Hikayat Uang Jatuh dari Langit

Hairul Anwar

Tue, 15 January 2008

Birokrasi penyaluran bantuan Badan Reintegrasi Aceh yang berliku-beliku telah memunculkan korupsi baru di Aceh. Selain itu, dana tahap lanjut gagal cair akibat pertanggungjawaban dana sebelumnya yang terlambat dilaporkan.

AKHIRNYA rumah yang diimpikan Eripudin terwujud. Bentuknya umum dimiliki penduduk desa di Aceh. Tiang penyangga sengaja ditinggikan agar sejajar dengan badan jalan. Tembok dan lantai dari papan. Lempengan seng menutup bagian atas.

Rumah disekat jadi dua kamar tidur dan satu ruang tamu. Kamar mandi ada di bawah. Eripudin, istri dan dua anaknya harus berbagi kamar mandi dengan tetangga.

“Kalau bangun rumah batu nggak sangguplah, Bang,” katanya saat saya temui 24 November 2007 lalu.

Saya amati kayu-kayu papan yang digunakan hampir semua bekas pakai. Beberapa lembar papan di plafon rumah sudah kusam dan hitam.

“Bantuan yang kami terima ndak cukup buat beli bahan baru. Itupun bertahap,” tutur Eripudin.

“Lalu mengapa membeli bahan bekas,” tanya saya.

“Kalau diberi sekaligus juga mana cukup buat beli bahan. Apalagi saya terima bertahap. Bahan bangunan sekarang kan mahal,” sahut Eripudin.

Eripudin dan keluarganya sebelumnya tinggal di rumah petak di sebuah permukiman transmigran. Sehari-hari dia menghidupi keluarganya dengan berkebun dan memetik buah sawit. Sampai akhirnya konflik berkecamuk. Tak ada harta yang tersisa kecuali beberapa lembar pakaian dan sebuah becak motor.

“Saya membawa keluarga bergabung dengan warga lain mengungsi di masjid kampung. Di sana tinggal berbulan-bulan,” katanya.

Eripudin kini menetap di desa Pulo Tinggi kecamatan Teunom, Aceh Jaya. Setahun setelah perjanjian damai ditandatangani, dia bersama ratusan korban konflik mendapat bantuan rumah dari badan reintegrasi Aceh (BRA) wilayah Aceh Jaya. Lembaga ini mengganti tiap rumah rusak atau lenyap akibat konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM sebesar Rp 35 juta.

Sesuai ketentuan, bantuan diberikan dua tahap. Pertama sebesar Rp 15 juta untuk bangunan awal. Selanjutnya, BRA akan mengucurkan sisa bantuan setelah ada bukti laporan pembangunan rumah dari si penerima.

“Awalnya harus punya tanah dulu. Karena tak punya, terpaksa pinjam uang Rp 3 juta untuk beli tanah tujuh meter,” kata Eripudin.

Begitu bantuan tahap pertama cair, dia langsung mendirikan tiang bangunan dan membuat fondasi rumah seadanya.

“Dengan uang Rp 15 juta mau bangun apa? Saya jual becak motor untuk nombok beli bahan bangunan. Itupun tak cukup buat beli bahan-bahan baru,” katanya.

Setelah enam bulan, Eripudin bergegas membawa proposal pencairan bantuan tahap kedua ke kantor camat. Dia berharap sisa bantuan akan melengkapi bagian-bagian rumahnya yang belum terpasang. Toh, dia sudah membawa bukti laporan penggunaan bantuan tahap pertama.

Ansari, sekretaris kecamatan Aceh Jaya, sudah menunggu di ruangannya. Semua proposal bantuan korban konflik harus atas persetujuannya sebelum disahkan oleh camat. Saat itu Eripudin baru sadar dan mendapat bukti soal gosip yang banyak beredar selama ini bahwa korban konflik kerap diperdaya petugas pemerintah.

“Jika kamu ingin bantuan tahap kedua cair, saya minta jatah Rp 4 juta,” kata Ansari waktu itu.

Eripudin terkejut mendengar permintaan itu. Dia tak tahu dari mana bisa memperoleh uang sebesar itu, sedang bantuan tahap pertama saja tidak cukup untuk membangun fondasi rumahnya.

“Kok nggak kasihan dengan kami, Pak tek. Bantuan kami butuhkan karena kami tak punya rumah,” kata Eripudin, dengan wajah memelas. Warga kecamatan Teunom biasanya menyapa Ansari dengan Pak tek.

“Ini uang jatuh dari langit. Kalau saya tidak dikasih bagian, jangan harap proposal bantuan tahap kedua cair. Saya tidak akan paraf laporan kamu,” kata Ansari, setengah mengancam.

Lelaki ini menganggap bantuan yang diberikan kepada korban konflik bersifat cuma-cuma, sehingga wajar meminta bagian.

Belakangan Eripudin tahu ada empat orang korban konflik yang menjadi mangsa Ansari. Korban umumnya warga yang tidak mengenyam bangku sekolah atau tak mengerti soal birokrasi kantor. Mereka disuruh berkumpul di kantor camat pada hari libur. Jumlah yang diminta pun sama, Rp 4 juta.

Eripudin kalah gertak. Dengan susah payah dia mengumpulkan uang Rp 1,5 juta. Dia menganggap permintaan Ansari sekadar uang pelicin supaya bantuan tahap kedua cepat cair.

“Daripada uang tidak keluar, lebih baik saya kasih. Itupun setelah saya bikin masalah di kantornya, dia mau terima sejumlah Rp1,5 juta,” kata Eripudin.

“Kenapa tidak lapor ke camat saja soal pemerasan itu?” tanya saya.

“Payah ketemu camat, tak pernah kelihatan di kantor,” kata Eripudin, lagipula, “Kita (korban konflik) kan orang yang ndak pernah masuk kantor, ndak tahu macam mana lapor sini atau lapor sana.”

Administratur BRA Aceh Jaya sebetulnya sudah menjelaskan bahwa bantuan harus diterima utuh oleh korban konflik. Faktanya, masih saja ada laporan pemotongan bantuan oleh aparat desa atau kecamatan.

“Saya juga mendengar laporan itu (pemotongan bantuan). Malah ada laporan oknum staf BRA ikut menikmati bantuan korban,” kata Alfi Syahril, ketua BRA Aceh Jaya, kepada saya.

“Sudah diberi sanksi?” tanya saya.

“Saya sudah coba telusuri siapa orangnya. Tapi si pelapor tidak ingat persis siapa oknum itu,” kata Alfi.

Alfi terhitung tiga bulan menjabat ketua BRA Aceh Jaya mengganti Nur Junet, ketua sebelumnya. Sampai sekarang Nur belum menyerahkan memori jabatan berupa dokumen laporan pekerjaan sebagai acuan bagi pejabat pengganti.

Akibatnya, “Saya belum tahu korban-korban mana saja yang belum dapat bantuan rumah atau sudah mendapat mendapat rumah tapi dilaporkan bermasalah oleh masyarakat,” kata Alfi.

“Ada seorang penerima bantuan rumah tapi tidak ada bukti membangun rumah, malah membeli sejumlah mayam emas. Saya desak dia mengembalikan uang bantuan,” kata Alfi.

BRA Aceh Jaya  mendapat kouta 100 unit bantuan rumah untuk korban konflik setiap tahun. Jumlah ini tentu tidak mencukupi untuk pemohon bantuan rumah yang sudah mencapai 1105 orang.

“Saya pusing bagaimana cara membaginya. Kalau 100 rumah tiap tahun maka permohonan bantuan rumah baru bisa terpenuhi semua sekitar tahun 2015,” kata Alfi.

Gara-gara quota yang minim ini Alfi mengkhawatirkan muncul konflik baru. Dia beberapa kali diprotes warga yang merasa berhak memperoleh bantuan rumah tapi tak kunjung mendapatkannya. Kali lain warga juga memprotes pemberian bantuan rumah kepada warga yang tidak berhak.

Tentang protes ini,  Alfi kembali mempermasalahkan laporan kerja yang belum diserahkan ketua BRA lama.

“Masyarakat ingin cepat (dapat bantuan), saya juga ingin cepat (menyelesaikan masalah),” katanya.

TRAUMA konflik bersenjata secara psikologis menjadi faktor ketidakberdayaan para korban untuk bersikap kritis terhadap aksi pemotongan bantuan BRA. Ini saya temui di desa Blang Samagading, kecamatan Pandrah, kabupaten Bireun. BRA memberikan bantuan diyat (santunan kematian) kepada ahli waris yang keluarganya terbunuh atau dibunuh saat perang.

“Kami pasrah saja. Kalau menolak pemotongan takut tidak diperhatikan aparat desa nanti,” kata Nurmalah kepada saya, 16 Desember 2007 lalu.

Nurmalah adalah salah satu dari 12 orang penerima bantuan diyat sebesar Rp 3 juta per tahun. Dia menjadi janda karena Efendy, suaminya, tewas semasa darurat militer pertama diberlakukan di Aceh. Mayat suaminya tak ditemukan sampai sekarang.

Saat saya menemuinya, Nurmalah ditemani Yusmawati, Asma Lailawati dan Safiah. Mereka senasib, menjadi janda karena perang antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan GAM.

Mereka sebetulnya tidak tahu apa-apa kalau ada bantuan korban konflik dari pemerintah. Sampai akhirnya aparat desa datang mendaftar nama dan meminta mereka membuat surat permohonan lengkap dengan materai. Bahkan, sampai sekarang buku rekening untuk mengambil uang di bank pun tidak dipegang oleh mereka.

“Dibawa Zakaria. Katanya, takut hilang kalau kami yang bawa,” kata Nurmalah tentang buku rekening itu.

Zakaria yang disebut Nurmalah adalah sekretaris desa Blang Samagading. Dia, menurut penuturan keempat perempuan itu, aktif mendata para korban konflik penerima bantuan diyat. Dia juga ikut pergi ke bank saban para korban mengambil uang.

“Setelah mengambil uang di bank, jumlah yang kami bawa pulang tak utuh satu kalipun,” kata Nurmalah.

Jumlah potongan bervariasi. Saat penarikan pertama dan kedua, mereka membawa pulang Rp 900 ribu, tetapi untuk penarikan ketiga dan keempat mereka Cuma dapat Rp 300 ribu. Uang potongan, alasan zakaria, akan dibagi kepada aparat TNI dan orang GAM.

“Jangan bilang-bilang kalau ditanya,” kata Nurmalah, menirukan kalimat Zakaria.

Kalau korban menolak permintaan Zakaria, jangan harap akan didaftar sebagai penerima bantuan. Nasib ini dialami Safiah.  Dia seharusnya berhak memperoleh dana diyat atas kematian suaminya.

“Zakaria meminta uang bantuan diyat nanti dibagi dua. Kok tega dia bertindak begitu padahal saya ini tak punya apa-apa lagi,” sahut Safiah.

Surat rekomendasi dari aparat desa sangat penting bagi korban konflik karena pengurus BRA tidak akan menindaklanjuti permohonan bantuan jika tidak ada nama mereka dalam rekomendasi. Akhirnya, aparat desa sangat berkuasa dalam menentukan siapa-siapa yang berhak atau tidak berhak sebagai penerima bantuan.

“Kalau adik nanti bertemu Zakaria jangan sebut-sebut nama kami. Bilang saja dari warga desa. Kami takut kelak dapat masalah. Cukuplah konflik membuat kami menderita,” pinta Nurmalah kepada saya.

Di wilayah lain kabupaten Bireun, yakni kampung Batee Raya, kecamatan Juli, saya memperoleh cerita senada.  Di sini, geuchik atau kepala desa memotong hak penerima bantuan diyat antara Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu.

“Geuchik berdalih potongan itu sebagai uang jerih payah dan pelicin pengurusan dana diyat di tingkat kecamatan,” ujar Muchlis kepada saya.

Muchlis adalah relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh di kecamatan Juli. Saya bertemu dengannya ketika menghadiri sebuah diskusi korban konflik dengan relawan Kontras di Bireun, 15 Desember lalu. Dia menyodorkan nama 18 warga kampung Batee Raya penerima bantuan diyat yang hak mereka dipotong oleh geuchik.

“Sebetulnya warga enggan haknya dipotong. Tapi mereka khawatir geuchik akan mempersulit pengurusan administrasi desa atau bantuan lainnya,” kata Muchlis.

Macam-macam alasan dilontar petugas pemerintah untuk memotong dana diyat. Di Aceh Timur, misalnya, pemotongan dilakukan oleh tim verifikasi dana BRA. Tim ini dibentuk BRA untuk mengecek kebenaran kriteria korban berdasarkan surat rekomendasi kepala desa. Namun, di sana tim ini ikut-ikutan menikmati hak korban.

“Kami bukan memeras korban tapi hanya dikasih uang (minum) kopi,” kata Husna, ketua tim verifikasi kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur sebagaimana dikutip Harian Aceh, 26 Desember 2007 lalu.

Jumlah potongan berkisar antara Rp 1,4 juta sampai Rp 2,4 juta.

“Ini (potongan) wajar kami terima sebagai pamrih untuk hasil kerja tim verifikasi,” kata Husna.

SESUAI amanat kesepakatan damai Helsinki pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia bersedia membantu program reintegrasi mantan kombatan atau gerilyawan GAM ke dalam masyarakat sipil. Bentuknya, mantan kombatan diberi sejumlah dana untuk memulai kehidupan baru. Pemerintah juga memberi santunan kepada korban konflik termasuk mengganti harta benda yang rusak atau hilang. Program reintegrasi akan berlangsung sampai 2009.

Itu tercantum dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2005. Gubernur Aceh menerjemahkan secara teknis dengan membentuk Badan Reintegrasi Damai Aceh atau lebih dikenal dengan BRA, sesuai Keputusan Gubernur Nomor 330/106/2006.

BRA provinsi menganggarkan besar bantuan berdasar jumlah uang yang diterima dari pemerintah pusat. Korban cacat mendapat Rp 10 juta per tahun, santunan kematian kepada ahli waris Rp 3 juta per tahun, dan ganti rugi rumah rusak atau hilang sebesar Rp 35 juta.

Selanjutnya, pelaksanaan program dan kegiatan reintegrasi dilaksanakan oleh pengurus BRA di tingkat kabupaten dan kota, yang diangkat berdasarkan keputusan bupati atau walikota. Badan ini bertugas mengumpulkan data korban konflik dan menyerahkan ke provinsi untuk diberi bantuan.

Meski sekilas struktur organisasi BRA cukup runut untuk mendukung penyaluran bantuan, namun pelaksanaan di lapangan belum sepenuhnya lancar.

Menurut Alfi Syahril, pencairan bantuan masih berbeda-beda menurut kriteria. Bantuan diyat dan cacat disalurkan oleh Dinas Sosial di provinsi setelah menerima data jumlah korban dari BRA. Sedangkan bantuan rumah disalurkan oleh BRA provinsi.

“Ini kan berbelit-belit. BRA kabupaten tidak punya wewenang menyalurkan bantuan. Kami hanya memasukkan data berdasarkan rekomendasi kepala desa lalu serahkan ke provinsi. Apakah korban sudah terima atau belum, itu kami lepas tangan,” kata Alfi kepada saya.

Mekanisme penyaluran ini kadang tak dimengerti oleh para korban konflik. Masalah pun terjadi seperti di kabupaten Pidie. Warga memprotes pemberian bantuan cacat karena diterima oleh orang yang tidak berhak.

“Penyaluran bantuan itu langsung ditangani unit pelaksanaan program BRA pusat di Banda Aceh. Kadang mereka tidak lagi mempedomani data korban konflik yang kita berikan. Kalau begini caranya, saya usulkan BRA kabupaten dibubarkan saja,” kata Nurdin Gani, ketua BRA Pidie, kepada harian Serambi Indonesia, 7 Desember 2007.

Meski sama-sama bertanggung jawab mengurus bantuan korban konflik, menurut Alfi, kebijakan operasional  BRA kabupaten tidak ditanggung BRA provinsi. Semua biaya kantor seperti operasional kantor, honor pegawai, dan administrasi pegawai harus diambil ke kantor Dinas Sosial di provinsi.

“Saya agak bingung kenapa harus berurusan dengan Dinas Sosial. Di sisi lain, kami harus mengacu pada pedoman kerja BRA provinsi,” kata Alfi.

Kebijakan reintegrasi Aceh mengikutsertakan Departemen Sosial melalui kantor dinasnya di provinsi sebagai penyalur bantuan. Dana dari pemerintah pusat terlebih dulu mampir ke rekening Dinas Sosial provinsi dan baru bisa keluar setelah BRA menyodorkan nama-nama warga yang akan diberi bantuan.

“Mestinya dibuat sederhana saja. Cukup dana APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) ditampung di rekening BRA provinsi lalu diteruskan ke BRA kabupaten atau kota sebagi penyalur,” kata Alfi memberi usul.

PENGAWASAN terhadap bantuan BRA bukan tidak ada. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, telah membentuk Badan Pengawas yang bertanggung jawab melakukan audit internal BRA maupun mencegah korupsi bantuan yang disalurkan.

Masalahnya, badan ini tidak punya gigi sehingga temuan-temuan penyelewengan bantuan cuma menumpuk di balik meja.

Contoh kasus: temuan badan pengawas di kecamatan Kluet Selatan, kabupaten Aceh Selatan, 22 November 2007 lalu. Menurut Hamzah, wakil ketua badan pengawas BRA, seperti dikutip tabloid Kontras, ada 19 orang warga Kluet Selatan hanya menerima bantuan ganti rugi rumah sebesar Rp 23,8 juta tiap unit.

“Tiap rumah berarti di potong Rp 10,5 juta. Ini terjadi pada program tahun 2006,” kata Hamzah kepada Kontras

Pihak BRA tak bisa berbuat banyak, selain melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib untuk menindaknya secara hukum.

Model penyaluran dana BRA yang belum beres terlihat saat lembaga ini tidak mampu membuat laporan pertanggungjawaban anggaran tahap pertama tahun 2007, sebesar Rp 250 miliar.

Akibatnya, pemerintah belum mau mencairkan sisa bantuan untuk tahun ini sebesar Rp 450 miliar. Menteri Sosial Bachtiar Chamsah ikut menegaskan bahwa bila laporan pertanggungjawaban penggunaan dana tahap pertama beres, maka dana tahap kedua itu akan cair.

Di bagian lain tabloid itu, ketua harian BRA Aceh Muhammad Nur Juli meminta aparat penegak hukum bertindak kalau memang ada penyelewengan dana reintergrasi. Dia mempersilahkan lembaga audit negara memeriksa keuangan BRA. Dia menyatakan bahwa sampai sekarang dana BRA belum pernah diaudit lembaga negara seperti BPK atau Badan Pemeriksa Keuangan.

Tahun 2007 pun berakhir. Dana sisa bantuan sebesar Rp 450 miliar itu gagal dicairkan, sementara masih banyak korban konflik yang membutuhkan dana tersebut. Bagaimana dengan anggaran dana 2008? Ini pun belum ada kepastian.***

*) Hairul Anwar adalah kontributor sindikasi feature Pantau di Aceh.

kembali keatas

by:Hairul Anwar