Penjaga Terumbu

Hairul Anwar

Tue, 25 September 2007

TERUMBU karang di taman laut Iboih rusak parah oleh ulah manusia, yang melebihi ulah tsunami.

SORE 17 Juni 2006. Seperti biasa, Ishak Idris bersama tujuh temannya berpatroli ke taman wisata laut Iboih, Pulau Weh. Kebanyakan orang sering menyebut Pulau Weh sebagai Sabang, nama ibukotanya.

Apat, seorang anggota tim yang memegang kemudi, dengan sigap memacu laju boat  (nama lain untuk perahu motor di Aceh).

Setelah memastikan beberapa titik pengawasan sudah aman, boat  kemudian putar haluan ke wilayah laut Kilometer Nol. Sekonyong-konyong tim patroli ini melihat dua boat di kejauhan. Setelah didekati baru terlihat bahwa para nelayan di atas boat tersebut sedang menarik jaring ikan. Ishak meminta Apat merapatkan boat  patroli ke boat nelayan.

“Setelah kalian tarik jaring, kalian ikut kami ke Teupin Layue dan kita selesaikan masalahnya di sana,” seru Ishak pada nelayan-nelayan itu. Teupin Layue adalah nama kampung tempat para nelayan Iboih menambatkan boat mereka.

Salah seorang nelayan mencoba tawar-menawar. ”Kami mohon masalahnya diselesaikan di sini saja,” pintanya, dengan wajah memelas.

Tiba-tiba mata Ishak tertuju pada salah satu dari enam nelayan itu. Badannya tegap. Rambutnya cepak. Ya, dia ingat, lelaki yang mengenakan celana pendek kuning ini pernah tertangkap sebelumnya. Malah sudah dua kali. Lelaki ini pernah menandatangani pernyataan tidak akan menjaring ikan di wilayah Iboih. Tetapi sekarang dia melakukan pelanggaran lagi.

Suasana di tengah laut berubah panas. Sekali lagi, Ishak meminta para nelayan ikut ke Teupin Layue.

Si rambut cepak menukas dengan emosi. “Kalau begini caranya, bapak tahan saja boat dan jaring kami. Tapi, bapak harus beri makan istri dan anak kami.”

“Jangan emosi dulu. Kita selesaikan di Teupin Layue,” sahut Ishak.

Para nelayan tak bisa berkata-kata lagi. Mereka segera menarik jaring ke atas boat. Mereka mengikuti boat tim patroli yang akan menepi. Baru 300 meter meninggalkan tempat semula, salah satu boat nelayan itu berbelok merapat ke sebuah pos jaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU). Seorang nelayan turun sambil menjinjing sekantong plastik ikan yang kemudian diserahkan kepada petugas di pos jaga.

Bukannya kembali bergabung bersama tim patroli yang menunggu di tengah laut, nelayan tadi malah melambaikan tangan meminta tim patroli mendekat ke pos jaga. Seorang petugas pos jaga di situ juga melakukan hal serupa, melambai ke arah tim patroli.

Tim patroli menolak dengan isyarat tangan. Namun, akhirnya mereka mengalah. Seorang anggota tim mengenal marinir yang bertugas di pos itu, “Dia itu Danru (komandan regu) saya.”

“Kenapa kalian menangkap nelayan itu?” tanya si marinir.

“Mereka menjaring (ikan) dalam kawasan taman laut, pak,” balas Ishak.

“Apa bapak tidak tahu kalau kawasan ini tidak boleh ada aktivitas menjaring,” sambung anggota tim yang lain.

Larangan ini  berdasarkan keputusan Menteri Pertanian pada tahun 1982. Aktivitas pengambilan ikan di kawasan taman laut dalam bentuk apapun tidak dibolehkan. Kawasan Iboih termasuk bagian dari 2800 hektare taman laut Pulau Weh yang dilindungi.

 

Keputusan itu bahkan menyulitkan nelayan Iboih mencari nafkah. Kalau larangan menjaring ikan masih bisa mereka terima, tetapi larangan memancing membuat mereka emosi.

 

Ketika itu Ishak sempat mendatangi walikota Sabang dan berkata, “Kalau bapak tetap melarang kami memancing, boleh saja. Tapi bapak harus cari kerjaan lain buat kami atau beri makan keluarga kami.” Walikota mengalah. Dampak pancing tak separah jaring.

Kini tentara di hadapan Ishak berkelit dan mengajak kompromi. “Saya tidak tahu karena saya baru di daerah ini. Apa tidak bisa diselesaikan di sini saja masalahnya?” katanya. 

“Nggak bisa, pak. Mereka ini bukan sekali saja tertangkap. Kalau bapak tidak percaya coba tanya kepada orang ini sudah berapa kali dia tertangkap,” kata Ishak sambil menunjuk ke arah nelayan yang berambut cepak.

“Mereka ini juga sudah dinasehati di laut untuk tidak menjaring di wilayah ini lagi, dan sudah membuat surat pernyataan,” kata Ishak, lagi.

Anggota marinir itu terdiam. Wajahnya terlihat kecewa.

Hari telah menjelang maghrib ketika tim patroli meninggalkan pos jaga dan kembali ke kampung Teupin Layeu.

Ishak memutuskan untuk menyita jaring nelayan itu selama seminggu. Seorang anggota tim dari kantor Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) Kota Sabang meminta para nelayan mengisi surat pernyataan tidak akan menjaring ikan di kawasan laut Iboih.

Sudah selesai? Ternyata belum.

Selepas maghrib hari itu juga, enam lelaki berseragam TNI AU mendatangi kampung Teupin Layue. Mereka menemui Ishak dan membawa senjata. Mereka meminta jaring nelayan tidak ditahan.

Ishak bergeming. Enam lelaki berseragam tersebut akhirnya mengalah dan pergi. Keesokan paginya, mereka datang lagi. Kali ini untuk minta maaf kepada Ishak dan teman-temannya. Kedua pihak pun sepakat menganggap masalah ini selesai.

“RESIKO jadi panglima laot ya begitu,” kata Ishak Idris, seraya tersenyum.

Dalam tradisi nelayan Aceh, panglima laot merupakan pemimpin adat yang berurusan dengan laut. Mereka memimpin tata cara dalam penangkapan ikan,  mengatur tempat penangkapan, penambatan perahu sampai menyelesaikan sengketa di antara nelayan.

Beberapa bulan setelah patroli itu, Ishak tidak lagi menjadi panglima laot. Dia digantikan nelayan lain setelah 20 tahun memangku jabatan ini. Namun, dia tetap disegani. Jika ada masalah, nelayan Iboih tetap meminta pendapatnya. Penduduk setempat memanggil Ishak, Yah wa atau kakek. Usianya menginjak 68 tahun.

Selain melaut, Ishak juga membantu kampanye penyelamatan terumbu karang.

Bisa dibilang terumbu karang adalah daya tarik wisata di Iboih. Warna-warni terumbu karang di bawah laut mengundang para pelancong berlibur ke sana. Ada yang menyelam atau sekadar menghabiskan waktu untuk memancing. Airnya terlihat jernih. Anakan terumbu karang di pinggiran pantai bisa langsung terlihat mata.

Ini memberi berkah bagi jasa penyewaan alat-alat menyelam. Para pemilik penginapan yang menjamur di pinggiran pantai ikut kecipratan rezeki.

Para ilmuwan dari berbagai negara pernah meneliti kondisi terumbu karang di Pulau Weh pascatsunami. Dari 15 titik penelitian, kerusakan terparah terjadi di Laguna Gapang. Terumbu karang yang hidup di kedalaman tiga meter sampai sepuluh meter berubah jadi pecahan karang, bebatuan, dan sisa pohon-pohon bakau. Mereka juga menyimpulkan bahwa ulah manusia menimbulkan kerusakan lebih besar dibanding terjangan tsunami.

Laporan penelitian itu berjudul “Status Terumbu Karang di Negara-Negara yang Terkena Tsunami 2005” dan diterbitkan Australian Institute of Marine Science.

Penduduk Iboih sepakat bahwa kawasan taman laut yang harus dijaga sekitar 500 meter dari garis pantai. Pertimbangannya, terumbu karang tumbuh subur di sini. Jika ada nelayan yang ketahuan menangkap ikan dengan jaring, dia akan mendapat hukuman. Hukuman terberat adalah jaringnya dibakar.

Jaring atau dikenal dengan pukat Jepang terbuat dari tali nilon. Panjangnya rata-rata 100 meter. Jangkauan jaring mampu menembus kedalaman 10 meter. Agar hasil tangkapan berlimpah, nelayan menggiring ikan masuk jaring dengan cara membenturkan jaring ke batu yang ada di dasar laut. Ketika jaring diangkat, bukan saja ikan yang diperoleh tapi anakan terumbu karang juga terangkat. 

Namun, ketatnya pengamanan taman laut membuat masyarakat  dan nelayan Iboih sempat dimusuhi nelayan dari daerah lain.

“Dulu masyarakat Iboih sulit membeli ikan di pasar. Tim patroli juga sempat menerima ancaman,” tutur Ishak.

Patroli dilakukan tiga kali dalam sebulan. Waktunya rata-rata subuh dan menjelang magrib, ketika para nelayan menangkap ikan.

Dulu patroli hanya dilakukan polisi laut bersama petugas kantor konservasi alam. Sekarang nelayan Iboih juga terlibat dalam patroli pengamanan taman laut ini.

Terumbu karang adalah tempat ikan berkembang biak. Kerusakannya tak hanya berpengaruh pada kelangsungan ekosistem bawah laut, melainkan pada mata rantai makanan di bumi. ***


*) Hairul Anwar adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh.

kembali keatas

by:Hairul Anwar