Pembantaian yang Dilupakan

Hairul Anwar

Tue, 25 December 2007

Enam belas warga desa Jambo Keupok, Aceh Selatan, dibakar Tentara Nasional Indonesia pada tahun 2003. Dua belas orang di antaranya dibakar hidup-hidup.

SARBUNIS AL FAUZI mengorek-ngorek papan nisan yang sudah berselimut tanah. Ia menegakkan kembali beberapa nisan yang letaknya tak beraturan itu. Mahlil, tetangganya, membantu memungut daun-daun di sekitar makam.

Lelaki yang disapa Fauzi itu membaca satu persatu cetakan nama di papan nisan.

“Tarmizi. Burrahman. Kholidi. Amirudin. Mukminin. Asri. Tami. Muchtarudin. Kasturi. Usman. Suandi. Budiman. Nurdin. Abdurrahim.”

Dua kubur terakhir, papan nisannya tercabut dari tanah.

“Ini kubur Saili, abang sepupu saya. Ini bapaknya, Abdullah Hadad,” kata Fauzi. Kubur Dullah berdempetan dengan Saili.

16 jasad itu terkubur di satu areal di sebuah bekas kebun. Ukuran makam mereka tak lebih dari 3×3 meter persegi. Jaring pembatas terpancang di dinding semen setinggi dua jengkal, mengintari areal makam. Di pintu masuk ada sebaris tulisan tercetak di atas semen: Sabtu 17.5.2003.

“Angka ini maksudnya hari Sabtu 17 Mei 2003. Ini penanda waktu mereka dikubur,” kata Mahlil.

Tapi bagi Fauzi, penanda waktu itu juga menyimpan kenangan kelam. Hari itu, dia menyaksikan bagaimana tentara Indonesia beraksi di luar batas, membakar tubuh 16 orang penduduk Jambo Keupok.

“Saya selamat karena usia saya masih dibawah 16 tahun. Sampai mati saya akan ingat,” kata Fauzi.

Roman mukanya terlihat tegang. “Saya akan ingat kejadian itu sampai mati.”

“Aksi mereka macam serangan fajar. Datang pagi-pagi lantas tak lama pergi,” sambung Mahlil. Serangan fajar ini sering dipakai sebagai idiom terhadap aksi mempengaruhi penduduk menjelang pemilihan umum atau kepala daerah.

Fauzi dan Mahlil adalah warga kampung Jambo Keupok, kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Selasa pagi, 27 November lalu,  saya  menemui mereka.

“Di mana mereka dibakar?” tanya saya.

Fauzi kemudian menunjuk sebuah rumah yang berjarak sepuluh meter dari kuburan massal. Rumah yang belum selesai dipugar itu memiliki dua kamar. Lantainya masih berupa tanah. Dindingnya tembok bata, atap asbes.

“Rumah itu milik Pak Daud. Dulu hanya rumah papan dengan satu kamar saja. Sebelum kejadian (pembakaran) dia berhasil melarikan diri ke hutan,” tutur Fauzi.

Daud sedang tidak di rumah. Sebelum saya datang, dia sudah pergi berkebun.

SABTU sekitar pukul 07.00. Penduduk kampung Jambo Keupok dikejutkan oleh bunyi iring-iringan tiga  truk. Perlahan suaranya makin dekat ke halaman rumah Abdullah Hadad.

“Ada tentara! Ada tentara…,” seru Yulida, putri Abdullah. Dia mencoba melongok dari balik pintu.

Abdullah memilih tetap duduk sambil menyeruput kopi di dapur. Dia bersiap hendak pergi mengaji ke kecamatan. Peci hitam dan baju gamis putih sudah terpasang sempurna di badannya.

Saili, adik Yulida malah masih lelap di tempat tidur.

Tentara-tentara itu terlihat masuk ke rumah penduduk. Sebagian mereka sudah mengarahkan moncong senjata ke arah iringan anak-anak, perempuan, dan laki-laki dewasa. Firasat Yulida tidak enak. Dan…

“Kumpul-kumpul. Ayo kumpul, kak,” seru seorang tentara kepada Yulida.

Enam orang tentara masuk rumah Abdullah. Dua orang berjaga dari di belakang mereka. Empat orang lagi masuk memeriksa ke dapur.

“Kumpul-kumpul.”

Seorang tentara menyelinap masuk ke kamar Saili. “Ayo bangun,” hardiknya.

Saili tergagap bangun. Sebelum kesadarannya pulih tubuhnya terjerembab kena sepakan tentara itu. Spontan dia lari ke belakang rumah.

“Jangan lari kamu. Nanti saya tembak!”

Yulida hanya bisa menangis histeris. Dia tak kuasa melihat tentara itu memuntahkan peluru senapan ke dinding papan dan langit-langit rumah.

“Jangan lari. Kita tidak salah. Ayo kita kumpul,” kata Abdullah kepada Saili.

Tentara menggiring Abdullah dan keluarganya keluar. Di halaman sudah ada 12 orang anak-anak usia remaja dijaga tentara. Dia melihat Fauzi, keponakannya, ikut dalam kelompok ini.

Sekitar 15 meter meter dari anak-anak itu, Abdullah dan Saili dijejerkan bersama 14 orang lelaki. Sedangkan Yulida dan ibunya disekap bersama puluhan perempuan di satu ruangan sebuah sekolah dasar.

Sementara itu, Fauzi mencoba mencuri pandang ke arah jejeran lelaki itu. Belasan tentara menanyai mereka satu per satu. Telinganya kurang jelas menangkap apa yang ditanyakan.

Tiba-tiba…Doorrr!! Doorrr!!

Tubuh salah seorang lelaki tersungkur ke tanah. Fauzi mengenal orang itu. Namanya Suandi, masih terhitung famili. Tak lama kemudian tiga orang lagi mengalami hal serupa.

“Siapa yang mau jadi orang GAM (Gerakan Aceh Merdeka)? Kalau jadi orang GAM inilah contohnya (akibatnya),” kata tentara itu sambil menunjuk ke badan Suandi.

Masih belum jelas bagi Fauzi dan anak-anak lain apa yang mereka saksikan, salah seorang tentara yang menjaga mereka menyergah.

“Kalau kalian mau selamat jangan liat ke atas, ke samping, ke kiri, ke kanan. Liat saja ke bawah!”

Dengan wajah ketakutan anak-anak itu segera menunduk menatap tanah.

Namun, mata Fauzi masih berusaha mencuri pandang. Empat orang lelaki tampak digotong masuk ke dalam rumah papan. Sisanya menyusul. Puluhan tentara berjaga-jaga mengitari rumah itu.

Sekonyong-konyong kilatan api terlihat di bagian atap rumah. Karena atap terbuat dari rumbia, maka jilatan api cepat menyebar ke seluruh bagian rumah.

Telinga Fauzi menangkap suara jeritan seperti meregang nyawa dari dalam rumah itu. Dia dan teman-temannya tak berdaya di bawah todongan senapan.

“Tolong…Tolong…” Jeritan itu makin keras terdengar berulang-ulang dari dalam rumah.

Sekitar pukul sepuluh jeritan itu sudah tak terdengar.

“Cepat…Cepat…Waktu pembunuhan tinggal sepuluh menit lagi…” Seorang komandan tentara memberi perintah.

Fauzi melihat tentara-tentara itu naik ke truk masing-masing dan berlalu meninggalkan kampung.

Selanjutnya adalah pemandangan histeris oleh jeritan tangis anak-anak dan perempuan. Mereka berhamburan ke rumah papan yang sudah dilahap api.

Tubuh 16 lelaki tadi telah menghitam, hangus, dan sulit dikenali. Selain itu tubuh mereka berair. Lamat-lamat aroma amis menyeruak hidung.

Namun, Yulida tetap memelototi tubuh-tubuh itu satu demi satu. Dia mengenali sesosok mayat hangus dengan kaki tertekuk di dekat pintu. Peci hitam yang tidak habis kena api masih menempel di kepalanya.

“Maak…Ini mayat ayah. Saya mengenali peci ini. Ini punya ayah,” seru Yulida kepada ibunya.

Tak lama, Yulida mengenali mayat Saili, adiknya. Wajahnya masih bisa terlihat. Bagian pinggang ke bawah hangus terbakar. Tubuhnya terhimpit dua tubuh, tak jauh dari Abdullah.

“Jasad mereka secepatnya dimandikan dan dikubur,” kata seorang perempuan kepada Yulida.

Ini masalahnya. Mereka tidak ada yang sanggup untuk memandikan, apalagi mengubur jasad 16 orang itu. Kampung itu hanya menyisakan anak-anak dan perempuan. Lalu siapa?

Untunglah, tiga orang perempuan datang bersama puluhan lelaki. Rupanya tiga orang ini sejak tadi pergi mencari bantuan ke desa sebelah. Tanpa membuang waktu, seorang tengku atau ustadz memimpin acara penguburan.

Sebagian laki-laki menjejerkan 16 jasad di bawah tenda lalu disiram air, sekadar memenuhi syarat penguburan sesuai ajaran Islam. Begitu pula ketika jasadnya dibungkus kain kafan. Bentuk tubuh yang sudah tak beraturan membuat kain tidak melekat dengan sempurna.

Terakhir, jasad ditanam secara bersama-sama diiringi rapalan doa-doa.

AMIRUDIN justru diberitahu tentara sendiri kalau ada pembakaran di kampung Jambo Keupok, namun dia tidak menyangka kalau yang dibakar ternyata tubuh manusia.

“Liat di sana. Makanya jangan seperti mereka,” kata Amiruddin, menirukan ucapan seorang tentara.

Tentara-tentara itu baru saja menyelesaikan misi mereka di Jambo Keupok. Setelah itu mereka datang ke Ujung Teunom, kampung asal Amiruddin. Bedanya, tentara tidak melakukan sweeping apalagi sampai membakar warga.

“Saya bersama seluruh warga kampung hanya dikumpulkan di masjid. Sepertinya tentara sudah membagi tugas,” kata Amiruddin kepada saya.

Tak lama setelah tentara pergi, cerita sebenarnya baru terungkap dari tiga perempuan asal Jambo Keupok yang datang meminta bantuan.

Amiruddin menyaksikan 12 jasad masih bisa dikenali, sisanya hangus tak berbentuk. Sisanya ini, menurut dia, dibakar setelah ditembak mati. Dan yang lain dibakar hidup-hidup!

“Saya ikut memandikan jasad korban. Awalnya sih tak tahan, tapi bagaimana. Di sana (Jambo Keupok) sudah tidak ada lelaki dewasa. Sudah lari ke hutan,” kata Amiruddin.

Kampung Ujung Teunom dengan Jambo Keupok hanya dipisah sebatang sungai. Sebuah jembatan gantung menjadi penghubung keduanya. Kampung ini sama-sama terpencil dengan ciri rumah papan. Aspal jalan sudah tidak terlihat dan penuh lubang. Di kanan-kiri jalan menjulang tumbuhan rumbia. Sinyal handphone juga tidak ada.

Dibanding Ujung Teunom, orang GAM lebih banyak tinggal di kampung Jambo Keupok. Di sana ada sebuah rumah yang dijadikan markas para tentara GAM.

“Setahu saya waktu itu ada 15 orang warga yang menjadi kombatan GAM. Kalau yang lain saya tidak tahu karena soal dukung mendukung (GAM) kembali kepada pilihan masing-masing,” kata Muhammad Yakub kepada saya.

Waktu itu Yakub menjabat geucik (kepala kampung) Jambo Keupok. Dia tidak tahu banyak soal persisnya aksi pembakaran itu karena sebelumnya dia dibawa tentara ke markas komando rayon militer kecamatan Bakongan.

“Saya dilepas tentara setelah magrib dan mendengar warga cerita ada pembakaran penduduk,” katanya kepada saya.

Selasa sore itu saya bertemu dia ketika dia baru kembali dari kebun.

“Apa semua korban itu adalah GAM?” tanya saya.

“Kalau waktu (konflik) dulu tidak jelas mana simpatisan mana kombatan,” jawab Yakub.

Namun, Yulida yakin 16 korban itu adalah warga biasa.

“Tapi kalau 16 orang itu orang GAM kenapa mereka tidak lari atau melawan sekalian ketika tentara datang,” kata Yulida kepada saya.

PERISTIWA pembakaran penduduk Jambo Keupok salah satu dari setumpuk pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara selama konflik Aceh. Namun, sampai sekarang tak satupun pelaku diajukan ke pengadilan.

Ini membuat Fauzi putus asa karena nasib keluarganya tak kunjung mendapat keadilan. Sikap ini yang membuat dia semula enggan bercerita tentang pembakaran penduduk kepada saya.

“Kalau saya cerita ke abang terus mau diapakan? Jangan cuma tanya-tanya setelah itu tak ada hasil,” katanya.

Keluhan senada juga kembali disuarakan sekitar seratus aktivis hak asasi manusia (HAM) di Aceh, saat malam peringatan Hari HAM se-dunia, Senin 10 Desember 2007 lalu.

Peringatan diwarnai dengan pawai obor berjalan kaki mulai Simpang Lima di pusat kota Banda Aceh sampai berhenti di lapangan parkir dekat lokasi masjid raya Baiturrahman.

Sambil berjalan mereka berorasi menuntut kasus pelanggaran HAM diusut.

“Perdamaian hanya ada di tingkat elit. Rakyat belum menikmati perdamaian selama pelaku pelanggaran HAM belum diadili,” seru seorang peserta aksi.

Beberapa orang peserta membagikan stiker dan selembaran pernyataan sikap kepada setiap pejalan kaki dan pengendara motor yang melintas. Saya membaca sebaris kalimat.

“Menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dengan cara membentuk KKR dan Pengadilan HAM…”

KKR singkatan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lembaga ini dianggap paling mungkin dibentuk untuk mengungkap pelanggaran HAM di Aceh, ketimbang pengadilan HAM.

Kalaupun pengadilan HAM terbentuk di Aceh, pelaku tidak bisa disidang atas perbuatannya di masa lalu. Pengadilan HAM, menurut bunyi pasal 228 ayat 1 Undang-Undang Pemerintahan Aceh, hanya mengadili pelanggaran HAM yang dilakukan setelah undang-undang ini berlaku.

“Kita berharap pada pembentukan KKR,” kata Asiah kepada wartawan di sela-sela aksi.

Asiah adalah koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh.

Masalahnya pembentukan KKR Aceh juga tak ada kemajuan. Upaya pemerintah Aceh memakai Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai payung hukum pembentukan KKR Aceh dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“KKR Aceh tak berkaitan dan berpedoman pada undang-undang KKR yang berlaku pada KKR nasional tapi Undang-Undang Pemerintahan Aceh,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi  Jimly Asshidiqie, seperti dikutip harian Kompas, 24 Maret 2007.

Meski ada pembatalan, bukan berarti peluang sudah tertutup. Menurut Asiah,  pemerintahan Irwandi Yusuf bisa menggunakan Kesepakatan Damai Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai dasar pembentukan KKR.

“Kami menuntut pemerintahan Irwandi serius membentuk KKR. Kalau tidak jelas terus, korban pelanggaran HAM tidak punya peluang memperoleh keadilan,” kata Asiah. ***

kembali keatas

by:Hairul Anwar