Sebuah Rumah, Sebuah Dunia

Linda Christanty

Mon, 20 August 2007

CERITA tentang anak-anak yang kehilangan rumah. Mereka menenangkan pikiran dengan membaca dongeng.

MERY Kasmijar berusia tujuh tahun ketika lari ke bukit bersama ibunya dan orang-orang kampungnya di dusun Tengoh, Aceh Besar, setelah terdengar teriakan panik, “air laut naik, air laut naik….” Tiga malam mereka menginap di atas bukit, menunggu air surut.

Di kampung Mery, 250 jiwa hilang tersapu gelombang tsunami pagi itu. Kampung langsung berubah jadi tanah lapang luas dan sunyi.

“Saya melihat air setinggi batang kelapa,” kisahnya kepada saya.

Ia menangis terus.

“Karena takut dan sedih,” katanya, pelan.

Rumah tak ada lagi. Harta benda lenyap. Mery dan ibunya kemudian mengungsi ke Mata Ie, yang berjarak hampir dua jam berkendaraan dari Tengoh. Dalam situasi kalut dan serba tak menentu, mereka menempuhnya dengan jalan kaki. Mereka ikut dalam rombongan pengungsi, yang khawatir air laut kembali lagi. Rombongan tersebut melewati gunungan sampah, bangunan yang terkoyak, dan timbunan mayat di sepanjang jalan. Mery digendong ibunya.

Maswin, ayah Mery tidak menyertai anak-istrinya, karena ia sedang mengantar penumpang ke Tapak Tuan, Aceh Selatan. Sehari-hari ia bekerja sebagai sopir mobil sewa. Sehari di rumah, dua hari di jalan. Ia bahkan tak tahu bahwa pada hari tersebut gelombang laut telah menyapu kampungnya yang berada di tepi pantai dan menewaskan sekitar 200 ribu jiwa di Aceh. Tapak Tuan terletak jauh di pedalaman.

Sebulan kemudian keluarga ini baru dapat berkumpul lagi.

“Suami saya pikir, kami sudah tak ada,” kenang Hasmiati, ibu Mery.

Ia duduk di muka pintu rumah sementara mereka, memangku anak bungsunya, Muhammad Rizki Aulia yang berusia 11 bulan. Suaminya, Maswin, tak berada di rumah. Seperti biasa, ia tengah mengantar para penumpangnya. Di sisi Hasmiati, Mery berdiri mendengarkan percakapan kami. Mery agak pemalu. Pertanyaan saya sering dijawab dengan senyum, sebelum Hasmiati memintanya menjawab. Ia mengenakan kaus singlet putih dan rok merah, seragam sekolah. Udara pukul satu siang sungguh terik.

Setelah berbulan-bulan di pengungsian, mereka sekeluarga pindah ke tenda.

Tiap malam Mery bertanya pada ibunya, kapan bisa pindah ke rumah.

“Mak, orang itu sudah dapat rumah. Kita nggak dapat?” katanya, sedih.

Mery merasa tak nyaman. Satu tenda dihuni 12 orang, tiga keluarga. Ia juga tak bisa bercerita tentang bermacam hal pada ibunya, yang biasa dilakukannya menjelang tidur malam. Ia tak suka didengar orang lain, terutama untuk hal-hal yang dianggapnya rahasia. Namun, pada ibunya, ia sangat percaya.

Ketika keluarganya akan pindah ke rumah sementara, Merry senang begitu mendengar kata “rumah”. Ternyata rumah itu hanya terdiri dari sebuah ruang lapang. Tak ada kamar-kamar. Atap seng tebal yang tak dilapisi eternit membuat cahaya matahari begitu menyengat di siang hari. Rumah pun bukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Mery tidak bisa berkonsentrasi membaca buku pelajaran juga buku cerita, kegiatan sepulang sekolah yang amat ia sukai.

Rumah yang benar-benar rumah adalah yang diinginkannya. Di rumah itu ada ruang-ruang, yang membuatnya tidak diganggu ketika membaca buku, yang membuatnya bisa menghindar dari kejaran adiknya yang nakal. Ia juga bisa mengundang teman-temannya untuk bertandang.

“Dulu Mery punya teman akrab, namanya Evi. Dulu cuma dengan Evi saja, berdua ke mana-mana. Evi meninggal karena tsunami. Sekarang Mery berteman dengan siapa saja,” ujar Hasmiati, seraya menambahkan bahwa sekarang putrinya itu jadi lebih pendiam.

Mery kini berusia 10 tahun dan duduk di kelas empat. Cita-citanya, jadi dokter.

“Ada janji dari ADB (Asia Development Bank) untuk membuatkan rumah. Awal Maret akan dikerjakan,” ucap Hasmiati, berharap, seraya menatap putrinya.

Lagipula rumah sementara ini bukan milik keluarganya, melainkan dipinjam dari tetangga mereka yang bernama Soriah.

“Lama-lama nggak enak juga numpang di tempat orang,” lanjut Hasmiati.

Ketika itu bulan Februari 2007. Tiga bulan kemudian saya mendengar ADB sedang membangun sedikitnya 60 rumah di Tengoh.

YULIANA tinggal tak jauh dari Mery. Ia berlari paling kencang menuju bukit, begitu mendengar kabar air laut naik. Ibunya, Salbiah, sampai panik dan bertanya pada orang-orang kampung yang ikut lari bersamanya, “Mana anak saya? Mana anak saya?” Sang ibu tak melihat anaknya yang telah melesat bagai anak panah lepas dari busur.

Yuliana termasuk beruntung, karena rumahnya berada dekat bukit dan ia sempat menyelamatkan diri ke sana. Dari atas bukit itu pula, ia menyaksikan laut menenggelamkan kampung Tengoh.

Ketika air surut, rumah sudah tak ada. Ayahnya tergulung gelombang dan jasadnya tak pernah ditemukan. Ia, ibu, dan abangnya kemudian tinggal di sebuah kedai yang mereka bangun sendiri. Kakak perempuannya yang bernama Yuliani, dijemput sang suami dan dibawa ke Kalimantan untuk sementara waktu. Yuliana bungsu dari tiga bersaudara.

“Berdesak-desak dengan barang,” katanya, mengingat masa-masa tinggal di kedai dulu.

Dari kedai, pindah ke barak.

“Satu kamar, dua keluarga. Pembatasnya, barang,” kenang Yuliana. Usianya kini 11 tahun, duduk di kelas lima.

Ia duduk bersila di lantai teras bersama Hilda, kakak kelasnya, dan saya. Keponakannya yang berusia dua tahun, Fitri Wulandari, mondar-mandir membawa secarik kertas. Ibunya, Salbiah, sesekali menyahut dari kedai yang berjarak sekitar delapan meter dari sini, menimpali percakapan kami. Tawa Salbiah berderai tiap mendengar jawaban-jawaban Yuliana yang dianggapnya lucu.

Setelah berdesak-desakan di barak, akhirnya Yuliana pindah ke rumah. UN-HABITAT, sebuah lembaga kemanusiaan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, menghibahkan rumah tipe 36 untuk keluarganya.

“Senang punya rumah sendiri, karena punya kamar sendiri. Kalau rumah, ruangnya lebih besar. Pikiran jadi lebih tenang,” katanya, serius.

Rumah memang salah satu kebutuhan paling dasar manusia. Seorang pencetus psikologi humanistik, Abraham Maslow, menggambarkannya sebagai sebuah piramid dan kata “bernapas”, “makanan”, “air”, dan “tidur” terletak paling dasar. Maslow tidak menyebut “rumah”, tetapi “tidur”.

Menurut Maslow, kebutuhan dasar inilah yang dapat mengontrol pikiran dan tingkah laku manusia. Bila salah satu mengalami disfungsi, maka seseorang akan merasa kesakitan atau tidak nyaman. Watak manusia dan perkembangan kehidupannya di kemudian hari berawal dari sini.

Bagaimana ketika perangkat kebutuhan dasar tadi musnah sekaligus, dalam sekejap? Bagaimana anak-anak, seperti Yuliana, menghadapinya?

“Awal-awal dulu, takut sekali, jangan-jangan tsunami lagi,” katanya.

Dulu ia tak pernah mendengar kata ‘tsunami’. Ibunya pun tidak. Orang-orang kampung juga tidak. Tetapi setelah bencana, ia mengenal dua kosa kata baru: tsunami dan NGO (Non-Government Organization atau populer disebut lembaga swadaya masyarakat atau lembaga bantuan).

NGO itu pula yang mengenalkan kata ‘tsunami’ kepadanya. Pengetahuan yang lebih rinci tentang tsunami diperoleh Yuliana dari buku.

“Di perpustakaan sekolah,” katanya.

“Tapi guru tidak pernah suruh kami baca buku itu. Itu sumbangan dari Jepang. Isinya tentang penyelamatan diri,” tukas Hilda.

Mereka berdua berinisiatif sendiri membaca buku tadi.

“Setelah baca buku itu, (saya) tidak takut lagi kalau tsunami datang,” kata Yuliana.

Yuliana maupun Hilda sama-sama suka membaca. Buku-buku dongeng mereka pinjam dari perpustakaan keliling, yang sekarang sudah berhenti beroperasi. Hilda terkesan pada dongeng tentang kancil, binatang yang cerdik dan selalu bisa mengatasi masalah. Selain itu ia menggemari cerita-cerita rakyat. Yuliana membaca untuk menenangkan pikiran, tetapi ia tak suka cerita sedih.

“Kami (saya) nggak mau nangis,” katanya, dengan wajah serius.*

*) Linda Christanty adalah editor sindikasi Pantau di Aceh

**) Tulisan ini terbit atas kerja sama Pantau dan UN-HABITAT di Aceh.

kembali keatas

by:Linda Christanty