“ABU Kamil,” ujar orang yang baru kukenal ini. Kemudian ia mengulurkan tangannya.

“Tadi pagi Pak Aswin bilang kalau akan ada tamu yang mau masuk ke dalam, dan saya disuruh menjemput Bapak, eh…siapa?” lanjutnya. Kusebutkan namaku sambil turut menyambut uluran tanganya. Ia lalu mempersilahkan aku untuk membonceng di motornya.

Tubuhnya cukup gemuk untuk ukuran seorang polisi hutan yang sering mondar-mandir ke hutan sebagai wilayah kerjanya. Seragam hijau tuanya terlihat agak sempit. Sepatu kulitnya yang mengkilap jadi sedikit mencolok untuk pekerjaannya di hutan.

Perkenalan yang singkat ternyata sudah cukup mengakrabkan kami.

“Kita akan masuk ke PLG (Pusat Latihan Gajah). Dari sini sekitar delapan kilo. Tapi sayang, jalannya sudah agak rusak,” ujarnya sambil terus mengendalikan motor di jalan yang berlubang.

Jalanan berbatu yang dibangun belasan tahun lalu kini menghadang perjalananku. Ini kedatangan pertamaku ke taman nasional Sebelat.

Kerikil-kerikil tajam yang berserakan kadang berhamburan dilindas ban motor yang kutumpangi. Di jalanan ini pengendara motor harus lebih barhati-hati. Selain berbatu tajam, kadang juga harus berhadapan dengan lubang lumpur yang menganga.

Kadang kami berpapasan dengan kendaraan-kendaraan lain, yang dinaiki petani-petani sawit yang pulang-pergi dari dan ke lahan mereka.

“Selain sawit, penduduk di sini menanam padi, ada yang menanam jeruk juga karet. Sekarang sedang musim duku,” ujar Abu Kamil. Suaranya kadang terdengar kadang tidak di sela-sela deru motor dan desau angin.

“Dulu sebelum menjadi polisi hutan, saya ini adalah pawang gajah,” lanjutnya.

“Apa betul gajah itu dapat mendengar orang yang mengejeknya, Pak Abu? Hingga ia kadang datang merusak ladang penduduk?” tanyaku.

Petani di daerah Bengkulu Selatan biasanya tidak mau menyebut kata ‘gajah’ kalau mereka sedang berada di hutan. Khususnya di kecamatan Kedurang, menyebut kata ‘gajah’ merupakan pantangan.

“Ha… ha… ha… mungkin memang iya, sebab menurut pelatihku dulu yang dari Thailand, gajah itu katanya sanggup mendengar suara bumi, jadi bisa saja ia tahu, kalau kita ada yang bermaksud mengejeknya,” jawab Abu Kamil.

Motor yang kami naiki terus melaju, kadang pelan, kadang cepat, tergantung permukaan jalan yang mendaki dan menurun. Menghindari lubang-lubang itu membutuhkan keahlian tersendiri. Akhirnya kami juga harus merelakan motor berhadapan dengan jalanan yang rusak berat dan harus mengatur strategi agar bisa lewat dengan selamat.

“Tunggu di depan saja, saya nggak berani kalau melewati lumpur di depan dengan membonceng orang.” Abu Kamil menyuruhku turun.

Hampir satu jam perjalanan. “Itu sudah kelihatan barak PLG kita,” seru Abu Kamil seraya menunjuk ke arah depan.

Dari kejauhan sudah terlihat deretan bangunan-bangunan berwarna hijau muda. Mirip rumah-rumah peristirahatan. Letaknya yang berada di pinggir tebing membuatnya terlihat jelas dari kejauhan dan mencolok mata karena kesendirian dan keunikannya di tengah hutan belantara.

AREAL  hutan Gunung Sebelat pada awalnya terhampar luas. Namun, seperti hutan-hutan wilayah Sumatera dan Kalimantan lainnya, luas hutan berangsur-angsur terkikis oleh aksi penebangan pohon yang dilegalkan sejak awal rezim Orde Baru berkuasa.

Pada  Mei 1967 pemerintah Soeharto menerbitkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Landasan penyusunan undang-undang ini sepintas amat mulia. Hal ini terlihat dalam butir ‘menimbang ‘ dalam undang-undang ini.

Untuk menjamin kepentingan rakyat dan Negara serta untuk menyelesaikan Revolusi Nasional diperlukan adanya Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang Kehutanan yang bersifat nasional dan merupakan dasar bagi penyusunan Peraturan Perundangan dalam bidang hutan dan kehutanan.”

Peraturan-peraturan dalam bidang hutan dan kehutanan yang berlaku sampai sekarang sebagian besar berasal dari pemerintah jajahan, bersifat kolonial dan beraneka ragam coraknya, sehingga tidak sesuai lagi dengan tuntutan Revolusi.”

Namun isi pasal dan penjelasannya menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menguasai hutan-hutan yang ada di luar pulau Jawa, menentukan jenis hutan, luas dan wilayah hutan penebangan. Hutan-hutan ini dibagi-bagi menjadi hutan lindung, produksi, suaka alam, dan wisata.

Saat itu pemerintah menetapkan 143 juta hektare sebagai kawasan hutan. Luas ini sekitar 74 persen dari luas keseluruhan daratan Indonesia. Bertahun-tahun kemudian, luas ini pun menyusut.

Dari sinilah bencana lingkungan di wilayah Indonesia dimulai. Di bawah Soeharto, hutan bukan lagi milik negara. Tapi milik keluarga. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diberikan kepada kerabat dan teman dekat. Salah satunya, Bob Hasan.

Bob Hasan bersama putra-putri Soeharto, Sigit Harjojudanto dan Siti Hardijanti Rukmana, menguasai saham dan menjabat posisi komisaris, komisaris utama dan direktur utama perusahaan pemegang HPH di Sumatera dan Kalimantan, misalnya perusahaan Barito Pasific.

Probosutedjo dan Sudwikatmono, adik tiri Soeharto, juga menguasai saham-saham di perusahaan pemegang HPH. Di Bengkulu, Ibnu Hartomo, ipar Soeharto, menjadi  presiden komisaris dan salah satu pemilik saham di PT Maju Jaya Raya milik Alas Kusuma Group. Perusahaan ini termasuk pemegang HPH terbesar. Ia menguasai lahan hutan seluas 80,000 hektare di sana.

Bertahun-tahun mereka memangkas hutan Sumatera dan Kalimantan. Belakangan diperparah dengan perluasan perkebunan sawit lewat pembakaran hutan.

Berkurangnya luas hutan mempengaruhi habitat hewan liar, termasuk gajah Sumatera di hutan Gunung Sebelat. Hewan ini kehilangan tanaman dan buah-buahan di hutan yang menjadi gudang makanannya.

Gajah makin sulit mencari makanan. Belakangan gajah-gajah mencari makan ke kebun-kebun penduduk. Alih-alih mendapat perlindungan, hewan berbelalai itu malah dinyatakan sebagai satwa pengganggu bagi kehidupan manusia. Tak sedikit yang mati diburu. Alhasil, populasi gajah makin berkurang.

Pada 21 Oktober 1992 berdiri sebuah pusat penjinakan gajah di hutan Gunung Sebelat. Tujuannya menjinakkan binatang-binatang liar itu agar tak berseteru dengan penduduk di sekeliling hutan. Tujuan lainnya adalah untuk melindungi gajah liar dan menyelenggarakan pemanfaatan gajah-gajah terlatih.

PLG Sebelat berada dalam hutan produksi dengan fungsi khusus untuk pemusatan latihan gajah. Ini berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 685 tahun 1995. Luasnya 6.865 hektare. Letaknya di kecamatan Putri Hijau, kabupaten Bengkulu Utara.

Kawasan hutan ini berada pada ketinggian 56 sampai 113 meter dari permukaan laut. Di kawasan PLG ini kaya akan kayu unggulan, seperti meranti, sungkai, dan jenis-jenis tanaman langka seperti bunga Raflessia (Rafflesia spp) maupun bunga bangkai (Amorphophallus spp), serta bermacam tanaman obat.

Hutan Gunung Sebelat kini masih dihuni satwa-satwa liar yang sudah langka dan hampir punah seperti harimau Sumatera, gajah Sumatera, beruang, rusa, tapir, serta jenis-jenis burung seperti rangkong, enggang, kuau, elang serta raja udang.

Selain sebagai habitat satwa liar, hutan ini juga merupakan indikator penting fungsi hidrologis dengan keberadaan beberapa sungai di dalamnya. Di antara sungai itu adalah sungai Sebelat.

Karena dampak otonomi daerah, Bengkulu juga mengalami beberapa pemekaran kabupaten, sehingga hutan tersebut kini berada dalam dua wilayah kabupaten yakni kabupaten Bengkulu Utara, seluas 6.365 hektare, dan kabupaten Muko-Muko, sekitar 500 hektare.

Di sekeliling hutan membentang areal-areal perkebunan kelapa sawit milik penduduk dan perusahaan perkebunan besar seperti PT. Alno Agro Utama, PT Agricinal, dan PT. Mitra Puding Emas.

“SUDAH lama jembatan ini putus. Baru dua tahun dibangun sama pemerintah, eh sudah ambruk,” kata Abu Kamil.

Di hadapanku kini membentang sungai Sebelat yang berwarna kuning keruh. Mungkin semalam banjir. Tiang-tiang jembatan gantung tak berfungsi lagi. Motor yang kutumpangi telah diparkir di depan pos jaga yang kosong, di sebelah kanan jalan.

“Kita akan menyeberang naik tronton,” kata Abu Kamil, seraya menunjuk alat penyeberangan mereka satu-satunya saat ini.

Tronton adalah semacam rakit dari drum yang dirangkai dengan kawat yang dilas. Bagian depannya diikat dengan rantai besar, rantai yang biasa dipakai untuk mengikat gajah. Di ujung rantai diberi katrol yang terhubung langsung dengan tali baja yang merentang lurus di atas sungai Sebelat.

Tekanan arus yang deras akan mendorong rakit sehingga katrol yang terhubung ke tali baja secara otomatis akan berputar dan menjalankan rakit hingga ke seberang.

“Alat yang aneh,” gumamku.

“Ini idenya Pak Wahdi, ketika kami tidak memiliki alat untuk nyeberang, dulu ada perahu, tapi sudah hanyut. Kami sangat terbantu dengan adanya tronton ini.”

Suara Abu Kamil tetap jelas terdengar di sela gemuruh arus sungai deras. Aku jadi ingat dengan orang yang disebut Pak Wahdi oleh Abu Kamil. Ia menjabat manajer program Conservation Response Unit (CRU) dan kini berada di Medan. Berkat ia pula aku berada di sini.

Perjalanan kami pun mencapai tujuan: PLG Selebat. Di tempat ini seorang pawang gajah bernama Dodi sempat menyangka aku mata-mata CRU. Namun, kujelaskan bahwa kedatanganku hanya untuk mengetahui kegiatan mereka. Di luar itu sama sekali bukan urusanku.

Aku adalah utusan Flora and Fauna International atau disingkat FFI, sebuah lembaga swadaya internasional yang giat melakukan upaya konservasi, termasuk di hutan Indonesia. Lembaga kami memang punya kepentingan terhadap pelestarian sumber daya alam. Salah satu bentuk kegiatan FFI dalam konservasi adalah pembentukan unit CRU di PLG Sebelat. Kegiatannya antara lain melakukan patroli di hutan kawasan PLG Sebelat.

CRU dibentuk FFI yang bekerja sama dengan Badan Koordinasi Sumber Daya Alam Bengkulu. Kegiatan lembaga ini melibatkan para pawang gajah, polisi hutan, dan penduduk setempat. Mereka melakukan patroli hutan dan memantau penebangan ilegal di hutan Gunung Sibelat, dimana PLG berlokasi.

Kami pun menyusuri sungai Sebelat ke arah hulu dan akhirnya tiba di tempat gajah-gajah yang sudah jinak itu diikat.

“Heuh, heuhh, heuuuuuh….” Suara Dodi terdengar melengking. Barangkali inilah bahasa yang dipahami gajah. Aku baru kali ini mendengarnya. Dodi adalah salah satu pawang yang berstatus calon pegawai negeri sipil di sini. Keluarganya ia tinggalkan di kota Bengkulu. Setiap bulan, selama 15 hari ia menghabiskan waktunya di hutan ini dan tak dapat berkumpul dengan keluarganya.

Rantai sepanjang sepuluh meter kemudian ia lepas. Bekas-bekas aktivitas gajah selama semalaman terlihat sangat kentara. Rumput-rumput tercerabut. Pohon-pohon kecil tumbang.

Dodi kemudian menggiring gajah-gajah itu untuk mulai bergerak, mencari tempat baru yang masih banyak makanan untuk gajah.

“Tugas kami setiap hari ya begini, pagi sampai siang memindahkan gajah. Mencari tempat yang banyak makanannya, mengikat gajah-gajah ini, kemudian pulang ke barak. Dan besoknya begitu lagi. He… he… bosan,” ujarnya, sambil mengajakku untuk mengikutinya, menggiring gajah sampai tempat yang tepat untuk mengikat mereka.

Hewan besar dan bertinggi lebih dari dua meter itu menuruti perintah pawangnya.

“Setiap pawang diberi tanggung jawab satu ekor gajah, cuma karena kebetulan ada temanku yang sedang cuti, jadi aku kebagian memelihara gajahnya. Nah, yang ini namanya Anggraeni.”

Tawaku hampir saja meledak mendengar nama-nama gajah itu. Cantik-cantik sekali nama mereka, seperti nama manusia.

“APA Pak Aswin nggak bilang kapan kembali ke sini?” tanya Mahyudin, koordinator pawang, ketika kami sedang beristirahat di dapur umum barak para pawang.

Lelaki bernama Aswin itu adalah koordinator PLG Sebelat. Sudah lebih setahun ia mengemban tugasnya.

“Ya, nggak sih, Pak. Memangnya dia ke Bengkulu ada urusan apa?” tanyaku.

“Kemarin kita melakukan penangkapan penebang kayu, ya mungkin ngurus itu juga. Susah!” balasnya.

Mahyudin kemudian bercerita tentang wewenang mereka sebagai anggota CRU yang juga berhak menangkap siapa saja yang melakukan penjarahan di kawasan hutan PLG Sibelat.

Dari keterangan yang kudapat dari Aswin kemudian, lebih dari 400 hektare hutan PLG telah diserobot. Menurut Aswin, puluhan kepala keluarga yang berasal dari Pekan Baru telah membuka lahan di kawasan hutan PLG Sebelat.

Bahkan menurut keterangan yang diberikan oleh Sugito, Kepala Dinas Kehutanan Bengkulu, kepada harian Suara Pembaruan pada 2004, pembabatan hutan di PLG Sebelat diduga kuat dibeking oleh salah satu perusahaan perkebunan yang ada di daerah itu.

“Sebetulnya dengan adanya CRU, penebangan kayu di sini sudah lumayan berkurang, dan imbasnya pada masyarakat, mereka tidak terlalu berani lagi mencuri kayu di kawasan. Tapi sayangnya, kita sudah melakukan penangkapan, cuma kita tidak bisa lebih jauh dari itu, untuk ngurus sampai ke persidangan kita nggak sanggup, nggak ada dana dan tenaga. Sekarang ini kita juga sedang mengurus masalah tapal batas hutan PLG, sebab ada perusahaan perkebunan yang ternyata kelewatan membabat hutan hingga masuk ke hutan PLG,” tutur Mahyudin.

Jangankan menuntut sampai ke pengadilan. Aku menyaksikan sendiri bagaimana seorang polisi hutan ketakutan, karena tersangka yang mereka tangkap belum disidangkan. Ia dan keluarganya merasa diteror.

Menyusutnya lahan hutan Gunung Sebelat membuat gajah-gajah liar yang ada di sekitar PLG sering muncul di sekitar permukiman penduduk dan tak jarang merusak perkebunan milik masyarakat setempat.

SIANG itu tiba-tiba Mahyudin mengabarkan bahwa ada telepon dari Aswin yang memerintahkan beberapa pawang melakukan pengusiran gajah liar yang merusak perkebunan sawit milik perusahaan swasta.

“Kamu ikut ya, kata Pak Aswin nanti ketemu dia di lokasi pengusiran. Siapkan barang-barangmu, sore ini kita berangkat,” perintah Mahyudin padaku sambil memilih nama-nama pawang yang akan ikut. Jumlahnya enam orang dengan aku, sedangkan dua orang lagi akan menyusul besok pagi.

Sore itu guyuran hujan cukup deras. Di lokasi yang telah ditentukan, yakni di dekat tiang jembatan gantung, gajah-gajah terpilih sudah dikumpulkan. Semuanya berjumlah tiga ekor. Deras hujan perlahan berganti gerimis dan kami mulai melakukan perjalanan yang diperkirakan memakan waktu sampai dua jam lebih.

Kami menyusuri sungai Sebelat ke arah hilir. Gajah yang kutunggangi membelok ke arah sungai, begitu juga dengan kedua gajah di depan.

“Kita akan menyeberang,” kata Mahyudin yang bertindak sebagai pemimpin di depan.

“Busyet!” pikirku.

Air sungai Sebelat sedang meluap. Warnanya kuning kehitam-hitaman, karena mengalirkan lumpur pekat dari hulu.

Dengan tenang gajah-gajah itu mulai memasuki sugai, lututku mulai kena air, kemudian pinggang, tak lama kemudian tubuhku akhirnya harus terendam juga ke dalam sungai bersama gajah yang kini hanya terlihat moncong belalainya saja.

Aku mulai khawatir dan ketakutan. Jangan-jangan gajah yang kunaiki ini tidak sanggup untuk menyeberangi sungai yang sangat deras ini. Namun tidak demikian halnya dengan gajah-gajah dan para pawangnya itu, mereka terlihat tenang sekali.

Yang terlihat sekarang hanya sedikit punggung gajah saja. Belalainya yang menjadi pipa pernapasannya ia arahkan ke atas untuk menghindari air. Kami terlihat seperti enam orang yang mengambang di permukaan air.

“Tenang saja, gajah-gajah ini sudah biasa menyeberangi sungai seperti ini,” kata Mahyudin, menenangkanku.

Aku mulai bisa bernapas lega ketika posisi gajah sedikit demi sedikit berada di bagian sungai yang telah surut dari banjir.

Setelah menyeberangi sungai, medan di depan adalah bukit-bukit curam. Dan ajaibnya itupun dengan mudah dilewati gajah-gajah yang berjalan tenang sambil tak lupa belalainya meraih dedaunan yang ada di pinggir jalan. Ketika bertemu dengan rumpun bambu, gajah-gajah itu berhenti dan memakan daun-daun bambu itu.

Gajah merupakan mamalia yang aktif setiap saat dan ia bisa menghabiskan waktu 16 sampai 18 jam setiap hari untuk mencari makan sambil berjalan.

“Bambu memang makanan kesukaan binatang ini,” ujar salah satu pawang.

Hari sudah mulai gelap dan gerimis sudah pergi. Kami mulai memasuki kawasan perkebunan. Jalanan relatif datar. Pantatku sudah terasa bengkak karena bergesekan terus-menerus cukup lama dengan punggung gajah yang keras dan tidak rata.

Gemuruh lenguh gajah seperti mesin membahana itu menjadi hiburan satu-satunya menjelang malam yang senyap. Pemandangan yang menghampar di depan mata hanya batang-batang sawit yang menghitam di kejauhan dan juga lahan-lahan yang baru digarap.

“Inilah yang kami maksud, perkebunan terus bertambah sehingga gajah-gajah itu tidak memiliki habitat yang cukup untuk hidup mereka. Kalau sudah begini siapa yang salah? Bingung kan?” Mahyudin bercerita sambil menyusuri jalan yang baru saja diratakan dengan bolduser yang terlihat samar-samar.

Gajah merupakan satwa yang memiliki persyaratan untuk hidup di alam bebas. Tubuh hewan berdarah panas ini membutuhkan tumbuhan rimbun untuk menstabilkan suhu tubuhnya. Gajah juga merupakan herbivora yang membutuhkan ketersediaan makanan yang cukup, dengan unsur kalsium untuk memperkuat tulang, gigi dan gadingnya. Gajah dewasa membutuhkan makanan rata-rata 200 sampai 300 kilogram setiap hari atau lima sampai 10 persen dari berat badannya.

Gajah memiliki wilayah jelajah yang sangat luas. Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) memiliki ukuran wilayah jelajah yang bervariasi antara 32,4 sampai 166,9 kilometer. Gajah umumnya hidup berkelompok dengan anggotanya antara dua sampai delapan ekor atau sembilan sampai 45 ekor.

Menurut data Departemen Kehutanan Republik Indonesia, populasi gajah Sumatera pada tahun 1993 tinggal 44 kelompok, dua kelompok di antaranya ada di hutan di provinsi Bengkulu. Mungkin sekarang jumlahnya lebih sedikit lagi.

HAMPIR pukul tujuh malam. Kami pun sampai di tempat pertemuan. Kami menunggu kedatangan Aswin dan tim Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah dengan mendengar keterangan dari penduduk.

Begitu Aswin dan teman-temannya tiba, kami pun membicarakan persiapan untuk strategi pengusiran besok. Dari Aswin aku jadi lebih paham kondisi di PLG Sebelat.

“Conservation Response Unit sudah cukup banyak membantu kami, tapi rasanya kalau seperti ini terus, kami akan sangat sulit bertahan. Yang paling kami butuhkan adalah dukungan tim advokasi sehingga ketika kami melakukan penangkapan tersangka penebang liar, yang kami lakukan itu tidak berhenti di tengah jalan. Jadi kerja kami tidak sia-sia, iya kan?” kata Aswin.

“Walaupun demikian, kami cukup bangga, bahwa PLG Sebelat cukup dinilai positif  oleh kawan-kawan pemerhati gajah. Terutama kondisi habitat yang masih cukup bagus. Ya, memang kita kurang dalam menangani kesehatan gajah, seperti kurang aktifnya dokter hewan. Kita ada dokter hewan, tapi jarang datang ke PLG,” lanjutnya.

Malam hampir menuju pagi. Kawan-kawan yang akan bergerak besok sudah tertidur pulas dilelap mimpi sendiri-sendiri. Kupejamkan mataku, mengenangkan pengalaman ajaib yang baru saja lewat. Aku ingat pawang-pawang itu, mereka yang mengabdi di tempat terpencil di hutan, jauh dari keluarga. Aku ingat gajah-gajah itu dan keperkasaan mereka menyeberangi sungai deras. Lenguh suara dan kasar kulit punggung mereka  terus menghadirkan kerinduan. ***

*) Jimi Piter adalah kontributor sindikasi Pantau di Bengkulu.

by:Jimi Piter