Seekor Pelanduk di antara Gajah

Linda Christanty

Fri, 7 September 2007

DI aula itu berkumpul banyak orang. Geuchik atau kepala desa menyampaikan laporan penggunaan uang. Dari penjelasan geuchik, semua orang jadi tahu bahwa terjadi pembengkakan biaya pembangunan rumah, lebih dari taksiran semula. Uang yang diperkirakan sisa, malah kurang.

DI aula itu berkumpul banyak orang. Geuchik atau kepala desa menyampaikan laporan penggunaan uang. Dari penjelasan geuchik, semua orang jadi tahu bahwa terjadi pembengkakan biaya pembangunan rumah, lebih dari taksiran semula. Uang yang diperkirakan sisa, malah kurang.

Salah seorang warga langsung protes. Geuchik berusaha menjelaskan lagi hitung-hitungannya. Orang-orang dari lembaga bantuan ikut membantu geuchik menjelaskan duduk perkara. Tetapi lelaki yang emosi itu tak terima. Ia merobek-robek buku anggaran, mengumpat-umpat, lalu meninggalkan aula. Tingkah lakunya menular pada sebagian besar yang hadir. Ada yang menggerutu, ada yang mengajak yang lain pergi ke kantor lembaga bantuan untuk mengadu. Suasana hiruk-pikuk.

Geuchik tak bisa mencegah mereka. Namun, ia tetap tegar dan bahkan, masih bisa tertawa.

Inilah konflik yang paling menegangkan dalam film dokumenter garapan Aryo Danusiri, Playing Between Elephants. Sang geuchik menjadi karakter utama cerita ini. Ia hadir dalam setiap sekuel, menjadi sorotan sekaligus perekat tiap bagian.

Sosoknya sangat hidup. Ia kesal, sabar, bertanggung jawab, dan kadang terlihat ingin menguntungkan dirinya sendiri. Ia sosok yang kompleks, tidak hitam-putih dan sederhana. Ia pahlawan, tetapi juga bukan tanpa cacat. Aryo begitu jeli memperlihatkan perkembangan watak dan tingkah-polah geuchik dengan kameranya, merekam bagaimana si tokoh bertarung dengan dirinya sendiri dalam menjalankan perannya sebagai geuchik yang harus memperhatikan kepentingan warga serta kepentingan pribadinya, atau bermain-main di antara kedua hal tersebut.

Pertarungan internal dalam diri geuchik bisa kita anggap sebagai pertarungan dua “gajah” dan pelanduknya tak lain dari metafor tentang kemampuannya mengelola kedua kepentingan tersebut dengan cerdik.

Warga akhirnya memperoleh tambahan uang pembangunan sejumlah Rp 2,1 juta, sedang geuchik punya rumah besar berdapur luas berkat hubungan baiknya dengan penyalur bahan bangunan.

Film berdurasi 89 menit ini sama sekali tidak terjerembab sebagai film propaganda program perumahan, meski ia merekam kegiatan lembaga bantuan tertentu dalam melibatkan masyarakat mendirikan rumah mereka, tahap demi tahap.

Kadangkala ia begitu puitis, juga dramatis.

Selain adegan-adegan yang menampilkan dinamika di lapangan, Aryo juga menghadirkan gambar-gambar secara semiotik yang berfungsi sebagai jeda sekaligus membubuhkan estetika pada filmnya.

Beberapa kali muncul pemandangan pantai dan perahu di sela-sela adegan lain. Semula tak ada gerak, tak ada aktivitas apa pun, kecuali lanskap. Namun, perlahan-lahan Aryo menampilkan kehidupan di sana. Anak-anak memancing ikan dekat pantai, lalu suatu ketika orang-orang mendorong perahu ke laut dengan disemangati seruan, “Dalam hati sama rasa, hayooo…. !”

Film Aryo dengan cerdas mengajak penonton menyaksikan dua proses interaksi. Pertama adalah hubungan manusia dengan alam yang terus-menerus (dalam hal ini manusia dengan laut), rutin, dan bermanfaat (dalam hubungan nelayan dan ikan-ikan), yang kemudian dirusak kekuatan alam lainnya (bencana atau tsunami) dan bagaimana manusia bertahan hidup dengan memulihkan lagi kepercayaan mereka terhadap alam sekaligus memulihkan kembali mata pencaharian atau kehidupan mereka.

Proses kedua adalah hubungan manusia dengan manusia dalam membangun permukiman, yang tak luput dari benturan, friksi, dan ketegangan-ketegangan. Namun proses ini pada akhirnya mewujudkan impian mereka; rumah berdiri dan masa depan bisa dirajut kembali.

Seekor kepiting yang merayap menuju kubangan air juga bukan sekadar adegan kecil tanpa makna di film ini, melainkan melambangkan kemampuan makhluk hidup untuk berjuang dan bertahan. Adegan ini kemudian diikuti adegan geuchik menangkap ikan.

Namun, sorotan kamera pada seekor lalat yang berenang dalam secangkir kopi di sela perdebatan seru geuchik dan orang-orang, justru mengganggu dan menjadi antiklimaks.

Lokasi pengambilan gambar Playing Between Elephants berlangsung di Genteng Timur, desa pantai di kabupaten Pidie. Desa ini merupakan salah satu basis Gerakan Aceh Merdeka atau populer disebut GAM di masa konflik dulu dan juga wilayah yang terkena tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.

Pada taraf berikutnya, proses rekonstruksi tidak semata-mata berkaitan dengan hal-hal fisik. Ia bahkan sangat menentukan berlangsungnya perdamaian di Aceh. Lapangan pekerjaan terbuka dan menumbuhkan mental baru. Aryo merekam percakapan dengan seorang sopir mobil pengangkut bahan bangunan, mantan gerilyawan GAM. Lelaki ini berkata, “Dulu nggak bisa cari rezeki. Kalau begini kan sudah aman. Kita nggak minta-minta sama masyarakat.”

Ternyata memang banyak gajah di film ini. Tetapi pertarungan di antara gajah tidak harus membuat pelanduk mati di tengah-tengah. Pelanduk yang cerdik bisa terus hidup dalam situasi apa pun. Gajah menjadi personifikasi sekaligus analogi.

Film Aryo tidak hanya penting sebagai dokumentasi proses rekonstruksi Aceh pascabencana, melainkan film tentang Aceh pascabencana dan pascakonflik.

Film ditutup dengan perayaan peringatan setahun Perjanjian Damai Helsinki. Sang geuchik hadir dalam perayaan tersebut dan berharap damai bisa langgeng.

Playing Between Elephants kemudian terpilih sebagai satu dari 20 puluh film hasil seleksi Yamagata International Documentary Film Festival yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober nanti. Dalam film ini kita bisa melihat Aceh dari dekat: sebuah negeri yang dihuni orang-orang yang pantang menyerah, meski sudah dilanda dua gajah, eh bencana besar, yakni perang dan tsunami.***

*) Linda Christanty adalah editor sindikasi Pantau di Aceh

**) resensi ini diterbitkan dengan kerja sama Pantau Aceh dan UN-HABITAT di Aceh

kembali keatas

by:Linda Christanty