Negara Bagian Ternate

TM Dhani Iqbal

Wed, 21 November 2007

Di hadapan Soekarno dan Hatta, Sultan Ternate ke-47 Muhammad Jaber Syah setuju menyokong berdirinya negara Indonesia asalkan berbentuk federasi.

SYAHRINNISAD ingat ketika ayahnya berdiskusi dengan Soekarno dan Hatta.

“Mereka bicara dalam bahasa Belanda. Ayah saya ditanya Sukarno, ‘jadi Pak Sultan mau bergabung dengan republik?’ Ayah saya bilang, ‘maaf saja, saya mau republik, tapi sistemnya federal.’ Tapi Hatta bilang, jangan dulu federal, nanti saja belakangan’,” tuturnya.

Menurut Ibu Rini, begitulah ia biasa dipanggil oleh orang-orang sekitarnya, konsep negara kesatuan bagi Hatta merupakan siasat. Setidaknya bersifat sementara. Negara yang baru berdiri akan sulit bertahan jika langsung menerapkan sistem federasi.

“Lalu ayah saya bilang, oke,” katanya, lagi.

Ia adalah kakak kandung Sultan Mudaffar Syah, Sultan Ternate ke-48 yang berkuasa sejak 1975 sampai sekarang. Ayah mereka, Sultan Muhammad Jaber Syah, merupakan sultan Ternate ke-47.

Wacana tentang federalisme ini sempat muncul beberapa tahun lalu, tepatnya pasca Soeharto. Namun, entah kenapa, gagasan ini dianggap buruk dan mengancam persatuan serta kesatuan negara Indonesia. Konsep negara kesatuan dianggap sudah final. Federalisme dianggap bentuk pengkhianatan terhadap ide pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pagi itu, ketika saya mengunjunginya, istana kesultanan Ternate tampak lengang. Tak terlihat kehidupan di halaman istana. Tiga bendera berkibar kencang di tiangnya oleh tiupan angin laut. Tiga warna: kuning, merah-putih, hitam. Yang pertama adalah bendera kesultanan Ternate, yang kedua bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan yang terakhir merupakan identitas persatuan dari empat kerajaan yang ada di Maluku Utara, yakni Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan.

Suasana sepi semakin menjadi ketika saya naik ke teras kadatong (dalam bahasa Ternate istana disebut kadatong). Jarak kadatong ke tepi laut hanya sekitar seratus meter. Ketika mata memandang lurus ke depan, pulau Halmahera tampak memanjang ke kiri dan pulau Tidore memanjang ke kanan. Angin laut yang menerpa ini seolah angin yang sama di ratusan tahun silam.

Di ruang depan kadatong, sejarah itu seperti bayangan yang berhenti di hadapan saya. Di setiap sudut ada cinderamata dan juga upeti dari negeri-negeri jauh dengan tahun yang cukup tua. Sebut saja perisai, baju, tembaga, dan topi dari Portugis (1510); tongkat dari kerajaan Sulu, Sabah, dan Mindanao (1610); topi perang dari Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1618); helm dan pedang dari Gubernur Mc Kenzie (1715); kelapa kembar dari Raja Sangir (1750); kelewang dari Gubernur Jenderal Van Der Capellen (1815); atau cermin dan lampu-lampu dari Raja Willem III Belanda (1840).

Tepat di sudut dekat pintu penghubung antara ruang ini dengan ruang keluarga, terpampang simbol kesultanan Ternate: Gatuba Madopolo.

Gatuba Madopolo tak lain seekor burung garuda warna emas berkepala kembar dengan gambar hati berwarna merah di dadanya. Simbol burung garuda ini mirip dengan burung garuda yang jadi lambang negara Indonesia. Namun, burung garuda republik berkepala tunggal. Perbedaan yang lain lagi adalah di kaki burung garuda Indonesia ada untaian kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”, sedangkan di kaki garuda Ternate tertulis “Limau Gapai” yang artinya Satu Kota Yang Tertinggi. Simbol garuda ini dibuat sejak masa Kerajaan Moloku Kie Raha pada tahun 1322.

Suasana sunyi pelan-pelan pupus ketika saya masuk ke pendopo. Di sana sejumlah anak perempuan sedang bersiap menari. Mereka tertawa dan melompat-lompat gembira. Belakangan saya tahu kalau pendopo itu memang jadi tempat latihan menari bagi warga sekitar.

Saat saya memperhatikan anak-anak itu, dari sebuah lorong muncul perempuan tua berbaju terusan panjang putih dengan motif bunga. Jalannya tertatih. Punggungnya bungkuk. Wajahnya putih, bersih. Ia kelihatan berseri untuk perempuan yang kemudian saya ketahui berusia 76 tahun. Seorang perempuan memegangi tangannya, menuntunnya melangkah.

Sebenarnya tak ada yang mencolok dari perempuan ini. Tapi entah kenapa, saya menduga ia pastilah “seseorang”.

Dan ternyata benar. Orang-orang di sekitar saya tak menunggu lama untuk menghampirinya. Mereka membungkuk hormat dan menciumi tangannya, termasuk sejumlah abdi istana atau maco’o dalam bahasa Ternate, yang sedari tadi duduk-duduk di sekitar pendopo.

“Orang Ternate itu pertama kali dipengaruhi oleh Cina,” ujar Syahrinnisad saat saya mulai bertanya-tanya tentang sejarah Ternate.

“Bahkan arsitek istana sultan Ternate ini adalah orang Cina. Tapi namanya saya lupa. Hong atau Cong,” lanjutnya.

Jari telunjuknya kemudian mengarah lurus ke depan, ke belakang Istana. “Waktu saya masih kecil, saya sering bermain di rawa-rawa. Di sana ada kuburan orang Cina,” ujarnya.

Ia lantas diam sejenak. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat melihat pekarangan belakangan istananya itu, sesuatu yang tentu sudah dilihatnya berpuluh-puluh tahun dan menjadi saksi banyak peristiwa di sini.

“Dan 250 tahun sebelum Nabi Isa lahir, sudah ada perjanjian dagang antara Halmahera Utara dengan Melanesia. Apalagi jika dilihat dari bahasanya, bahasa Ternate ada hubungannya dengan filum Papua,” tuturnya, penuh semangat, seakan sejarah ribuan tahun itu baru terjadi kemarin.

Ternate memang mendapat pengaruh dari banyak bangsa. Tak hanya pengaruh Tiongkok, tetapi juga dari Melayu. Bahkan, di daerah selatan, dekat pasar, ada sebuah benteng yang bernama Benteng Melayu. Menurut Rini, benteng ini didirikan orang-orang Melayu yang datang untuk berdagang cengkeh. Tapi pada tahun 1605, Belanda masuk dan merebut benteng tersebut sekaligus merenovasinya. Namanya pun kemudian diganti menjadi Benteng Force Orange.

Hingga saat ini benteng tersebut masih tegak berdiri. Meski jumlahnya tidak lagi utuh, meriam-meriamnya masih banyak bertebaran di setiap sudut. Rata-rata menghadap ke laut. Agaknya benteng ini dijadikan penghadang bagi kapal-kapal musuh yang hendak memasuki Ternate. Dulu posisi benteng ini memang berbatasan langsung dengan laut lepas. Namun kini di depan benteng terdapat perumahan dan jalanan hasil reklamasi.

Benteng Melayu atau Benteng Force Orange bukanlah satu-satunya benteng di Ternate. Di pulau kecil ini masih banyak benteng lain yang bertebaran. Menarik memang, karena sepertinya Portugis atau Belanda membutuhkan banyak sekali benteng untuk menaklukkan kerajaan yang secara geografis berada di pulau yang sangat kecil. Sebagai perbandingan, hanya dibutuhkan waktu sekitar 40 menit dengan perjalanan mobil untuk mengeliling seluruh pulau ini.

Di tempat yang tak begitu jauh ada sebuah benteng yang bernama Benteng Santa Lucia atau Benteng Tolukko. Benteng ini dibuat oleh Fransisco Serrao, orang Portugis, pada tahun 1512. Dari atas benteng ini Pulau Halmahera terlihat memanjang dari tengah ke kiri dan Pulau Tidore memanjang dari tengah ke kanan.

Benteng Tolukko dibuat dengan ketinggian mencapai 620 sentimeter dari atas lembah dan 11 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 1692, sultan Ternate bernama Tolukko merebut benteng ini dan mengganti namanya dengan nama dirinya.

Selain itu ada juga benteng-benteng lain yang dibuat oleh Portugis, seperti Benteng Nostra Senota Del Rosario pada tahun 1512 dan Benteng Santo Pedro pada tahun 1522. Selain itu, Belanda juga turut membuat benteng, misalnya Benteng Kalamata pada tahun 1629.

“Yang terkenal sesudah Portugis adalah Benteng Kastela,” kata Rini. “Sesudah Portugis diusir, Sultan Baabullah tinggal di Kastela,” lanjutnya.

Meski sangat bersejarah, Benteng Kastela saat ini sangat tidak terawat. Temboknya bolong di sana sini. Bahkan ada masjid yang posisinya menjorok ke dalam kawasan benteng.

Di atas gerbang masuk benteng, simbol garuda berkepala dua kembali muncul. Dan di bawah patung burung itu, ada tulisan “Jou Se Ngofa Ngare”. Ini sebuah idiom yang tidak bisa diterjemahkan secara harfiah. Artinya, kira-kira adalah sultan dan rakyat menyatu. Banyak penduduk sekitar benteng yang memahaminya sebagai konsep penyatuan Tuhan dengan manusia.

Di benteng inilah sultan Ternate ke-25, Khairun, dibunuh Portugis pada tanggal 28 Februari 1570. Dan sejak itu pula Baabullah, putranya yang menjadikan Sultan Ternate ke-26, mengobarkan amarah yang luar biasa terhadap Portugis.

Sejak hari kematian Kahirun, Baabullah terus mencoba menyerang Portugis selama bertahun-tahun, termasuk mengisolasi benteng ini. Upayanya membuahkan hasil.

Pada tanggal 28 Desember 1575, Portugis menyerah. Tanggal bersejarah ini terukir di masing-masing sisi dari sebuah tugu yang terdapat di kawasan benteng Kastela. Portugis yang sudah berhasil diusir masih terus diburunya hingga ke Timor Timur dan Mindanao, Filipina.

Menurut Rini, Baabullah memang sangat terpukul dengan ulah Portugis yang membunuh ayahnya.

“Dan saat mengejar Portugis, Baabullah meluaskan daerahnya sampai ke selatan, seperti Selangor; ke utara seperti Brunei, Sambas, Kota Batu Filipina; ke barat seperti Makassar. Raja Goa bahkan melakukan kontrak perdamaian dengan Sultan Baabullah,” kisahnya.

Seiring bergulirnya waktu, muncul ide untuk mendirikan sebuah negara di kalangan pemimpin di kawasan nusantara yang tengah berperang melawan pemerintah kolonial Belanda. Termasuk Ternate. Jakarta, dulu bernama Batavia, adalah kota di mana para pemimpin dari berbagai wilayah bertemu dalam kepentingan sekolah.

“Dalam perjuangan Soekarno melawan penjajah, mereka ikut terlibat,” ujar Rini. “Seperti bapak saya, yang waktu itu memilih bergabung dengan Agus Salim karena kesamaan ideologi, yaitu Islam. Begitu juga dengan Hatta, yang sudah dikenalnya sejak bekerja di Bandung.”

Namun demikian, kesepakatan membangun negara baru bukannya tanpa komitmen. Meski hendak meleburkan diri, Ternate tidak mau kehilangan identitasnya.

“Ayah saya mengharapkan republik,” ujarnya. “Tapi sistemnya federal. Masing-masing urus dirinya sendiri. Kecuali tentara yang harus bersatu. Sebenarnya Soekarno sendiri mau federal. Tapi karena Van Mook (lebih dulu) bikin federasi, Soekarno akhirnya tidak mau.”

Seperti halnya Soekarno, Mohammad Hatta pun memahami kehendak dari Ternate ini.

Hatta memang mendorong terbentuknya federasi di Indonesia, yang kelak gagal dan membuat Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada tanggal 1 Desember 1956.

Ingatan Rini begitu tajam. Pertambahan usia seolah tak mengikisnya. Perempuan ini tak hanya saksi sebagian sejarah kesultanan Ternate, melainkan juga saksi bagaimana negara Indonesia didirikan.

Ia kemudian pamit untuk beristirahat.  Perempuan yang tadi berjalan bersamanya kembali memegangi tangannya, lalu menuntunnya berjalan menuju kamar dan lenyap di balik lorong yang menikung.***

*) TM Dhani Iqbal adalah kontributor Sindikasi Pantau di Jakarta. Ia Bekerja di Metro TV 

kembali keatas

by:TM Dhani Iqbal