Aceh di Mata ICG

Samiaji Bintang

Fri, 28 December 2007

International Crisis Group meramalkan munculnya konflik baru di Aceh pasca Helsinki. Namun, dalam 13 poin rekomendasi lembaga ini yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia, pejabat GAM maupun BRA, tak satu pun menyatakan pentingnya pembentukan KKR sebagai usaha penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM di Aceh.

MEREKA DUDUK melingkar di sisi meja bundar. Pelayan menyajikan hidangan penutup makan siang. Setelah itu kopi dan teh disodorkan.

“Kami seperti kangen-kangenan, cerita tentang masa lalu. Dia duduk di tempat dia duduk dulu. Aku duduk di tempat aku duduk dulu,” kata Irwandi Yusuf, gubernur Aceh.

Dia yang dimaksud Irwandi adalah Pieter Cornelius Feith yang lebih dikenal dengan Pieter Feith. Ia pernah menjabat ketua Aceh Monitoring Mission (AMM). Lembaga ini dibentuk selepas perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia ditandatangani di Helsinki pada Agustus 2005.

Feith memimpin AMM antara lain untuk memantau demobilisasi GAM dan penyerahan semua persenjataan, reintegrasi anggota GAM aktif, relokasi satuan-satuan militer dan polisi non-organik. Lembaga ini juga harus memantau situasi hak asasi manusia dan mengatur kasus-kasus perselisihan menyangkut pelaksanaan butir-butir isi perjanjian.

Setelah mengakhiri misinya di Aceh pada pertengahan Desember tahun 2006, Feith bekerja untuk parlemen Uni Eropa dan menjabat deputi direktur jenderal dalam misi Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Eropa (ESDP) di Kosovo, salah satu provinsi di negara pecahan Yugoslavia. Populasi bangsa Alban di Kosovo yang berjumlah hampir 2 juta dan memeluk agama Islam itu menuntut merdeka dari Serbia. Namun pemerintah Serbia menolak. Buntutnya, konflik berdarah yang menewaskan ribuan orang. Perundingan damai tersendat-sendat.



Di Kosovo Feith bertugas menjalankan proposal Martti Ahtissaari bagi masa depan negeri itu. Ahtisaari menjadi Utusan Khusus PBB dalam penyelesaian konflik Kosovo. Ahtissaari bakal meloloskan tuntutan bangsa Alban untuk merdeka dan mendirikan pemerintahan yang independen dari Serbia.



Sedangkan Irwandi, sebelum terpilih menjadi gubernur Aceh pernah menjadi perwakilan senior GAM di AMM. Ia mewakili GAM dalam rapat-rapat di Commission on Security Arrangements (COSA) yang juga diikuti perwakilan pemerintah Indonesia. Rapat ini membahas aneka perkembangan dan penyelesaian kasus-kasus selama pelaksanaan isi perjanjian damai.

Di akhir tahun 2006, ia jadi salah satu tamu di pendopo rumah dinas gubernur. Namun pada pertemuan Senin siang, 17 Desember 2007, ia menjadi tuan rumah. Selain Feith, di situ juga hadir bekas menteri hukum dan hak asasi manusia Hamid Awaluddin. Bekas perunding GAM dalam perjanjian damai di Helsinki, Muhammad Nur Djuli juga datang. Djuli kini menjabat sebagai ketua Badan Reintegrasi Aceh atau BRA. Pertemuan yang berlangsung kurang dari dua jam itu juga dihadiri beberapa pejabat pemerintah provinsi Aceh.

“Kita bicara perkembangan Aceh. Yang paling krusial adalah soal reintegrasi yang masih lambat. Lalu masalah perkembangan politik terakhir. Sudah banyak yang sudah berhasil kita capai di Aceh. Memang ada kurang di sana, kurang di sini. Tapi, di mana di dunia yang nggak kurang-kurang?” ujar Irwandi.

“Masalah reintegrasi masih terkendala, dana dari pusat belum turun,” kata Djuli, salah seorang perintis perjanjian damai.

“Kita harus lebih peka. Kami sudah kirim surat beberapa kali terkait dana reintegrasi. Tahun depan kita sediakan dana, tapi ini bukan dana dari pemprov (pemerintah provinsi) tapi dari lembaga luar. Tidak masalah, yang jelas kami tidak ingin membuat orang yang menderita makin menderita,” sahut Irwandi.

Pemerintah Aceh, kata Irwandi, berencana mencairkan dana untuk pelaksanaan beberapa program reintegrasi yang masih tersendat. Jumlahnya sekitar Rp 200 miliar. Selain itu pemerintah juga menyediakan dana sekitar Rp 800 miliar untuk membantu perekonomian masyarakat lewat pembukaan kebun-kebun baru. Termasuk untuk para eks kombatan. Lahan yang dipakai adalah tanah kritis. Artinya lahan yang tidak ada hutan lagi.

Dalam hitung-hitungan Irwandi, bila dari total lahan seluas dua ratus ribu hektare yang terlaksana 70 persen maka ada sekitar 140 ribu hektare yang dibagi kepada masyarakat. Jika diasumsikan satu keluarga mendapat empat hektare, maka lahan seluas 140 ribu hektare itu bisa dibagi ke sekitar 35 ribu keluarga.

“Itulah calon orang kaya baru,” kata Irwandi diiringi senyum.

Namun Feith masih mengkhawatirkan situasi keamanan Aceh. Ia menyebut masih banyaknya senjata ilegal dan aksi kriminal bersenjata di Aceh selepas damai. Feith menyarankan agar pemerintah Aceh yang dipimpin Irwandi, dan pemerintah pusat bisa lebih meningkatkan usaha menjaga perdamaian.

Selepas pertemuan, bersama beberapa wartawan saya mewawancarai Irwandi. Salah satunya menyangkut poin kecemasan Feith yang juga disinggung dalam laporan International Crisis Group dua bulan sebelumnya. Lembaga itu menyebut-nyebut keterlibatan beberapa mantan kombatan GAM dalam aksi perampokan bersenjata yang kerap menelan korban.

“Tapi masih luar biasa di bagian dunia lain dibandingkan di Aceh. Setelah dua tahun masih sedikit-sedikit kriminalnya. Di daerah lain? Di bumi lain? Sudah perang lagi, bung! Kriminal besar-besaran,” kilah Irwandi.

“Apakah itu termasuk bantahan Anda sehubungan laporan ICG tentang Aceh?”

“Laporan ICG itu terlalu bias!” katanya, tegas.

KAMIS, 4 OKTOBER 2007, International Crisis Group menerbitkan laporan yang berjudul “ACEH: Post-conflict Complications”. Lembaga ini bermarkas di Brussels, Belgia. Para petingginya rata-rata mantan kepala negara dan intelektual. Kerja lembaga ini melakukan analisis berdasar laporan dari lapangan dan melakukan high-level advocacy untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berdarah yang mematikan. Laporan-laporan analitis itu juga dilengkapi sejumlah rekomendasi kepada para pengambil keputusan.

Demikian pula isi laporan nomor 139 setebal 15 halaman itu. Analisis terhadap perkembangan situasi politik dan keamanan di Aceh pasca Helsinki. Namun alih-alih membeberkan analisis berimbang yang dilengkapi laporan akurat dari lapangan, sebagian besar isi laporan ini memuat kritik tajam terhadap petinggi GAM yang kini menjadi kepala pemerintahan di daerah-daerah. Termasuk kepada petinggi Komite Peralihan Aceh (KPA), bekas kombatan, dan BRA yang juga dipimpin bekas petinggi GAM.

Menurut lembaga ini, “Meskipun pemerintah Yudhoyono dan banyak kalangan di Jakarta melihat hal ini sebagai sebuah cerita yang berakhir dengan happy ending banyak warga Aceh yang menganggap hal ini hanya sebagai istirahat sementara dari sebuah konflik yang tidak dapat dielakkan akan terjadi lagi.”

Ada sejumlah alasan yang menjadi dasar konflik bakal ‘sulit dihindari’ dan menjadi ‘bom waktu’. Antara lain, perilaku dan kebijakan sejumlah pejabat GAM yang memenangi pemilihan kepala daerah. Lalu tingkah mantan kombatan GAM. Ini yang menjadi salah satu munculnya bentuk pesimisme baru. ICG secara tegas menyimpulkan rakyat Aceh telah keliru memberikan dukungan suara. Para pemilih telah memilih pengganti “elite korup yang satu dengan yang lain.”

Lewat kemenangan dalam pemilihan kepala daerah, para petinggi GAM dinilai mendapat keuntungan dalam sejumlah proyek, bantuan, dan pekerjaan lewat pola patronase yang luas hingga ke daerah-daerah di Aceh. Sebaliknya, bekas anggota biasa kurang mendapat perhatian sehingga memicu kemarahan dan konflik antar mantan kombatan gara-gara uang.

Sedangkan bekas panglima gerilyawan Muzakkir Manaf, pada bab Political Developments disebutkan, cenderung lebih mementingkan perusahaan jasa kontruksi yang dipimpinnya ketimbang aktivitas dan program-program politik dan tak mempedulikan kebutuhan para kombatan.

Meski demikian ICG berpendapat, “Terlalu dini untuk menyimpulkan dampak dari uang dan pengaruh terhadap pemilihan legislatif di tahun 2009 di mana GAM berambisi untuk menguasai kursi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).”

Keprihatinan lain yang disebutkan ICG adalah soal aksi pemerasan, perampokan dan illegal logging yang melibatkan para mantan anggota GAM. Persoalan ini diuraikan dalam bab Problems Involving Ex-Combatants

Salah satu contoh pemerasan yang diungkapkan dalam laporan ini terjadi pada Januari 2007 yang dilakukan anggota KPA di Aceh Utara. Dalam pertemuan dengan para keuchik atau kepala desa, anggota-anggota KPA menuntut pemotongan dana sebesar Rp 13 juta dari setiap kampung atas proyek-proyek bantuan. Alasannya, uang itu untuk membangun monumen bagi para kombatan yang tewas di masa konflik.

Di bab Reintegration, laporan ICG mengulas permasalahan reintegrasi yang berlarut-larut. Selain mengungkapkan adanya petinggi KPA yang menolak memberikan bantuan kepada para perempuan, ICG juga mempertanyakan bantuan kepada 3000 mantan kombatan yang kemungkinan tumpang tindih antara program BRA dan lembaga-lembaga donor seperti International Organization for Migration (IOM) dan pemerintah Jepang.

Program rumah bantuan bagi korban konflik tak luput dari kritik ICG. Sebab, akuntabilitas dana bantuan dari BRA yang didistribusikan lewat para camat amat rendah. Seleksi penerima bantuan juga amat kabur. Banyak rumah bantuan yang selesai dibangun tapi tidak dihuni akibat tak ada jaringan listrik, air bersih bahkan lantai rumah.

Tahun 2007, di bawah kepemimpinan Djuli, BRA memiliki tanggung jawab untuk membangun 13.000 rumah korban konflik dengan total anggaran mencapai Rp 250 miliar. Secara teknis, dana miliaran itu mesti habis dibelanjakan paling lambat 25 Desember 2007. Namun hingga laporan ICG dirilis, dari 13.000 rumah satu pun belum dibangun.

ICG memperkirakan program pembangunan rumah tersebut dengan cara "swakelola" yang diluncurkan BRA merupakan lumbung uang yang bakal diincar para kontraktor yang dipastikan punya jaringan kuat dengan GAM. Alasannya, “Karena kekuasaan GAM pada sektor ini adalah realitas politik baru di Aceh saat ini.”

Walhasil, ICG menyimpulkan, “program reintegrasi yang awalnya dimaksudkan untuk membantu para mantan anggota tempur GAM secara ekonomi telah dinodai oleh tujuan yang tidak jelas, serta kurangnya strategi dan keabsahan akuntabilitas.”

Persoalan lain yang juga dianggap kritis dan dimuat dalam laporan ICG adalah ketegangan antara Aceh dan Jakarta sehubungan pelaksanaan poin-poin nota Perjanjian Helsinki dan isi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Masalah ini dipaparkan dalam bab kelima berjudul “Tension with Jakarta”.

Ketegangan ini berkaitan dengan kewenangan pemerintah Aceh yang tak sepenuhnya dipatuhi Jakarta, fungsi dan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang masih dominan, pelanggaran hak asasi manusia selama konflik yang belum ditindak, pembebasan tahanan GAM yang tersisa, dan masalah anggaran reintegrasi. ICG menyimpulkan, masalah yang belum selesai antara Aceh dan Jakarta merupakan “bom waktu” yang bisa menuai konflik baru.

Dari analisis dan data-data itu, ICG menyodorkan tiga belas rekomendasi agar “bom waktu” itu tidak meledak. Tujuh dialamatkan kepada pejabat-pejabat GAM yang duduk dalam pemerintahan Aceh dan KPA. Empat rekomendasi ditujukan ke pemerintah Indonesia. Sisanya kepada BRA.

Tujuh rekomendasi kepada GAM itu, antara lain meminta pejabat GAM agar tak sering-sering melancong ke Jakarta dan luar negeri, fokus pada pelayanan publik, mendisiplinkan anggota KPA yang melakukan tindak kriminal di Aceh Utara dan menyerahkan anggota mereka yang terlibat dalam kejahatan kepada polisi. ICG juga menyarankan petinggi GAM agar tidak mentoleransi anggota KPA yang menuntut bagian dari dana proyek. Pejabat dari GAM diminta meninggalkan praktik-praktik korupsi di masa lalu dengan memastikan prosedur tender proyek pemerintah dilakukan secara transparan.

Sedangkan kepada pemerintah Indonesia, diminta tidak memberi bantuan dana kepada kelompok-kelompok anti-separatis seperti milisi. Selain itu, pemerintah juga mesti mengusut dan mengadili oknum-oknum yang telah menjadi beking operasi illegal logging.

Rekomendasi kepada BRA dan para donor program reintegrasi antara lain agar mendatangkan auditor independen yang memiliki keahlian tentang Aceh untuk melakukan sebuah penilaian yang mendalam mengenai penggunaan dana-dana reintegrasi serta dampak ekonomi, sosial dan politik dari dana itu. BRA juga semestinya mulai mengembangkan sebuah rencana strategis, menetapkan standar konkret untuk tahun 2007 dan 2008.

“ADA AYAM BERTELUR, orang lain yang sakit pantat,” ujar Irwandi Yusuf.

‘Orang yang sakit pantat’ yang dimaksud Irwandi adalah mereka yang tidak senang dengan kemenangan GAM dan orang-orang GAM yang kini menduduki posisi penting dalam pemerintahan Aceh. Ungkapan itu juga dialamatkan kepada ICG. Laporan dan analisis yang dikeluarkan lembaga itu dinilai amat menyudutkan GAM.

Persoalan kian panjang karena laporan lengkap itu diterbitkan dalam bahasa Inggris sehingga mudah dibaca lembaga-lembaga donor dan kalangan internasional yang memiliki perhatian terhadap Aceh, misalnya saja Pieter Feith. Dan bukan mustahil bila analisis ICG yang memuat benih-benih konflik menjadi referensi utama bagi investor asing untuk menunda kerja sama investasi dengan pemerintah Aceh.

Perlu diketahui, setelah dilantik menjadi gubernur, Irwandi sibuk menerima kunjungan pejabat dan perwakilan dari luar negeri yang datang ke Aceh. Sebagian besar menyatakan berminat untuk menanamkan modalnya di Aceh. Beberapa kali ia juga melakukan kunjungan ke manca negara.

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan freelance asal Amerika Orlando de Guzman, Irwandi mengatakan, saat ini rakyat Aceh yang baru lepas dari konflik dan bencana tsunami seperti orang lapar. Sehingga yang menjadi prioritas pemerintahannya saat ini adalah memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Wawancara itu dimuat dalam film dokumenter berjudul Aceh: After the Wave yang diproduksi FRONTLINE dan disiarkan kantor berita Public Broadcasting Service (PBS).

Irwandi berambisi menggenjot pertumbuhan ekonomi Aceh lewat masuknya investor-investor asing ke Aceh.  Beragam jalur dimanfaatkan Irwandi. Tak terkecuali dalam konferensi internasional tentang perubahan iklim di Bali yang digelar pertengahan Desember 2007. Di sana ia ikut mempromosikan rimbun dan hijaunya hutan Aceh dalam perdagangan karbon internasional guna mengurangi problem perubahan iklim.

“Yang ditulis ICG seolah-olah semua proyek diberikan kepada GAM. Tapi berapa orang sih, berapa biji sih yang benar-benar didapat oleh GAM. Kalaupun dapat itu juga melalui tender resmi. Yang menang tender itu, dia juga lewat aturan yang wajar. Nggak ada yang memaksa-maksa, dan banyak yang gagal daripada yang berhasil tendernya. Tapi kenapa ketika ada satu dari GAM menang tender yang lain jadi ribut?” ujar Irwandi kepada saya.

Saya mengkonfirmasi Sidney Jones terkait masalah ini melalui surat elektronik. Jones adalah adalah direktur proyek ICG untuk Asia Tenggara. Kantornya di Jakarta. Ia kerap membuat laporan analitis terhadap terorisme di Asia Tenggara dan potensi-potensi konflik di Indonesia, terutama di Aceh, Papua, Poso, dan Maluku. Ia juga pernah menjabat direktur Human Rights Watch wilayah Asia selama kurun 1989-2002. Jones membantah jika laporannya disebut menyudutkan GAM.

“Di mana bias-nya? Kalau aksi kriminal senjata dan pemerasan oknum KPA terhadap NGO, pengusaha dan lain-lain adalah fakta. Dan kami dengan jelas bilang bahwa GAM bukan pelaku satu2nya. Hanya, sekarang bahwa GAM sudah menguasai pemerintah baik ditingkat propinsi maupun kabupaten, harus lebih bertanggungjawab atas aksi anggotanya mereka sendiri,” jawab Jones dalam surat elektroniknya kepada saya.

Bahkan dalam wawancara dengan bahasa Indonesia yang dilakukan Radio Nederland Wereldomroep, Sidney Jones mengatakan GAM saat ini mirip Golkar yang dikenal lihai menerapkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

“Saya kira bukan soal korupsi saja. Ini lebih bersifat semacam jaringan patronase. Jadi bukan selalu GAM yang melakukan sesuatu yang tidak sah. Ada juga sekarang ini, seperti dulu KKN. Ada teman-teman yang dikasih jabatan. Sekarang ada mutasi yang luar biasa di tingkat pemerintah daerah, di mana orang-orang yang dekat dengan GAM dikasih jabatan, persis seperti Golkar sebelumnya,” kata Jones dalam wawancara yang disiarkan 9 Oktober 2007.

Lebih lanjut Jones berargumen, ini disebabkan beberapa petinggi GAM yang betul-betul ingin berbuat baik untuk masyarakat Aceh yang kurang memiliki pengalaman dalam pemerintahan.

“Mereka enggak tahu bagaimana caranya, kecuali pakai taktik-taktik masa lalu,” kata Jones menambahkan.

Tapi bukan cuma  Irwandi yang merasa gerah terhadap laporan ICG. Soal tren kejahatan dan perampokan bersenjata yang banyak terjadi di pesisir timur Aceh, Nur Djuli menganggap ICG telah menyamakan bekas kombatan dengan penjahat. Padahal laporan-laporan dan pelaku yang terlibat kejahatan itu mesti dibuktikan hingga ada putusan di meja hijau. Di samping itu, tidak sedikit aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian maupun TNI terhadap warga dan bekas kombatan. Sayangnya, ICG tak memuat rekomendasi agar aparat yang terlibat melakukan kekerasan diberi sanksi tegas.

“Ini salah satu ketidakprofesionalan ICG. Jangan hanya memukul rata bahwa kriminalitas itu perbuatan eks kombatan. Jangan enak saja bilang ini orang GAM. Harus ada basisnya, jangan hanya bilang. Saya tidak terima itu!” kata Djuli kepada saya.

“Siapa saja, bukan hanya eks kombatan, kalau dia lapar, istrinya lapar, anaknya lapar, kerja tidak ada, larinya ke mana? Kalau berani dan ada alat, ya merampok. Mencuri. Kalau tidak mencuri ya menipu. Jadi ini persoalan yang di luar dari persoalan badan reintegrasi,” katanya, lagi.

Mereka yang menjadi anggota GAM, kata Djuli berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Ia tidak menafikan bahwa masing-masing anggota juga memiliki motivasi dan kepentingan yang berlainan. Ada yang idealis. Tak sedikit yang oportunis.

Yang idealis  adalah mereka yang menjadi pejuang namun setelah perjanjian damai masih tabah hidup menderita. Di antara mereka ada yang kecewa dan marah, tetapi bukan marah kepada masyarakat. Melainkan kepada pemimpin mereka.

Sedangkan mereka yang oportunistis itu adalah yang sudah kerap melakukan aksi kriminal di masa konflik. Mereka ini sulit berubah. Mereka tetap akan melakukan tindakan kriminal di masa sekarang.

“Tapi saya pikir ini tanggung jawab semua. Pemerintah Jakarta, pemerintah Aceh, BRA. Karena kita bilang kepada pejuang (para kombatan), ‘Turun kamu dari hutan, dari gunung nanti saya kasih uang, saya kasih kerja, saya kasih tanah. Hancurkan senjata kamu’. Oke, mereka sudah hancurkan senjata. Sekarang mereka bertanya, ‘Mana uang saya? Mana kerjaan saya? Mana tanah saya?’ Nah inilah inti dari perdamaian ini. Tapi peace dividend ini belum mereka dapat,” ujar Djuli.

Meski demikian, Djuli membenarkan beberapa hal yang tercantum dalam laporan ICG. Terutama soal lemahnya upaya petinggi GAM dan KPA dalam mengorganisasi dan membina bekas kombatan untuk memiliki pendapatan setelah kembali ke kampung masing-masing.

“Ini memang membuat saya sangat kecewa, tidak ada. Kalaupun ada sedikit sekali eks kombatan yang sudah disantuni. Oke mereka ada yang sudah diberi uang sekian. Tapi memberi uang kepada orang yang baru turun dari gunung, yang skill-nya hanya menembak, kalau dia umur 20 tahun masuk gunung masuk hutan dan keluar umur 30 tahun, maka dia tidak punya skill. Dan dana kompensasi ini hanya untuk membeli baju istrinya, merehab rumah. Ini-itu memang perlu. Tetapi setelah itu apa? Orang itu kan mesti kita train kembali untuk memegang kerja-kerja sipil supaya dia tidak kembali memegang senjata. Nah, dalam hal ini ICG betul.”

Djuli juga setuju dengan rekomendasi ICG agar penggunaan miliaran dana pada lembaga yang ia pimpin segera diaudit. Audit dimaksudkan untuk mendeteksi penyimpangan dan penyelewengan dana sekaligus memperbaiki akuntabilitas dalam program reintegrasi di lapangan. Sebab sejak dibentuk penggunaan keuangan di BRA belum pernah diaudit. Terlebih lagi lembaga ini juga menghadapi aneka keluhan korban konflik. Sebagai contoh, pada pertengahan Desember 2007 lalu ratusan korban konflik di Bener Meriah mendatangi kantor DPRD Aceh. Mereka menuntut pengembalian sisa dana bantuan rumah yang dipotong lebih dari 50 persen.

Djuli menampik dugaan adanya penyimpangan dana dalam pembangunan rumah bantuan bagi korban konflik di Bener Meriah itu. Itu sebabnya, ia mengundang lembaga-lembaga mana pun termasuk pers untuk mengecek pembukuan BRA. Ia berkata, “Jangan mengambil konklusi ada penyelewengan sebelum melihat buku akunting BRA.”

Ia juga menolak jika lembaganya dituding bekerja lamban dan tak becus dalam mengurus penyaluran dana reintegrasi.

“Kesulitannya di pemerintah pusat. Sekarang, dana tambahan untuk 2007 sekitar Rp 400 miliar menurut sistem keuangan negara mesti dihabiskan pada 15 Desember. Nah, sekarang tanggal berapa? Dan sampai sekarang uangnya belum saya terima. Di mana tersangkutnya, saya tidak tahu. Birokrasi untuk pekerjaan adhoc dan emergency yang kami tangani masih menggunakan birokrasi normal. Padahal kami tidak membangun rumah dalam waktu semalam,” ujarnya kepada saya.

“SEBAGAI KORBAN konflik, damai belum kami rasakan. Keadilan bagi korban belum terpenuhi,” kata Rukaiah.

Ia adalah ketua Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KKPHAM) Aceh Besar. Adiknya, Muhamad Amir, tewas pada Agustus 2001 ketika pemerintah Indonesia menetapkan darurat sipil di Aceh. Kini ia menuntut hak keadilan hukum, ekonomi dan sosial, bersama ratusan janda dan anak yatim korban konflik yang ada di Aceh Besar.

“Kalau KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan pengadilan HAM tidak terwujud, perdamaian Aceh tidak akan abadi. Karena tiap kekerasan di masa DOM (daerah operasi militer), DM (darurat militer) yang sudah mengakar bisa terulang lagi. Karena tidak ada kepastian hukum. Siapapun yang melakukan pelanggaran HAM, entah TNI entah GAM, pokoknya siapapun harus bertanggung jawab. Dan negara jelas juga bertanggung jawab atas konflik di Aceh,” kata Rukaiah.

Analisis ICG juga menyinggung soal tekanan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelidiki pelanggaran HAM masa lalu. Namun lembaga ini melihat TNI akan sulit menyetujui penyelesaian hukum lewat dua mekanisme itu karena mereka meyakini KKR di Aceh akan berpihak. Anggota mereka diproses pidana, sedangkan anggota GAM menikmati amnesti. Sebaliknya, ada kalangan GAM yang enggan pelanggaran yang dilakukan GAM dibuka kepada publik. Jaminan obyektivitas dalam penyelesaian hukum ini, menurut ICG, jadi tantangan besar.

Saya kembali mengkonfirmasi Sidney Jones soal sikap ICG sehubungan masalah penyelesaian hukum yang dituntut Rukaiah dan korban konflik lainnya.

“Apa menurut Anda masa depan perdamaian di Aceh bisa bertahan lama tanpa ada penyelesaian hukum atas pelanggaran HAM di masa lalu?”

“Tidak. Menurut saya masalah pelanggaran HAM harus ditangani, tapi kapan dan bagaimana sebaiknya ada pertanyaan penting.”

Berdasar penelitian ICG di lapangan, apabila tuntutan yang menyangkut keadilan bagi korban pelanggaran HAM ini tidak dikabulkan akan menjadi bibit konflik baru. Anehnya,  dari 13 poin rekomendasi ICG yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia, pejabat GAM maupun BRA, tak satu pun yang menyebut pentingnya pembentukan KKR sebagai usaha penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM di Aceh.

Asiah Uzia, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (KONTRAS), memprotes sikap ICG ini. Semestinya, sebagai lembaga internasional yang menjalankan misi mencegah konflik di belahan dunia, termasuk Aceh, ICG juga ikut mendorong upaya penegakan hukum ini. ICG sepantasnya mendorong terlaksananya kepastian hukum bagi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang membutuhkan perhatian banyak pihak.

“Sangat disayangkan kalau laporan ini tidak ikut melihat sisi penegakan hukum yang masih belum menunjukkan perubahan meski kondisi Aceh sudah damai,” ujar Asiah kepada saya.

Pembentukan KKR dan Pengadilan HAM adalah salah satu mandat yang ditegaskan dalam Perjanjian Helsinki.

“Tanpa adanya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu bagaimana menghapus penderitaan korban? Bagaimana menghilangkan sakit hati? Dendam? Saling curiga? Tanpa itu pelanggaran HAM yang sama akan terjadi lagi di masa mendatang dan pelaku tidak pernah merasa jera karena menganggap dirinya kebal hukum,” ujar Asiah.***

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang