“LIMAPULUH persen saya tidak percaya berita di koran,” sungut Mukhlisin.

Dia guru mengaji anak-anak di Masjid Thursina yang berada di desa Pulo Mesjid. Desa ini berada di kecamatan Tiro, Pidie. Selain mengajar anak-anak membaca Alquran, dia juga bekerja sebagai kuli bangunan.

Peci hitam hampir tak pernah lepas menutup kepalanya. Badan tinggi. Kurus. Mata kanan agak juling. Gaya bicaranya lugas. Dia ramah dan amat dikenal warga desa.  Jika ada warga desa yang meninggal, Mukhlisin selalu ditunjuk untuk memandikan jenazah mendampingi keluarga mendiang.

Mukhlisin sewot terhadap berita utama yang diturunkan harian Serambi Indonesia yang terbit pada Jumat, 23 November 2007. Judul berita itu berbunyi “Perampok di Tiro Tewas Didor”. Serambi memuatnya di halaman pertama. Berita ini dilengkapi infografis kronologi penembakan berjudul “Satu dari Komplotan Tiro Ditembak!”

Lelaki yang disebut sebagai perampok dalam berita itu bernama Hamdani bin Sulaiman. Dia warga Pulo Mesjid, sama seperti Mukhlisin. Polisi menyatakan terpaksa menembak Hamdani. Alasan mereka, Hamdani melawan dengan sebilah pisau saat petugas hendak meringkusnya. Menurut polisi, Hamdani adalah perampok bersenjata api. Penembakan Hamdani terjadi pada dini hari di depan rumah warga yang tengah menyiapkan perayaan pesta pernikahan.

“Saya heran,” lanjut Mukhlisin kepada saya. “Sehari-hari dia minta uang seribu dua ribu sama saya. Kok dibilang dia perampok, (uang rampokannya) sampai 50 juta, 100 juta. Apa mungkin? Kalau dia banyak uang ngapain dia minta sama saya seribu?”

Mukhlisin lalu mengantar saya ke kedai kopi untuk menemui Anwar. Dia pemilik sekaligus penjaga kedai kopi yang kerap didatangi Hamdani saban pagi, sore, dan malam. Di muka kedai ada dua bangunan sekolah. Yang satu baru dibangun. Catnya putih bersih. Satu bangunan lagi tanpa atap. Kusam. Jendela-jendela bolong. Kayu-kayu pintu dan kusennya menghitam bekas dilalap api.

Kedai kopi Anwar berada di tepi jalan. Atapnya daun rumbia kering. Di tepi kanan atap terpasang antena Parabola. Kedai ini jadi tempat favorit kaum lelaki di kampung. Mereka bisa menyeruput kopi sambil menonton siaran televisi atau baca koran.

Anwar bekas Teuntera Neugara Aceh (TNA). Dia pernah bergerilya ke hutan dan naik-turun gunung bersama Hamdani dan Muhammad alias Amat Provost, kakak kandung Hamdani. Setelah Amat Provost tewas ditembak sebelum perjanjian Helsinki ditandatangani, Anwar turun gunung. Tapi dia tak punya banyak keterampilan untuk melamar pekerjaan. Dia memilih membuka kedai kopi dengan modal pinjaman dari orangtuanya sebesar Rp 5,4 juta.

“Hamdani sering utang ke sini. Sudah sejak dua tahun lalu. Setelah kerja ke sawah, kadang-kadang ke kebun, dia biasa ke sini. Pas habis bulan ini katanya mau bayar utang. Tapi katanya belum jual padi. Utang terakhir sekitar 180 ribu, katanya mau dibayar,” ujar Anwar.

Dia mengambil buku catatan hutang dan menyodorkannya ke saya. Di halaman hutang Hamdani tertulis, “2000. 1000. 2000. 2500…”

“Tiap hari utangnya nggak banyak. Paling dua ribu, dua ribu setengah. Kadang-kadang seribu. Nggak banyak.”

“Kadang-kadang kalau saya juga tidak punya uang, dia meminta apa yang sedang saya minum atau makan,” kata Mukhlisin. Dia duduk di sebelah saya. “Kopi saya tinggal separo dia minum juga,” lanjutnya.

Seperti juga Mukhlisin, Anwar sulit mempercayai tuduhan polisi bahwa Hamdani anggota komplotan perampok.

RABU, 21 NOVEMBER 2007. Sejumlah lelaki dan perempuan berkumpul di rumah Husin Amin di Pulo Mesjid. Dia lelaki yang dihormati warga desa. Selain sudah tua, Amin adalah ‘Tengku Khotib’ atau penceramah di masjid Thursina. Istrinya bernama Fatarani. Keluarga ini dikarunia sepuluh anak. Namun tiga di antaranya meninggal karena sakit. Kini tinggal tujuh, dua laki-laki lima perempuan.

Keluarga Amin-Fatarani sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri bungsunya, Juwariyah. Anak Amin yang kesepuluh itu menikah dengan Habibuddin, lelaki asal Krueng Mane, Aceh Utara.

Pasangan Juwariyah dan Habibuddin sebetulnya sudah resmi menikah pada 17 Oktober 2007 lalu. Karena tak cukup uang, maka pesta pernikahan diundur hampir sebulan setelah ijab kabul.

Mulai Rabu petang hingga malam kerabat dekat satu demi satu datang. Para tetangga ikut  bergotong-royong membantu keluarga ini menyiapkan pesta.

Ada yang mengatur kursi untuk tamu. Ada yang memasang tenda. Sebagian perempuan membantu di dapur.

Alamsyah Ishak juga diminta datang membantu. Lelaki itu adik ipar Amin. Kumisnya lebat dengan bibir hitam akibat nikotin. Dia pernah menjabat geuchik atau kepala desa Meunasah Panah. Desa ini bersebelahan dengan Pulo Mesjid. Ishak bertugas mengatur dan mengawasi kelancaran urusan masak-memasak di dapur.

Hingga tengah malam, sebagian pemuda desa masih berkumpul di muka rumah Amin. Abdullah Usman, geuchik Meunasah Panah, juga datang. Namun sebelum dini hari, Usman pamit pulang.

Sementara Amin tak bisa ikut menikmati malam menjelang pesta itu. Beberapa hari sebelumnya, kakinya lemas dan nyaris tak bisa berjalan. Dia sudah masuk biliknya sebelum tengah malam.

Sekitar jam satu dini hari, suasana di sekeliling rumah Amin masih ramai. Ismuhadi, Muhammad, Amri, Hamdani, Atun, dan pemuda kampung lainnya masih duduk di kursi tamu sambil berbincang-bincang. Tiba-tiba beberapa pria datang. Para pemuda mengira mereka itu adalah kerabat atau sahabat yang empunya hajat. Pakaian mereka tak beda dengan warga lain.

Saat itu pula Ismuhadi dan Muhamad melihat tali senjata di badan salah seorang dari mereka. Lelaki itu menghampiri Hamdani dari arah muka. Kemudian, pria yang belakangan diketahui warga sebagai petugas polisi itu berjalan ke belakang Hamdani. Dan …

Dor!

Hamdani tersungkur. Orang-orang panik. Ada yang berteriak. Ismuhadi kontan tiarap.

Amin terkejut. Dari dalam kamar, ia mengira ada ban motor pecah. Di dapur, Alamsyah Ishak kaget.

Dor! Dor! Dor! Dor! .…

Terdengar suara tembakan berkali-kali.

Dua peluru memecahkan tulang paha kanan Hamdani. Satu peluru menembus di bagian kiri. Polisi menggeledah isi celana dan pakaian Hamdani. Mereka mengambil telepon seluler dan pisau.

Amin tiarap dalam rumahnya setelah mendengar rentetan tembakan itu. Beberapa perempuan lain di rumah itu histeris. Fatarani menangis.

Polisi berteriak-teriak agar warga segera kumpul. Beberapa orang di antara mereka menanyakan di mana teman-teman Hamdani.

Lalu para lelaki dikumpulkan di jalan, tepat di depan rumah Amin. Ishak keluar dari dapur dan bergabung dengan warga yang lain di jalan.

Polisi menyuruh mereka mengangkat baju untuk mengetahui apakah mereka menyembunyikan senjata di badan. Warga yang memiliki telepon seluler diminta berkumpul di tempat terpisah. Ishak tak luput dari pemeriksaan khusus ini.

Polisi memeriksa setiap nomor telepon yang ada dalam telepon seluler Hamdani. Mereka mencari teman-teman Hamdani. Dua telepon milik warga berdering dan segera diambil polisi. Setelah pemeriksaan usai, para lelaki itu tidak boleh bubar apalagi pulang ke rumah.

Sebagian polisi masuk ke rumah Amin. Kini ada yang berseragam, selain yang mengenakan pakaian preman. Mereka menggeledah seisi rumah, bahkan keluar masuk kamar Amin. Istri, anak-anak perempuan Amin, dan sejumlah perempuan yang berkumpul di situ ketakutan. Polisi menanyakan di mana senjata disimpan. Beberapa perempuan langsung menjawab tidak tahu. Amin juga menjawab tak tahu di mana ada senjata. Dia tak pernah memiliki senjata api.

Hajatan esok pagi bisa terancam gagal. Masakan untuk pesta belum siap. Pagi tinggal beberapa jam.  Amin benar-benar khawatir.

Tak berapa lama, Kepala Kepolisian Sektor Tiro Zainal datang ke lokasi penembakan, juga wakil komandan Komando Rayon Militer Tiro Ruslan. Amin dan aparat berunding soal rencana pelaksanaan pesta. Kesepakatan dicapai. Hajatan tetap bisa diteruskan.

Sementara itu mayat Hamdani masih tergeletak di depan rumah. Jam sudah di kisaran pukul empat pagi.

Di jalan, polisi mengawasi para lelaki. Ishak gelisah. Dia tak sabar hanya berdiam menunggu pagi. Mulutnya juga ingin segera menghisap rokok.

“Apa kita boleh merokok?” Ishak minta pendapat warga yang duduk di sebelahnya.

“Hei, kamu!” Seorang petugas berteriak menghardiknya.

Ishak diperintahkan berdiri, menghadap ke petugas. Polisi menanyakan apa yang dia bicarakan tadi.

“Saya bilang apa saya bisa merokok.”

Tiba-tiba datang petugas lain dari belakang.

Buk! Buk! Buk!

Tengkuk Ishak kena hantam. Dia dimaki-maki, dianggap tak sopan. Tak lama berselang, Ishak kemudian dipanggil Amin. Ishak diminta kembali memimpin beberapa warga untuk kembali memasak di dapur. Ishak segera minta izin polisi untuk mengajak sepuluh warga membantu memasak. Izin pun diberikan.

Menjelang pukul 04.30, baru terdengar perintah untuk mengangkat mayat. Di hadapan warga yang duduk di jalan, petugas menanyakan siapa yang mau memberi kesaksian bahwa yang tewas itu benar-benar Hamdani atau bukan.

“Saya kenal,” ujar Fakhrudin. Dia teman Hamdani. Dia juga mantan TNA dan tinggal tak jauh dari rumah Amin.

Polisi membawa Fakhrudin ke dekat mayat.

“Ya, benar. Ini Hamdani,” ujarnya, pasti.

Beberapa petugas mengangkat mayat Hamdani. Polisi meminta Fakhrudin untuk memberi keterangan di kantor Kepolisian Resor Pidie. Polisi sempat menyampaikan permintaan maaf kepada Amin. Lantas iring-iringan kendaraan polisi segera meninggalkan halaman rumah Amin. Jumlah kendaraan lebih dari setengah lusin. Ada minibus. Ada double cabin

SULAIMAN bin Abu Bakar bertubuh tak seberapa tinggi. Nyaris seluruh rambutnya putih. Sulaiman lahir dan besar di  Pulo Mesjid. Kini dia berusia 63 tahun. Dia tak banyak bicara. Bahasa Indonesianya kurang lancar. Lelaki itu punya enam anak. Empat laki-laki, dua perempuan. Keempat anak laki-lakinya tewas di ujung senjata. Yang terakhir adalah Hamdani.

“Saya ikut GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sejak tahun tujuh-tujuh,” kata Sulaiman kepada saya.

Dalam buku The Price of Freedom; The Unifinished Diary of Tengku Hasan di Tiro, diketahui bahwa setelah mendeklarasikan Aceh Merdeka, 4 Desember 1976, Hasan Tiro bersama pengikutnya bergerilya di antara Bukit Tjokkan dan Alue Bili, Tiro. Pada saat itu sudah banyak warga yang simpati dan menyatakan siap bergabung dalam perjuangannya. Namun tentang penduduk Tiro sendiri, dia menulis, “Mereka 100 persen bersama saya. Semua orang di Tiro, laki-laki dan perempuan dengan sendirinya menjadi pendukung NLFAS (National Liberation Front Acheh and Sumatra).”

Tanggal 23 Januari 1977, Tiro mencatat, tentara Indonesia-Jawa menduduki seluruh kecamatan Tiro. Mereka menahan laki-laki dan terutama perempuan. Sebab kaum perempuan yang menyuplai makanan selama Tiro dan pengikutnya berada dalam hutan. Tentara Indonesia-Jawa juga menjarah bahan pangan milik penduduk. Gula, kopi, daging, ikan, rokok dan sebagainya. Penduduk hanya disisakan bahan pangan yang hanya cukup untuk satu hari. Taktik ini membuat warga terancam kelaparan hebat. Apalagi warga juga dilarang membakar kayu untuk memasak atau pergi ke hutan.

Saya menduga, Sulaiman muda bergabung bersama pasukan Hasan Tiro setelah peristiwa ini. Jika usianya kini 63 tahun, maka saat itu ia berusia 33 tahun.

“Saya ikut gerilya ke Geumpang, Blang Sala, Blang Raweu di pucuk Sungai Meureudu…” lanjut Sulaiman.

Dia memegang senapan jenis LE. Ini senjata warisan perang melawan Belanda. Setelah sekali menembak dia mesti menarik kokang untuk bisa menembak lagi.

“Saya pegang senjata kadang-kadang saja. Waktu pergi jauh-jauh ada bawa senjata.”

Ketika saya menanyakan kedekatannya dengan Hasan Tiro, Sulaiman menjawab, “Begini.” Jari telunjuk dan tengahnya berimpitan.

“Apa yang dia suruh kepada saya, saya kerjakan,” ujarnya.

Tiro kerap memimpin pasukannya sholat berjamaah selama bergerilya. Tapi sholat dalam keadaan perang beda dengan sholat dalam kondisi aman. Bila satu kelompok sholat, maka yang lainnya harus berjaga-jaga dari serangan musuh. Urusan makanan, Sulaiman mengenang, jika seorang gerilyawan makan telur sebelah, semua gerilyawan dijatah makan telur sebelah.

“Wali juga makan sebelah. Makan sama-sama. Kadang-kadang dapat rusa satu. Di mana ada pos-pos (pasukan Tiro), disuruh antar (daging rusa) ke pos-pos.”

Tiro juga menyampaikan berulang-ulang soal penjajahan Indonesia-Jawa atas bangsa Aceh.

Nanggroe geutanyoe nanggroe kaya, Cuma hasee tan bak geutanyo, hase ka abeh jicok legoep Sulaiman mencontohkan pernyataan Tiro. Dalam Bahasa Indonesia artinya, “Negara kita (Aceh) negara kaya, cuma hasilnya nggak ada. Hasilnya sudah diambil orang.”

Kebersamaan Sulaiman dengan Tiro hanya dua tahun. Pertemuan terakhirnya dengan sang wali nanggroe saat terjadi pertempuran di Beungga, kecamatan Tangse. Tanggal 29 Maret 1979, Tiro terbang ke Eropa setelah melintasi Selat Malaka.

Sulaiman kembali ke Pulo Mesjid. Namun perang belum usai. Pemerintah Soeharto mengirimkan ribuan tentara dari Jawa ke Aceh dan menggelar operasi militer ke kampung-kampung. Tiro menjadi salah satu wilayah paling rawan saat itu.

Tahun 2000, misalnya. Saat itu pemerintah Jakarta menetapkan status Darurat Sipil di Aceh. Pertengahan Oktober tahun itu lebih dari 60 rumah toko dan beberapa bangunan dibakar. Sekolah hancur. Warga hidup dalam ketakutan.

Rumah panggung Sulaiman dan keluarganya tak luput dibakar tentara. Keluarga ini sempat lari ke hutan.

BUAH  tak jatuh jauh dari pohon. Anak-anak Sulaiman mengikuti jejak sang ayah. Berturut-turut Amrizal bin Sulaiman, Usman bin Sulaiman, dan Muhammad bin Sulaiman ikut gerilya ke gunung dan hutan. Hamdani bin Sulaiman, putra termuda, juga mulai ikut membantu GAM. Dia mengantar makanan untuk pasukan TNA di wilayah Tiro. Dia pengagum Abdullah Syafei, panglima GAM yang amat disegani dan kini telah almarhum.

Di antara empat anak lelaki Sulaiman itu, Muhammad paling ditakuti. Panggilan populernya adalah Amat Provost. Dia jadi target buruan tentara Indonesia.

Tahun 2003, Jakarta menetapkan status Darurat Militer di Aceh. Tiga dari empat bersaudara ini tewas. Amrizal tewas dalam pertempuran. Peluru menembus kepalanya.

Beberapa bulan berselang, giliran Usman menyusul. Dia juga tewas ditembak. Satu peluru bersarang di lehernya.

Amat Provost sempat lari ke Jakarta. Di sana dia malah tertangkap. Ridwan bin Yusuf, salah seorang kawannya, dikabarkan telah membocorkan tempat persembunyian Amat Provost kepada aparat. Setelah dibawa ke Aceh, Amat ditembak.

“Dia ditembak di dada. Tiga peluru. Kepala dan bagian lainnya tidak ada luka,” ujar Mukhlisin. Dia ikut memandikan ketiga jenazah anak Sulaiman.

Hamdani baru turun gunung setelah perjanjian damai Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu. Seperti sejumlah bekas anggota TNA lainnya, dia mendapat dana reintegrasi. Dana tak seberapa itu tidak menjamin masa depannya. Dia tak punya banyak ketrampilan. Terkadang dia pergi ke ladang, mengerjakan sawah milik kakaknya.

Menurut kabar, Hamdani menyimpan dendam terhadap Ridwan. Dia yang menyebabkan kematian abangnya, Amat Provost. Awal November 2005, Hamdani terlibat pembunuhan Ridwan di Meunasah Panah. Bekas TNA itu tewas dibacok senjata tajam.

Anggota Kepolisian Resor (Polres) Pidie segera meringkus Hamdani. Dia dijebloskan ke Rumah Tahanan Kota Bakti, Pidie. Dia disidang dan diancam hukuman penjara 20 tahun.

Namun, Minggu 4 Juni 2006, sekitar pukul 11.00 Hamdani kabur dari Rutan Kota Bakti. Seperti diberitakan Serambi Indonesia pada hari berikutnya, Hamdani diperkirakan kabur melalui pintu depan. Saat itu sidangnya tinggal menunggu putusan.

Tak lama kemudian, Hamdani nekat kembali ke Pulo Mesjid. Meski bisa turun ke sawah dan minum di kedai kopi milik Anwar, hidupnya tak sebebas dulu.

“Polisi sering ke kedai, tanya apa ada Hamdani,” kisah Anwar kepada saya.

“Dulu Hamdani rajin ke masjid,” sahut Mukhlisin. “Tapi setelah keluar dari penjara agak kurang. Mungkin karena dia takut…”

Sulaiman beberapa kali sempat berjumpa Hamdani.

“Terakhir dia minta uang ke saya dua ratus ribu, tapi saya kasih seratus ribu. Dia bilang nggak ada rokok. Dia datang ke rumah waktu ada perlunya saja. Minta uang,” kenang sang ayah.

KAMIS, 22 November 2007. Pagi itu kabar kematian Hamdani terdengar ke seluruh desa. Sulaiman diminta polisi untuk mengambil jenazah anak lelakinya itu di Rumah Sakit Daerah Sigli.

Sekitar pukul 08.00, Sulaiman tiba di kantor Polres Pidie. Dia didampingi kedua anak perempuannya, Syamsiah dan Suryani, geuchik Pulo Mesjid Abdul Wahab Amni, dan keponakannya,  Nasruddin.  Keponakannya yang seorang lagi, Zakaria, langsung menuju rumah sakit.

Petugas di kantor Polres membuat surat ‘Berita Acara Serah Terima Mayat’. Dalam surat itu disebutkan, petugas yang menyerahkan jenazah itu bernama M Hidayat. Pangkat Ajun Inspektur Muda (AIPDA), NRP 68060324, jabatan penyidik pembantu bersama Bripka Nofi Hendri SH dan Bripka Jamalul Hera.

Dalam keterangan untuk mayat disebutkan “Mayat tersebut merupakan pelaku tindak pidana.” Menurut polisi, Hamdani melakukan enam kejahatan.

Pertama, “Berdasarkan laporan polisi LP/70/XI/2005 tanggal 2 Nopember 2005 tentang tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama di Desa Meunasah Panah Kecamatan Tiro Truseb Kabupaten Pidie yang mengakibatkan matinya seseorang An. Riduwan bin M Yusuf.”

Kedua, “Melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kota Bakti dalam kasus pembunuhan bersama-sama dengan menggunakan senjata tajam yang sementara kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Sigli dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu 20 tahun penjara.”

Ketiga, “Berdasarkan TR/16/XI/2007 tanggal 14 Nopember 2007 tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan/perampokan kilang padi milik Cut Ali Puteh yang terjadi di Desa Pulo Siblah, Kecamatan Tiro Truseb, Kabupaten Pidie.”

Keempat, “Berdasarkan TR/17/XI/2007 tanggal 14 Nopember 2007 tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan/perampokan kilang padi milik Tarmizi yang terjadi di Desa Pulo Siblah, Kecamatan Tiro Truseb, Kabupaten Pidie.”

Kelima, “Berdasarkan Laporan Polisi LP/18/XI/2007 tanggal 20 Nopember 2007 sekitar pukul 23.30 tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan/perampokan yang terjadi di Desa Prade, Kecamatan Pante Raja, Kabupaten Pidie Jaya.”

Keenam, “Berdasarkan laporan polisi LP/18/X/2007 tanggal 21 Oktober 2007 tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan/perampokan yang terjadi di desa Ule Gampong, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie dengan saksi korban Amos Maikels, anggota TNI Kabupaten Aceh Barat.”

Di bawah daftar kejahatan itu, polisi membeberkan kronologi penembakan Hamdani. Entah khilaf atau bukan, di situ disebut penangkapan dilakukan siang hari, 12.30.

“Pada tanggal 22 Nopember sekira pukul 12.30 WIB Anggota Polri melakukan penangkapan terhadap tersangka di Desa Pulo Mesjid, Kecamatan Tiro Truseb, namun pada saat dilakukan penangkapan tersangka melakukan perlawanan sehingga petugas melakukan tembakan peringatan akan tetapi tersangka tetap tidak mengindahkan bahkan tersangka berusaha menikam salah seorang petugas yang hendak menangkap dengan menggunakan rencong sehingga petugas tersebut melakukan tembakan melumpuhkan ke arah kaki akan tetapi pelaku masih tetap melakukan perlawanan sehingga dilakukan tembakan ke arah sasaran yang pital yang mengakibatkan tersangka meninggal dunia di TKP.”

Sulaiman kemudian membubuhkan cap jempol dalam berita acara yang ditandatangani Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Sudarmin itu.

Sulaiman menerima surat itu sebanyak dua halaman. Tanpa lampiran. Dia juga tidak menerima berkas hasil visum dari rumah sakit maupun kepolisian.

Dari kantor Polres, Sulaiman, Suryani dan Samsiah berangkat ke rumah sakit. Bersama Zakaria dan sopir ambulan, Sulaiman mengambil mayat Hamdani di Ruang Unit Gawat Darurat. Hamdani masih mengenakan kaos berkerah warna krem dan celana jins hitam. Menjelang pukul 13.00, jenazah itu dibawa pulang.

“Cincin dan handphone yang dipakai Hamdani tidak ada. Kantong celana jinsnya kosong,” ujar Zakaria.

KEBAHAGIAAN dan kesedihan menyelimuti warga Pulo Mesjid pada hari yang sama. Kamis siang, pesta pernikahan digelar di rumah keluarga Husin Amin dan Fatarani. Sore harinya warga berdatangan ke rumah keluarga Sulaiman yang berada di tepi sungai kecil itu.

Rumah Sulaiman berjarak sekitar seratus meter dari rumah Amin. Rumah itu berdinding papan kusam. Beratap seng. Anak lelaki bungsu keluarga ini akan diantar dari rumah tersebut menuju peristirahatan terakhirnya.

Mukhlisin membantu Sulaiman memandikan jenazah Hamdani. Untuk keempat kalinya Mukhlisin memandikan jenazah anak-anak Sulaiman. Mayat itu berlumur darah. Pelan-pelan dia membersihkan lubang-lubang luka di tubuh mayat. Dua luka tembak di paha kanan. Tembus lurus. Tulang paha patah.

Peluru juga menembus paha kiri. Setelah dibersihkan, Mukhlisin dan Sulaiman menutup lubang-lubang luka itu dengan kapas putih.

Masih ada lubang luka di atas pusar, di bawah dada. Hati-hati Mukhlisin mengamati dan membuka lubang luka itu. Lubang itu tidak bulat tapi lonjong-lancip.

“Seperti bekas tusukan pisau tapi tidak tembus,” gumamnya kepada Amin. Dia segera menyumpal luka itu.

Di atas kelamin jasad juga ada lubang luka tembak. Lubang itu tembus hingga ke punggung belakang. Mukhlisin mencocokkan besar kedua lubang luka. Besar gumpalan kapasnya sama.

Selesai dimandikan, seluruh tubuh jenazah dibalut kain kafan. Mayat Hamdani dibawa ke pemakaman di dekat masjid Thursina, tempat Mukhlisin biasa mengajar Alquran kepada anak-anak kampung. Malamnya keluarga Sulaiman menggelar tahlilan.

SURYANI menunjukkan foto Hamdani kepada saya. Suryani adalah anak bungsu dalam keluarga Sulaiman. Dia hanya lulusan sekolah menengah pertama. Seperti juga abang dan kakaknya, hidupnya dalam tekanan. Dia pernah ikut ayahnya lari ke gunung semasa Darurat Militer.

Di foto itu Hamdani tampak gagah. Rambutnya dipotong pendek. Dada bidang. Berotot. Kulit kecoklatan. Rahang tampak kokoh.

“Saya dan Bang Ham sering becanda. Tapi dia jarang pulang,” kata Suryani.

Dia sangsi abangnya perampok. Banyak warga Pulo Mesjid juga tak yakin Hamdani merampok.

“Saya tidak tahu apa dia menyembunyikan diri sebagai perampok, caranya dengan meminta uang sama kita,” kata Mukhlisin.

“Atau memang dia benar-benar tidak merampok. Yang jelas saya heran, untuk apa dia meminta sama saya seribu, dua ribu,” katanya, lagi

Tapi menurut Fakhruddin, Hamdani bukan orang yang bersih dari catatan kejahatan. Fakhruddin adalah salah satu kawan Hamdani. Selepas kejadian di depan rumah Amin, Fakhruddin dibawa polisi dan dimintai keterangan seputar Hamdani selama setengah jam.

Tetapi kemudian dia disuruh menginap selama satu hari di ruang pemeriksaan. Di situ disediakan kasur tipis.

“Selama setengah jam diinterogasi ditanya apa saja?” tanya saya.

“Bagaimana pergaulan Hamdani dengan masyarakat, apa kegiatan dia, apakah dia terlibat dalam perampokan, apakah dia mempunyai senjata, apakah dia disukai masyarakat,” jawab Fakhruddin.

Bibir bawahnya terlihat membengkak, padahal dia mengaku tidak dipukul polisi ketika memberi keterangan. Saya yakin, lelaki ini berbohong.

“Masalah perampokan saya kurang tahu, tapi kalau masalah senjata saya tahu. Kenapa, karena dia pernah memamerkan senjata, bahkan anak-anak kecil semua orang-orang kampung tahu dia punya senjata.”

“Senjata apa?” tanya saya, lagi.

“Senjata pistol ada, M16 ada sama dia. Sampai dia (polisi) tanya apa kamu tahu di mana senjata itu, saya menjawab soal itu saya nggak tahu. Cuma yang saya tahu dia punya senjata,” jawab Fakhruddin.

“Mungkin dia titipkan sama kawan, kan itu kita tidak tahu itu kan rahasia orang,” lanjutnya.

Kepada saya dia menyatakan tak kenal dekat dengan Hamdani. Anehnya, ketika ditanyai polisi, dia mengaku kenal dekat dengan Hamdani. Jawabannya membingungkan.

Saya kemudian menemui Iskandar Daud. Dia teman seangkatan Hamdani selama gerilya di hutan. Saat perjanjian damai disepakati, dia dan Hamdani sama-sama turun gunung. Saya menanyakan dugaan keterlibatan Hamdani dalam komplotan perampok Kamaruddin bin Lek Yeh yang terkenal dengan sebutan Si Teh. Menurut polisi, selama tahun 2006 komplotan Teh terlibat perampokan sejumlah pom bensin di Pidie.

“Bagi orang yang menuduh, silakan menuduh. Tapi kami sebagai rekan seperjuangan dan famili, kami akan tuntut balik orang yang menuduh. Mana bukti si Hamdani itu sebagai perampok? Kami tuntut polisi,” sahut Iskandar.

“Apakah Hamdani pernah dekat dengan Teh?”

“Dulu Teh ada di sagoe daerah satu, Sigli. Hamdani berada di daerah dua, Tiro. Teh dan Hamdani memang pernah sama-sama dalam penjara. Hamdani lari lebih dulu dari penjara, setelah itu Teh dan beberapa temannya.”

Tetapi, menurut Daud, sepenjara dengan Teh tak otomatis membuat Hamdani bisa dituduh ikut dalam komplotan Teh.

“Apakah bisa dibuktikan si Hamdani itu sebagai perampok? Benar atau tidak Hamdani perampok? Menurut saksi-saksi di kilang padi Cut Ali, mereka tidak mengatakan si Hamdani merampok. Mereka nggak kenal sama perampok-perampok.”

DI  Serambi Indonesia, Jumat 23 November 2007, menurut polisi, Hamdani nekat melawan polisi dengan mengacung-acungkan sebilah pisau tajam.

Saya membandingkan kronologi versi polisi itu dengan kesaksian Mukhlisin dan Sulaiman yang memandikan jenazah. Meski sepele, ada yang ganjil.

Jika kedua paha tertembus tiga peluru, dua mematahkan kaki kanan dan satu di kiri, apakah mungkin Hamdani tetap melakukan perlawanan terhadap petugas?

Berdasarkan pengalamannya memandikan jenazah, Mukhlisin menduga Hamdani ditembak dari jarak dekat.

“Luka yang di atas kemaluannya bisa jadi dia ditembak dari depan. Karena tembus ke belakang agak ke atas. Mungkin korban ditembak saat sudah jatuh. Kalau dia ditembak sambil lari, peluru akan lurus menembus. Tetapi mungkin saja dia ditembak dari belakang pada saat sedang duduk,” kata Mukhlisin.

Saya coba mendapatkan hasil visum kematian Hamdani dari Rumah Sakit Daerah Sigli dengan menemui Taufik Mahdi. Dia menjabat kepala rumah sakit itu.

“Laporan visum diserahkan kepada penyidik. Karena mayat diserahkan oleh polisi. Mayat itu hanya sampai UGD (Unit Gawat Darurat). Belum sampai ruang jenazah dan tidak ada bedah mayat,” ujar Mahdi.

Visum et Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah yang dibuat untuk kepentingan peradilan. Laporan ini berisi tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter ahli. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, umumnya laporan ini dibuat untuk kepentingan penyidikan.

Kata Mahdi, visum yang dilakukan di rumah sakit tidak seperti visum yang dilakukan ahli forensik. Tidak ada penjelasan secara medis yang lengkap. Sehingga lemah sebagai alat bukti hukum.

“Apa yang terlihat orang awam, seperti itu yang kita laporkan. Tidak detil. Kami tidak punya ahli forensik. Bukan hanya di sini, di Banda Aceh juga tidak ada,” tutur Mahdi.

SETELAH pemerintah Indonesia dan GAM setuju berdamai, masyarakat di Tiro pelan-pelan bangkit dari penderitaan. Warga mulai bergairah pergi ke ladang dan sawah. Sebagian laki-laki dan perempuan sudah berani pergi ke pasar menjual hasil kebun.

Warga kecamatan Tiro tersebar di empat kemukiman. Kemukiman Tiro, Truseb, Dayah, dan Blang Keudah. Jumlah desa di kecamatan ini ada 19. Pulo Mesjid berada di kemukiman Truseb. Di kemukiman ini ada enam desa. Selain Pulo Mesjid ada Peunandeuk, Meunasah Panah, Trieng Cudo Tunong, Trieng Cudo Baroh, dan Mamprei.

Jumlah Kepala Keluarga dalam kemukiman Truseb sekitar 600. Pekerjaan masyarakat umumnya bertani. Tapi mereka bukan petani asli yang memiliki lahan sendiri. Mereka buruh tani, bekerja membajak sawah milik orang lain. Sedangkan warga yang memiliki lahan sendiri tidak banyak. Pemilik lahan umumnya orang luar kampung.

Dua tahun setelah perdamaian, penduduk Tiro seakan berjuang melawan lupa. Aktivitas ekonomi berangsur-angsur normal. Namun, ketenangan mereka kembali terusik atas peristiwa penembakan Hamdani. Sejarah dan pengalaman pahit konflik selama hampir 30 tahun masih belum sepenuhnya hilang.

“Seharusnya polisi bikin masyarakat tenang. Tapi saat kejadian kemarin malah membikin masyarakat resah. Ini letusan senjata pertama setelah perdamaian,” ungkap Abdullah Usman, geuchik Meunasah Panah.

Aksi polisi memeriksa warga satu per satu, membariskan dan memerintahkan warga di jalan mengingatkan warga pada masa konflik.

“Kayak masa darurat. Jelas, karena kejadian itu masyarakat jadi trauma lagi. Apalagi selama konflik di Tiro, di antara desa-desa lain, Desa Pulo Mesjid-lah yang paling rawan,” katanya, lagi.

Protes terhadap polisi juga dilontarkan Tengku Usman Lampoh Awe. Dia mengunjungi keluarga Sulaiman dua hari setelah Hamdani dimakamkan. Usman adalah Menteri Keuangan GAM yang menyaksikan Hasan Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Bukit Tjokkan. Sulaiman dan Usman pernah bergerilya bersama-sama.

“Kenapa harus ada penembakan lebih dari satu kali di tempat yang tidak boleh ditembak. Kalau pun dia mau dihukum mati, mesti ditangkap dulu. Kalau mau lari, tembak di kaki. Ini tidak. Ini yang menjadi pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab,” kata Usman.

Namun Hamdani bukan satu-satunya bekas TNA yang dituduh melakukan perampokan menggunakan senjata. Agustus 2007 lalu, misalnya, polisi berhasil meringkus Yusuf alias Roket. Dia dituduh terlibat perampokan di Aceh Utara. Pada awal September 2007, polisi berhasil menembak Si Teh yang diyakini merampok pom bensin dan menembak pegawai sekolah di Pidie.

Kriminalitas yang diduga melibatkan para bekas gerilyawan bukan tanpa alasan. Menurut International Crises Group atau ICG, ini terkait dengan masih tingginya angka pengangguran di antara mantan GAM. Kesimpulan ini dimuat ICG dalam laporan berjudul Aceh: Post-Conflict Complications yang terbit pada 4 Oktober 2007.

Terbatasnya lapangan kerja, menurut lembaga itu, “mungkin menjadi salah satu faktor sejumlah insiden yang melibatkan cara-cara ilegal untuk mendapat uang dengan cepat.”

Sebaliknya, menurut Usman, ini tidak terlepas dari lambannya penyaluran kompensasi yang menjadi kewajiban pemerintah Indonesia.

“Kita masih menunggu kompensasi yang dijanjikan yang sampai saat ini belum selesai. Kompensasi dari pemerintah. Mudah-mudahan damai yang sudah ada ini jangan sampai retak. Apapun yang terjadi kita harus maju selangkah agar perdamaian ini abadi. Jangan ada orang-orang yang membuat damai ini jadi retak,” katanya, sungguh-sungguh.***

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh. Laporan ini ditulis atas kerja sama dengan KONTRAS Aceh.

by:Samiaji Bintang