Perempuan dalam Rekonstruksi

Linda Christanty

Mon, 10 September 2007

Fotografer Veronica Wijaya merekam dominannya peran perempuan dalam membangun kembali Aceh pascabencana.

VERONICA Wijaya mengenakan baju kurung modern warna putih dengan bordiran sederhana dan celana jins, yang menurutnya satu-satunya celana untuk dikenakan selama beberapa hari di Aceh. Ia menenteng kamera ke mana-mana. Ia memotret orang-orang yang tengah berkumpul di sebuah kamar di lantai tiga hotel itu, lelaki maupun perempuan–yang semuanya berkain kebaya. Mereka ini terdiri dari penerima tamu, penyanyi, MC (master of ceremony), dan bahkan, subjek dari buku fotonya.

Tak berapa lama, ia sudah menyelinap ke salah satu ruang di lantai bawah. Sekitar dua ratus kursi tamu telah diatur rapi. Panggung, podium, proyektor, dan sound system sudah disiapkan di sana. Di muka pintu masuk, penerima tamu menyambut mereka yang datang. Hari itu tanggal 3 Juli 2007, hari peluncuran buku foto Anchoring Homes yang berisi hasil bidikannya. Buku ini memuat serangkaian proses yang dilakukan masyarakat Aceh pascatsunami dan pascakonflik ketika membangun rumah, lingkungan, dan mata pencaharian mereka. Ia diterbitkan UN-HABITAT, sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menerbitkan buku tersebut tidaklah mudah. Berdebat sana, berdebat sini. Dengan editor, dengan penulis, dengan pengarah. Kadangkala perdebatan itu cukup keras dan menguras energi. Kadangkala ia juga jadi galak, karena letih.

Dan menjelang hari peluncuran, tetap saja ada hal yang belum sempurna.

“Ternyata ngejilidnya nggak kuat. Jadi terpaksa deh aku juga ikut ngelem buku itu, satu-satu,” tuturnya, seraya menggelengkan kepala.

Tamu-tamu mulai berdatangan. Ia mulai mondar-mandir lagi.

Dengan Aceh, Vero—begitu ia biasa disapa—selalu merasa terlibat.

Pada Agustus tahun lalu, ia dan 14 fotografer perempuan dari Asia, Eropa, dan Amerika mengadakan pameran bersama dengan tajuk Eye to Eye di Jakarta. Ada yang memotret keramik retak, ada yang merekam teman karib yang terkena kanker ganas. Semua berkisar di dunia perempuan, yang nyata maupun yang berupa metafora. Dunia mereka sendiri. Foto Vero lebih dari sekadar personal. Ia menampilkan perempuan yang kehilangan anaknya saat tsunami dalam warna hitam-putih. Potret ini dinamainya “Great Expectation”. Kemuraman terasa di situ, tetapi juga terpancar ketegaran dan harapan.

“Perempuan berperan penting dalam proses rekonstruksi di Aceh. Tapi nggak cuma sekarang sebetulnya, dari dulu. Mereka merawat anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mencari nafkah, “ katanya, suatu kali.

Aceh tempo dulu terkenal dengan pejuang dan panglima perempuannya yang gagah berani. Sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, atau Laksamana Malahayati. Cornelis de Houtman, yang memimpin ekspedisi dagang Belanda masuk ke Aceh pada abad ke-19, tewas dibunuh Malahayati dalam pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal. Namun, di masa konflik, perempuan justru jadi sasaran kekerasan pihak yang bersengketa. Mereka dilecehkan, dianiaya, atau diperkosa, dengan teror sebagai tujuan.

Di salah satu bab Anchoring Homes, “Settlement Rebuilders”, Vero menyuguhkan perempuan-perempuan Aceh yang perkasa setelah melampaui konflik dan tsunami. Mereka mengangkat bahan bangunan, sampai mengecat rumah yang sudah jadi. Nah, perdebatan sempat muncul di saat menyusun bab tersebut. Semula Vero ingin memasukkan kata “Gender” pada judul bab. Namun, kata itu kemudian tidak jadi digunakan dengan sejumlah pertimbangan. Bruno Dercon, editor buku ini, juga memintanya menambahkan foto laki-laki yang juga terlibat membangun rumah. Bukankah dalam proses rekonstruksi, lelaki dan perempuan bekerja sama, bahu-membahu membangun permukiman? Namun, foto-foto itu jualah saksi yang paling jujur. Perempuan selalu menonjol, dari urusan domestik sampai publik.

Di bab “The Managers”, Vero sekali lagi menampilkan peran perempuan. Ia merekam keseharian Evi Juwita yang memimpin pembangunan rumah warga Merduati, Banda Aceh. Harta benda, suami, dan anak Evi hilang direnggut tsunami. Di tengah situasi pascabencana, ia tak hanya bangkit dan membangun kembali kehidupannya, ia juga membangun kehidupan orang lain, membangun kampungnya.

Bagian lain yang penting dan menyuguhkan foto-foto yang cukup kuat serta indah dalam komposisi adalah bagian tentang anak-anak di Aceh dan Nias, sejak mereka masih di tenda darurat sampai tinggal di rumah. Anak-anak bermain di pantai,  belajar di sekolah, dan makan siang di rumah. Buku ini memperlihatkan bahwa proses membangun rumah tidak sekadar mendirikan tempat berteduh, melainkan membangun masa depan daerah yang terkena bencana. Anak-anak adalah masa depan itu. 

Acara dimulai menjelang pukul setengah tiga sore. Pidato-pidato diselingi pertunjukan seni; tarian dan lagu-lagu. Daniel Biau dari UN-HABITAT, Kuntoro Mangkusubroto, ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, dan Usaman Budiman, asisten gubernur Aceh, ikut memberi kata sambutan.

Ketika acara utama usai, saya melihat Vero di antara tamu yang tengah mengudap kue dan minum kopi.

“Aduh, setelah ini aku harus ke Simeulu (salah satu pulau di Aceh), ya motret lagi,” ujarnya, tersenyum, lalu berjalan ke tengah orang banyak dan menghilang dari pandangan.***

 

 

*) Editor sindikasi Pantau di Aceh

kembali keatas

by:Linda Christanty