Hotel Prodeo Hongkong

Fransisca Ria Susanti

Fri, 23 November 2007

Di Hong Kong, bui bukan tempat menakutkan. Para tahanan bahkan bisa memperoleh uang tambahan dan membuka rekening di bank.

LELAKI itu pulang sebentar ke flat kecilnya di Sham Shui Po, sebelum kemudian memutuskan menumpang bus yang membawanya ke Tsim Sha Tsui. Sebuah pisau dapur berada dalam genggamannya. Hari itu kalender di dinding menunjuk tanggal 31 Januari 2007.

Usianya 78 tahun dan ia tak punya keluarga, juga kerabat. Hong Kong di matanya bukan tempat yang ramah.

Turun dari bus, ia menyusuri pertokoan di sepanjang Tsim Sha Tsui, kemudian memutuskan masuk ke salah satu toko. Seorang perempuan duduk di meja kasir, terlihat bosan menunggu pembeli yang jarang mampir.

Mendadak lelaki tua dengan pisau dapur sepanjang 15 sentimeter itu mendekatinya. Lelaki itu mengatakan bahwa ia tengah melakukan aksi perampokan dan perempuan itu diminta segera menelepon polisi.

Alih-alih takut terhadap ancaman ini, perempuan itu justru tersenyum. Ia menuduh lelaki tua itu pasti sedang becanda atau barangkali ancaman itu muncul dari sisa mabuk semalam.

Tapi tentu saja lelaki itu tak main-main. Saat pisau teracung di dekatnya, perempuan itu baru sadar bahwa sosok tua di depannya itu sama sekali tak sedang bergurau.

Perempuan tersebut bergegas menelepon polisi. Namun kesigapannya menelepon petugas keamanan justru diragukan oleh sang pengancam. "Berkali-kali, ia menanyakan ke saya, apakah saya sudah menelpon polisi," ujar si perempuan, seperti diberitakan South China Morning Post (SCMP), mengisahkan kembali peristiwa yang tergolong jarang itu.

Lelaki nekad tadi bernama Tsang Win-on. Perbuatannya jadi headline pemberitaan di rubrik "City" SCMP pada bulan Agustus 2007.

Ia terpaksa menjadi perampok karena ia berharap penjara. Selama berbulan-bulan tunjangan kesejahteraan dari pemerintah tak ia dapatkan. Ia tak tahu harus mengadu ke mana. Ia juga tak tahu juga bagaimana cara bertahan hidup di usianya yang renta. Perampokan menjadi satu-satunya cara yang terlintas di benaknya. Bukan untuk hasil rampokan yang ia harapkan, melainkan hukuman di balik aksi tersebut.

Baginya tinggal di hotel prodeo jauh lebih nikmat dibanding menjadi gelandangan di jalanan Hong Kong tanpa kerabat dan uang tunjangan.

Di dalam penjara setidaknya ada orang yang mengurusnya. Ia tak perlu khawatir terserang hawa menyengat musim panas atau membeku karena udara musim dingin. Ia juga tak perlu takut kelaparan. Bahkan, jika tenaganya masih cukup kuat, ia bisa menyimpan uang di kantongnya karena pekerjaan apapun yang dilakukan di dalam penjara bisa memperoleh imbalan.

Tsang Win-on bukan satu-satunya warga di Hong Kong yang punya keinginan tersebut.

HONG KONG memiliki 28 hotel prodeo yang tersebar di Hong Kong Island, New Territories dan Kowloon. Masing-masing penjara tersebut dibedakan berdasarkan fungsinya.

The Correctional Service Department (CSD) mengaturnya berdasarkan status tahanan, jenis kelamin, maupun  tingkat kejahatan.

Laporan Human Rights Watch tahun 1997 menunjuk bahwa mayoritas tahanan dan narapidana di Hong Kong terkait kasus obat terlarang atau jaringan triad, selain juga masalah pekerja imigran tak berdokumen. Mayoritas berasal dari Tiongkok. Sebagian lagi berasal dari Vietnam, Pakistan, Filipina dan Indonesia.

Pesakit asal Indonesia didominasi perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Hong Kong.

Sony, begitu ia mengenalkan dirinya, adalah staf di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong yang telah lama berurusan dengan para tahanan. Ia berkisah bahwa para tahanan Indonesia yang berstatus non-PRT kebanyakan ditahan karena kasus narkoba atau kasus penipuan di sejumlah negara.

“Sekitar  15 tahun saya keluar masuk penjara untuk antar orang-orang tengok mereka,” ujarnya.

Usia Sony sekitar 60-an. Para petugas penjara di Hong Kong hapal namanya.

Lewat dia pula saya bisa masuk ke Tai Lam Centre for Women, Lai Chi Kok Correctional Institution, dan Chi Ma Wan Correctional Institution.

Tak gampang untuk masuk ke penjara-penjara tersebut. Jauh-jauh hari, orang yang berniat berkunjung harus mendaftarkan diri dengan mengirim foto kopi kartu identitas. Motivasi kunjungan  harus jelas dan relasi pengunjung dengan tahanan pun harus bisa diterangkan.

Saat kunjungan ke Lai Chi Kok, saya terpaksa berpura-pura jadi sepupu salah satu tahanan. Urusannya akan lebih rumit jika mengaku sebagai wartawan.

Saat itu saya hanya bertemu dengan seorang perempuan yang menolak disebut nama. Perempuan asal Banyuwangi ini terpaksa meringkuk di tahanan karena visa tinggalnya sudah habis. Lebih dari dua tahun ia berstatus overstayed atau izin tinggal habis.

Ia alpa mengurus visa kerjanya karena tengah dimabuk cinta dengan seorang lelaki Indonesia yang berkunjung ke Hong Kong sebagai turis, hingga lahir seorang bayi perempuan dari hubungan cinta mereka.

Saat bertemu perempuan itu, bayinya yang kini berusia setahun duduk di pangkuan saya. Ia menangis dan menolak bertatap mata dengan ibunya yang berada di balik kaca. Bocah perempuan itu tinggal di shelter KJRI selama ibunya berada dalam tahanan.

Adegan seorang ibu yang memegang intercom dari balik kaca dengan air yang meleleh di pipi membuat saya berpikir bahwa tempat tahanan di Hong Kong bukan tempat yang ramah. Terlebih di ujung sana seorang perempuan berseragam berkali-kali menunjuk jam di dinding untuk mengingatkan bahwa waktu kunjung tak lebih dari 15 menit.

Kesan ini kembali muncul saat saya mencoba datang sendiri ke Castle Peak Bay Immigration Centre di kawasan Tuen Muen. Di tempat tahanan milik imigrasi ini, saya  menengok seorang buruh perempuan asal Malang, Jawa Timur, yang ditahan selama enam bulan hanya gara-gara tak sengaja menyimpan kartu tanda penduduk atau KTP milik seorang warga Hong Kong yang ia temukan di jalan.

Saat ia dipecat oleh majikannya, KTP temuan tersebut dipakai sebagai “senjata” oleh sang majikan untuk melaporkannya ke polisi.

Di Tuen Muen saya bahkan gagal memberi pesanan Wiwik, nama tahanan tersebut, yang antara lain berupa pakaian dalam, pembalut perempuan, dan peralatan mandi. Petugas beralasan bahwa merek barang-barang yang saya bawa berbeda dengan merek barang yang diizinkan CSD.

Ketika saya membaca kriteria barang yang dizinkan dimiliki oleh tahanan, saya terkejut. Ternyata bukan hanya merek barang yang ditetapkan, tapi juga ukuran dan jumlahnya.

Pasta gigi, misalnya, hanya boleh merek tertentu dengan volume tertentu. Jika merek yang dimaksud sudah benar, tapi volume yang dibawa terlalu besar atau terlalu kecil, maka barang bawaan itu tetap harus kita bawa pulang kembali.

Kriteria barang yang boleh dibawa pengunjung untuk para tahanan ditempel rapi, disertai foto, dan dipajang dalam kotak pengumuman yang dilapisi kaca. Di situ, dari handuk, sabun, pasta gigi, pembalut perempuan, makanan ringan, pencukur jenggot, buku tulis, hingga rokok pun tercantum.

Saat saya berkunjung ke Chi Ma Wan Correctional Institution pada waktu berbeda, saya menemukan bahwa para perokok punya catatan di nametag-nya.

“Jika perokok, di bawah sini tercantum tulisan ‘smoker’. Ada ruang khusus untuk merokok,” ujar Sunaryati, perempuan asal Malang, yang menjalani vonis enam bulan penjara karena dituduh mencuri jam tangan milik majikannya, sambil menunjukkan nametag yang ada di dadanya.

Sunaryati bercerita kalau semua aktivitas di dalam penjara diatur dalam jadwal yang ketat. Mulai dari bangun pagi, makan, waktu istirahat, hingga tidur malam.

Setahun lalu, memasuki bulan Ramadhan, sejumlah tahanan beragama Islam di Tai Lam Correctional Institution mengeluh karena tak bisa menjalankan ibadah puasa. Kesulitan ini tak hanya dialami tahanan di Tai Lam, tapi seluruh tahanan di tempat lain di Hong Kong.

“Peraturan penjara mengharuskan kami makan pada pukul lima petang. Lebih dari itu, tak akan disiapkan makan,” ungkap Badriyah, perempuan asal Batang, Jawa Tengah yang dibui karena kasus overstayed

Mereka juga tak bisa menjalankan ibadah sholat lima waktu karena aktivitas mereka diatur ketat, kapan berada dalam ruangan atau sel dan  kapan berada di luar ruangan.

Mereka juga hanya diizinkan mengenakan baju yang diberikan oleh pihak penjara. Warna baju yang mereka kenakan menunjukkan status tahanan mereka. Baju dengan motif kotak-kotak putih-hijau menandakan bahwa kasus mereka masih dalam proses persidangan dan vonis belum ditetapkan. Sementara mereka yang mengenakan seragam korak-kotak putih-coklat sudah selesai masa sidang dan tengah menjalani hukuman dari vonis yang ditetapkan.

Badriyah mengatakan bahwa baju ini mereka kenakan seharian penuh. Esoknya, mereka baru ganti baju baru, tapi tetap dengan motif serupa. Tak ada jenis baju lain yang boleh mereka kenakan selama berada dalam penjara.

“Kami juga hanya mandi sekali dalam sehari,” ungkap Badriyah.

Dengan keterbatasan ini, sangat muskil mereka bisa menjalankan sholat dengan perlengkapan mukenah atau sajadah.

Seorang ustadz dari Surabaya yang sempat menengok dan mendengar keluhan ini, menganjurkan bahwa mereka tetap bisa menjalankan sholat dengan baju yang mereka kenakan.

Menariknya, di luar keterbatasan soal ibadah, pihak penjara memberikan keleluasaan soal hal lain. Di antaranya, para tahanan diizinkan mengirim surat kepada pihak keluarga, kerabat atau kawan via pos maksimal satu kali dalam sepekan. Para tahanan juga diberi akses perpustakaan dimana mereka bisa membaca buku dan majalah, bahkan bisa meminjam novel. Sejumlah buku dan novel yang ada di perpustakaan juga ada yang berbahasa Indonesia.

Jika hari Minggu atau kalender di dinding berwarna merah, maka para tahanan dibebaskan dari segala jenis pekerjaan dan piket serta dibolehkan membaca buku atau menonton televisi seharian atau berbincang dengan kawan-kawannya.

Keleluasaan lain yang unik adalah para tahanan diizinkan protes soal makanan. Sony, yang terbiasa mengantar tamu mengunjungi penjara, berkisah bahwa para tahanan Indonesia di Stanley Prison kerap protes soal makanan.

“Bukan karena makanannya tak enak, tapi mereka bosan dengan menu makanan Cina. Mereka minta ganti menu, yang minta kare (kari), atau jenis makanan lain,” kisahnya.

Stanley Prison adalah penjara khusus laki-laki yang penjagaannya tergolong paling ketat di antara puluhan penjara lainnya di Hong Kong. Ada empat penjara lain yang juga memiliki penjagaan seketat Stanley.

Stanley Prison berkapasitas 1714 tahanan dan memiliki lebih dari 800 staf dan penjaga. Mayoritas tahanan yang berada di Stanley terkait kasus berat, seperti perampokan, triad, transaksi narkoba, dan pembunuhan.

Di penjara ini pula hukuman mati kerap dijalankan sebelum kemudian pemerintah Hong Kong menghapuskan sama sekali hukuman tersebut pada tahun 1993.

Menurut Sony, kebanyakan lelaki Indonesia yang ditahan di Stanley terkait dengan kasus narkoba dan rata-rata menjalani hukuman di atas dua tahun. Para tahanan inilah yang kerap mengajukan permintaan aneh-aneh, termasuk soal ganti makanan.

Protes ini biasanya mereka sampaikan kepada pihak KJRI yang kerap datang berkunjung. Pihak KJRI kemudian menyampaikan permintaan ini secara tertulis kepada pihak penjara yang biasanya akan memenuhi permintaan tersebut.

Tahun ini KJRI meminta pihak penjara mengizinkan para tahanan muslim menjalankan ibadah puasa dan tampaknya bakal terwujud. Karena saat kunjungan terakhir ke Chi Ma Wan Correctional Institution  pada akhir Agustus 2007 lalu, Sony memastikan pada para tahanan Indonesia yang beragama Islam bahwa mereka bisa menjalankan ibadah puasa.

“Sudah ada izin untuk itu,” ujarnya.

Tetapi selain soal makanan, hal lain yang tak kalah menarik adalah soal uang tambahan. Hampir seluruh penjara di Hong Kong memungkinkan para tahanan mengumpulkan uang dari hasil keringat mereka. Mereka dibayar dengan hitungan upah per jam yang jumlah totalnya bisa mereka lihat dalam catatan akhir bulan.

Beberapa tahanan Indonesia di Stanley, menurut kisah Sony, bahkan sempat meminta dibukakan rekening di salah satu cabang bank nasional yang ada di Hong Kong.

EIDA adalah salah satu tahanan di Chi Ma Wan yang di mata kawan-kawannya dianggap punya penghasilan besar.

“Ia pegang dapur, bisa dapat lebih dari HK$300,” ujar Sunaryati yang sebelumnya berkisah bahwa ia mendapatkan upah HK$173 per bulan untuk aktivitasnya membikin amplop. HK$1 sama dengan sekitar Rp. 1.200.

Saat saya tanya, Eida yang masuk tahanan karena dakwaan pemalsuan dokumen ini malah menyebut angka HK$500.

“Saya bisa dapat hampir HK$500 setiap bulan,” ujarnya.

Eida yang juga berasal dari Malang ini mengatakan bahwa kerja sehari-hari yang ia lakukan adalah memasak untuk para tahanan. Tugas ini dianggap paling berat dibanding aktivitas mencabut rumput, membuat amplop, menjilid buku, atau mencuci yang semuanya memiliki patokan upah tersendiri.

Upah yang didapat biasanya akan diberitahu pada akhir bulan. Tahanan jadi mirip dengan pegawai yang menerima gaji bulanan. Bedanya, para pekerja berstatus tahanan tersebut tak bisa melihat langsung uang hasil keringat mereka dalam bentuk tunai.

“Kami hanya menerima catatan yang menginformasikan upah yang kami terima dalam sebulan. Catatan ini biasanya diikuti dengan daftar barang yang bisa kami pesan,” jelas Sunaryati.

Barang pesanan yang dimaksud adalah daftar barang seperti yang saya lihat tertempel di pintu masuk Castle Peak beberapa waktu lalu, yakni berbagai barang dengan merek dan volume tertentu.

Barang-barang pesanan ini biasanya akan diterima dua pekan kemudian, dengan ongkos pembelian yang secara otomatis akan dikurangkan dari upah bulanan yang diterima.

“Tapi, kami tak boleh menghabiskan upah kami untuk beli barang. Kami diwajibkan memiliki tabungan. Jadi setidaknya waktu keluar, meski sedikit, ada uang di tangan,” ungkap Sunaryati yang meyakinkan saya berkali-kali bahwa ia tak pernah mencuri jam tangan majikannya.

Data CSD menyebut bahwa unit industri yang mereka miliki, Correctional Services Industries (CSI), setiap hari mempekerjakan sekitar 7500 narapidana dan tahanan. Kebanyakan produk yang dihasilkan digunakan oleh departemen pemerintah atau yayasan.

Beberapa bisnis yang dikelola CSI, antara lain pembuatan pakaian, rajutan, produk kulit, jasa pencucian, penjilidan buku, pembuatan amplop, dan percetakan.

Waktu kerja empat jam ini juga tidak terus-menerus karena diselingi dengan makan siang. Para tahanan biasanya bangun pukul tujuh pagi. Setelah mandi dan sarapan, mereka diberi waktu jalan-jalan di luar sel hingga pukul sepuluh. Setelah itu, hingga dua jam kemudian, mereka bekerja pada masing-masing unit. Pukul 12 adalah jadwal makan siang, sebelum kemudian kembali bekerja dari pukul dua hingga empat petang.

Pukul lima petang makan malam sudah disiapkan dan pukul sepuluh malam semua tahanan harus sudah berangkat tidur.

Menariknya, banyak tahanan perempuan asal Indonesia yang saya temui di sejumlah penjara, bukan kali pertama menjalani hukuman tersebut.

“Ini kedua kalinya, saya berada di penjara,” ujar Retno Dewi. Ia asal Solo, Jawa Tengah dan saya temui di penjara Chi Ma Wan.

Perempuan berusia 27 tahun ini sudah pernah menjadi penghuni hotel prodeo selama lima bulan akibat kasus overstayed dan ganti nama. Pengadilan sebenarnya memvonisnya untuk hukuman sembilan bulan penjara, tapi kemudian ia mendapat pengurangan hukuman hingga empat bulan.

Setelah ia keluar dari penjara, pihak imigrasi Hong Kong memulangkannya ke Indonesia dengan membayari tiket pesawatnya. Namun selang beberapa waktu kemudian, Retno kembali ke Hong Kong dengan menggunakan nama lain. Tapi ia kembali ditangkap petugas dan ia terjerat kasus yang sama: overstayed dan sekaligus ganti nama.

“Kini saya menjalani hukuman 16 bulan penjara,” ujarnya. Retno divonis dua tahun penjara, tapi ia mendapatkan pengurangan hukuman.

Perempuan yang meninggalkan buah hatinya yang berusia usia tujuh tahun di kampung halamannya ini menyampaikan keadaannya dengan enteng.

“Saya udah tahu aturannya sekarang. Kalau nanti saya kena tangkap lagi untuk ketiga kalinya, saya bisa kena vonis tujuh tahun penjara,” ujar Retno.

Namun Retno memastikan bahwa ia tak ingin kembali ke penjara untuk ketiga kalinya. Ia berniat menikah dengan seorang duda asal Hong Kong yang selama ini menjadi alasannya untuk selalu kembali ke Hong Kong.

“Keluar dari sini, saya akan mengajaknya pulang ke kampung dan menikah di sana. Setelah itu, dia bisa mengajak saya untuk tinggal di Hong Kong,” ungkapnya.

Berbeda dengan Retno yang kena tangkap petugas, Rohmatun justru sengaja menyerahkan diri ke petugas.

“Saya sudah 6,5 tahun overstayed,” ujarnya.

Ia datang ke Hong Kong dengan visa domestic helpers, tapi kemudian dia memutuskan berhenti sebelum selesai kontrak.

Perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah, ini kemudian terlibat kisah asmara dengan seorang pemuda asal Nepal yang bekerja di Hong Kong, hingga menghasilkan seorang bocah lelaki yang kini telah berusia lima tahun. Ia bertahan hidup dengan hasil kerja kekasihnya hingga kemudian ia mulai panik ketika sang kekasih jarang pulang. Ia kemudian tahu bahwa kekasihnya telah  beralih pada perempuan lain.

Rohmatun kemudian memutuskan untuk melaporkan diri ke polisi dengan harapan bahwa ia dan anaknya bisa dideportasi ke Indonesia dengan ongkos pesawat yang bakal ditanggung oleh pihak imigrasi.

Hal semacam ini tak mungkin terjadi di Macau. Di negeri bekas jajahan Portugis yang hanya berjarak satu jam perjalanan dengan ferry dari Hong Kong tersebut, para pekerja migran yang habis visa tak akan dimasukkan penjara. Mereka biasanya hanya ditahan beberapa jam, setelah kena tangkap saat penggerebekan, dan diminta mencari uang sendiri untuk membeli tiket pulang.***

*) Fransisca Ria Susanti adalah kontributor sindikasi Pantau di Hong Kong.

kembali keatas

by:Fransisca Ria Susanti