Partai GAM

Samiaji Bintang

Fri, 20 July 2007

GERAKAN Aceh Merdeka menggunakan bendera perjuangan mereka sebagai lambang partai. Pemerintah Jakarta kebakaran jenggot.

LANGKAHNYA bergegas menuju Suzuki Vitara putih, meninggalkan kantornya yang sepi.

“Maaf, besok saja ya. Semua akan dijelaskan dalam pertemuan dengan pers besok dengan wartawan-wartawan lain,” katanya, Jumat, 13 Juli 2007 lalu.

Lelaki itu bernama Tengku Muhammad Nazar. Tetapi, ia bukan wakil gubernur Aceh. Nama bisa serupa, kerja jelas berbeda.

Dulu ia tak pernah disorot media massa. Tetapi sekarang ia jadi orang penting. Partai GAM memilihnya jadi sekretaris jenderal merangkap juru bicara.

Saya menanyakan padanya tentang sikap pengurus Partai GAM setelah mendapat protes dari Jakarta.

“Saya belum bisa komentar. Saya mau shalat Jumat. Besok saja, jam sembilan. Di kantor ini bersama yang lain.”

Kantor berbentuk rumah toko dua lantai itu diresmikan pada 7 Juli 2007, sepekan sebelum saya menemuinya. Letaknya di Jalan Teungku Imeum Leung Bata Nomor 48, di sebelah toko perabotan rumah tangga.

Upacara peresmian partai GAM dihadiri Muzakkir Manaf, bekas panglima Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang kini menjabat ketua Komite Peralihan Aceh. Selain Muzzakir, sejumlah tokoh GAM juga hadir.

Kain kuning yang menyelubungi papan nama partai pun dibuka.

Namun tiga jam setelah acara, kepala Kepolisian Kota Besar Banda Aceh Komisaris Besar Zulkarnain memaksa agar papan nama partai itu ditutup kembali. Alasannya lambang tersebut merupakan simbol perjuangan militer dan tidak sesuai dengan Kesepakatan Helsinki.

”Kita minta papan nama ini diturunkan atau setidaknya ditutup sebelum adanya legalitas dari Departemen Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia). Karena lambang itu selama ini dimaknai sebagai simbol perjuangan,” kata Zulkarnain kepada kantor berita Antara pada 7 Juli 2007.

Papan nama partai itu akhirnya kembali diselubungi kain kuning.

Sepekan setelah itu beberapa wartawan, termasuk saya, mendatangi kantor tersebut. Namun, Nazar batal memberikan keterangan kepada wartawan. Selebaran permohonan maaf berkepala surat Partai GAM dibagikan kepada wartawan.

“Berhubung sampai dengan pukul 22.00, Sekjen Partai GAM belum berada di Banda Aceh, acara jumpa pers/pemberian keterangan tidak dapat dilaksanakan sampai dengan pemberitahuan selanjutnya,” demikian bunyi surat edaran tersebut.

JAKARTA seperti tak mau kecolongan ketiga kali. Bendera Benang Raja milik Republik Maluku Selatan bahkan dikibarkan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika ia berkunjung ke Ambon belum lama ini. Bendera Bintang Kejora milik Organisasi Papua Merdeka berkibar dalam aksi menuntut referendum bagi rakyat Papua. Pejabat dan militer saling menyalahkan. Media massa ikut ramai karenanya. Rupanya api perlawanan di timur Indonesia belum padam.

Tetapi di barat Indonesia, GAM punya alasan sendiri. Latar belakang gerakan ini mendirikan partai politik lokal justru berpedoman pada butir-butir Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani GAM dan pemerintah Indonesia pada Agustus 2005. Pemerintah Indonesia, sebagaimana disebut dalam butir 1.2.1 perjanjian ini, menyepakati dan akan memfasilitasi partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.

Pembentukan partai politik lokal di Aceh juga diatur dalam Bab XI Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini termasuk salah satu amanat Kesepakatan Helsinki.

Keputusan politik GAM untuk mendirikan partai bahkan pernah diumumkan Pieter Feith, ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), pada awal Desember 2006 lalu sebelum lembaga itu dibubarkan.

Hari itu merupakan hari terakhir rangkaian pertemuan Commission on Security Arrangements yang melibatkan pemerintah Indonesia dan GAM. Pertemuan di pendopo gubernur itu dihadiri oleh antara lain Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, ketua perwakilan Indonesia di AMM Mayor Jenderal Bambang Dharmono, dan Gubernur Aceh Mustafa Abubakar.

Saat itu Feith menyatakan bahwa transisi GAM ke partai politik dimulai sebelum akhir tahun 2006 dan enam bulan kemudian GAM akan membentuk partai.

“Dan berdasarkan pemahaman pribadi saya, segera setelah itu GAM secara praktis akan bubar,” kata Feith.

Malik Mahmud membantah.

“Itu pendapat pribadi Mister Pieter. Menurut saya pribadi, (pembubaran GAM) tergantung pada keadaan yang memungkinkan. Perlu waktu yang cukup membentuk partai politik,” katanya.

Namun di depan wartawan, Malik Mahmud membenarkan adanya rencana strategis GAM di tahun 2007. GAM akan mengikuti peraturan yang dibuat pemerintah Indonesia soal partai lokal. Menurut Malik, peraturan tersebut bagian dari amanat Helsinki.

Persiapan GAM mendirikan partai lokal sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu di Swedia. Ini dipertegas dengan hasil Ban Sigom Donya atau pertemuan GAM sedunia yang digelar pada 20 hingga 23 Mei 2006 di Banda Aceh yang diikuti petinggi GAM Swedia, perwakilan GAM di luar negeri, dan petinggi Majelis GAM di Aceh.

Selain berencana mendirikan partai politik, rapat petinggi dan majelis pemimpin GAM itu juga membahas pokok-pokok strategi politik GAM, penguatan struktur organisasi, majelis, dan elemen sipil. Mereka membahas agenda menjaga dan melestarikan perdamaian. Namun, tak ada agenda membahas pembubaran GAM.

Menurut Suadi Sulaiman, juru bicara Majelis GAM, pembentukan Partai GAM malah sudah digodok sejak penjajakan perjanjian damai.

“Yang mengawali gagasan ini adalah musyawarah GAM ketika proses penjajakan perjanjian damai itu, sekitar 29-31 Desember 2004. Lewat komunikasi langsung yang ada di Aceh dan di luar Aceh,” ujar lelaki yang akrab dipanggil Adi Laweung ini kepada saya.

Ketika pemilihan kepala daerah pada Desember 2006, Adi menjadi salah satu juru kampanye pasangan Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah yang didukung Perdana Menteri Malik Mahmud. Tapi pasangan itu kalah suara amat telak dari pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang menempuh jalur independen.

Adi mengatakan bahwa tujuan pendirian Partai GAM adalah untuk menampung aspirasi rakyat Aceh.

“Khususnya dari eks kombatan dan anggota GAM sendiri maka kita membentuk partai politik lokal. Yang ujung-ujungnya,” kata Adi, “ Untuk mensejahterakan rakyat Aceh secara keseluruhan, dan umumnya untuk kesejahteraan Indonesia.”

Galibnya sebuah partai, Partai GAM telah merancang dan menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi. Tim penyusun ditunjuk langsung oleh Perdana Menteri Malik Mahmud. Salah satu anggotanya adalah Tengku Muhammad Nazar yang kini menjabat sebagai sekretaris jenderal. Urusan keanggotaan hingga nama, simbol dan bendera partai ditetapkan dalam beleid partai.

“Tidak ada perubahan?” tanya saya.

“Tidak ada. Lambang, simbol, himne, semua sudah diatur dalam AD/ART. Seperti yang terlihat sekarang,” kata Adi.

Namun penggunaan bendera dan nama GAM telah membuat pemerintah Jakarta kebakaran jenggot. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak partai lokal di Aceh yang menggunakan simbol-simbol Gerakan Aceh Merdeka. Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional Muladi mencurigai partai ini punya misi untuk kembali memerdekakan Aceh dari Indonesia.

“Apa Partai GAM akan mengusung ide referendum?” tanya saya.

“Saya tidak akan bicara referendum, tidak bicara merdeka. Juga bukan otonomi. Tujuan akhirnya adalah seperti yang termaktub dalam MOU Helsinki, yaitu terbentuknya self government. Kita tidak berlebihan dalam hal ini. Yang penting kita tidak melenceng dari apa yang telah kita sepakati di Helsinki,” kilah Adi.

Lagipula Partai GAM bukan singkatan dari Partai Gerakan Aceh Merdeka. GAM adalah nama partai itu sendiri, bukan sebuah singkatan. Nama yang cukup unik, meski tak dipungkiri bisa membuat orang berasosiasi pada GAM yang berkepanjangan Gerakan Aceh Merdeka.

GAGASAN self government atau pemerintahan yang mandiri bukan monopoli Partai GAM. Partai Rakyat Aceh (PRA) yang menjadi pionir partai lokal di Aceh juga mencita-citakan Aceh yang modern dan mandiri. Partai yang beranggotakan anak-anak muda Aceh ini mengusung ide-ide progresif di pemerintahan, ekonomi, hingga persoalan syariat Islam. Termasuk membebaskan Aceh dari ketergantungan.

“Mandiri ini berarti melepas ketergantungan. Ketergantungan terhadap Jakarta, ketergantungan pada masyarakat internasional yang luas. Tapi kita tergantung pada pikiran dan orang Aceh sendiri,” ujar Aguswandi kepada saya.

Agus adalah ketua PRA. Ia juga peneliti dan kerap menulis artikel di sejumlah media cetak. Sejak mahasiswa, ia terlibat aktif dalam organisasi nonpemerintah di Aceh. Ia pernah bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) yang dulu diketuai Kautsar Muhammad Yus. Akibat aktivitasnya dalam membela korban pelanggaran HAM, ia pernah dinobatkan sebagai musuh negara.

Ia dan Kautsar termasuk orang yang paling dicari militer Indonesia. Selama lima tahun Agus meninggalkan Aceh dan melanjutkan sekolah di London, Inggris. Bulan Juni 2006 lalu, berdasarkan surat Gubernur Mustafa Abubakar kepada Mayor Jenderal Bambang Dharmono, SMUR masih terdaftar sebagai organisasi ilegal di Aceh. Meski sudah tak lagi menjadi pengurus, nama Agus dan Kautsar masih tertera di daftar itu.

“Orang Aceh ini punya hak untuk mengembangkan ekonominya secara mandiri, membangun hubungan-hubungan ekonomi dengan luar, dengan dunia internasional,” tutur Agus.

Meski begitu, menurut Agus, untuk mencapai cita-cita pemerintahan yang mandiri, PRA memilih tetap berada pada koridor konstitusi dan negara kesatuan.

Aturan ini juga ditegaskan dalam butir (a) pada Pasal 81 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Di sana disebutkan agar partai politik lokal wajib mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD ’45, dan peraturan perundang-undangan lain. Partai lokal juga berkewajiban untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jauh sebelum ini, Hasan Tiro mengkritik nasionalisme Indonesia yang didengungkan Soekarno. Lima dekade silam Tiro sudah menolak gagasan Indonesia yang terdiri beragam suku bangsa untuk menjadi sebuah negara kesatuan yang dipaksakan Soekarno, yang ia sebut sebagai orang bingung.

Dalam tulisannya di buku Demokrasi untuk Indonesia yang diterbitkan pertama kali pada 1958, Hasan Tiro menyatakan, kebangsaan Indonesia tidak mengenal kesatuan dan bukan bangsa yang tunggal. Di negeri kepulauan ini ada bangsa Aceh, Batak, Bugis, Jawa, Madura, Flores, Minangkabau, Sunda, Papua, dan beragam suku lainnya.

“Di alam kenyataan kesadaran kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya tidak ada, dan yang disebut ‘nasionalisme Indonesia’ itu hanya nasionalisme golongan terbesar yang mempertopengkan nama ‘nasionalisme Indonesia’ untuk membenarkan dan mengesahkan kekuasaannya,” tulis Tiro.

Nasionalisme, menurut Tiro, tidak akan bisa hidup dan ada tanpa latar belakang keuntungan ekonomi bagi semua golongan yang menganutnya. Tapi tidak ada latar belakang ekonomi yang dapat menyokong satu nasionalisme Indonesia.

“Sebaliknya dengan mengakui adanya satu nasionalisme Indonesia, sebenarnya seluruh suku bangsa yang bukan Jawa telah menyerahkan diri bulat-bulat kepada suku bangsa yang terbesar itu, yang berkat hukum suara terbanyak, memegang kekuasaan politik dan ekonomi atas seluruh bangsa yang lain di Indonesia,” tulis Tiro dalam buku tersebut.

Berdasar keragaman suku bangsa dari Aceh hingga Papua, bentuk negara Indonesia yang pas menurut Tiro adalah persatuan yang terdiri dari negara-negara bagian. Di situ, pemerintah pusat sejajar dengan pemerintah daerah. Keduanya tidak bisa saling mendikte, tapi wajib bekerja sama dengan cara yang diatur hukum. Daerah berhak untuk mengatur dan mengelola potensi wilayahnya.

Tapi ide Tiro tak mendapat tanggapan dari Jakarta. Pada 4 Desember 1976, Tiro membacakan proklamasi Negara Acheh. Hingga kini gerakan untuk memerdekakan diri dari negara kesatuan terus bermunculan. Seperti yang terjadi di Maluku dan Papua.

“SELURUH daerah di Indonesia harus menjadi seperti Aceh. Dan kelompok-kelompok itu (RMS dan Papua Merdeka) harus menjadi seperti GAM, melakukan transformasi politik, percaya dengan demokrasi, bertarung di electoral politic. Karena yang ada sekarang kan klaim-klaim,” kata Aguswandi.

Dia menyambut niat GAM yang semula memilih jalur perang dan beralih ke wilayah politik. Partisipasi GAM untuk membentuk partai politik dan masuk ke wilayah politik dilihat sebagai kesuksesan dari reintegrasi politik. Agus menganalogikan GAM dengan IRA (Irish Republican Army) di Irlandia yang memilih berjuang lewat jalur politik ketimbang cara-cara militeristik.

“Mana yang lebih baik, mereka mengklaim mendapat dukungan masyarakat Aceh tapi tidak masuk electoral politic, tidak terpilih, atau mereka masuk wilayah politik kemudian bertarung dalam pemilihan yang normal dan publik di situ bisa mempertanyakan apa kebijakan partai di bidang ekonomi, pemerintahan, pembangunan, investasi, dan seterusnya,” lanjutnya.

Itu sebabnya ia menyayangkan munculnya gelombang protes terhadap penggunaan bulan sabit dan bintang yang menjadi lambang Partai GAM. Seperti diberitakan Koran Tempo, Selasa 10 Juli, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais meminta pemerintah melarang pendirian partai itu. Alasannya, penggunaan nama GAM dapat mengancam keutuhan kesatuan bangsa.

“Kalau partai lokal menguat, pertanda NKRI dalam bahaya,” katanya Amien, yang dikutip di halaman utama Koran Tempo.

“Saya kira ini satu bentuk paranoid dari Jakarta juga. Saya percaya betul ini adalah hak mereka. Kita bukan membangun masyarakat yang berbasis bendera atau simbol, tapi masyarakat yang berbasis kebijakan dan visi-visi pembangunan baru. Simbol-simbol bendera dan sebagainya itu kan hanya eforia sesaat,” sahut Aguswandi.

Agus justru menyarankan agar pendirian partai lokal di Aceh ditiru di daerah-daerah lain. Termasuk di Papua atau bahkan Jakarta. Soalnya, ia berpendapat, dengan sistem yang ada sekarang tidak mampu menjawab upaya-upaya transisi demokrasi di Indonesia.

“Orang bilang, transisi demokrasi Indonesia sekarang ini sedang macet. Tidak ada satu terobosan baru. Nah, apa yang berlangsung di Aceh adalah satu terobosan baru. Aceh menjadi pelajaran besar bagi perpolitikan di Indonesia. Di mana satu konflik bisa ditransformasi ke dalam politik. Ini adalah bentuk-bentuk yang ada di Eropa dan benua lain yang harus kita pelajari,” jelasnya.

Adi Laweung juga mengaku bingung dengan sikap pemerintah Jakarta soal peresmian kantor sekretariat Partai GAM.

“Yang kemarin itu belum deklarasi, tapi baru peresmian sekretariat. Bukan deklarasi,” katanya.

“Deklarasinya kapan?” tanya saya.

“Belum tahu, tapi sudah dipikirkan jauh hari. Nah, kemarin itu baru peresmian sekretariat. Di situlah sekretariat partai GAM, walaupun partainya sendiri belum dideklarasikan,” jawab Adi.*

*) kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang