Napawe dari Yogya

Fahri Salam

Thu, 27 September 2007

Bagaimana warga Papua di Yogyakarta melihat isu kemerdekaan dan integrasi?

SUATU pagi Juli lalu, Beny Dimara menerima satu pesan pendek. Isinya, asrama mahasiswa pusat Papua di Yogyakarta dikelilingi empat truk polisi. Dimara, sesepuh warga Papua, saat itu berada di rumahsakit Panti Rapih, hendak periksa penyakit jantung.

Dini hari sebelumnya, Dimara ditelepon Wakil Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti, yang mengatakan anak-anak Papua akan mengadakan demonstrasi. Dimara membantah. Pasalnya, ketika aksi 4 Juli silam, anak-anak Papua bikin demonstrasi seraya mengusung bendera Bintang Kejora, lambang kemerdekaan Papua dari Indonesia.

Pagi itu, Dimara segera menuju asrama dan kaget juga ketika melihat pasukan Brimob berseragam lengkap. Membawa tameng, senapan, plus helm. Tentara pun ikut menjaga.

Di dalam asrama, Tony Burdam, seorang mahasiswa Papua, baru saja terjaga ketika ada ribut-ribut di luar kamarnya, yang bersisian dengan kamar Atinus Fidel Uaga. Dua polisi wanita bertanya, ”Mana Tinus?”

Tinus Uaga saat itu sudah menghilang lewat pintu belakang asrama, bersembunyi di sekitar daerah Keraton. Uaga mengirim pesan pendek pada Dimara, hingga tiga kali, mengatakan dia dikejar-kejar polisi Indonesia.

Hampir semua penghuni asrama ke luar dari kamarnya. Ada sekitar 180-an mahasiswa Papua yang menghuni asrama ini. Roy Jikwa dan Fransisco Dani, mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Adisutjipto, masih berada di asrama.

Menurut Roy Jikwa, dua polwan itu juga minta nomor telepon seluler teman-temannya.

”Kita tidak curiga dan menyerahkan. Hanya kasih saja, tidak curiga,” kata Jikwa. ”Itu serba salah. Nomornya sudah kasih. Ada tiga teman yang kasih.”

Jikwa bersama para penghuni lain menanyakan asal kedua polwan tersebut. Mereka jawab dari Papua. ”Kita sudah tahu dari bahasanya itu lain,” kata Jikwa. Dua polwan itu beraksen Ambon.

Fransisco Dani sendiri langsung meraih handycam, hendak merekam peristiwa pengepungan aparat di luar asrama.

Handycam Dani diambil polisi. Ia juga dilarang pergi kemana-mana. Handycam dikembalikan. Untung, kata Dani, rekaman ketika teman-temannya aksi pada 4 Juli, telah ia hapus sebelumnya.

Dolly Kuum, mahasiswi Akademi Pembangunan Masyarakat Desa, mengatakan dia takut, ”Kenapa ini banyak intel? Tentara? Bahkan atribut lengkap. Kayak mau perang? Semua pakai senjata. Tameng lagi. Saya tuh bingung?!”

Situasinya mereda seiring hari beranjak sore. Tinus Uaga kembali ke asrama malam hari. Ia muncul dari pintu belakang asrama, melemparkan helm batok dari kepalanya, sambil bilang, ”Asuuu….” Ia menyeringai.

Lalu dua hari kemudian, di ujung acara diskusi, Beny Dimara mengingatkan kejadian asrama dijaga ketat pasukan Brimob. Suaranya keras sembari telunjuk tangan kirinya mengarah ke luar pintu ruangan. ”Dua hari lalu,” kata Dimara, ”empat truk Brimob datang ke sini. Ini ada apa?! Kami bukan teroris!” Peserta diskusi bertepuk tangan. Riuh. Gaduh.


ASRAMA mahasiswa pusat Papua terbagi tiga areal utama. Halaman depan. Dua gedung besar tempat ruangan pertemuan. Lalu kamar-kamar penghuninya di areal belakang. Ia dikelilingi tembok. Gerbang utamanya berbentuk pintu geser, beratap limas tiga tingkat. Ada tulisan ”Kamasan I” di papan penyanggah. Kamasan artinya ”pandai besi” atau ”mengasah” dari bahasa Biak. Semua asrama Papua di Yogyakarta, yang berjumlah 23, memakai sebutan nama tersebut.

Asrama ini sudah mengalami renovasi dan perbaikan dari tahun ke tahun. Terakhir Gubernur Papua JP. Salossa meresmikannya pada 9 Agustus 2003. Namun, pada 27 Mei 2006, ketika gempa melanda Yogyakarta, sebagian tembok di sebelah barat, yang membatasi pelataran belakang, ambrol. Tembok itu bersebelahan tanah kosong berimbun semak dan tetumbuhan liar. Para penghuni asrama kerap memakainya untuk tempat berpesta.

Sewaktu saya datang ke asrama, sisa-sisa pesta adat masih berbekas. Dua tumpukan batu tertanam di dalam cerukan tanah di antara sehimpunan arang kering. Ini bekas babi batu di mana cara memasaknya potongan-potongan daging babi dikubur dalam tanah, dilapisi daun-daun, lalu batu ditumpuk di atasnya dan dibakar. Pesta adat ini berlangsung hingga larut pagi.

Asap dalam bahasa Biak adalah napawe. Kata ini tertempel di dinding kamar Tinus Uaga di atas kisi pintu. Ia diapit dua foto tokoh Papua: Theys Hiyo Eluay dan Ferry Awom. Ini semacam pesan simbolik. Jejak mereka berhembus ke segala arah, menyebarkan keberanian dan perjuangan kemerdekaan Papua.

Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, dibunuh pada 10 November 2001 oleh pasukan Kopassus. Pada April 2003, Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya memutuskan tujuh prajurit Kopassus bersalah, atas dan penganiayaan yang berakibat kematian Eluay. Mereka terdiri seorang letnan kolonel, seorang mayor, seorang kapten serta beberapa sersan. Mereka menerima hukuman dua sampai 3,5 tahun penjara. Ferry Awom dari Biak, satu pencetus Organisasi Papua Merdeka, yang dideklarasikan di Manokwari pada 26 Juli 1965.

Di dinding kamar Tinus Uaga ada juga gambar wajah Arnold Ap dan Thomas Wanggai. Ada pula foto Markus Wonggor Kaiseipo serta Brigadir Jenderal Seth Jafet Rumkorem. Mereka adalah pahlawan-pahlawan Papua. Jafet Rumkorem adalah putera Lukas Rumkorem, pejuang Merah Putih di Biak, yang ikut mendirikan Partai Indonesia Merdeka pada Oktober 1949. Namun Rumkorem junior belakangan kecewa dengan Indonesia dan memproklamasikan Negara Republik Papua Barat pada 1 Juli 1971.

Arnold Ap seorang cendekiawan Papua. Lahir di Pulau Numfor, Ap bekerja sebagai kurator museum Universitas Cenderawasih. Pada 1978, Ap mengajak sejumlah mahasiswa membentuk grup kebudayaan”Mambesak,” atau”burung cenderawasih” dalam bahasa Biak. Grup ini merekam berbagai lagu rakyat dari seluruh pelosok Papua.

Perbuatan mereka menimbulkan kecurigaan militer Indonesia. Pada 1983, pasukan Kopassanda (sekarang Kopassus), berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM di lingkungan kampus sampai instansi pemerintah.

Ap ditahan pada 30 November 1983 dan ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, dalam satu skenario pelarian menuju PNG yang dirancang Kopassanda. Ia meninggal di rumah sakit Aryoko, Jayapura, pada 26 April 1984 dalam usia 38 tahun. Ratusan pelayat mengiringi pemakaman jenazah Ap. Robin Osborne dalam Indonesia’s Secret War: the Guerilla Struggle in Irian Jaya menulis Ap telah ”menjadi martir yang tidak pernah dilupakan oleh rakyat Papua.”

Thomas Wanggai adalah doktor di bidang hukum lulusan Universitas Negeri Okayama, Jepang, dan administrasi publik dari Amerika Serikat. Ia memproklamasikan negara ”Melanesia Barat” di Stadion Mandala pada 14 Desember 1988. Aksi ini dihadiri sekitar 60 orang dan ditandai pengibaran bendera baru hasil rancangan Wanggai yang dijahit istrinya asal Jepang, Ny. Teruko Wanggai. Wanggai dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Ia mendekam di penjara Cipinang sejak awal 1990 dan meninggal pada Maret 1996 dalam usia 58 tahun. Istrinya sendiri diputuskan 8 tahun penjara dan bebas pada 1994.

Untaian “napawe” inilah yang mengisi padat dinding-dinding kamar Tinus Uaga.

Uaga adalah koordinator demonstrasi mahasiswa Papua pada aksi 4 Juli 2007. Mereka bergerak dari asrama mahasiswa pusat Papua dan rencananya menuju kantor pos utama Yogyakarta. Mereka gabungan dari Aliansi Mahasiswa Papua, Gerakan Anti Penjajahan, Gerakan Perjuangan Pembebasan Perempuan Papua Barat, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua, dan Forum Komunikasi Mahasiswa Papua Semarang serta Front Mahasiswa Nasional Papua. Demonstran membawa spanduk di antaranya tertulis “Referendum Yes” dan ”Otonomi No”. Mereka mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai boneka Amerika Serikat. Mereka menuntut investigasi secara menyeluruh atas pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Papua. Sebagian demonstran memakai Bintang Kejora di ikat kepala, gelang, maupun syal.

Namun, di tengah jalan, aksi dihentikan aparat kepolisian. Pasukan polisi berjumlah 200 personel dan dipimpin langsung Comr. Zaenal Arifin, kepala kepolisian Yogyakarta dari divisi operasional, yang bertugas menjaga keamanan kota.

Polisi mengajukan dua opsi. Pertama, mereka boleh melanjutkan aksi asalkan tanpa membawa spanduk dan melepaskan atribut simbol Bintang Kejora. Jika menolak, opsi kedua, mereka diminta kembali ke asrama. Demonstran, yang berjumlah sekitar 50-an orang itu, memilih opsi kedua.

”Ini aksi spontan,” kata Tinus Uaga ketika saya menemuinya di asrama. ”Kami ingin referendum untuk Papua Barat. Jajak pendapat seperti Timor Leste. Alasan kami historis: 1 Desember 1961. Indonesia tak buat kami sejahtera, pendidikan mahal, kesehatan mahal.” Bagi Uaga dan teman-temannya, Bintang Kejora merupakan atribut bangsa Papua. ”Maka orang Papua kapan pun di mana pun bisa memakainya.” Mereka menolak melepaskannya dan lebih memilih kembali ke asrama.

Bintang Kejora dinyatakan sebagai bendera negara Papua pada 1 Desember 1961. Saat itu wilayah ini masih bernama Nugini Belanda, menjadi teritori Hindia Belanda sudah sejak paruh pertama 1800-an. Belanda baru mulai serius memerlakukan Nugini Barat untuk kemerdekaan selepas Perang Pasifik melawan pendudukan tentara Jepang, yang dimenangkan pihak Sekutu. Ini seiring situasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan, dalam suatu sidang bernama Badan Pertimbangan Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia, mengklaim Nugini Barat di bawah prinsip perwalian. Prinsip ini mengisyaratkan luas Indonesia sama dengan batasan wilayah Hindia Timur Belanda.

Belanda menentang klaim perwalian. Ia mulai melakukan proses dekolonisasi pada tahun 1950an, setahun setelah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Pada awal 1960an, separuh dari pos pemerintahan di wilayah Nugini Barat dipegang oleh orang-orang Melanesia. Tahun 1961, Belanda menyiapkan dan mengarahkan koloninya ini untuk menentukan nasib sendiri, dengan memilih setengah anggota Volksraad atau parlemen. Bintang Kejora pun berkibar berdampingan triwarna Belanda. Lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” gubahan pendeta Ishak Samuel Kijne, berkumandang. Lambang negara burung mambruk diresmikan. Dan negeri itu dinamakan Papua Barat. Tanggal ini menjadi tonggak apa yang dinamakan proklamasi kemerdekaan Papua.

Namun 19 Desember 1961, di Yogyakarta, Presiden Sukarno meresponnya dengan bikin kampanye massa melalui istilah Tri Komando Rakyat atau Trikora. Isinya perintah agar negara tersebut, yang dianggap upaya Belanda menciptakan negara boneka, segera digagalkan; kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat; dan kerahkan semua kekuatan, termasuk para sukarelawan, untuk merebut Irian Barat. Mobilisasi massa ini diiringi pengerahan militer ketika Sukarno membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada 11 Januari 1962. Ia berkedudukan di Makassar dan dipimpin Mayor Jenderal Soeharto.

Pemerintah Belanda, di bawah tekanan kuat Amerika Serikat, didesak membatalkan rencananya. Presiden John F. Kennedy lebih suka Papua dikuasai Indonesia. Kennedy tak ingin melihat Belanda bersitegang dengan Indonesia. Masa-masa ini ditandai juga aksi propaganda pemerintahan Sukarno menerbitkan buku-buku hasutan agar Irian Barat jadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada 15 Agustus 1962, Belanda dan Indonesia menandatangani sebuah perjanjian, ditengahi suruhan Kennedy, Elsworth Bunker di New York, yang dikenal New York Agreement. Isinya, Irian Barat ditempatkan di bawah perwalian sementara PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada Oktober 1962, untuk kemudian dialihkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.

Sebagian kesepakatan ini memuat ketentuan Indonesia wajib mengadakan plebisit—disebut “Akta Pilihan Bebas” atau secara resmi dinamakan Penentuan Pendapat Rakyat alias Pepera. Tujuannya, memberi kesempatan para penduduk Irian Barat untuk menentukan masa depannya: memilih integrasi dengan Indonesia atau independen.

Perjanjian itu juga meminta para ahli utusan PBB untuk tetap berada di wilayah Irian Barat selama masa perselisihan internasional. Namun, lantaran pengunduran diri Indonesia dari PBB, untuk sementara pada November 1964, tidak ada satu pun perwakilan PBB yang hadir di sana. Pepera digelar Juli 1969 melalui sistem perwakilan di delapan kabupaten. Ada sekitar 1.022 perwakilan rakyat Papua dipilih di mana jumlah tersebut berasal dari orang-orang yang mendukung integrasi. Ia dikumpulkan di bawah pengawasan militer Indonesia, disertai intimidasi dan kekerasan. Hasilnya bulat mendukung Irian Barat bagian NKRI.

Seorang diplomat dari Bolivia, Fernando Ortiz-Sanz, dan 16 staf pendukungnya, dikirim PBB mengawasi proses tersebut. Pada 6 September, Ortiz-Sanz melaporkan kepada Sekretaris Jendral PBB U Thant, mengungkapkan keraguannya terhadap Indonesia menerapkan referendum dengan benar. Ini terkait hak kebebasan berbicara, bergerak, dan berkumpul warga Papua yang dibatasi sedemikian rupa, meskipun ia telah terus-menerus berusaha memeringatkannya. Pemerintah Indonesia juga, tutur Ortiz, ”memberlakukan kendali politik yang sangat ketat terhadap penduduk di sana sepanjang waktu.”

Rakyat Papua menyatakan seharusnya ada sebuah referendum dengan cara satu-orang satu-suara, meskipun prosedur serupa tidak dinyatakan secara khusus dalam New York Agreement. Menurut Indonesia, metode yang digunakan telah sesuai bila memertimbangkan kondisi geografis Papua yang sulit. Jakarta juga memandang—dalam apa yang mereka anggap—warga Papua masih rendah dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya.

Walapun demikian, Majelis Umum PBB menerima hasil Pepera dalam Resolusi No. 2504, dengan 84 suara mendukung dan 30 abstain, dan disahkan 19 November 1969. Sebulan berikutnya, Irian Barat secara resmi sebagai propinsi ke-26 Indonesia. Ia berubah nama Irian Jaya pada 1973.

Sebelum Pepera diadakan, di Jakarta terjadi situasi peralihan pucuk kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, memakan jutaan nyawa bagi orang-orang yang dianggap komunis dan pemenjaraan tahanan politik, di mana Partai Komunis Indonesia sendiri ketika masih jaya ikut menggaungkan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Pepera juga terjadi selepas pemerintah Jakarta meneken kontrak karya selam 30 tahun dengan Freeport McMoRan Copper & Gold, sebuah perusahaan pertambangan dari New Orleans, Amerika Serikat, 7 April 1967. Kontrak ini mengijinkan Freeport sudah bisa memulai beroperasi mengeksploitasi Ertsberg atau gunung bijih di Irian Barat.

Manipulasi ini yang membikin gerakan politik sekaligus protes warga Papua, secara bergelombang, bertahun-tahun terhadap Jakarta, menggugat keabsahan posisi Indonesia—hingga sekarang.


SUATU siang, Juli lalu. Gandung Pardiman duduk bersandar di kursi panjang berlapis busa di gedung dewan Yogyakarta di bilangan Malioboro. Wakil ketua DPRD DIY dari Fraksi Partai Golkar itu memakai setelan kemeja bergaris merah muda, celana linen dan sepatu coklat. Seuntai dasi merah bergaris emas bermotif kanguru dalam bentuk kecil-kecil melingkari lehernya. Ia berkacamata, rambut tersisir rapih ke kiri, mengkilap.

Gandung adalah ketua DPD partai berlambang beringin itu. Saya menemui Gandung terkait pernyataannya di Kedaulatan Rakyat, harian terbesar Yogyakarta, pada 7 Juli 2007. Inti komentarnya, mendesak polisi dan tentara menyisir mahasiwa Papua di Yogyakarta terkait separatisme dan anti-NKRI. Ini reaksi Gandung atas aksi mahasisa Papua pada 4 Juli 2007.

”Jika aparat keamanan tak mampu mencegah,” kata Gandung, ”jangan salahkan masyarakat jika kemudian bertindak sendiri untuk membubarkan aksi mereka dan mengusir dari Yogya.”  Di hari yang sama, pernyataannya pun dimuat di situs detikcom. Kali ini bahkan lebih eksplisit lagi. ”Kalau TNI/Polri sudah tak mampu lagi mengatasi, kami bersama-sama anggota FP-NKRI akan men-sweeping mereka yang nyata-nyata mau makar dan mendukung separatisme.” Ia menambahkan FP-NKRI ”juga akan melacak mahasiswa-mahasiswa pendukung separatis melalui kampus perguruan tinggi.”

Pernyataan Gandung itu bikin kondisi psikologis mahasiswa Papua merasa takut dan was-was.

FP-NKRI kepanjangan Front Pembela NKRI. Ini organisasi massa bentukan Gandung pada 1999. Ia muncul mula-mula sebagai reaksi balik atas pernyataan Amien Rais, yang saat itu mewacanakan negara federal untuk Indonesia. FP-NKRI termasuk organisasi massa yang memunyai AD/ART dan struktur organisasi. Selain memobilisasi massa, mereka juga kerap menyebar ketakutan dengan membawa bendera Gepako alias Gerakan Pasukan Anti Komunis. Sewaktu mahasiswa Papua melakukan demonstrasi pada 4 Juli, Gandung berada di Bandung, menghadiri acara temu kader Partai Golkar. Ia lantas kembali ke Yogya, dan pada Jumat malam, sehari sebelum pernyataannya beredar, ia mengumpulkan anggota FP-NKRI di rumahnya. Pertemuan ini dihadiri juga organisasi massa lain. Hasilnya, mereka berjanji dan sepakat tidak akan men-sweeping asal-asalan.

Beny Dimara esoknya membaca pernyataan Gandung di Kedaulatan Rakyat. Dimara memfotokopi lembaran berita itu, menunjukkan kepada para mahasiswa Papua di asrama. Ia minta Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua menanggapi berita tersebut. Dimara tak bisa terlibat lebih aktif mengikuti isu sweeping itu lantaran masih sakit jantung.

Di hari yang sama pula Tinus Uaga menerima ancaman. Ia sempat diteror dari handphone-nya oleh penelepon gelap. Di ujung telepon, terdengar suara laki-laki yang mengancam Uaga jika memimpin aksi lagi maka nasibnya bisa berkalang tanah. Teror juga dilakukan lewat pesan pendek.

Di Solo, ada aksi pembakaran simbol Bintang Kejora oleh Front Pembela Islam. Mahasiswa Papua di Yogya sempat hendak pergi ke sana tapi ditahan Dimara. ”Kalau ada untungnya buat kita, silahkan pergi,” anjur Dimara. ”Tapi kalau ini malah mempertajam persoalan, biarkan saja.” Akhirnya, mereka batal ke Solo.

Gandung mengatakan pada saya,”Apabila dia ingin menyebarkan virus separatisme, saya ancam. Saya usir.” Gandung berkata tegas. Saya tanya Gandung dalam kapasitas apa ketika bikin pernyataan pers itu. Ia langsung meninggikan suaranya, cepat menjawab, ”Saya panglima langsung! Saya panglima. Tidak ketua.”

Dalam pandangan Gandung, ”NKRI itu sudah final. Pancasila sudah final. Indonesia, Proklamasi ’45 sudah final. Jadi musuh kami tidak hanya separatis. Musuh kami sebetulnya orang-orang yang merongrong Pancasila. Dari mana pun. Dari siapa pun. Itu jelas-jelas musuh kami.”

Baginya, alasan kenapa ada separatisme dan konflik di daerah, akar masalahnya pada penegakan keadilan dan peningkatan kesejahteraan serta pemberantasan korupsi. Jika elemen massa mengusung isu itu, katanya, kami mendukung sepenuhnya. ”Tapi kemudian kalau kondisi seperti itu dijadikan alasan untuk separatis, kami nggak sepaham.”

Lalu ia juga mengatakan, ”Tugas utama kita adalah memperteguh keutuhan NKRI itu sendiri. Wawasan Nusantara. Semangat kebangsaan. Cinta tanah air. Jadi kelompok-kelompok yang anti empat hal itu, ini berarti musuh kami.”

Seperti ucapannya di Kedaulatan Rakyat, Gandung mengulangi lagi pada saya bahwa Yogyakarta miniatur Indonesia. Karena itu, ”Kalau teman-teman Papua, mahasiswa Papua, yang belajar di sini dalam rangka memperkuat separatis, yaaa…kita usir. Biar dia sekolah di Belanda atau sekolah di Amerika sana saja.”

”Saya tidak membedakan you dari mana, you suku apa, kalau sudah masuk sini, kita sama-sama anak Indonesia,” ucapnya. ”Paham-paham, virus-virus separatis, ekstrimis, tidak layak hidup di Yogya.”

Saya katakan pada Gandung, perlakuan Jakarta lewat pendekatan militer yang represif bikin warga Papua ingin merdeka. Namun, Gandung mengelak dan bilang militer di Indonesia itu beda dengan militer di negara lain. ”Kalau militer di Indonesia memang anak kandung revolusi dalam merebut kemerdekaan ini. Kalau di negara lain, militer diberi. Kalau di kita direbut. Mereka adalah penjaga negara.”

”Bukankah dengan begitu tambah menderita?” tanya saya.

”Kalau pikirannya mau merdeka itu kan harus dioperasi otaknya!” Kali ini Gandung berkata lantang. Suaranya menggema di ruangan.

Selepas pernyataan Gandung dipublikasikan, sebuah surat terbuka muncul. Surat ini ditulis Hans Luther Gebze, ketua umum sekaligus juru bicara internasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat. Surat tersebut beredar di milis dan dimuat juga di situs kabarpapua.com, yang dikelola Front Pepera PB. Gebze menyerukan, jika yang terjadi di Yogyakarta dibiarkan begitu saja dan luput dari perhatian organisasi massa lain, terutama organisasi prodemokrasi di Indonesia, maka front akan mengeluarkan instruksi resmi untuk dijalankan oleh seluruh anggota front dan rakyat Papua yang ada di luar Papua agar kembali ke tanah Papua.

”Seluruh penduduk Papua yang ada di luar Papua, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, NTT, Maluku, Sulawesi, akan kita instruksikan untuk pulang secepat-cepatnya ke Papua,” tegas Gebze.


TINUS UAGA BARU SAJA selesai mandi. Ia duduk di samping kiri saya. Pakai jins hitam, kaos biru bergambar Che Guevara. Wajah Uaga diselimuti cambang di sepanjang dagu dan berkumis. Guevara dokter sekaligus gerilyawan Argentina yang turut menggulingkan pemerintahan militer Cuba bersama kelompok Fidel Castro. Nama “Fidel” dari Uaga diambil dari nama Fidel Castro.

Dua perempuan masuk, memerkenalkan diri Nitha Uaga dan Dolly Kuum, lalu Uaga mengajaknya untuk ikutan ngobrol. Ada Roy Jikwa juga. Lainnya hanya diam, tapi turut mengiyakan ucapan-ucapan Uaga. Uaga membawa buku agenda, mengeluarkan lembaran fotokopi berita Kedaulatan Rakyat berisi pernyataan Gandung Pardiman.

Saya tanya pada Uaga, bagaimana kawan-kawannya memandang seruan Gebze. Ia katakan itu tidak main-main. ”Jadi, kami sebagai pemimpin basis, yaaa…kami harus mengikuti instruksi yang sudah dikeluarkan oleh ex-officio kami.” Ia menghela nafas, diam beberapa saat. Isu sweeping belum terjadi hingga saat itu dan belum ada aksi kekerasan, namun ”Kami sekarang merasa takut, tidak nyaman lagi, teror psikis,” ujar mereka.

”Situasinya tidak seperti dulu lagi, sudah tidak nyaman, kami hanya minta hak-hak kami,” tutur Dolly Kuum.

Tinus Uaga koordinator Aliansi Mahasiswa Papua untuk wilayah Yogya dan Solo. Ia yang membangun jaringan komunikasi di kedua daerah itu. AMP merupakan organisasi strategis, sedangkan Front Pepera PB bergerak secara taktis. Di Jakarta dan Jawa Barat, atau wilayah yang disebut “Konsulat Indonesia,” koordinator front diketuai Victor F. Yeimo. Adapun juru bicaranya Arkilaus Baho yang berkedudukan di Papua.

Hans Gebze salah satu pendiri AMP pada 1998 di Yogyakarta, tahun di mana kekuasaan Soeharto berakhir. Ini juga bentuk respon mahasiswa Papua atas penembakan 26 warga sipil Papua di Biak, Juli 1998. Gebze mantan mahasiswa di Yogyakarta, sempat studi Teknik Lingkungan. Sebelum Front Pepera PB terbentuk, Gebze menjabat sekretaris jenderal komite pusat AMP di mana ketua umum internasional dipegang Demianus Tari Wanimbo.

Gebze juga termasuk dalam ‘Daftar Pencarian Orang’ yang dikeluarkan Kepala Polisi Daerah Papua Tommy Jacobus. Ini terkait persitiwa Abepura, 16 Maret 2006. Bersama Jefrison Pagawak, ketua umum Parlemen Jalanan Papua, Gebze bahkan diperintahkan bila perlu tembak mati di tempat.

Dua organisasi itu pada 16 Maret 2006 menggalang demonstrasi menuntut Freeport ditutup. Aksi ini berlangsung di depan kampus Universitas Cenderawasih dan berakhir rusuh. Empat polisi dan seorang tentara tewas dipukuli massa. Dampaknya, anggota kedua organisasi gerakan politik itu diburu-buru aparat keamanan. Selfius Bobii, sekretaris jenderal Front Pepera PB, diputus 15 tahun penjara.

Tinus Uaga mengatakan anggota AMP di Yogya dan Solo berjumlah 4.100 orang. Ini jumlah semua mahasiswa Papua hasil pendataan pascagempa. Saya ragu atas keterangannya. Namun Uaga berkata, ”Semua mahasiswa Papua yang merasa dirinya Papua, maka ia anggota AMP!”

Benny Krisifu, mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta, mengatakan pada saya dia  bukan anggota AMP. Ayahnya mantan tentara. Dari angkatan darat, ayahnya dipindah tugas ke kesatuan polisi. Sekarang sudah pensiun. Krisifu sekretaris jendral Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua. Aktivitas organisasinya lebih ke urusan sosial. ”Wadah besar mengurus pelajar dan mahasiswa Papua yang ada di Yogya,” ujar Krisifu. Bentuk-bentuk aktivitasnya pun seperti lomba olahraga, Natal bersama, maupun mengurus beasiswa mahasiswa Papua. Ini lain dengan AMP yang notabene didirikan sebagai gerakan politik.

Organisasi tempat Krisifu bernaung itu yang bikin acara diskusi pada 21 Juli 2007. Tempatnya di ruangan depan asrama di mana saya pernah duduk bersama beberapa mahasiswa Papua ketika isu sweeping masih kencang terdengar. Diskusi ini digelar selepas dua hari sebelumnya asrama dijaga empat pasukan Brimob. Penjagaan ini tak memancing keributan, hanya saja para penghuni asrama umumnya terheran-heran.

Hari itu, 19 Juli, sebetulnya ada kunjungan Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark ke Yogyakarta. Dari airport, Clark menuju ke keraton Yogyakarta. Ia tiba ke Indonesia sejak 17 Juli sebagai tamu negara. Clark bertemu dengan Presiden Yudhoyono di Jakarta. Dari Yogya, ia melanjutkan perjalanannya mengunjungi candi Borobudur. Kunjungannya berakhir sampai 23 Juli.

Menariknya, di hari yang sama, ada demonstrasi dari kalangan pengusaha kecil dan menengah di depan gedung Bank Indonesia di sekitar perempatan Malioboro. Mereka tidak bisa mengembalikan kredit bank mereka karena gempa.

Kunjungan Helen Clark plus aksi para pengusaha itu, di lokasi yang berdekatan di hari yang sama, juga di musim liburan wisatawan asing, tentu saja mengundang perhatian ekstra bagi aparat kepolisian. Di lokasi keraton, jantung kota Yogya, para polisi bergerombol, menjadi konsentrasi penjagaan. Di sekitar lokasi itu lah Tinus Uaga, yang menyelinap dari asrama setelah dicari dua polwan, berada.

Polisi beralasan bahwa para mahasiswa Papua akan melakukan demonstrasi bersamaan dengan kedatangan Helen Clark. Ini yang mendorong polisi mengepung asrama Papua. Kenyataannya, mereka tak melakukan aksi.

Menurut Uaga, kalau pendekatan terhadap warga Papua selalu mengedepankan keamanan, lebih baik mereka memilih pulang ke Papua. ”Ya, sudah kami pergi saja. Biarkan kami bikin rumah sendiri, daripada kami numpang jadi satu rumah. Kan begitu!” tutur Uaga. Dolly berpendapat, ”Kami menyuarakan hak-hak kami saja sudah kayak gini. Mereka menciptakan disintegrasi sendiri. Kami juga kan bagian dari mereka.”

Saya tanya apa situasi macam ini tidak memengaruhi gerakan? Mereka bilang justru ini salah satu poin yang mendorong isu Papua hangat. ”Ada perhatian,” kata mereka.

Bagi AMP, seperti dibilang Uaga, otonomi khusus, pemekaran, pemilihan umum lokal, itu sama sekali omong kosong. ”Jadi, referendum adalah harga mati. Bagaimana rakyat papua duduk sama rata, berdiri sama tinggi, khususnya di Papua Barat,” katanya.

Jikwa ikut angkat bicara. Ia menuturkan di Papua, maupun yang terjadi dengan mahasiswa Papua di Yogyakarta, adalah bentuk ”masalah diatasi masalah.” ”Masalah ini menjadi bertumpuk-tumpuk. Tapi masalah itu dihadapkan oleh keamanan. Jadi kami dianggap separatis dari dulu, tidak hanya sekarang. Ya, ini memang realitasnya begini. Tekanan selalu ada. Terus-menerus.”

Fransisco Dani, yang juga ketua asrama mahasiswa pusat, berkata, ”Kami ini hidup dengan bangsa Indonesia sudah menderita. Kami paham dan mengerti perlakuan Indonesia terhadap kami maupun kami terhadap Indonesia. Ya, kami sendiri manusia dan merasakan hal itu. Terakhirnya, yang jelas kami akan pulang, membangun satu rumah buat kami tinggali dan hidup sebagai orang Papua. Karena Indonesia sendiri tidak memberi kami suatu harapan hidup di Indonesia. Kami ini manusia, bukan binatang.” Ia terlihat sungguh-sungguh. Wajahnya menerawang. Semuanya diam.

Ketika saya bertemu Gandung Pardiman, setelah obrolan saya dengan mereka, saya tidak tahu bagaimana perasaan mereka jika mendengar rangkaian pernyataan Gandung, yang menyerukan kekerasan. Gandung bilang, jika mahasiswa Papua ngotot ingin merdeka, maka akan sweeping betul. ”Apa istilah dulu itu… binasakan! Orang-orang seperti itu perlu dibinasakan. Coba saja lakukan. Sweeping-nya kan enak. Hanya Kusumanegara. Cari daerah Badran itu orang Papua semua.”

Saya merinding mendengarnya.

Gandung menambahkan, ”Kami kan bukan orang-orang yang terlatih. Kadang kalau sudah di lapangan—ia menunjukkan kepala—bukan ini yang jalan. Kesadaran nasional menyempit, tingkatan emosional melebar. Nek gebuk, gebuk tenan! Tapi apakah itu tujuan kita? Kan ndak. Kita hanya ingin kesadaran mereka.”

Saat saya bertemu dengan Beny Dimara di tempat terpisah, ia mengomentari pernyataan Gandung, di mana seharusnya ”Kita duduk dulu, bicara, diskusi. Kita punya hak yang sama, berbeda pendapat tapi punya visi yang sama.”

Dimara menjelaskan, Yogyakarta tempat paling aman bagi adik-adiknya, maksudnya anak-anak muda Papua, yang sekolah ke sini. Ia kerap diminta para orangtua menjaga anak-anak mereka di Yogya. ”Sekarang saja,” kata Dimara, ”ada sekitar 400-500 mahasiswa baru dari Papua datang ke sini.”

Ia minta mereka serius studi. ”Kita punya gelar, suara kita didengar. Kalau kuliah tidak beres, siapa yang akan percaya?” ujar Dimara, memberi alasan. Ia menyitir pepatah lama Papua: ”Kalau kita tanam keladi, makanan pokok kami, semuanya harus dipersiapkan dengan baik, agar hasilnya juga baik.”

Dimara saya kira bersikap sebagai orang yang berhati-hati menanggapi isu ”separatisme” yang dikibarkan Gandung Pardiman. Ia menolak komentar isu anti-NKRI. Ia mengatakan, ”Lebih baik kita perbaiki komunikasi dulu. Karena ada label yang sudah dipasang: separatis.” Ia mengaku sudah mengirim surat atas nama Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua minta ketemuan dengan pemerintah daerah Yogya.

Dimara menarik bagi saya secara fisik karena kulitnya putih dan berambut lurus. Ini jauh dari stereotype orang Papua, berkulit hitam dan rambut keriting. Stereotype ini memang sering bikin masalah. Kebanyakan penduduk Papua di daerah danau atau gunung memang berkulit gelap, namun penduduk daerah pantai, misalnya Pulau Biak dan Pulau Serui, banyak yang berkulit terang. Setidaknya, seterang dengan warna kulit orang Jawa atau Melayu, yang sawo matang atau sawo muda.

Tanah halaman Dimara di Biak, namun ”Kalau saya naik ke atas lagi, ke Jayapura, saya kerap dianggap bukan orang Papua.” Namun beda warna kulit juga menguntungkan Dimara saat menjalani hidup di Yogya. Terlebih jika tengah berurusan dengan pemerintah daerah Yogya. Dimara mengawali hidup di Yogya dengan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Ia sudah menikah dan memiliki dua anak, laki dan perempuan. Keluarganya besar di Yogya.

Menjalani hidup di Yogya barangkali cukup bikin Dimara merasakan emosi yang turun-naik dalam menjalin hubungan sosial. Ia menceritakan bagaimana masa-masa nyaman tinggal di Yogya ketika Sultan HB IX masih hidup. HB IX kerap mengundang mereka untuk berdialog. Ketika HB IX wafat, dampaknya terasa sekali. Ini bukan berarti HB X tak lebih baik. Hanya sekarang mereka susah menjalin komunikasi dengannya. ”Kita sedang mencoba juga ke sana,” tutur Dimara.

Dimara menilai harusnya Gandung bersikap netral.


DISKUSI publik separatisme dimulai sekitar jam 11.30. Ada dua pembicara. Irsyad Thamrin dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dan seseorang dari Gerakan Revolusi Nurani. Peserta yang hadir sekitar 84 orang. Suasana cukup ramai. Ada cukup keceriaan.

Di acara itu, saya melihat Fransisco Dani menenteng handycam, merekam dari sudut ke sudut. Tinus Uaga berpenampilan agak rapih. Baju kuning gading berpadu celana jins dan bersepatu. Cambang di kedua pipinya dicukur rata. Para mahasiswa Papua, yang pernah saya temui, ada semua di acara tersebut.

Saya menilai, membahas makna separatisme tak cukup diukur sebatas teks yang definitif, macam pembicara dari GRN itu. Apalagi jika rujukannya dari kamus bahasa. Kita tahu, kamus bahasa—juga Balai Pustaka sebagai penerbitnya—ialah institusi kekuasaan negara yang berdiri sejak jaman pemerintah kolonial Belanda. Ada politik bahasa yang bermain di sini. Bahasa jadi harus seragam. Ada tirani dalam berbahasa.

Artinya, separatisme muncul bukan dari ruang kosong. Ada ketidakadilan dan proses pemiskinan struktural—untuk menyebut dua contoh minimal. Parahnya, yang terjadi di Papua lebih jauh dari itu. Selepas integrasi politik terjadi, dengan cara manipulatif, proyek integrasi lainya dari pemerintah Indonesia mengikuti. Dari ekonomi hingga budaya maupun agama. Melalui pendekatan militer sampai transmigrasi yang mengakibatkan puluhan ribu pelintas batas dari Papua, berkelompok maupun sendiri-sendiri, menyeberangi negara tetangga; mengubah tapal batas kolonial ke tapal batas buatan menjadi tapal batas rasial.

Arnold Ap korban proyek ”budaya nasional” ala rejim Soeharto yang serba anti-regionalisme. Freeport bentuk lain dari penghisapan tanah Papua. Sementara kekuatan militer seringkali dipakai dalam menghadapi tuntutan gerakan-gerakan warga Papua menentukan nasib sendiri. Pada 2003, ketika Presiden Megawati berkuasa di mana suaminya Taufik Kiemas amat dekat dengan jaringan intelijen dan militer, wilayah paling timur ini secara kontroversial dibagi menjadi dua propinsi baru. Irian Jaya Barat dengan ibukota Manokwari dan Papua dengan ibukota Jayapura. Ini makin memerdalam kebencian warga Papua terhadap pemerintah Indonesia. Istilah NKRI selalu dipakai jika ada tuntutan merdeka. NKRI bak mitos dan digunakan bak alat sihir yang menindas wilayah-wilayah yang bergolak macam Papua. Ini dipertebal dengan aturan hukum secara legal dari pemerintah Indonesia sendiri, di mana bentuk pemisahan diri tak dikenal, bahkan sekalipun lewat jalan damai. Ini jika merujuk ratifikasi kovenan internasional hak-hak sipil dan politik, sert

a ekonomi, sosial dan budaya. Kedua kovenan itu diratifikasi pemerintah Indonesia masa Presiden Yudhoyono, Februari 2006.

Hak atas penentuan nasib sendiri tercakup dalam Pasal 1 pada dua kovenan tersebut. Namun, dalam ratifikasi, frase ’hak untuk menentukan nasib sendiri’ tidak berlaku. Dengan kata lain, jika hak ini tetap diminta, artinya anda ”makar”, ”subversif”, ”separatis”, ”anti-NKRI” dan karena itu perlu dilawan dengan operasi militer, dari Aceh sampai Papua.

Di diskusi itu, saya iseng tanya pada Tinus Uaga, di antara yang hadir di ruangan, adakah satu-dua intel? Ia jawab, ”Wah…, banyak. Banyak banget.” Mulut Uaga menyungut.

”Mana?”

”Itu yang berbaju putih. Yang di ujung sana. Di depan sana.”

”Baju putih yang duduk di bangku belakang?”

”Ya, ya…,” katanya. ”Saya tahu mereka.”

Yang dimaksud Uaga, sosok gempal pakai kaus putih lengan panjang, celana jins, sepatu kulit coklat, kulit leher gelap, rambut pendek. Ia bawa dua telepon genggam dan tampak serius mengikuti diskusi. Sesekali ia membuka ponselnya.

Di diskusi ini, saya juga bertemu dengan Beny Dimara. Ia bawa istri dan kedua anaknya. Penyakit jantungnya sudah baikan.

Ada foto bersama seusai diskusi. Uaga, yang duduk makan, diajak berfoto di depan. Ia diam sejenak, mengusap-usap dagunya, dan yang mengajaknya bilang, ”Ayo…, sini. Kamu kan penguasa di sini.” Di depan, Dimara melambaikan tangan pada Uaga. Uaga beranjak dari kursi dan menghampiri.

Musik reggae mulai mengalun dari sebuah tape. Suaranya berdentam-dentam, terhubung ke dua spekear di kedua ujung ruangan, bercampur udara panas penuh asap rokok. Band penyanyi reggae dari Lucky Dube, kelompok musik dari Afrika, senafasan Bob Marley yang berisi lagu-lagu pembebasan.

Saya pulang dari diskusi membawa bermacam pertanyaan mengenai anak-anak muda Papua. Mereka lahir jauh setelah jajak pendapat dilaksanakan. Mereka lahir dan langsung mengenali lingkungan sekitar di bawah integrasi Indonesia. Mereka generasi belakangan dari evolusi paham kebangsaan Papua sejak Organisasi Papua Merdeka muncul hingga, misalnya Thyes Hiyo Eluay dibunuh dan represi di tengah pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru.

Kini mereka menyebar, lebih efektif dalam kendali jaringan informasi maya, menempa mereka berpikir dan bergerak, dalam arus keterbukaan yang tak sepenuhnya bebas. Asap alias napawe itu telah menggantang. Pesannya jelas untuk Jakarta: referendum sebagai harga mati.  Saya kira pesan itu akan selalu terdengar jika Jakarta meredamnya melalui kebijakan otonomi khusus maupun pemekaran dan lebih-lebih kekerasan.

kembali keatas

by:Fahri Salam