikan pelajaran bahasa Melayu pada sejumlah orang Tionghoa di daerah itu.

Dia membaca beberapa kutipan: “Kalau orang sabar bisa umurnya 1000 tahun. Pikiran yang tenang selamanya muda.”

“Saudara adik seperti satu akar. Jangan urusan kecil jadi ribut besar. Tangan dan kaki sama ceritanya. Jadi lebih ada harganya. Urusan 10.000 rupiah ingat tulang papa-mama.”

KWAN TUMBUH dan besar di daerah Canton, Tiongkok. Pada bulan Juli 1922 ia lahir di kampung itu, dari turunan keluarga etnik Kong Hu, yang suka dikenal sebagai tukang kayu. Di tanah kelahiran ini ia sempat beberapa tahun belajar di sekolah dasar. Sesudahnya, Kwan menjadi bagian gelombang manusia daratan Tiongkok yang mengadu nasib ke Hindia Belanda, negeri yang dikenal kaya raya.

Dalam umur 15 tahun, ia bergabung dengan ribuan warga Tiongkok itu. Hanya dengan kaos oblong tipis, celana pendek, dan sandal jepit. Pada 1937, ia menumpang sebuah kapal Belanda, selama tujuh hari dan tujuh malam. Pertama kali kapalnya berlabuh di Pulau Bangka. Di sana ia sempat menjadi kuli bayaran. Lalu ia pergi ke seberang Jawa, berlabuh ke Tanjung Priok menuju Batavia.

Di Batavia, ia tinggal bersama kerabatnya. Ia bekerja keliling mengedarkan barang-barang dagangan, yang diambil dari toko kelontong milik saudaranya. Ia keliling dari rumah ke rumah. Hingga, ia punya toko kelontong sendiri di daerah Glodok. Tapi itu tak lama, karena usahanya mengalami rugi besar. “Banyak orang ambil barang tidak bayar. Selain itu, barang-barang impor dari Cina dihentikan,” kata Kwan.

Kwan muda hidup dalam hingar bingar fasisme. Sekitar tahun 1941, tentara Jepang mulai datang, menyerang, dan menduduki Batavia. Tahun 1942 serdadu Jepang berhasil melumpuhkan dan menekuk kekuatan militer Belanda. Jepang menguasai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Mereka gencar melancarkan propaganda agitasi perang. Mereka juga merekrut pemuda-pemuda setempat untuk memperkuat barisan kekuatan militer. Para pemuda itu dipaksa untuk maju berperang.

Jumlah pemuda itu mencakup ribuan, bahkan, sampai jutaan. Jocye C. Lebra dalam buku Tentara Gemblengan Jepang (Japanese-Trained Armies inSoutheast Asia: independence and volunteer force in world war II), mencatat 25 ribu orang di Jawa yang direkrut jadi serdadu. Kemudian kelompok yang dididik oleh Heiho dan Peta, yaitu kelompok semimiliter, di dalamnya terdapat 5.600.000 orang Seinendan (kelompok-kelompok pemuda). Para pemuda yang direkrut berumur antara 16 sampai 25 tahun.

Kwan berusia 19 tahun. Ia menolak untuk ikut wajib militer. Ia tidak mau ikut Nippon berperang. “Nippon pintar, pemuda kita diletakkan di depan. Jadi kalau mati lebih dulu,” kata Kwan. Ia pun bergegas lari menghindar dari tangkapan tentara Jepang. “Saya takut, lari ke Tangerang. Tinggal di sebuah kelenteng yang terletak di sekitar pinggir kali Cisadane,” kata Kwan lagi.

Kwan muda belajar hidup sebagai pelarian. Tiga tahun hidup dengan alam tak menentu. Ia tinggal berpindah-pindah tempat, tanpa bekal cukup. Saat lari ia hanya mengenakan sebuah pakaian yang melekat di badan. Ia menemukan sebuah tempat yang aman untuk tinggal, yaitu sebuah kelenteng. Di sana ia bertahan hidup sebagai pembuat sosis babi.

Pada pagi hari, sekitar jam empat pagi, Kwan sudah bergegas ke tempat penjagalan babi. Ia memotong dan menguliti babi sekaligus membuatnya menjadi sosis. “Satu hari saya membuat sosis daging babi antara 20 sampai 30 kilogram,” kata Kwan.

Sesudah tentara Jepang mundur pada tahun 1945, sesudah menyerah kepada Amerika Serikat, Kwan baru berani untuk kembali ke Petak Sembilan. Usaha membuat sosis babi tetap dijalankan untuk menopang kehidupan keluarganya. Ia bolak-balik Jakarta-Tangerang untuk memasarkan sosis buatannya.

Hingga pada suatu hari di tahun 1966 meledak tragedi pengusiran orang-orang Tionghoa dari Indonesia. Tahun 1966, merupakan tahun-tahun pertama bagi Orde Baru mengobarkan lagi kerusuhan rasialis anti Tionghoa. Dan sebuah Peraturan Pemerintah No. 10, yang sering dikenal PP 10, dibangkitkan lagi oleh kelompok-kelompok pencetus gerakan anti Tionghoa, yaitu Gerakan Assaat.

Gerakan Assaat muncul 1950-an. Ini gerakan kaum pengusaha “pribumi,” dipimpin oleh Assaat yang menuntut pemerintah untuk menetapkan kebijakan diskriminatif bagi golongan Tionghoa (juga WNI turunan Tionghoa) untuk kepentingan orang Indonesia pribumi. Gerakan ini disokong oleh partai Islam terbesar, Masyumi.

Pada 1966 gerakan Assaat mendapatkan angin segar setelah pendukung utamanya, Kelompok Sarjana Ekonomi Indonesia (KENSI), atas perintah Jendral A.H. Nasution, menggelar konferensi ekonomi nasional di Jakarta pada 7 sampai 10 Mei 1966. Mereka menuntut PP 10 diberlakukan kembali dan dinaikkan ke tingkat lebih tinggi, ke daerah tingkat satu. Artinya, para pedagang eceran “asing” yang sebelumnya bergerak di ibukota provinsi dan kabupaten, dibatasi ruang geraknya hanya pada tingkat provinsi saja. Charles A. Coppel pada buku Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Indonesia Chinese in Crisis), mencatat istilah “peningkatan” PP 10 telah menjadi semboyan di kalangan pengusaha pribumi dan kaum radikal anti Tionghoa lainnya.

Awalnya, PP 10 berisi larangan bagi orang-orang asing, ditujukan orang-orang Tionghoa, untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, di luar ibukota daerah tingkat dua dan tingkat satu. Arsiteknya adalah Rahmat Moeljomiseno, Menteri Perdagangan Kabinet Djuanda dan tokoh Nahdlatul Ulama, yang pernah aktif di KENSI. PP 10 ini kelanjutan Peraturan Menteri Perdagangan mengenai larangan bagi orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Ini peraturan sengaja ia keluarkan pada bulan Mei 1959, ketika Presiden Soekarno berada di luar negeri. Moeljomiseno kena damprat Presiden Soekarno sepulang lawatannya dari luar negeri. Ia pun tak dimasukkan dalam kabinetnya yang dibentuk setelah 5 Juli 1959.

Namun enam bulan kemudian merebak keputusan yang kontroversial. Presiden Soekarno, pada November 1959, menandatangani Peraturan Pemerintah No. 10, yang diberlakukan pada 1 Januari 1960. Dugaan kuat ia mendapatkan tekanan dari militer dan kelompok partai Islam. Para pedagang Islam, yang sangat dekat dengan NU dan Masyumi, merasa terancam karena sulit bersaing dengan jaringan pedagang Tionghoa, yang kuat di tingkat pengecer. Pedagang Islam itu diuntungkan oleh PP 10 karena pesaingnya, pedagang Tionghoa dilarang berusaha dan disingkirkan dari tempat tinggalnya.

Dampak politis PP 10 semakin meluas dalam kekerasan rasialis anti Tionghoa. Charles Coppel mencatat eksodus besar-besaran orang-orang Tionghoa terjadi di daerah Aceh, jumlahnya mencapai 15,000 orang. Eksodus paling besar berasal dari Lhokseumawe, sedang daerah Banda Aceh, lebih kecil. Pengusiran orang Tionghoa juga terjadi di kota besar lain, seperti Jakarta, Sumatra Selatan, Makassar, Medan, Pontianak.


image


Pada tahun 1967 keluarga Kwan mulai tercerai berai. Kedua orang tuanya menjadi bagian gelombang besar eksodus orang-orang Tionghoa ke Tiongkok dan Hong Kong. “Papa (mama) pulang ke Hong Kong,” kata Kwan. “Komunis Koumintang berantem, lari ke Kanada.” Di negeri leluhurnya mereka pun tidak lolos dari ancaman berbahaya. Sewaktu-waktu mereka bisa menjadi korban dari perang saudara itu. “Mamanya papa (nenek) lari ke Kanada,” kata Tjiong Siauw Fung, anak kedua Kwan.

Kwan tak diboyong ke Hongkong. Kedua orang tuanya kesulitan uang untuk membawa dirinya. Kwan terpaksa bertahan. Ia sungguh-sungguh tertahan di Indonesia, sampai sekarang.

“Saya tetap di sini. Pulang ke Hong Kong tidak ada saudara, buat apa?” kata Kwan, tak berharap. Kwan telah terpisah jauh dari kedua orang tuanya, juga saudara-saudaranya. “Sampai sekarang tidak ada hubungan lagi,” kata Kwan.

Kwan mengingat kembali pelarian demi pelarian yang dilakukan mamanya setelah keluar dari Indonesia. Yip Tong, mamanya, adalah istri keempat, istri paling muda dari papanya, Tjiong Lay Ting.

Ketika ia bercerita soal pelarian mamanya, mata yang semula tertutup rapat, tiba-tiba terbuka. Saya terhenyak, setelah empat kali menemui dia pada siang hari. Matanya hampir terkatup rapat. Barangkali, ini sebab yang dikatakan anak perempuannya, Tjiong Sauw Lin, papa tidak pernah keluar rumah. Papa tidak mau kena panas sinar matahari.

“Kita pulang juga susah, tidak ada duit. Tidak bisa lari, di sini saja,” kata Kwan lagi dengan suara pelan, tapi cukup jelas.

“Kita pulang ke Tiongkok, saudara, papa, mama, tidak ada. Kita masuk WNI,” kata Kwan. “Di sini jadi Indonesia abang-abang,” kata Kwan. Ia dengan senang menyebut dirinya sebagai Indonesia “abang-abang” atau Indonesia “abangan.” Ini sebutan untuk menunjukkan dirinya orang Tionghoa yang tinggal, hidup, akan mati, dan jadi warga di tempat perantauannya, Indonesia.

Akhirnya, Ia dan anak-anaknya masuk jadi WNI, dengan membayar bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). “Saya habis uang banyak, sekitar dua juta untuk buat SBKRI,” kata Kwan.

imageApakah ia lepas dari derita orang Tionghoa setelah punya SBKRI? Kwan tetap menelan pil pahit. Anak-anaknya dilarang melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, kecuali harus mengganti nama Tionghoa, menjadi nama Indonesia. Marga Tjiong tetap melekat pada anggota keluarganya. Ganti nama keluar ongkos mahal, kata Kwan, mengungkapkan alasan tetap memakai nama Tionghoa.

Ketujuh anak Kwan terhenti di tingkat Sekolah Menengah Atas. Mereka tak punya akses pekerjaan. Beban itu nampak pada tiga anaknya, yang kini usianya hampir 50 tahun, yang belum menikah, yang hanya menjaga toko kecil sekaligus menjadi tempat tinggal. Rumah itu tanpa papan nama toko, tak seperti toko lain yang berderet sepanjang kawasan itu. Bentuk rumah itu kecil memanjang, sehingga dikenal sebagai rumah tusuk sate.

Sudah 70 tahun, Kwan tinggal di negeri rantau. Pertemuan dengan adiknya, atau saudara-saudara lainnya bisa dihitung dengan jari satu tangan. Jan Soe Fong, adiknya, pernah menemuinya. Itu hanya sekali, sedang dengan saudara kandung lainnya tidak pernah.

Jang Soe Fong, umurnya sekitar 70 tahun. Kwan pernah bertemu dengannya ketika di Surabaya. Itu sudah puluhan tahun lalu. Setelah itu Kwan tak lagi bertatap muka dengannya. Bahkan Kwan tak tahu keberadaan dia. Kwan tidak tahu adiknya masih hidup atau sudah mati.

Beberapa tahun silam, Surabaya adalah tempat terjauh yang ia kunjungi. Setelah itu ia tidak pernah berpergian jauh lagi. “Selain saudara, tidak tahu kemana. Kirim surat tidak ada yang datang ke sini. Susah dah, udah gede, punya bini, anak, pisah-pisah,” kata Kwan.

Kwan juga tak pernah bertemu dengan teman-temannya lagi. “Sudah tua, dulu teman ada. Tapi saya sudah 84 lebih (usianya).”

“Ya sudahlah. Sudah habis,” kata Kwan dengan nada pasrah.

Kwan dalam hari-hari tua, hidup bersama keluarga, orang-orang yang ia cintai. “Anak-anak sudah besar-besar. Sudah bisa cari makan sendiri. Kita tidak bekerja lagi. Sudah tua,” kata Kwan.

“Jangan banyak pikiran. Nanti bisa mabuk. Betul-betul mabuk, bisa bikin panas kepala. Urat ini pikir dari kecil sampai sekarang. Susah ada, senang ada,” kata Kwan. “Urat ini sudah besar loh, tidak boleh pikir,” kata Kwan, menambahkan sambil tangan kanannya menunjuk kepala-jidatnya.

“Ya jangan pusing. Ada makan nasi putih boleh. Tidak ada sayur pakai teh manis boleh. Sudah makan, asal kenyang perut saja. Jangan bilang mau ayam, mau babi, jangan mau makan….” Kepada saya ia berikan nasehat itu supaya mengerti bahwa mencari makan itu sangat susah.

Tjiong Ping Kwan, sudah 30 tahun lebih hidup sebagai Indonesia “abangan.” Tampilannya, hampir tak berubah. Pertama kali datang ke Indonesia, ia mengenakan sandal jepit, kaos oblong atau T-shirt warna putih, dan celana pendek. Sesudah 70 tahun berlalu, tubuhnya tetap dibalut kaos oblong, T-shirt putih yang tipis, sandal kulit yang kusam dan pudar warnanya, dan celana kain panjang.

Ketika hari mulai senja, toko mulai sepi, ia menuturkan hari-hari tuanya. “Saya sekarang umurnya 84 tahun lebih. Kawin umur 25, istri umur 20, tua 5 tahun. 71, istri sudah mati. Aduh cepatnya.”

Pada 1 Agustus 2007, Kwan duduk di kursi kayu sendiri. Kepalanya tertunduk, merenungkan sebuah pilihan hidup yang berat menjadi warga Indonesia abangan. Bahkan, suatu penderitaan, yang menurutnya, sulit untuk ia akhiri di kehidupan akhirnya.

“Saya ingin mati, tapi tak bisa mati,” kata Kwan dengan lirih.

Saya terdiam. Tak punya deretan kata untuk menyahut ucapan itu. Ini perkataan terasa paling mendalam, selama kurang lebih tiga bulan saya mengenalnya.

“Ini tahun kamu datang kongkow sama saya, lain tahun nggak tahu apa bisa ketemu lagi?” kata Kwan. ***

kembali keatas

by:Basilius Triharyanto