Dari Blang Pante ke Buloh

Siti Rahmah

Fri, 30 November 2007

Dua anggota GAM, yang satu pemimpin pasukan dan yang satu pemasok senjata, bercerita tentang pengalaman di masa konflik dan perubahan hidup mereka di masa damai.

DULU ia menjabat komandan batalyon pasukan Teuntra Neugara Acheh (TNA) dan mengepalai empat kompi. Satu kompi terdiri dari 68 prajurit TNA. Artinya, ia memimpin sekitar 272 prajurit.

Kegiatan pasukannya macam-macam. Menghadang musuh. Mengatur suplai logistik. Senam pagi. Baris-baris. Tetapi latihan menembak justru kurang.

”Kami langsung turun ke lapangan. Kalau membidik kaki pasti kena kepala,” ujarnya, diiringi tawa.

Serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di persimpangan Blang Pante paling membekas di benaknya. Itulah pertempuran paling mengerikan yang pernah dialaminya.

TNI menggunakan helikopter untuk menggempur markas mereka. Ketika itu putrinya, Ismaul Husna, baru berusia lima hari.

“Saat insiden itu, saya tepat di bawah helikopter, Alhamdulillah saya dilindungi Allah dan selamat,” kenangnya.

Meski hampir dua tahun tak lagi memanggul senjata AK-47, tapi posturnya masih terlihat kekar. Otot-otot lengannya terlihat menonjol dan urat-urat lehernya pun kentara. Bertinggi badan 187 sentimeter membuatnya terlihat gagah. Usianya menginjak 33 tahun. Sekilas raut muka lelaki ini nampak seram apalagi didukung dengan kulitnya yang hitam legam. Namun kesan angker segera lenyap ketika mendengar ia berbicara diiringi canda.

Pertemuan saya dengan Petrus terjadi di desa Blang Pante, kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara pada pertengahan Mei 2007 lalu. Di masa konflik dulu desa ini termasuk salah satu basis Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Bentrok senjata antara GAM dan tentara Indonesia pun sering terjadi di sini.

Blang Pante berjarak sembilan kilometer dari pusat kecamatan Paya Bakong dan 25 kilometer dari jalan negara atau jalan raya beraspal. Dalam perjalanan menuju desa ini kita akan melewati kawasan Exxon Mobil, perusahaan asing yang menambang minyak dan gas Aceh. Perusahaan tersebut berdiri sekitar tahun 1978.

Kondisi jalan di sekitar kawasan Exxon Mobil mulus beraspal. Tetapi sekitar dua kilometer dari situ tak ada lagi jalan yang mulus. Sebagai gantinya, jalan berbatu dan berdebu itulah yang membentang di muka kita. Jalanan hancur ini melintasi 10 desa yang ada di kecamatan Paya Bakong. Angkutan umum pun tak melintas di sini. Warga desa mengangkut hasil kebun ke pasar dengan truk.

Kembali ke soal Petrus, nama lahirnya adalah Sunardi. Warga Paya Bakong menjulukinya Petrus, singkatan dari Penembak Misterius. Pada tahun 1980-an, ketika Suharto berkuasa, ia memerintahkan menembak mati pelaku kriminal, terutama orang-orang yang bertato. Banyak korban salah tembak. Mayat mereka ditemukan menggeletak di jalanan atau di suatu tempat tanpa diketahui siapa yang menembak. Penembaknya misterius dan dijuluki ”Petrus”.

Julukan ”Petrus” ini lebih populer ketimbang nama asli Sunardi. Anggota pasukannya bahkan memanggilnya, Ayah Trus.

Keterlibatan Petrus dalam pasukan GAM punya dua tujuan. Pertama untuk menuntut keadilan dan hak yang tidak pernah diperoleh orang Aceh. Kedua untuk membangkitkan syiar Islam yang mulai langka di tengah masyarakat Aceh.

Di masa konflik, Petrus termasuk orang yang paling dicari dan diintai TNI. Barangsiapa yang dapat membawa kepalanya akan diberi hadiah Rp. 150.000.000 ditambah satu unit rumah permanen siap pakai.

”Itu hanya kepalanya, belum lagi tubuhnya, bisa lebih ya.” Petrus terbahak-bahak.

Ketika kesepakatan damai ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM pada Agustus 2005 lalu, secara otomatis kehidupan Petrus berubah total.

Ia harus menyerahkan senjatanya kepada tim Aceh Monitoring Mission (AMM).

”Sering kali aku rindu dengan senjata, namun senjata sekarang sudah tidak ada lagi, sudah diambil dan dipotong-potong oleh pihak Peter Peit,” ucap Petrus, tertawa lalu kembali mengisap rokoknya. ”Peter Peit” yang dimaksudnya tak lain dari ketua AMM, Pieter Feith.

Namun, di masa damai ini ia sama sekali tak berminat terlibat dalam politik, seperti bergabung dengan partai lokal.

”Hal itu sudah menyangkut dengan politik dan negara. Sedangkan ilmu yang ada pada saya hanya ilmu perang. Tidak mungkin dibawa ke bidang politik. Jangankan untuk jadi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), untuk menjadi pak keuchik (kepala desa) pun saya tidak mau,” katanya.

TNA resmi dibubarkan pada 27 Desember 2005. GAM kemudian membentuk Komite Peralihan Aceh atau KPA. Komite inilah yang akan mengorganisasi semua mantan TNA, termasuk membantu mereka mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak.

”Waktu masih berperang dulu, setiap saya pergi ke warung kopi dan masyarakat melihat di tangan saya ada senjata, maka masyarakat langsung menghindar dan pulang ke rumah masing-masing. Karena masyarakat tahu, jika di tangan saya ada senjata pasti akan terjadi kontak senjata dan mereka takut setelah terjadi kontak senjata, otomatis mereka akan mendapat perlakuan yang tidak baik dari pihak TNI,” kenang Petrus ”Biasanya setiap ada kontak senjata, walaupun di pihak TNI tidak ada jatuh korban dan TNI tidak mendapatkan anggota GAM, sasaran selanjutnya adalah masyarakat,” lanjutnya.

Kini Petrus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan berjualan kartu telepon isi ulang dan menawarkan jasa pengetikan. Rata-rata pemasukannya per hari mencapai Rp 600 ribu sampai Rp 700 ribu. Dari situ ia memperoleh keuntungan sekitar Rp 40 ribu. Semua pekerjaan itu ia lakukan sendiri di kios yang disewanya Rp 600 ribu per tahun.  Ia memulai bisnis ini awal Maret 2007.

Dibanding anggota pasukannya, Petrus cukup beruntung. Teman-temannya masih banyak yang menganggur. Ia menghimbau kepada para komandan atau pemimpinnya yang kini telah berperan di pemerintahan agar menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang belum tentu arah hidupnya itu. Pengangguran bisa memicu kejahatan, dengan sasaran sesama warga bisa.

Modal usaha Petrus berasal dari tabungannya selama setahun, sedang sebagian lagi bantuan dari sana-sini. Ia menggunakan telepon seluler Nokia tipe 1112 untuk penjualan pulsa elektrik. Untuk usaha pengetikan, ia memperoleh bantuan laptop dari PT Bapco Kebun Pirak, sebuah perusahaan perkebunan yang beroperasi di desa Alue Bing, kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. Tak hanya itu,  ia pun mendapatkan handycam dari temannya yang berkerja di AMM. Handycam ini pula yang mendatangkan uang baginya ketika orang ingin pesta pernikahan mereka didokumentasikan.

BILA di masa konflik Petrus akrab dengan senjata, maka Syukurni adalah pemasoknya.

”Saya pernah mengumpulkan uang untuk membeli senjata, tetapi tidak pernah menggunakan senjata,” ujar lelaki ini, seraya tertawa.

Kebalikan dari Petrus yang tinggi besar, Syukurni bertubuh kecil. Kumis yang melintang di atas bibirnya tak menimbulkan kesan angker.

Di masa konflik dulu ia  memegang pembukuan dan logistik GAM di kecamatan Delima, kabupaten Pidie. Dana yang ia kumpulkan berasal dari warga, perusahaan-perusahaan di kecamatan Delima, kepala desa, dan camat setempat.

Saya menemui Syukurni di desa Buloh, tempat ia dan keluarganya tinggal. Tak beda dengan jalan ke Blang Pante, jalan ke Buloh sama gawatnya. Sepanjang dua kilometer penuh lubang. Di kanan-kiri jalan, sawah menghampar dan pohon asam jawa berjajar.  Buloh terletak di kecamatan Delima, kabupaten Pidie.

Ketika saya tiba di rumahnya, Syukurni tak ada. Saya memutuskan untuk menunggunya.  Mariati, istrinya, kemudian menghidangkan teh hangat dan keripik pisang.

Syukurni memang orang sibuk. Kegiatannya mulai dari mengurus organisasi macam Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sampai sepak bola. Untuk urusan bola, ia punya cerita panjang. Ia penggila bola sejak kecil. Kini ia menjabat panitia pelaksana devisi 1 Liga Indonesia 2007 sekabupaten Pidie.

Pada tanggal 4 Desember 2007 nanti ia akan berusia 48 tahun. Pendidikan terakhirnya di jurusan sejarah Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sebenarnya cita-cita Syukurni bukan jadi guru, tapi hakim. Tapi orangtuanya ingin ia jadi guru. Gara-gara orangtuanya tak sanggup lagi membiayai kuliah Syukurni, mereka pun memberinya modal berdagang kelontong. Itu kisah tahun 1982.

Tiga tahun kemudian, ia menikahi Mariati dan dikarunia lima orang anak. Empat laki-laki dan seorang perempuan. Anak sulungnya, Eka Sukma, berusia 20 tahun, sedang Reza Sukma si bungsu telah berusia 15 tahun.

Pada 1989 Syukurni beralih dari berdagang ke bekerja untuk orang lain. Sampai tahun 2001, Syukurni jadi pegawai hubungan masyarakat atau humas PT. Fajar Baisury,  perusahaan jasa konstruksi. Sesudah itu ia  menjabat kepala desa untuk tiga desa, yaitu desa Buloh, desa Reuba dan desa Glee. Di tahun 2000 wilayah kekuasaannya tambah luas. Ia diangkat sebagai kepala mukim Reubee yang membawahi 17 desa di kecamatan Delima.

Mayat-mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan yang dilihatnya saat ia bekerja sebagai humas di PT. Fajar Baizury telah mengubah hidupnya. Ia melihat ketidakadilan penguasa terhadap rakyat Aceh.  Ketika itu satu-satunya gerakan perlawanan hanya GAM. Ia pun memutuskan ikut GAM.

Syukurni makin tekun berpolitik. Pada 1999 ia menjabat ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Amanat Nasional (PAN) di kecamatan Delima. Ia sempat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari partai yang menempati urutan kedua terbanyak pendukungnya di kecamatan tersebut. Peringkat pertama dipegang Partai Persatuan Pembangunan.

Dengan suara yang diperolehnya, Syukurni layak dapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pidie. Tetapi ia ditelikung. Ketua Dewan Perwakilan Daerah PAN minta hak kursi itu diserahkan kepada DPC yang lain. Pengambilan keputusan tersebut dilakukan dengan cara aneh bin ajaib. Meski Syukurni sudah menang, tiba-tiba voting dilakukan.

”Kursi tersebut diberikan kepada orang yang tidak pernah melaksanakan dan ikut dalam pemilu (pemilihan umum) tersebut,” ujar Syukurni.

Ia sungguh kecewa. Ia jadi teringat kata-kata Tengku Abdullah Syafei, panglima GAM waktu itu, yang diucapkan dalam upacara pelepasan TNA di Glee Blang Mee, kecamatan Mila. Kira-kira begini ucapan Syafei: Lagee ta lahee bak ma teuh meu darah meunan cie’t, watee ta woe” bak po teuh Allah, beue meu darah beu teumeueng pahala syahid,” yang dalam bahasa Indonesia artinya, ”sebagaimana pada saat kita dilahirkan ibu kita berdarah, semoga pada saat kita kembali kepadaNya Allah berdarah pula.” Amien Rais, ketua PAN, malah berujar sebaliknya: “cukup sekali kita berdarah pada saat ibu kita melahirkan kita, jangan berdarah kedua kali pada saat kita kembali kepadaNya.”

”Dan terlihat jelas di sini bahwa orang Aceh lebih tahu cara hidup dan cara mati,” kata Syukurni.

Aparat keamananan menggeledah rumahnya pada 6 Juni 2003. Bukan cuma itu, mereka juga merampas telepon seluler dan dompetnya, lalu membawanya dengan truk. Di kantor Kepolisian Resot Pidie ia dipukul dan diceramahi. Pelakunya bukan petugas yang memeriksanya, melainkan siapa yang ia sebut “algojo”.  Ia kemudian dibawa ke Banda Aceh dan disidang sesudah 10 hari ditahan.

”Pak Hakim tanya, warga negara apa kamu? Langsung saya menjawab, warga Negara Indonesia. Apa saudara menyesal terlibat sebagai anggota GAM? Saya menjawab, sangat-sangat menyesal,”  kenangnya.

Di hari itu juga digelar sidang untuk para petinggi GAM, antara lain Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe, Tengku Amni bin Marzuki, dan Cut Nur Asikin yang dijuluki Srikandi Referendum.

Hakim memberikan pertanyaan yang sama kepada mereka. Berbeda dengan jawaban Syukurni, mereka menjawab bahwa mereka adalah warga negara Aceh Sumatera Merdeka. Lagi-lagi berbeda dengan jawaban Syukurni, mereka mengatakan bahwa mereka tidak merasa menyesal menjadi anggota GAM. Ketiga terdakwa ini termasuk juru runding pada Kesepakatan Perhentian Permusuhan atau Cessation of Hostility Agreement (CoHA) yang ditandatangani pada 9 Desember 2002.

”Di saat itulah hati saya pun kecut dan menyesal menjawab pertanyaan hakim, bahwa saya warga negara Indonesia dan sangat-sangat menyesal menjadi anggota GAM,” kisah Syukurni.

Ia divonis 20 bulan dan dijebloskan ke penjara Sigli sebelum dipindahkan ke penjara Keudah, Banda Aceh. Di Keudah ia bertemu Irwandi Yusuf, gubernur Aceh sekarang, yang juga mendekam di situ dan satu sel dengannya. Mereka berbagi sel selama hampir delapan bulan. Kepadanya dan tahanan lain, Irwandi mengatakan bahwa perdamaian bukan hal mustahil di Aceh.

Begitu damai datang, Syukurni makin yakin jalurnya di politik. Ia lantas bergabung dengan Partai GAM.

“Partai lokal harus dibentuk di Aceh karena sesuai dengan amanat MoU Helsinky. Partai yang dibentuk oleh GAM harus sesuai dengan hajat dari pihak GAM dan itu tidak bertentangan dengan MoU Helsinky,” katanya.

“Jangan sampai ada pihak-pihak yang menuduh bahwa itu lambang dari separatis, sebenarnya pada saat kita sudah berdamai tidak perlu lagi ada sebutan separatis. Kita ibaratkan pada saat kita sudah menikah secara sah menurut hukum, kemudian kita memiliki anak maka masalah nama dan baju yang dipakai ya terserah dari pihak yang melahirkan anak,” lanjutnya, bersemangat.

Sebagai orang BRA, ia ikut sibuk mengurus dana diyat yang diberikan untuk korban konflik yang meninggal dunia akibat perbuatan TNI, polisi, cuak (mata-mata), atau GAM. Selain itu, ia juga menangani proposal permohonan bantuan akibat rumah terbakar atau cacat akibat konflik, baik fisik maupun mental, narapidana politik dan tahanan politik.

Ia bersama kawan-kawannya sering turun ke lapangan untuk memeriksa apakah yang ditulis di proposal sesuai dengan kenyataan. Banyak proposal tak sesuai kenyataan. Tapi ada  pula korban konflik yang rumahnya terbakar atau cacat fisik malah tidak membuat proposal bantuan.

”Banyak masyarakat yang tidak tahu dari tahun berapa dihitungnya korban akibat konflik. Kebanyakan mereka mengira hanya di atas tahun 1990, padahal sejak tahun 1976 hingga MoU 15 Agustus 2005,” kata Syukurni. Hitungan tahun tersebut berdasarkan pendeklarasian GAM oleh Hasan Tiro pada 1976 dan sebagai balasannya, pemerintah Indonesia menggunakan kekuatan militer untuk membasmi GAM.

Bekerja di BRA tidak cuma membuatnya pusing oleh masalah warga, tetapi ia juga berhadapan dengan masalah internal BRA sendiri.

“Syarat-syarat untuk membuat proposal sering berubah-ubah. Sampai saat ini pihak BRA sangat kurang membuat sosialisasi kepada masyarakat. Rencana ke depan akan ada sosialisasi kepada masyarakat yang lebih intensif,” ujarnya.

Sampai sekarang masih banyak warga yang menunggu pencairan dana tersebut. Penerimanya dapat menggunakannya sebagai modal usaha atau untuk melanjutkan hidup. Setidaknya apa yang disebut Petrus alias Sunardi sebagai ”mereka yang belum tentu arah hidupnya itu” sedikit terbantu.***

*) Siti Rahmah bekerja di World Bank, Banda Aceh

kembali keatas

by:Siti Rahmah