Simeulue

Samiaji Bintang

Mon, 6 August 2007

KEJAYAAN cengkeh di Simeulue berakhir dan perekonomian warga hancur akibat ulah Tommy Suharto dan kebijakan ayahnya saat menjabat presiden Indonesia.

PINTU gudang itu sedikit terbuka. Dari balik pintu baja terlihat sebuah pos jaga dengan jendela kawat nyamuk.

Hanya gundukan pasir yang mengisi gudang tersebut, sebuah bangunan yang terletak di tepi jalan raya Tengku Di Ujong, Sinabang, ibukota kabupaten Simeulue.

“Sudah kosong, tidak ada isinya,” ujar Muhammad Deni.

Dia baru saja mengasah parang di belakang pos jaga. Lelaki itu bertelanjang dada. Di pangkal lengan kanannya ada bekas tato. Seluruh rambutnya nyaris dipenuhi uban. Usianya hampir 70 tahun.

Penduduk di Sinabang mengenal gudang itu sebagai tempat menyimpan cengkeh. Ia mampu menampung ribuan ton buah cengkeh kering. Halamannya luas dan diplester semen. Pagar tembok setinggi dua meter mengelilingi gudang.

Menurut Deni, semula gudang itu milik salah satu perusahaan rokok besar di Pulau Jawa. Sekarang gudang itu sudah berpindah tangan ke Tong Yan, tauke yang tinggal di Padang.

Cengkeh yang disimpan di gudang itu dibeli dari petani-petani di Simeulue. Sebelum dijual, petani menjemur buah cengkeh mereka hingga berwarna coklat tua. Jika cuaca panas, seperti pada pertengahan tahun ini, para petani hanya butuh waktu dua hari untuk mengeringkannya. Setelah dikumpulkan di gudang, berkarung-karung cengkeh diangkut ke kota Padang dan Pulau Jawa dengan kapal dari Pelabuhan Sinabang. Tahun ini panen cengkeh berlangsung mulai Maret hingga Juni.

“Tapi sekarang panen sedang turun,” ujar Deni. Gudang yang dijaga Deni pun terkena imbasnya. Hingga akhir Juni 2007 lalu, kapasitas gudang rata-rata hanya 500 ton. Padahal tahun sebelumnya bisa mencapai seribuan ton.

Rata-rata produksi cengkeh di Simeulue setiap tahun sampai 1.452 ton. Namun seperti diberitakan Serambi Indonesia pada 21 Maret 2007, ribuan pohon cengkeh di Simeulue umumnya sudah berusia puluhan tahun dan tak produktif lagi. Luas lahannya sekitar 2.127 hektare. Luas itu hampir sepertiga dari total perkebunan cengkeh yang berada di delapan kecamatan di Simeulue. Kebun cengkeh yang tak produktif paling banyak terdapat di kecamatan Teluk Dalam, seluas 413 hektare dan kecamatan Salang, 408,1 hektare.

Khairul Hasan, kepala dinas Perkebunan Simeulue, mengatakan bahwa batang-batang cengkeh tua itu mati di bagian pucuknya. Pohon-pohon tersebut mudah terkena parasit dan hama.

Sebenarnya produksi tidak akan berkurang jika dilakukan pemeliharaan dan peremajaan. Tetapi saat ini warga Simeulue tak bersemangat berkebun cengkeh.

“Harga cengkeh sekarang sedang murah,” kata Abbas.

Abbas memiliki 400 pohon cengkeh. Selain berkebun, sejak tahun 1980an, dia jadi tauke cengkeh. Dia membeli berkarung-karung cengkeh dari para petani. Sebagian cengkeh disimpan di gudang berukuran 2 x 2 meter persegi di muka rumahnya di jalan raya Tengku Di Ujong. Sisanya disimpan di teras rumah. Setelah mencapai 200 karung, cengkeh itu dia jual ke Tong Yan, pemilik gudang yang dijaga Deni.

“Perawatannya berat. Tidak cukup biaya dari hasil jualnya,” kata Abbas, lagi.

Ketimbang merawat kebun, Abbas memilih fokus pada pekerjaannya sebagai tauke cengkeh.

“Sekarang banyak kebun cengkeh yang mati. Tidak seperti dulu,” tukas Deni.

Selain menjaga gudang, Deni juga memiliki kebun yang berisi 150 pohon cengkeh. Dia masih ingat ketika cengkeh menjadi pendongkrak ekonomi warga Simeulue. Jika dataran tinggi Gayo tersohor karena kopi, daerah ini terkenal sebagai daerah utama penghasil cengkeh.

TAHUN 1975, pasaran harga cengkeh di Simeulue waktu itu mencapai seribu rupiah per kilogram. Ledakan harga didorong munculnya pabrik-pabrik rokok kretek di Pulau Jawa. Warga Simeulue berlomba menanam pohon yang bernama latin Syzygium aromaticum ini. Para petani bisa membeli bermacam barang dari hasil panen mereka. Abbas sempat membeli Honda Astrea 70.

“Waktu itu harganya sama dengan harga 50 kilo cengkeh. Harga motor (Honda) GL lebih tinggi, sama dengan 100 kilo cengkeh.,” kenang Abbas.

Kota Sinabang mulai bersinar akibat ledakan harga cengkeh. Banyak rumah dibangun. Bahan-bahan bangunan seperti semen, diangkut dari Pulau Sumatera, terutama dari Medan dan Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Tahun 1978, Muhammad Deni tiba di Sinabang. PT Gudang Garam, perusahaan tempat dia bekerja menugaskannya berangkat ke Simeulue. Dia pun pergi meninggalkan rumahnya di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Selain Deni, ada enam karyawan lain yang ditugaskan ke pulau ini.

Gudang Garam merupakan salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Pabriknya di Semampir, Kediri, Jawa Timur. Perusahaan rokok ini didirikan pada 26 Juni 1958 oleh Tjoa Ing Hwie. Sejak tahun 1990 Gudang Garam go public, menjual sebagian sahamnya ke masyarakat.

Jenis rokok andalan yang diproduksi Gudang Garam adalah rokok kretek. Ini jenis rokok yang populer di Indonesia. Tiap hari perusahaan ini memproduksi jutaan batang rokok. Selain tembakau, Gudang Garam membutuhkan ribuan ton cengkeh. Cengkeh menjadi bahan utama selain tembakau dalam ramuan rokok tersebut.

Mutu cengkeh Simeulue dikenal cukup tinggi. Minyaknya bagus. Pulau ini menjadi salah satu pemasok utama cengkeh ke perusahaan-perusahaan rokok, termasuk Gudang Garam. Produsen rokok ini kemudian membangun gudang cengkeh di Simeulue.

Pertama kali tiba, Deni ditugaskan di bagian sortir. Kapasitas gudang sampai 2.000 ton setiap panen. Dia bertugas memilih dan memilah cengkeh. Setelah itu, tugasnya bertambah. Dia diminta mengurus transportasi pengiriman cengkeh dari gudang ke pelabuhan. Kesejahteraan Deni jadi terjamin. Gajinya lumayan untuk ukuran waktu itu. Bahkan dia dan karyawan lain bisa berlibur selama sebulan di Jakarta.

Perusahaan rokok mendapat keuntungan berlipat-lipat dari setiap bungkus rokok yang dibeli konsumen. Di samping digunakan untuk meningkatkan kekayaan para pemilik modal dan pendapatan karyawan, keuntungan itu juga dimanfaatkan untuk membangun fasilitas hiburan.

Di Sinabang, Gudang Garam membangun bioskop, tak jauh dari pelabuhan. Tepatnya di desa Suka Makmur. Pekerjaan tambahan Deni kian bertambah setelah ada gedung film. Selain sibuk dengan urusan cengkeh di gudang, dia mulai menjadi pemutar film.

Bioskop buka selepas magrib. Film diputar jam delapan hingga dua belas malam. Harga tiket kurang dari seratus rupiah. Jumlah kursi penonton mencapai 1.000an. Gulungan-gulungan seluloid itu didatangkan dari Jawa. Ada film koboi, ada film India. Film-film Indonesia juga ada.

“Saya sampai bosan nonton film,” ujar Deni.

“Tapi saya tidak suka nonton,” kata Abbas. Dia lebih suka mendengar radio di rumah ketimbang menonton film. Radio itu dia beli dari hasil panen cengkeh.

Seiring kenaikan harga cengkeh dan ekonomi warga, tiket masuk bioskop ikut naik. Harga tiket masuk terakhir, menurut Deni, Rp. 750.

“Film terakhir yang diputar … Wahyu Ilahi,” kenang Deni.

“Siapa bintang filmnya?” tanya saya.

“Orang barat,” jawab Deni.

Hah?! Saya agak ragu. Orang barat main film Wahyu Ilahi?

“Chuck Noris!” seru Deni.

“Yang benar, Pak? Hahaha…” Saya tak kuasa menahan tawa.

Sejak kapan aktor film laga Amerika itu main film bertema keagamaan di Indonesia? Saya menduga, saking banyaknya film yang diputar Deni, ingatan lelaki tua ini jadi campur-aduk

Menurut Deni, kursi di bioskop tak pernah kosong saat film diputar. Maklumlah, bioskop ini satu-satunya tempat hiburan di Simeulue. Sarana transportasi, selain mempercepat distribusi cengkeh dan angkutan warga, telah memudahkan pengiriman film-film baru dari Sumatera dan Jawa. Pesawat udara mulai masuk Simeulu pada 1982. Pelabuhan Sinabang pun ramai disinggahi kapal-kapal besar.

MESKI mengisap rokok disebut-sebut sebagai pemicu kematian paling tinggi, tetapi bisnis rokok tak pernah mati. Ia justru jadi tumpuan hidup jutaan orang. Tenaga kerja tidak hanya terserap di pabrik. Jika jumlahnya ditambah dengan petani tembakau dan cengkeh, karyawan produksi kertas pembungkus rokok, pekerja di jalur distribusi seperti ritel, pengecer serta pedagang asongan, total tenaga kerja yang diserap bisnis rokok bisa mencapai 18 juta orang.

Kendati dikenal sebagai sumber penyakit paru-paru, serangan jantung dan impotensi, puluhan juta warga, terutama lelaki, mengisap rokok kretek setiap hari. Jumlah pengisap rokok di Indonesia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization), nomor lima di dunia. Pemerintah menangguk triliunan rupiah lewat cukai yang dikenakan pada tiap rokok yang dikonsumsi.

Tahun 1990/1991, pendapatan negara dari cukai sebesar Rp 1, 8 triliun dan sebesar 95 persen berasal dari rokok. Sembilan tahun kemudian, naik sepuluh kali lipat, jadi Rp 10, 4 triliun. Tahun 2007, pemerintah sudah menargetkan pendapatan di atas Rp 42 triliun. Lebih dari setengahnya dipungut hanya dari cukai rokok.

Di lain pihak, semerbak bisnis cengkeh ini tercium Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto. Dia adalah putra bungsu Suharto, presiden Indonesia ketika itu. Suharto kemudian menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 20 pada tahun 1992. Isinya menyangkut tata niaga cengkeh hasil produksi dalam negeri. Surat keputusan presiden dipertegas dengan Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 91/Kp/IV/92 tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri.

Ujung dari surat keputusan ini sebenarnya tak lain memberi hak kekuasaan tunggal dalam pembelian dan penjualan cengkeh para petani kepada Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin Tommy. Lembaga ini terdiri dari Induk Koperasi Unit Desa (INKUD), PT Kerta Niaga, dan PT Kembang Cengkeh Nasional milik Tommy.

Para petani tak punya pilihan lain kecuali menjual cengkeh mereka kepada BPPC. Harga cengkeh sudah ditetapkan. Pabrik-pabrik rokok, seperti Gudang Garam, HM Sampoerna, dan Djarum wajib membeli cengkeh dari BPPC, dengan harga yang juga sudah ditentukan. BPPC memonopoli perdagangan dan harga cengkeh. Membeli murah dari hulu dan menjual mahal ke hilir.

“Waktu ada BPPC, istilah penjualan cengkeh namanya ‘dilelang’. Tapi harga paling banter empat ribu,” kata Abbas, mengenang situasi tersebut. Bisnis jual-beli cengkeh yang selama ini dijalani Abbas ikut tumbang akibat munculnya BPPC. Dia tak bisa menjual cengkeh langsung ke perusahaan rokok.

Sebelum ada BPPC, Abbas mengingat, harga cengkeh per kilogram rata-rata antara Rp 7.500 hingga Rp 8.000 pada masa itu. Namun begitu BPPC muncul, harga lelang cengkeh di Simeulue turun lebih dari tiga kali lipat. Harga lelang maksimal Rp 2.500.

“Sedangkan mereka (BPPC) jual ke perusahaan rokok sampai tiga belas ribu per kilo. Apa nggak hancur?” sungut Deni, menimpali.

Beberapa kali Abbas terpaksa menjual cengkeh dari Simeulue ke Krueng Cut, Banda Aceh, lantaran dia tak mau terus merugi. Tetapi setelah dia hitung-hitung, selisih harga juga tak jauh beda. Dia harus mengeluarkan ongkos transportasi untuk mengangkut cengkeh yang dia beli dari petani dan hasil panen kebunnya sendiri.

“Sejak ada BPPC, perdagangan cengkeh di Simeulue mulai kacau,” kata Deni.

Deni pantas kecewa. Tommy dan BPPC seakan mengubur kejayaan petani cengkeh di Simeulue. Gudang Garam menutup gudang cengkeh di Simeuleu tak lama setelah itu. Petani di pulau ini mulai tak bergairah merawat pohon-pohon cengkeh mereka.

Indonesian Corruption Watch menemukan kerugian petani selama BPPC memonopoli perdagangan cengkeh mencapai Rp 1,9 triliun. Jumlah itu meliputi dana Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) senilai Rp 76,3 miliar, dana Sumbangan Wajib Khusus Petani (SWKP) Rp 670,5 miliar, Dana Penyertaan Modal (DPM) Rp 1,1 triliun dan Dana Konversi selama 1996-1997 berjumlah Rp 74 miliar. Dana-dana itu belum dikembalikan kepada petani. Belakangan Kejaksaan Agung kembali mengusut kasus korupsi yang merugikan jutaan petani ini.

Sementara di Simeulue, warga juga tak bisa lagi menonton aneka film yang diputar Deni tiap malam. Bioskop tempat Deni bekerja ditutup. Gedung itu, belakangan diubah jadi gedung serbaguna. Tugas Deni tak lagi memutar film. Dia hanya menjaga gudang milik Gudang Garam yang kosong.

BPPC baru dibubarkan seiring jatuhnya Suharto. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1998 tentang Perdagangan Cengkeh. Namun perubahan rezim belum mengubah nasib Deni dan para petani cengkeh Simeulue yang terbenam kemiskinan akibat kebijakan Suharto.

SIMEULUE memiliki luas 198.021 hektare. Hampir separuh luas wilayahnya berupa hutan, yang sebagian rusak akibat penebangan yang dilakukan para pemilik hak pengusahaan hutan (HPH). Mutu kayu-kayu dari hutan Simeulue amat tinggi dan cocok untuk bahan bangunan, seperti kayu resak (Cotylelobium sp.) yang masih satu famili dengan kayu keruing di hutan Gunung Leuser atau meranti di belantara Kalimantan.

Pulau ini dihuni sekitar 78.000 jiwa. Mata pencaharian warga umumnya bertani, berkebun, dan nelayan. Meski kaya sumber daya alam, pulau di Samudera Hindia ini termasuk salah satu kabupaten yang memiliki penduduk miskin cukup banyak. Jumlahnya lebih dari setengah total penduduk. Banyak orang tua tak mampu membiayai sekolah anak mereka.

Saat gempa dan tsunami menghantam Aceh dan Nias pada Desember 2004, Simeulue yang bertetangga dengan Nias nyaris kurang mendapat perhatian. Empat bulan setelah itu, menjelang akhir Maret 2005, gempa berkekuatan 8,7 skala Richter memperparah kehancuran perumahan dan pertokoan di pulau ini. Sebanyak 7.500 bangunan rumah hancur. Rumah sakit, gedung pemerintahan dan parlemen rusak berat.

Minsaruddin termasuk di antara yang selamat. Warga desa Sambai, kecamatan Teluk Dalam ini, lari ke gunung setelah gempa mengguncang rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter dari pantai. Dinding rumah retak. Lantai pecah. Yang selamat hanya atap.

“Soalnya dari daun rumbia,” ujarnya, seraya tersenyum.

Minsaruddin hanya sekolah hingga kelas enam sekolah dasar. Orang tuanya tak mampu membiayai sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka mewariskan 50 batang cengkeh berusia lebih dari seperempat abad untuk kehidupannya. Kadang dia bisa panen hingga 100 kilogram. Tetapi kalau sedang tak panen, kehidupannya lebih prihatin lagi.

“Waktu zaman Gus Dur harga cengkeh sudah lumayan,” katanya.

Gus Dur atau Abdurrahman Wahid adalah presiden keempat Indonesia. Dia terpilih dalam Pemilihan Umum 1999. Dia dipaksa turun pada 2001 melalui sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada masa Gus Dur, menurut Minsaruddin, harga cengkeh paling rendah Rp 50 ribu per kilogram. Sementara itu, harga cengkeh dalam panen tahun 2007 ini antara Rp 21 ribu hingga Rp 25 ribu.

“Harga segitu sekarang nggak ada apa-apanya. Harga beras per bambu sekarang sudah sebelas ribu. Zaman Gus Dur empat ribu,” lanjut Minsaruddin.

“Memang sekarang siapa presidennya?” canda saya.

“Mmm… mmm…” Bola matanya bergerak ke kanan-kiri. Dia tampak berusaha mengingat.

“Abanglah yang tahu,” jawabnya, polos.

“Waktu pemilu 2004, abang pilih siapa?” tanya saya, lagi.

Minsaruddin diam sebentar, lalu menjawab, “Lupa!”

Saya jadi teringat teori yang pernah ditulis Amartya Sen, peraih Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1998. Menurut Sen, kebebasan dan kemudahan mengakses informasi akan berbanding terbalik dengan dengan tingkat kemiskinan penduduk suatu wilayah. Makin tinggi kemampuan warga memperoleh informasi, makin rendah tingkat kemiskinannya.

“Informasi di sini sangat terbatas,” ujar A’an Tanjung. Dia bekerja di bagian hubungan masyarakat di kantor pemerintah kabupaten Simeulue.

A’an merujuk pada tiga stasiun radio, Simeulue Voice 101,1FM, Suara Sinabang 107,7FM, dan Smong 97,9FM. Itu pun tak semuanya mengudara begitu ada aturan perizinan baru dari Komisi Penyiaran Indonesia. Ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi. Tetapi qanun atau peraturan daerah menyangkut penyiaran radio pun belum dibuat. Hanya radio komunitas Suara Sinabang yang masih bisa siaran dengan jangkauan terbatas.

Media cetak?

“Koran nasional tidak ada yang masuk,” sahut A’an. Koran nasional yang disebut A’an adalah koran terbitan Jakarta.

Serambi Indonesia, koran terbesar di Aceh, selalu telat sehari. Berita hari ini, baru bisa dibaca esok hari. Satu-satunya media cetak lokal adalah Koran Simeulue. Tetapi, A’an mengatakan, “Itu koran yang dibiayai pemda (pemerintah daerah).”

Sumber informasi lainnya adalah televisi. Tetapi untuk mendapat siaran, warga mesti membeli perangkat tambahan berupa antena parabola. Sejak harga cengkeh turun, daya beli warga ikut anjlok. Pulau ini tak banyak dilirik orang.

SETELAH hampir tiga tahun proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami, baru 1.500 rumah yang dibangun di Simeulue. Jumlah pengungsi yang tinggal di hunian sementara masih ratusan. Di perkampungan pengungsi di desa Kota Batu misalnya, masih ada 166 kepala keluarga atau sekitar 837 jiwa. Para pengungsi ini berasal dari desa Sinabang, Suka Karya, Suka Maju, Amateng Mulia, Suka Jaya dan Air Dingin.

Selain kemiskinan, berita soal nasib pengungsi dan lambannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Simeulue tak banyak diketahui orang.

“Kami tidak bisa mencari nafkah dan anak-anak sulit untuk sekolah,” kata Zainal Abidin.

Lelaki ini ketua Forum Antar Barak Simeulue. Bersama keluarganya, dia menempati salah satu rumah sementara di Kota Batu sejak setahun lalu. Sebanyak 16 keramba miliknya hancur terkena tsunami.

Jarak desa ini ke Sinabang lebih dari enam kilometer. Sementara di pengungsian ada sekitar 230 siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Satu-satunya transportasi cuma becak mesin. Ongkos sekali jalan Rp 25 ribu. Jalanan berbatu dan berdebu.

“Di sini Pak Darmili menang, delapan puluh persen,” kata Tamrin Kamid, kepala desa Kota Batu.

Orang yang dimaksud Tamrin adalah bupati Simeulue yang menang dalam pemilihan kepala daerah atau populer disebut Pilkada pada Desember 2006 lalu.

“Tapi warga masih susah. Masak kompor minyak, minyak lampunya seliter enam ribu, terpaksa pakai kayu bakar,” keluh Tamrin.

Zainal berulang kali mengadukan nasib ratusan pengungsi ke pemerintah dan perwakilan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias atau BRR di Simeulue. Tetapi hingga kini belum ada hasilnya.

“Tidak tahu sudah berapa banyak data yang kami berikan. Bosan. Menunggu, menunggu… menunggu,” katanya.

KIJANG INNOVA yang saya tumpangi bersama lima wartawan dari Medan dan Banda Aceh berjuang menembus kabut debu. Berkali-kali mobil kami terguncang. Dari balik kaca jendela, warga yang kami lewati menyambut dengan menutup hidung dan mulut rapat-rapat dengan kain atau kerah baju mereka. Pengendara sepeda motor pun terpaksa berhenti, lalu melakukan hal yang sama.

Kamis, 5 Juli 2007 lalu, kami menuju desa Sambai, kecamatan Teluk Dalam. Sekitar 33 kilometer ke utara dari gudang cengkeh yang dijaga Muhammad Deni di Sinabang.

United Nations Habitat (UN-HABITAT), lembaga yang bergerak khusus di bidang perumahan dan permukiman dan bermarkas di Kenya, siang itu menyerahkan 627 rumah tipe 36 tahap pertama kepada warga Simeulue di kecamatan Kuala Makmur dan Teluk Dalam. Acara itu dihadiri antara lain, Bupati Darmili, Daniel Biau dari UN-HABITAT, Hagar Ligvoet dari kedutaan Belanda, dan Djoko Sasono yang menjabat wakil deputi perumahan dan permukiman BRR.

Sebelum konvoi kendaraan melaju dari kota Sinabang ke desa Sambai, kecamatan Teluk Dalam, ruas jalan sudah disiram air. Tetapi usaha meredam debu ini gagal. Begitu tiba di lokasi peresmian, mobil Mercedes seri S warna biru yang ditumpangi Darmili tak lagi mengilap. Debu menutupi seluruh badan mobil, kecuali kaca depan. Begitu pun mobil double cabin yang ditumpangi pejabat lain. Darmili menyebut perjuangan menembus kepulan debu sepanjang 33 kilometer itu sebagai perjalanan melintasi Gurun Sahara, Afrika.

“Kami belum mampu mengaspal jalan. Sedangkan BRR baru membangun tahun depan,” keluh Darmili di podium, saat memberi sambutan dalam acara serah terima rumah.

Selain kepala pemerintahan di Simeulue, status Darmili adalah terdakwa di Pengadilan Negeri Banda Aceh sejak April 2007. Dia diduga terlibat perkara penguasaan hutan secara ilegal lewat pemberian kuasa pembukaan hutan untuk penanaman kelapa sawit kepada Perusahaan Daerah Kelapa Sawit di Simeulue. Sekitar 35.000 hektare hutan dipangkas untuk itu. Persidangan perkaranya masih berlangsung ketika dia memberi sambutan.

Kayu menjadi perkara penting di Simeuleu dan kalau tak hati-hati, bisa menuai masalah besar.

Di tahap awal, pembangunan rumah UN-HABITAT sempat macet karena kekurangan kayu. Cuaca yang buruk kerap menghambat kapal-kapal yang membawa kayu dari pelabuhan di Labuhan Haji. Tiap rumah semi permanen butuh lima kubik kayu.

“Kami minta solusi ke dinas kehutanan Simeulue. Saat itu mereka bilang boleh ditebang maksimal tiga kubik,” terang Ridha. Sisanya diatasi dengan mendatangkan kayu dari Blang Pidie dan Meulaboh.

Menurut Hasrul Edyar Rohas, camat Teluk Dalam, kebijakan ini juga atas persetujuan musyarawah pemimpin daerah. Tujuannya untuk kepentingan masyarakat yang kesulitan untuk mendapat kayu.

“Kebijakan ini sangat membantu masyarakat. Karena memang terpaksa. Kebijakan dan toleransi ini masih tetap diberikan sepanjang untuk perumahan dan infrastruktur,” jelas Hasrul.

Meski darurat dan penting, kebijakan tebang kayu ini bisa memicu kerusakan hutan dan bencana lain. Banjir dan tanah longsor bakal mengancam penduduk. Untung saja kebijakan tiga kubik ini hanya berlangsung sebulan, antara Mei hingga Juni 2006. Setelah Gubernur Irwandi Yusuf menerbitkan kebijakan moratorium logging pada Mei 2007, warga makin sulit menebang kayu.

Darmili setuju dengan kebijakan Irwandi soal penghentian penebangan kayu. Tetapi dengan syarat.

“Rakyat kan membutuhkan kayu juga. Untuk membangun rumah, membangun masjid. Artinya memang harus ada kebijakan khususlah,” ujarnya.

Namun, himbauan Darmili tak mendapat dukungan dari kepolisian setempat. Di depan kantor Kepolisian Resor Sinabang ada tumpukan kayu sitaan. Menurut Ajun Komisaris Besar Harianta, kepala Polres Sinabang, kayu-kayu itu hasil penebangan di areal hutan tanpa izin.

“Kami menindaklanjuti instruksi gubernur,” tegas Harianta kepada saya.

Sikap tegas kepolisian untuk menghentikan aksi penebangan hutan lumayan efektif. Paling tidak buat penebang-penebang kelas teri.

“Takut dipenjara. Nanti kalau dipenjara bisa berapa biaya buat tebusnya, untuk makan saja tidak ada,” ucap Anasti, salah seorang penerima rumah bantuan. Dia kini menyimpan gergaji mesinnya.

Penyetopan izin penebangan kayu tiga kubik berdampak pada UN-HABITAT. Pada pembangunan rumah tahap kedua, lembaga ini membangun rumah permanen. Mereka mengurangi penggunaan kayu dari hutan Simeulue. Ini ditegaskan Bima Indra, manajer proyek lembaga ini untuk Simeulue dan Nias.

“Kayu hanya satu kubik. Itu juga didatangkan dari luar dan legal, kami ikut pemerintah,” katanya.

BRR juga menempuh strategi pembangunan rumah bantuan yang tak banyak menggunakan kayu. Menurut Djoko Sasono yang menjabat wakil deputi perumahan dan permukiman BRR, kayu yang digunakan BRR didatangkan dari Kalimantan. Namun, lagi-lagi persoalan transportasi jadi sumber penyebab mengapa proses pembangunan rumah BRR jadi lamban.

“Transportasi laut dari Labuhan Haji, Aceh Selatan, ke pelabuhan Sinabang sering terhambat cuaca. Frekuensinya juga tidak bertambah. Ini di luar kewenangan BRR,” tandasnya.

BANDAR udara Lasikin masih sepi pada pagi Jumat, 6 Juli 2007. Saya mencium bau cat begitu menuju loket Susi Air.

Hanya ada empat orang yang bekerja di dalam gedung saat ini. Dua petugas tiket, satu penjaga kantin dan seorang pelayan kantin. Tak ada petugas keamanan. Ada seperangkat metal detector, tapi belum berfungsi. Calon penumpang, pengantar, atau anak-anak bisa keluar-masuk dengan bebas.

Di apron bandara, pesawat jenis Cessna berbaling-baling tunggal Susi Air sudah menunggu. Maskapai ini milik pengusaha Susi Pudjiastuti yang mengekspor lobster ke mancanegara. Kapasitas penumpang sepuluh orang.

Saat melihat burung besi itu, saya teringat percakapan terakhir dengan Muhammad Deni, penjaga gudang cengkeh di Sinabang.

“Bapak nggak pulang kampung?” tanya saya ketika itu.

“Nggak punya dana buat balik ke Jakarta,” jawabnya, pendek.

Dia pensiun dari Gudang Garam tahun 2005 lalu. Jabatan terakhirnya: penjaga gudang. Gaji terakhir yang dia terima Rp 500 ribu. Dia juga menerima uang pensiun Rp 15 juta untuk masa tugasnya lebih dari seperempat abad!

Kini kampung halamannya sudah jadi salah satu kawasan mahal di Jakarta dan padat penduduk. Dan dia belum melihatnya lagi.*

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang