SALAT Isya baru selesai di Masjid Uteun Gathom, kecamatan Peusangan Selatan. Rabu malam, 15 Agustus 2007, ratusan orang tua, pemuda dan anak-anak memenuhi masjid. Rata-rata mengenakan sarung, kemeja koko dan peci. Di situ juga hadir tiga imam mukim, dua puluh satu geuchik, staf kecamatan dan desa, serta ketua dan pengurus Majelis Perwakilan Ulama setempat.

Dahlan, camat Peusangan Selatan, berada di barisan depan jamaah. Setelah salat, Dahlan sudah merancang acara syukuran yang diisi doa bersama para jamaah. Syukuran ini terkait dua tahun perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang sepakat mengakhiri konflik senjata.

“Mari kita jaga perdamaian sesuai dengan MoU yang ditandatangani di Helsinki,” ujar Dahlan di hadapan jamaah. Ia memberi sambutan sebelum doa bersama.

Di halaman masjid sudah menunggu Komandan Rayon Militer Kapten Dito dan Kepala Kepolisian Sektor Peusangan Inspektur Dua Setiaman. Dito didampingi dua anggotanya. Setiaman ditemani tiga anggota Polsek.

Begitu acara doa bersama selesai, kedua komandan itu segera menemui Dahlan, para geuchik, dan imam mukim.

“Ada SMS (short message service atau pesan pendek) dari atasan, di Tanjong Beuridi ada penurunan 20 lembar bendera,” kata Setiaman kepada Dahlan. Atasan yang dimaksud Setiaman adalah Kepala Kepolisian Resor Bireuen Ajun Komisaris Besar Suwono Rubiyanto.

Bersama para geuchik, imam mukim, Dito, Setiaman dan Dahlan berjalan menuju kedai kopi yang berada 20 meter dari masjid.

“Gimana Pak?” tanya Dahlan pada Syafruddin Daud.

Syafruddin Daud adalah geuchik Tanjong Beuridi. Ia diangkat jadi kepala desa sejak 2004 lalu.

“Apa ada penurunan bendera di Tanjong Beuridi?” Dahlan mengulang pertanyaan.

“Nggak ada,” Syafruddin membantah.

“Yang namanya penurunan bendera di Tanjong Beuridi itu sama sekali nggak ada. Nggak pernah terjadi, Pak!” tegas Syafruddin, lagi.

“Kita cek informasi ke sana saja,” balas Setiaman. Ia seperti tak percaya pada pernyataan Syafruddin.

“Sambil silaturahmi kita minta keterangan dari masyarakat benar atau tidak,” timpal Dito. Ia mendukung usul Setiaman.

Meski gundah, Syafruddin setuju. Ia tak mau desa dan warga yang dipimpinnya dicap buruk. Ia yakin informasi penurunan bendera itu hanya kabar bohong.

Safruddin menuju sepeda motornya. Dahlan segera naik mobil dinasnya bersama sekretaris kecamatan, kepala kantor urusan agama, dan kepala seksi pemerintahan. Sedangkan Dito dan anggotanya serta tiga anggota Polsek naik ke mobil Setiaman. Mereka meninggalkan kedai kopi Uteun Gathom, dan segera menuju desa Tanjong Beuridi.

Desa itu berjarak sekitar lima kilometer dari masjid Uteun Gathom. Malam itu tidak ada penerang jalan kecuali lampu kendaraan. Rumah-rumah penduduk berjauhan dan gelap. Aliran listrik mati.

Mereka berhenti di depan kedai kopi milik Rusdi Thaeb. Kedai itu menggunakan generator listrik untuk lampu penerang. Di situ sudah banyak warga tengah minum kopi. Termasuk di antaranya Muhammad Zahri. Ia mantan panglima sagoe Gerakan Aceh Merdeka wilayah III Batee Iliek. Potongan rambut pendek. Kumisnya mirip ulat bulu, lebat menutup bibir atas lalu menyatu dengan jenggot. Itu sebabnya ia akrab dipanggil Ahmad Kumis. Nada bicaranya tinggi, lantang.

Syafruddin, Setiaman, Dito, dan Dahlan bersama staf kecamatan segera memesan kopi. Dito berbincang-bincang dengan warga dan Ahmad Kumis dalam bahasa Aceh.

“Karena di sini sudah ada warga, silakan bapak-bapak tanya pada warga. Ke anak-anak pun boleh bapak tanya,” Syafruddin memulai percakapan.

Setiaman melontarkan lagi pesan pendek dari atasannya yang mengabarkan ada penurunan bendera merah putih di Tanjong Beuridi.

“Nggak ada Pak,” sahut salah seorang warga.

“Di sini nggak ada yang namanya penurunan bendera,” timpal warga yang lain.

“Memang masih ada warga masih belum menaikkan bendera,” sela Syafruddin.

“Tapi selama ini tidak pernah terjadi penurunan bendera. Kalau pun ada, saya duluan yang lapor. Yang memasang bendera, biasanya menaikkan bendera mulai jam tujuh pagi. Jam enam sore diturunkan oleh masing-masing pemilik rumah. Besok pagi, ya pasang lagi,” katanya, lagi.

“Kalau begitu, mari sama-sama kita jaga supaya (aksi pencopotan bendera) jangan terjadi di daerah kita,” ujar Setiaman di hadapan warga.

Setiaman dan Dito mempercayai penjelasan dari warga dan Syafruddin. Suasana dalam kedai kopi mulai hangat kembali. Mereka semua sepakat bahwa penurunan bendera merah-putih di Tanjong Beuridi hanya kabar bohong.

JARAK DESA Tanjong Beuridi dari kota Bireuen sekitar 25 kilometer. Rute menuju desa ini melewati Kantor Polres Bireuen di Jalan Raya Banda Aceh – Medan, dan belok ke arah selatan di simpang Matang. Dari persimpangan ini melewati 12 desa sebelum tiba di pinggir lapangan bola Tanjong Beuridi.

Jalan beraspal. Berkelok. Naik-turun. Selain pemukiman dan kedai kopi, kanan-kiri jalan terdapat kebun pinang, coklat, kelapa, dan jagung. Meski berada di tepi Sungai Peusangan, belum ada irigasi yang mengairi sawah dan ladang penduduk. Hujan menjadi andalan para petani.

Tanjong Beuridi berada dalam pemerintahan kecamatan Peusangan Selatan yang dibentuk pada Maret 2005 lalu. Ibukota kecamatan di desa Uteun Gathom. Kecamatan ini hasil pemekaran kecamatan Peusangan.

Ada 21 desa dalam kecamatan ini. Desa-desa ini terbagi dalam tiga kemukiman. Dalam struktur kemukiman, Tanjong Beuridi termasuk dalam kemukiman Simpang Tanjong. Desa lain di kemukiman Simpang Tanjong, antara lain desa Pulau Harapan, Darul Aman, Blang Mane, dan Darussalam, dan Suak.

Total penduduk Tanjong Beuridi 2.500 jiwa. Umumnya mereka mengandalkan hasil perkebunan, seperti coklat, pinang, kelapa, dan palawija. Hasil bumi itu dijual lewat perantara muge alias tauke untuk selanjutnya dibawa ke Bireuen lalu ke Medan.

Sebelum perjanjian damai Helsinki disepakati pada 15 Agustus 2004, di desa-desa ini kerap terdengar baku tembak antara militer Indonesia dan pasukan Teuntra Negara Aceh atau TNA. Namun korban paling banyak adalah warga desa, orang-orang biasa.

Selama pemerintah Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Aceh, tidak sedikit warga desa Tanjong Beuridi dan desa-desa di sekelilingnya yang hilang. Mereka dianiaya, bahkan dibunuh. Puluhan rumah dibakar. Berhektar-hektar kebun dan sawah sengaja dihanguskan.

“Kebun saya yang dibakar seluas tujuh hektar oleh anggota kesatuan 612 dari Kalimantan dan selama 2002-2004, sarapan pagi saya mayat. Ada warga desa kami, ada juga dari desa-desa tetangga,” ungkap Syafruddin.

Ia juga menyaksikan warganya diinjak, disepak dan dipukul tentara. Ia sendiri beberapa kali dihantam tentara. Pada Oktober 2004, contohnya. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) memukuli warga desanya. Kejadian itu berlangsung saat bulan puasa.

“Kepala dusun kami ditendang, barang-barang buka puasanya tumpah. Tapi TNI minta islah. Ya, oke islah. Di POM (Polisi Militer) Lhokseumawe saya islah, bulan Desember. Kami tidak dendam. Kalau sudah damai, salaman, ikhlas, ya sudah selesai,” kenang Syafruddin.

Pada mulanya Syafruddin tak mau menerima jabatan ini. Berbulan-bulan lamanya, sebelum akhirnya ia terpaksa menerima jabatan sebagai kepala desa, Tanjong Beuridi tidak memiliki pemimpin desa. Di masa konflik banyak lelaki Tanjong Beuridi yang menolak jabatan itu. Risikonya amat berat. Keliru memberi laporan bisa dihantam popor senjata. Ditinju. Atau, jika apes, ditembus peluru.

Syafruddin mengalami bentuk siksaan yang lain.

“Saya pernah disangkut di pohon belimbing, perut saya digantung antara dua percabangan. Sakit sekali rasanya. Bilang tentara yang gantung saya, ‘Kamu nggak mungkin hidup kalau tidak kerja sama dengan GAM!’,” kenang Syafruddin.

Tak ada asap tanpa api.

“Sekitar lima persen dari warga saya memang anggota GAM,” ungkap Syafruddin.

Namun setelah perjanjian damai Helsinki ditandatangani, situasi di desa berangsur aman. Warga desa yang umumnya bertani dan berkebun bisa menggarap kembali sawah dan kebun yang tak terawat selama konflik. Masyarakat maupun mantan GAM yang menjadi anggota Komite Peralihan Aceh sangat mendukung program pemerintah.

Setahun lalu, pada 17 Agustus 2006, dua hari setelah peringatan setahun perjanjian damai Helsinki, Tanjong Beuridi dipilih menjadi tempat upacara bendera tingkat kecamatan. Upacara dilakukan di lapangan bola, di seberang kedai kopi Ahmad Kumis.

Seluruh staf kecamatan, kepala desa, dan pegawai dinas di kecamatan Peusangan Selatan ikut upacara.

“Saya yang jadi inspektur upacara tujuh belas Agustus di lapangan Tanjong Beuridi,” ujar Dahlan. Ia menjadi camat Peusangan Selatan pertama setelah pemekaran, tahun 2005.

“Waktu itu semua aman, tidak ada apa-apa. Bahkan bendera di rumah warga naik semua,” Dahlan mengenang.

Saya mewawancarai Dahlan di rumahnya yang asri dan luas, sekitar 15 kilometer dari Tanjong Beuridi. Ia cukup dikenal oleh warganya. Di sela tugasnya sebagai camat, Dahlan kerap menyambangi warga di desa-desa dengan sepeda motor.

“Hampir tiap minggu bersama warga saya ikut le’et buii,” ujarnya.

Le’et buii artinya berburu babi. Setelah damai perburuan bintang ini baru bisa dilakukan warga.

Populasi babi liar di kecamatan Peusangan Selatan cukup banyak. Binatang ini menjadi musuh warga. Ia sering memakan tanaman kebun milik penduduk. Pisang, jagung, dan tanaman-tanaman palawija habis disikat. Babi-babi itu belakangan malah memakan anak kambing dan ayam.

Desa Tanjong Beuridi termasuk wilayah perburuan babi. Jumlah babi liar cukup banyak dibanding desa lain yang menjadi wilayah perburuan seperti, Darul Aman, Darussalam, dan Blang Mane.

Warga yang menjadi pemburu babi membentuk kelompok. Hampir tiap desa memiliki kelompok-kelompok khusus le’et buii. Dahlan bersama warga menggunakan tombak untuk memburu babi. Setelah berhasil ditombak, binatang itu dikubur.

“Saya jadi semacam penasehat kelompoknya. Ha-ha-ha…” Dahlan tergelak.

Situasi aman di desa berlanjut hingga digelar pemilihan kepala daerah langsung di seluruh kabupaten di Aceh pada 11 Desember 2006. Begitu pula ketika pemilihan bupati dan wakil bupati Bireuen pada akhir Juni 2007, ya aman-aman saja.

Tengku Nurdin Abdurrahman dan Tengku Busmadar Ismail terpilih sebagai bupati dan wakil bupati. Pasangan ini mendapat dukungan GAM. Mereka mengalahkan lima pasangan lain yang ikut dalam pemilihan ini dengan jumlah suara sebanyak 120.603 atau 62,27 persen dari total pemilih.

Menjelang peringatan hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-62, bupati menerbitkan imbauan pengibaran bendera kepada warga. Surat imbauan diedarkan kepada para camat. Dahlan juga menerima surat pemberitahuan dan meneruskan kepada para geuchik di kecamatan Peusangan Selatan.

“Isi imbauan itu bukan cuma penaikan bendera saja. Termasuk mengimbau gotong-royong, dan kegiatan-kegiatan lain yang menyangkut HUT RI,” ujar Dahlan.

“Apa disebut sanksi dalam imbauan itu?” Saya bertanya.

“Tidak. Tidak ada disebut sanksi di situ. Itu kesadaran, imbauan,” tukas Dahlan.

“Imbauan penaikan bendera berlaku mulai tanggal 10 hingga 18 Agustus. Itu tidak ditentukan jam, tapi biasanya naik bendera seperti aturannya dari jam tujuh hingga jam enam,” kata Dahlan, lagi.

Hari Jumat, 10 Agustus 2007, surat imbauan itu sudah diterima Syafruddin. Isi imbauan itu segera ia umumkan kepada warga lewat pengeras suara Masjid Babul Falah.

Syafruddin kembali mengumumkan imbauan itu pada Senin, 13 Agustus, lewat pengeras suara di masjid yang sama.

LIMA belas menit setelah Setiaman, Dito, Dahlan, Syafruddin, dan Ahmad Kumis bersama warga berbincang-bincang di kedai Rusdi Thaeb, Kepala Polres Bireuen Ajun Komisaris Besar Polisi Suwono Rubiyanto datang ke kedai tersebut. Ia ditemani dua ajudan dan seorang sopir. Mobilnya diparkir tak jauh dari kedai.

Setiaman, Dito, Dahlan, dan Syafruddin bergantian menyambut Rubiyanto. Malam itu Rubiyanto tak mengenakan seragam dinas kepolisian.

Rubiyanto menanyakan isu penurunan bendera yang sudah selesai dibahas warga bersama Setiaman, Dito, Dahlan dan Syafruddin. Namun ia mencari seorang lelaki yang bernama Ahmad Kumis, yang juga berada dalam kedai. Laporan yang diterima Rubiyanto menyebutkan bahwa bendera diturunkan oleh 20 anak buah Ahmad Kumis.

“Dari mana informasi itu?” Ahmad Kumis balik bertanya.

“Dari atasan,” balas Rubiyanto.

“Tangkap anak buah saya kalau memang benar mereka yang menurunkan bendera merah putih. Bawa ke sini!” protes Ahmad Kumis, sengit. Ia emosi mendengar tuduhan tak berbukti itu.

“Saya tanggung jawab kalau mereka lari. Tapi kalau mereka tidak melakukan penurunan bendera kalian harus bertanggung jawab,” kata Ahmad Kumis, lagi. Suaranya lantang.

Rubiyanto langsung menunjukkan isi pesan pendek pada telepon selulernya kepada Syafruddin. Pesan itu ia terima dari atasannya, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Rismawan.

Syafruddin membaca pesan itu yang antara lain berbunyi, “Di desa Tanjong Beuridi terjadi penurunan bendera merah putih sebanyak 60 lembar jam 15.00 yang dilakukan 20 orang pimpinan Ahmad Kumis”.

“Itu nggak ada, Pak. Karena saya dari pagi sampai sore saya di desa,” tukas Syafruddin.

Ahmad Kumis ikut membantah. Ia dan anak buahnya tidak pernah membuat keributan menjelang peringatan hari kemerdekaan ini, apalagi sampai menurunkan bendera merah putih.

“Tolong Pak, yang beri informasi itu diusut, dan bawa ke saya. Tunjukkan bukti ada yang menurunkan bendera,” katanya.

“Pak Kapolres, sumber yang lapor ini harus jelas, harus bertanggung jawab,” tuntut Syafruddin.

“Karena saya difitnah. Saya tidak mau desa saya dicoreng, difitnah. Saya minta klarifikasi, nggak ada itu. Dan saya nggak bisa terima desa saya difitnah begitu,” katanya, lagi.

“Kalau pelapor, orangnya saya tidak tahu. Yang tahu cuma Kapolda. Kalau mau sama-sama kita bisa ke Kapolda. Kita klarifikasi ke sana,” ujar Rubiyanto.

“Oke, demi warga, demi masyarakat saya, saya siap kemana pun,” sergah Syafruddin.

Namun Syafruddin segera menambahkan, “Kalau bapak bilang warga desa saya tanggal 15 benderanya tidak lengkap, tidak semua menaikkan bendera itu saya akui. Tapi kalau penurunan bendera jam tiga sore itu sama sekali tidak ada.”

“Kalau memang nggak ada penurunan, ya sudah. Kita sudah lihat sendiri,” sela Dito. Ia menengahi

SEKITAR 50 meter dari kedai Rusdi Thaeb, pada saat yang bersamaan, Syamsul Bahri tengah menuang kopi di kedai milik Ahmad Kumis. Ia melayani pelanggan dari jam sembilan pagi hingga malam. Kedai itu belum setahun dibuka. Letaknya di tepi jalan, di seberang pos jaga yang terletak di pinggir lapangan bola Tanjong Beuridi. Gerobak martabak telor ada di samping kedai.

Malam itu ada beberapa pelanggan yang tengah mengobrol sembari minum kopi. Bahri meletakkan lilin di tiap meja buat penerang. Beberapa lelaki tengah berkumpul di pos jaga yang tanpa penerang.

Di belakang mobil Kapolres yang diparkir dekat situ, ada beberapa mobil minibus dan double cabin. Penumpangnya membawa senapan, pistol, dan radio handy-talky (HT). Ada yang mengenakan seragam kepolisian. Ada yang mengenakan pakaian preman. Ada pula yang memakai jaket antipeluru.

Lebih dari sepuluh polisi berjalan menyebar, ke arah kedai dan pos jaga.

“Hei, keluar! Kau keluar!”

Bahri terkejut. Ia mendengar salah seorang dari aparat itu membentak orang-orang dalam kedai.

Bahri segera meninggalkan gelas dan saringan kopi yang tengah ia pegang. Orang-orang di dalam kedai berhamburan keluar.

“Tiarap!”

Bahri ikut keluar, tapi menolak tiarap. Ia duduk tanah, di tepi jalan.

Buk! Tiba-tiba ia melihat kawan yang berada di sebelahnya dipukul.

Buk! Giliran Bahri kena sepak sepatu. Tendangan itu tepat mengenai mulutnya. Ia terjengkang. Bibirnya pecah. Kepala pusing. Namun pelan-pelan Bahri kembali bangkit.

Buk! Kini kepala Bahri dihantam gagang senjata. Ia tersungkur.

Azwari Yusuf yang tengah berada di kedai kopi ikut dihantam. Lengan kirinya lebam ditendang sepatu. Kepala bagian belakang dihantam popor senapan.

Munirwan disepak di punggung dan dada kiri. Ayub Mukhtar memar bagian perut dan punggung. Mahmudi, Muhammad Diah, Ali Akbar, dan Asnawi yang berada dekat Bahri tak luput dari kebrutalan aparat. Beberapa kursi plastik di patah di bagian kaki setelah digunakan untuk menghantam tubuh pemuda-pemuda itu.

Di tengah keributan itu, seorang lelaki berhasil lari ke kedai Rusdi Thaeb, tempat Rubiyanto, Setiaman, Dito, Dahlan, Syafruddin, Ahmad Kumis, dan warga lain tengah berkumpul.

“Bang Amat! Bang Amat! Di sana ada yang dipukul, tolong Bang!”

Ahmad Kumis tak langsung beranjak.

Seorang lelaki yang dikenali Ahmad Kumis sebagai anggota polisi, ikut menghampirinya.

“Bang Amat, cepat pergi ke sana! Orang itu sudah kelahi!” katanya.

Ahmad Kumis melompat. Bergegas menuju kedai kopinya. Ia berniat melerai.

“Berhenti! Berhenti!” teriak Ahmad Kumis.

Tak disangka, ia malah kena sasaran.

“Itu dia orangnya!” kata salah seorang aparat..

“Itu dia!”

Tubuh, lengan, dan kepala Ahmad Kumis dipukul dengan kayu. Ditendang bertubi-tubi. Batok kepalanya dihantam popor senapan. Aparat mengerubuti Ahmad Kumis. Ia sulit menghindari serangan. Begitu dapat celah, ia lari pontang-panting ke belakang kedai. Ia menyelamatkan diri menuju kebun coklat yang gelap.

Dor!

Salah seorang aparat melepas tembakan.

Tretetetett…! Terdengar tembakan senjata otomatis.

“Ada apa itu?” Rubiyanto terhenyak.

Orang-orang di kedai kopi Rusdi spontan menoleh ke sumber suara. Setiaman juga terkejut. Tapi ia tak berani beranjak. Dahlan yang tengah berbicara dengan warga hanya terpaku. Mereka tak mau terkena peluru nyasar dalam kegelapan malam itu.

Namun, tak lama berselang, setelah merasa bahwa sesuatu yang lebih buruk akan terjadi tanpa tindakan cepat, Rubiyanto, Syafruddin, Dito, Dahlan, Setiaman dan warga yang lain segera keluar dari kedai Rusdi, menuju kedai kopi Ahmad Kumis.

Di situ mereka mendapati Bahri dan beberapa pemuda sudah terkapar. Berlumuran darah.

Syafruddin mendengar Rubiyanto bersuara keras memerintahkan anggotanya.

“Kenapa kau menembak malam-malam? Kunci senjata kalian!”

Suasana kacau. Rubiyanto mondar-mandir di depan kedai.

“Polisi kumpul semua!” perintahnya.

Dito menghampiri korban.

“Kalian diapakan?” tanya Dito dalam bahasa Aceh.

“Mereka pukul kami,” jawab salah seorang korban.

“Bang Amat Kumis mana?”

“Lari.”

Dito segera mendekati Syafruddin yang tengah kebingungan melihat warganya dipukuli.

“Pak Geuchik, atas kesalahan anak-anak ini, saya minta maaf. Mungkin sudah telanjur,” kata Dito pada Syafruddin.

“Pak, maaf bukan di sini dan bukan malam ini. Yang ada sekarang balik mobil, pulang,” balas Syafruddin, geram.

“Nggak ada maaf-maaf,” timpal Bahri. Wajahnya babak belur.

Ahmad Kumis keluar dari kebun coklat. Rubiyanto mendapati wajah, lengan, dan pakaian Amat Kumis berlumur darah. Ia merangkul Ahmad Kumis. Syafruddin berada di dekat keduanya.

“Tengok anak buah kamu. Datang ke sini untuk bunuh aku,” ujar Ahmad Kumis.

Rubiyanto minta maaf. Tapi Ahmad Kumis menolak.

Setelah itu Rubiyanto segera naik ke mobil. Dito dan dua anggota Koramil menuju mobil yang ditumpangi Setiaman bersama tiga anggota Polsek Peusangan.

Tinggal Syafruddin, Dahlan, staf kecamatan dan puluhan warga yang berkumpul di depan Ahmad Kumis. Dahlan tak habis pikir, mengapa Rubiyanto meninggalkan warganya begitu saja setelah menjadi korban kebrutalan aparat.

Ia segera mengangkut Munirwan dan Azwari yang luka parah ke dalam mobil dinasnya. Menjelang tengah malam para korban dibawa ke puskesmas terdekat dan Rumah Sakit Dr Fauziah di kota Bireuen.

Sementara di depan kedai warga menemukan lima selongsong peluru kaliber 5.56 yang pada bagian pantatnya tercetak huruf “PIN” dan sebuah selongsong peluru kaliber 0.38. Kaca gerobak martabak telor berlubang tertembus peluru.

Warga juga menemukan sebuah radio HT merek Motorola ATS 2500 warna hitam dengan antena sekitar 20 sentimeter. Muhammad Ibrahim, yang datang ke kedai tak lama setelah terdengar letusan, menyimpan selongsong peluru dan radio itu dalam kantong plastik.

TIGA hari sebelum insiden pemukulan warga di Tanjong Beuridi, isu penurunan bendera merah putih yang terjadi di Aceh sudah dilaporkan media. Isu ini menjadi hangat karena berdekatan dengan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia dan dua tahun kesepakatan damai antara GAM dan pemerintah Indonesia.

Senin 13 Agustus, harian Rakyat Aceh memberitakan raibnya 150 lembar bendera merah putih di lima desa pada kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Berita ini dimuat pada halaman pertama. Lima desa itu, disebutkan Rakyat Aceh, antara lain desa Ujong Blang, Ulee Jalan, Hagu Barat Laot, Hagu Teungoh, dan Banda Masen.

Aksi penurunan dilakukan hari Minggu, jam lima pagi. Tapi harian itu tak mengutip keterangan warga masing-masing desa. Sebaliknya, mereka memuat komentar Komandan Distrik Militer 0103 Letnan Kolonel Infanteri Yogi Gunawan. Ia menyatakan pelaku pencurian bendera itu mengendarai sepeda motor Yamaha RX King.

“Bahkan ada yang disobek. Ada warga yang sempat melihat, tapi tak berani melarang,” kata Yogi seperti dikutip Rakyat Aceh.

Yogi juga menyebut oknum GAM sebagai pelaku pencurian. Tapi, dalam berita yang sama, pernyataan Yogi dibantah Ismuhar dari biro penerangan Komite Peralihan Aceh wilayah Pasee. Ismuhar bahkan menyatakan pelaku penurunan bendera sebagai musuh bersama.

Pada hari yang sama, harian Waspada dan Serambi Indonesia juga memberitakan pernyataan Yogi soal penurunan bendera. Kedua media cetak ini mengutip pernyataan warga, tapi anonim.

Dalam judul berita, Waspada mengidentifikasi pelaku pencuri bendera sebagai ‘Orang Tak Dikenal’. Sedangkan pada isi berita Serambi ditulis, “menurut Yogi, pelaku pencurian bendera ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan juga oknum yang tidak ingin melihat Aceh terus damai”.

Kabar santer penurunan bendera ini segera tersiar hingga ke Jakarta dan media-media Jakarta ikut memuat beritanya. Sejumlah tokoh segera memberi tanggapan serius. Harian Kompas yang terbit Selasa, 14 Agustus, pada halaman dua, menulis judul, “Ketua DPR Minta Rakyat Aceh Hormati Simbol RI”.

Kompas menurunkan laporan Kepala Humas Polda Aceh Komisaris Besar Jodi Heriyadi yang dikutip dari kantor berita Antara, lalu mengutip tanggapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso, dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS.

“Saya belum mengetahui dari mana pihak itu berasal. Yang pasti tujuan mereka adalah melecehkan kedaulatan negara dan dilakukan untuk memperkeruh keadaan,” ujar Djoko seperti dikutip Kompas.

Rabu, 15 Agustus, giliran Republika mengutip tanggapan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal isu 150 penurunan bendera di Aceh. Kalla menganggap aksi ini sebagai penghinaan. Dalam berita yang sama, harian ini menyertakan pernyataan gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Namun, Irwandi justru meminta agar para tokoh dan pemimpin berhati-hati menyikapi isu penurunan bendera.

“Kita tidak tahu siapa pelaku penurunan bendera Merah Putih di Aceh selama ini dan kita harus hati-hati menyikapinya. Kita jangan asal menuduh,” kata Irwandi seperti ditulis Republika.

Sementara Abdurrahman Wahid, bekas presiden RI, melahap mentah-mentah informasi yang samar ini. Kepada wartawan Gus Dur justru mendesak agar Irwandi dicopot dari jabatannya sebagai gubernur Aceh. Ia melontarkan komentar itu pada hari Kamis, 16 Agustus dalam acara “Refleksi 62 Tahun Kemerdekaan RI”. Acara tersebut digelar di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta. Beberapa media seperti Antara, Tempointeraktif, Kompas, Sinar Harapan, dan Jawa Pos memuat pernyataan Gus Dur.

Namun, sekali lagi, sampai hari ini peristiwa penurunan 150 bendera merah putih itu tak pernah terbukti.

MUHAMMAD Zahri alias Ahmad Kumis masih terbaring di kamar perawatan Ibnu Hayyam, Rumah Sakit Dr Fauziah, Bireuen. Pelipis kanannya robek. Luka itu dibalut perban. Jarum infus menancap di lengan kanan. Kaos yang ia kenakan penuh bercak darah. Di bangsal yang sama, Munirwan berbaring di sebelah Ahmad Kumis.

Azwari Yusuf dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU). Selama beberapa jam ia tak sadarkan diri. Pangkal lengan kirinya memar dan tak dapat digerakkan. Zakiah, istri Azwari, duduk menunggu di samping tempat tidur. Matanya sembab. Di sebelah kanan Azwari, terbaring Ayub Mukhtar. Kondisinya tak jauh berbeda. Kerabat dan belasan warga desa Tanjong Beuridi menjenguk mereka.

Pagi itu Rubiyanto sempat menjenguk Ahmad Kumis. Kali ini ia mengenakan seragam dinas. Di situ ia kembali meminta maaf pada Ahmad Kumis. Lagi-lagi ditolak Kumis. Ia tetap tidak terima tindakan brutal anak buah Rubiyanto.

Dua puluh lima kilometer dari rumah sakit, kedai milik Ahmad Kumis di Tanjong Beuridi tetap buka seperti biasa. Tapi hari itu Syamsul Bahri bukan giliran tugas. Ia sempat menemani Ahmad Kumis di rumah sakit pagi itu. Sebelum pulang, ia sempat melihat Rubiyanto didampingi anggotanya masuk kamar perawatan Kumis.

Sekitar jam dua siang, rombongan Bupati Nurdin Abdurrahman mendatangi kedai. Nurdin didampingi Dahlan dan Syafruddin. Rubiyanto ikut dalam rombongan Nurdin.

Nurdin menyalami Bahri, dan warga yang lain.

“Apa yang terjadi?” tanya Nurdin.

“Kami dipukul, Pak,” jawab Bahri.

“Apa alasannya?”

“Nggak ada alasan. Langsung mengamuk, memukul.”

“Maafkan mereka, kita selesaikan secara damai.”

“Nggak ada maaf,” sahut Bahri, kesal. Luka di bibirnya belum kering.

Nurdin kemudian berbincang dengan warga Tanjong Beuridi yang lain. Ada warga yang menuntut ganti rugi gara-gara sepeda motornya dirusak. Namun Nurdin meminta agar warga tetap menjaga perdamaian. Sedangkan Rubiyanto tak banyak bicara. Ia menyaksikan dari jauh percakapan Nurdin dengan warga desa.

JUMAT, 17 Agustus, usai mengikuti upacara bendera di lapangan Glanggang Labu, Peusangan Selatan, Syafruddin menjenguk Ahmad Kumis dan warga lain yang jadi korban pemukulan. Ia masih mengenakan seragam pegawai negeri dan peci hitam saat saya jumpai.

Ia menyesalkan aksi yang dilakukan anggota Rubiyanto. Ia menuntut Rubiyanto bertanggung jawab atas peristiwa Rabu malam itu.

“Pelaku yang bertanggung jawab kasus di desa kami, Kapolres pasti tahu. Nggak usah cari siapa orangnya, ciri-cirinya. Jelas anak buah dia, dia pasti tahu. Kapolres harus bertanggung jawab, karena kejadian itu di depan mata dia,” ujar Syafruddin, dengan suara tinggi.

“Dari pertama kedatangan mereka tidak bersahabat. Mereka datang bawa itu dendam. Kalau mereka bawa perdamaian, saya rasa begitu turun mobil itu masuk warung mereka memberikan salam. Tetapi kalau dia turun mobil, dia kepung rumah itu jelas bawa dendam,” katanya, lagi.

“Mereka yang bapak maksud itu siapa?”

“Polisi-polisi itu.”

Ia menolak penyelesaian di luar jalur hukum. Ia merasa sudah cukup lelah dengan islah tiap kali ada warganya yang dianiaya aparat sejak darurat militer.

“Harus diproses secara hukum, harus diusut tuntas!”

Tapi Syafruddin lebih kesal atas datangnya fitnah yang berbuntut insiden pemukulan warga desanya. Syafruddin menuntut Kepala Kepolisian Daerah Aceh agar mengusut si penyebar fitnah itu.

“Kalau Kapolda nggak mau proses si pelapor, kami anggap itu rekayasa Kapolda,” katanya. Sebab ia melihat sendiri pesan pendek yang dikirim Kapolda pada bawahannya.

Saya sempat menemui Rubiyanto bersama beberapa wartawan, begitu ia selesai mengikuti upacara pemberian remisi kepada seratusan tahanan dan narapidana di Rumah Tahanan Bireuen. Letaknya tak jauh dari rumah sakit tempat Ahmad Kumis dirawat. Rubiyanto saat itu mengenakan pakaian dinas warna coklat tua, lengkap dengan topi.

“Apa tindak lanjut atas peristiwa kemarin?” saya bertanya.

“Ya, kita… kita proses. Tetap, tidak ditutup-tutup. Kita cari masalahnya,” ujarnya, sambil melangkah menuju mobil dinas.

Rubiyanto menceritakan, kedatangannya ke Tanjong Beuridi malam itu juga untuk silaturrahmi. Di kedai kopi, saat itu sudah kondusif. Tidak ada kejadian apa-apa. Tiba-tiba, saat ia hendak berpamitan terdengar letusan senjata.

“Yang berantam di sebelah sana, jauh, kira-kira 150 meter,” ujarnya. Namun jarak yang diungkapkan Rubiyanto tak sesuai dengan jarak sebenarnya. Ini berdasarkan fakta yang saya dapatkan di tempat kejadian. Kedai Rusdi dan Ahmad Kumis hanya terpaut 50 meter.*

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi PANTAU di Banda Aceh.

**) Liputan untuk laporan ini atas bantuan KONTRAS Aceh.

by:Samiaji Bintang