Dulu Konflik, Sekarang Gempa

Linda Christanty

Tue, 7 August 2007

PENERIMA rumah-rumah bantuan di desa Pulot, Leupung, percaya tsunami membawa perdamaian di Aceh.

“KALAU nggak tsunami, mungkin nggak akan aman kayak gini,” kata Yuliani. Ia 24 tahun, ibu seorang bocah perempuan usia dua tahun. Suaminya tengah bekerja sebagai buruh di Malaysia.

Yuliani dan dua perempuan tengah bercakap-cakap di muka sebuah kedai. Mereka duduk di bangku kayu. Dari jendela kedai itu terlihat bermacam makanan ringan dalam kemasan plastik, berbagai rokok dan minuman di rak pajang, dan permen-permen di toples. Di Jakarta, kedai semacam ini disebut kios.

Panas siang, 21 Mei 2007, sungguh terik di Pulot, desa yang terletak di kecamatan Leupung, Aceh Besar ini. Tiap sepeda motor atau mobil melintas di jalan muka kedai, debu langsung mengepul dan beterbangan menerpa tubuh serta wajah orang-orang yang tengah bercengkrama di situ. Angin kencang yang bertiup ikut menerbangkan debu jalanan. Namun, ketiga perempuan tersebut tak beranjak.

Laut sungguh dekat dari sini, karena Pulot memang dipagari laut, dan bertambah dekat lagi setelah air dari laut itu bangkit serta menjelma tembok air setinggi hampir 15 meter, yang kemudian rebah dan menenggelamkan desa. Ketika banjir surut, luas desa tak lagi sama. Di dusun Tengoh, dusun terujung di Pulot, sekitar 150 meter daratan dari garis pantai yang dulu telah dimakan laut. Sebanyak 250 orang meninggal dunia, sedang sisanya beruntung karena melarikan diri ke bukit.

Salbiah termasuk yang selamat.

“Pakaian cuma yang melekat di badan, lari dengan anak dan cucu ke gunung,” katanya, menunjuk bukit hijau di kejauhan.

Usianya 40 tahun. Ia pemilik kedai. Kulitnya hitam sebagaimana rata-rata orang Aceh, bertubuh sedang, dan ramah. Suaminya meninggal dunia, karena tergulung air.

“Orang-orang tua bilang jangan turun-turun lagi, karena gunung sudah dikelilingi air. Sudah naik, nggak tahu kayak mana turun. Kebetulan ada tentra (tentara), dia yang tolong.” Yuliani menyambung kalimat ibunya, seraya tertawa mengingat hal lucu yang terjadi di saat semua orang panik.

Yuliani dan Salbiah lebih mirip kakak-beradik ketimbang ibu dan anak. Yuliani, sama seperti ibunya, ramah dan senang tertawa.

Di atas bukit tempat warga mengungsi itu berdiri pos tentara. Maklumlah, konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM masih berlangsung, masih panas. Delapan bulan setelah tsunami, pada 15 Agustus 2005, baru kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan GAM ditandatangani di Helsinki, Finlandia.

“Ada juga yang sudah ndak pakai baju lagi, mungkin sudah dibawa air,” lanjut Yuliani, berkisah tentang pengungsi lain.

Warga memperoleh pakaian dan makanan seadanya dari tentara yang bertugas di bukit.

Di desa nelayan ini, dulu ada 32 pondok untuk menjemur ikan. Kaum perempuan membuat ikan asin dari ikan-ikan segar yang ditangkap para nelayan. Kini tak satu pondok ikan pun tersisa, juga belum ada pondok baru yang berdiri di Tengoh. Mata pencaharian yang lama belum pulih lagi.

Rumah-rumah warga yang hancur telah digantikan rumah sementara yang terbuat dari kayu dan rangka baja serta rumah bata permanen. Keduanya rumah sumbangan dari lembaga-lembaga bantuan.

UN-HABITAT, sebuah lembaga kemanusiaan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, masuk ke Pulot tahun 2005.

“Dua puluh sembilan rumah dibangun di sini,” kata Salbiah, yang menerima satu unit rumah.

Ia merasa senang, tetapi kesal dibohongi pengurus kelompok pembangun rumahnya yang ia pilih sendiri.

“Nggak tahu akalnya,” katanya.

UN-HABITAT memberdayakan warga untuk membangun rumah mereka sendiri, mengajar mereka mengelola uang bantuan sampai mendirikan konstruksi. Warga membentuk kelompok-kelompok dan memilih pengurus untuk memimpin kelompok masing-masing.

Salbiah dalam keadaan sakit ketika itu. Ia tidak terlibat pembangunan rumahnya sendiri, bahkan hal yang paling minimal, yaitu mengawasi rumahnya dibangun, tidak ia lakukan. Anak laki-lakinya pun sedang bekerja di Malaysia. Tak ada yang bisa diandalkan.

“Jalusi nggak ada, jendela nggak dipasang,” sesalnya.

“WC Mamak bikin sendiri,” celetuk Yuliani.

Berbeda dengan ibunya, rumah Yuliani belum tegak berdiri. Asian Development Bank (ADB) akan menghibahkan sebuah rumah untuknya. Sekarang sekitar 60-an rumah ABD sedang dibangun di desa ini. ADB masuk ke Pulot pada bulan November 2006. Fondasi rumah sudah dibangun sejak April 2007.

Kalau UN-HABITAT memfasilitasi warga untuk membangun rumah mereka sendiri, maka ADB menggunakan jasa kontraktor.

“Ukuran rumah sama dengan UN-HABITAT punya, tipe 36. Kamar dua, sama. WC-nya di belakang, kalau UN-Habitat di dalam,” tutur Yuliani.

Alma Surita, yang duduk bercakap-cakap dengan Salbiah dan Yuliani, menerima rumah bantuan dari Canadian Hunger Foundation (CHF), sebuah lembaga kemanusiaan dari Kanada. Ia baru sebulan menempati rumah itu.

“CHF datang setelah HABITAT bangun (rumah),” ujarnya.

Ketika gempa 6,3 skala Richter sempat mengguncang Aceh minggu lalu, Salbiah mengatakan tak ada tembok yang retak di rumahnya.

“Kalau saya ada, dinding muka… dinding teras itu retak,” tukas Alma.

Ia ibu empat anak. Anaknya yang sulung, perempuan berusia 15 tahun, sedang yang bungsu baru berusia lima tahun. Suami Alma bekerja sebagai pembantu tukang masak di sebuah warung makan di Mata Ie, Banda Aceh, yang berjarak satu setengah jam berkendaraan dari Pulot. Alma sendiri sempat berjualan kue.

“Kalau bikin kue, taruh di warung-warung kopi. Penghasilan per hari Rp 20 ribu. Kue dijual Rp 500. Untuk saya Rp 400. Tapi sekarang kurang lakulah, karena nggak banyak lagi orang yang masuk, kalau dulu kan ada orang kerja (membangun rumah). Sudah nggak buat kue lagi, sudah empat bulan,” katanya, seraya menambahkan bahwa CHF membangun 57 rumah bantuan di desa ini.

Sebelum tsunami ada lebih dari 400 kepala keluarga (KK) di Pulot. Sekarang jumlahnya tinggal 215 KK.

Tsunami bencana yang tak bisa dicegah, tetapi konflik politik di Aceh justru yang paling menyisakan trauma.

“Kalau orang TNI (Tentara Nasional Indonesia) masuk kemari, ada kontak. Tapi kalau orang GAM masuk kemari, nggak ada kontak,” kenang Alma.

Suara tembakan terdengar keras.

“Lokasi ditembaknya kita nggak tahu di mana, tahu-tahu orang kampung sudah bawa pulang mayat (GAM),” lanjutnya

“Orang Aceh hidup dalam ketakutan terus. Dulu konflik, sekarang gempa,” kata Yuliani.

Menurut data Badan Meteorologi dan Geofisika Banda Aceh, pasca gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter pada 26 Desember 2004 yang memicu tsunami di Aceh itu telah terjadi gempa susulan sebanyak 10. 708 kali, terhitung sampai awal Maret tahun 2006. Rata-rata kekuatan gempa berkisar antara 4 sampai 6 skala Richter.

Alma tidak tahu percis apa pemicu perang antara pemerintah Indonesia dan GAM.

“Yang didengar, bela bangsa sendiri. Kalau nggak ada masalah, nggak mungkin perang,” lanjutnya.

Tetapi ketiga perempuan ini tak akan pindah dari Pulot jika konflik terjadi lagi.

“Karena asal kita di sini,” ucap Salbiah, tegas.*

*) editor sindikasi Pantau di Aceh.

**) Naskah ini terbit atas kerja sama Pantau dan UN-HABITAT di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Linda Christanty