Kaum Muda Menolak Konflik

Samiaji Bintang

Thu, 27 September 2007

JALANNYA pendidikan jadi terganggu akibat konflik panjang di Aceh. Anak muda Aceh ada yang trauma pada politik, tetapi ada juga yang terjun ke politik untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya.

SYAHRINA Prihatini tak suka bicara politik. Alumnus madrasah aliyah (atau setingkat sekolah menengah atas) di Banda Aceh ini memilih siaran film asing atau mendengarkan lagu daripada menonton diskusi politik.

“Tidak menarik sama sekali. Karena cuma omongan, tidak dalam kenyataan,” ujarnya, ketus.

 

Ia juga tak percaya pada politikus.

“Yang bisa dipercaya, orang tua dan guru,” lanjutnya.

Usia Syahrina 18 tahun. Ia berjilbab. Bersama orangtuanya, Syahrina tinggal di Lamcot, Darul Imarah, Aceh Besar. Sebelum Perjanjian Helsinki dua tahun lalu, beberapa kali kontak senjata antara militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terjadi di daerah ini. Anak-anak ikut jadi korban.

Tahun 2002 silam, misalnya. Sekolah Dasar Negeri 1 Lamcot, Darul Imarah, Aceh Besar habis dibakar. Delapan ruang kelasnya hangus.

Sejak 1988 hingga Juli 2002, sebanyak 546 sekolah di Aceh musnah dibakar, yaitu terdiri dari  358 bangunan sekolah dasar, 126  sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah, 57 sekolah menengah umum dan madrasah aliyah, serta lima sekolah menengah kejuruan.

Makanya, selain tak suka politik Syahrina juga amat membenci konflik. Syahrina tak mau konflik Aceh yang telah merenggut ribuan nyawa dan menyengsarakan ratusan ribu anak Aceh terulang kembali di masa datang.

“Lalu bagaimana cara meredakan konflik dan ketegangan?” tanya saya pada Rina.

“Diselesaikan tanpa kekerasan, dan masing-masing pihak harus lebih terbuka melihat segi-segi positif, didialogkan tiap tuntutan,” jawabnya.

Jika belum berhasil, ia memberi jalan keluar,  “Harus ada penengah yang netral yang punya misi perdamaian.”

 

Mimpi Aceh bebas dari konflik juga sudah lama mengusik Irvan Hilmi Mudir. Hidup pemuda berusia 20 tahun bersama orangtua serta saudara-saudaranya diliputi rasa takut, selama bertahun-tahun. 

Irvan kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Kini ia duduk di semester enam. Rumahnya di daerah Ketapang, Aceh Besar. Jarak dari rumah ke kampus lebih dari tujuh kilometer. Sekitar lima kilometer dari situ ada markas Tentara Nasional Indonesia, di Mata Ie, Aceh Besar. Pos-pos militer banyak dibangun di sana semasa konflik.

“Sering mendengar kontak senjata. Kita tidak bisa kuliah secara normal (ketika konflik), aktivitas tidak berjalan normal karena merasa takut,” kenang Irvan. 

“Banyak teman saya di Aceh Utara jadi korban konflik,” lanjutnya.

Ia bersyukur bahwa perdamaian yang ia impikan terwujud. Kini perdamaian sudah berjalan lebih dari dua tahun. Kondisi Aceh kini jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

“Sedikit lebih baik. Sebagian masyarakat sudah ikut dalam politik,” katanya.

Pada Desember 2006 warga Aceh memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur secara langsung. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, ia menganggap tata cara berpolitik di Aceh masih jauh dari bersih.

“Masih banyak terjadi money politic, dan masyarakat hanya menjadi objek politik, tidak menjadi subjek politik,” kata Irvan, lagi.

“KONFLIK memang diciptakan. Karena tidak ada agama yang menganjurkan perang,” kata Heri Mulyandi.

Ia mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh. Usianya 23 tahun. Selain menuntut ilmu, Heri giat dalam kepengurusan Partai Rakyat Aceh. Ini partai lokal baru di Aceh. Anggotanya rata-rata anak muda. Partai ini bercita-cita menjadikan Aceh sebagai wilayah modern dan mandiri, progresif di pemerintahan, ekonomi, hingga persoalan syariat Islam.

Heri kerap membaca berita-berita di media. Aktivitasnya sebagai pengurus partai politik menuntutnya mengetahui sebanyak mungkin informasi seputar politik. Sebab, kekisruhan  politik bisa mendorong lahirnya konflik. Jika itu terjadi, buntutnya, masyarakat yang akan menjadi korban. Termasuk kaum muda. 

"Konflik jelas sangat buruk. Perekonomian jadi berantakan, warga tak bisa ke kebun, berdagang, sekolah dibakar. Terjadi pembodohan, dan kemiskinan pun meningkat. Bagaimana anak muda (Aceh) bisa maju?" Heri memprotes. 

Itu sebabnya, Heri terjun ke dunia politik. Menurutnya, politik bukan bidang yang ‘kotor’ atau ‘tabu’ buat anak muda. Ia juga tak sepenuhnya percaya terhadap para legislator di parlemen. Pada pemilihan umum 2004 dan pemilihan kepala daerah 2006 lalu, Heri memilih ‘golput’ ketimbang memberi suara kepada calon-calon yang sulit dipegang janjinya.

Suara dan tuntutan kaum muda soal perdamaian, menurut Heri, kerap dianggap angin lalu. Padahal anak-anak usia pelajar dan mahasiswa di Aceh butuh pendidikan yang bebas dari ketakutan. Bebas dari desing peluru dan api yang membakar fasilitas pendidikan. Terlebih lagi, bebas dari kecemasan akan keselamatan orangtua dan guru-guru mereka.

“Cara bagaimana bisa mensejahterakan rakyat, kita yang harus berpolitik,” tegas Heri.

Mirza, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala, setuju jika kaum muda ikut menentukan nasib perdamaian dan pendidikan di Aceh melalui jalur politik.  Setidaknya, menurut dia para politikus muda bisa menyuarakan aspirasi kaum muda. Alasan lainnya, “Kaum muda lebih bersemangat, lebih bisa dipercaya daripada politikus tua.”

Seperti juga Heri, Mirza memiliki kegiatan lain di luar bangku kuliah. Ia aktif dalam lembaga dakwah kampus. Meski sering membuat dahinya berkerut, ia menyukai diskusi-diskusi bertopik politik.

Dalam pemilihan kepala daerah Desember tahun 2006, ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencoblos jagoannya. Apalagi, pesta demokrasi kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Aceh sudah damai dan pemilih bisa memilih langsung pasangan yang menurut mereka pantas menjadi pemimpin.

Mirza memilih pasangan Azwar Abubakar dan Muhammad Nasir Djamil sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Azwar dari Partai Amanat Nasional, sedangkan Djamil dari Partai Keadilan Sejahtera.

Pasangan itu, menurut dia, memenuhi kriteria sebagai pemimpin yang baik. Namun, pasangan yang dijagokan Mirza keok oleh pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Pasangan Abubakar dan Djamil hanya mendapat 213.566 suara. Tak sampai setengah dari suara yang dikumpulkan Irwandi dan Nazar, yang memperoleh 768.745 suara.

Mirza tak kecewa. Meski Aceh bukan dipimpin jagoannya, ia tetap mendambakan perdamaian bisa terus berlanjut.

“Mestinya sebelum sampai terjadi konflik dilakukan dialog-dialog. Harus dikembangkan dan diterapkan prinsip keadilan, hukum juga harus ditegakkan secara adil. Akar konflik selalu dari ketidakadilan,” katanya. Klise, tapi itulah kebenaran.*** 


*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang