Perempuanku Sayang, Perempuanku Malang

Siti Rahmah

Tue, 29 May 2007

PEREMPUAN jadi sasaran kekerasan selama konflik di Aceh, tapi mereka juga yang jadi tumpuan keluarga di masa damai dan pasca-bencana.

DI salah satu petang di bulan Desember 2000 itu Ariati merasa cemas. Suaminya, Hamdani Ismail tidak pulang tepat waktu dari kantornya. Ini tak biasa. Hamdani suami yang baik dan tak pernah membiarkan istrinya cemas menunggu di rumah. Ia selalu memberi kabar kalau akan pulang larut atau lembur. Hamdani asli Aceh, sedang Ariati asal Jawa. Pasangan ini telah dikarunia tujuh anak, dua perempuan dan lima laki-laki. Putra pertama mereka berusia 12 tahun. Si bungsu, perempuan, baru berusia dua tahun.

Ariati sempat menemui teman sekantor Hamdani yang juga tetangganya, tetapi orang tersebut tak tahu di mana Hamdani berada. Ariati makin cemas. Hamdani bekerja sebagai kepala kantor di Wira Perca, perusahaan yang memiliki kebun kelapa sawit dan pabrik pengolahan sawit.

Sampai larut malam suaminya tak juga pulang dan Ariati tak bisa tidur. Ketika itu hari Jumat.

Keesokan harinya, sekitar pukul 10.00, datang seseorang bernama Marzuki ke rumah Ariati. Lelaki ini bekerja di perusahaan yang sama dengan Hamdani. Ia diutus perusahaan untuk membawa pesan pada Ariati.

“Pak Ham dijemput beberapa orang yang datang ke kantor Wira Perca. Sampai saat ini pihak kantor belum tahu di mana keberadaannya,” kata Marzuki.

Hamdani dijemput sejumlah orang berbadan tegap, berseragam loreng.

Air mata Ariati pun tak terbendung lagi.

Wira Perca tak tinggal diam. Berbagai cara dilakukan pihak perusahaan untuk mencari tahu tentang nasib Hamdani, bahkan sampai melibatkan kantor pusat di Medan.

Suatu hari Ariati menerima telepon dari Eko Tendi, atasan suaminya.

“Ibu coba lihat ke rumah sakit dan informasi tentang penemuan mayat tidak dikenal serta ke pos-pos TNI (Tentara Nasional Indonesia) terdekat. Begini bu, Yusra (nama teman sekantor Hamdani) yang juga diajak pergi bersama bapak (Hamdani) sudah meninggal,” kata Eko.

Sebelum menutup teleponnya, lelaki itu menyarankan Ariati untuk pergi ke rumah sakit Bireuen, yang berjarak sekitar lima jam perjalanan dari rumah Ariati di desa Paya Meuligo, kecamatan Peureulak, Aceh Timur.

Ariati pun memeriksa semua jenazah tak dikenal di kamar mayat dan mencari informasi di sana sampai larut malam. Dan tak ditemukannya Hamdani di situ.

Ia lantas berinisiatif mendatangi kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Peureulak di hari berikutnya.

“Di sini tidak ada tahanan seperti foto yang ibu bawa. Beberapa hari lalu ada tahanan tetapi bukan suami ibu,” jawab seorang petugas Polsek, mengomentari foto yang ditunjukkannya.

Ariati benar-benar sedih dan letih.

“Saya harus pulang setiap malam, karena anak saya masih kecil-kecil. Setiap kali saya pulang ke rumah, anak-anak selalu menanyakan bapaknya kepada saya,” kisahnya pada saya.

Di hari kedua belas kepergian Hamdani, Ariati memperoleh kabar dari teman suaminya yang tinggal di perkebunan Pulau Tiga, berjarak sekitar 70 kilometer dari Paya Meuligo. Di desa itu ditemukan dua mayat tanpa identitas. Ariati segera berangkat ke Pulau Tiga dan menemukan bahwa salah satu jenazah memang suaminya.

JALAN menuju Paya Meuligo penuh lubang, berbatu-batu, dan hanya secuil yang dilapisi aspal. Desa ini masuk wilayah kecamatan Peureulak. Dulu Peureulak pusat sebuah kerajaan, yang disebut Kesultanan Peureulak. Ia salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia. Sultan Pertamanya bernama Sultan Alaiddin Said Maulana Abdul Azis Syah.

Ketika Sultan Alaiddin dan istrinya Putri Meurah Mahdum Khudawi tutup usia, pasangan kerajaan ini dimakamkan di Paya Meuligo. Alaiddin mendirikan Kesultanan Peureulak pada 1 Muharram 225 Hijriah atau tahun 840 Masehi. Ia juga yang mengganti nama ibukota Kerajaan Peureulak menjadi Bandar Khalifah.

Semasa konflik, Paya Meuligo kerap dilintasi pasukan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Beberapa kali mereka berpapasan dengan patroli militer Indonesia, sehingga memicu kontak senjata di situ.

“Jika dengar informasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan masuk ke desa ini, semua orang tidak berani berkeliaran,” kenang Ariati.

Dulu seluruh desa di kecamatan Peureulak rawan konflik. Pada tahun 2003 terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI. Saat kejadian itu ia tengah berjualan di warungnya.

“Anak (pertama) saya menjadi korban saat itu, pahanya koyak saat ia melompati pagar berduri untuk tiarap. Keesokan harinya saya melapor ke TNI kalau anak saya jadi korban, mereka menyuruh saya untuk membawanya ke pos TNI agar dapat diobati,“ kenangnya lagi.

Ariati salah satu dari sekian banyak korban konflik yang mendapatkan dana dari Badan Reintegrasi Aceh-Program Pengembangan Kecamatan atau BRA-PPK di Peureulak.

BRA sendiri dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 330/032/2006 pada 11 Februari 2006 yang kemudian diperbarui dengan Surat Keputusan No. 330/106/2006 pada 13 April 2006 dan No. 330/213/2006 19 Juni 2006.

Sedangkan BRA-PPK resmi diluncurkan pada 16 Agustus 2006. Lembaga ini membantu memulihkan perekonomian warga korban konflik lewat pemberian dana bantuan.

Bantuan reintegrasi berbasis masyarakat bagi korban konflik adalah mekanisme yang digunakan untuk menyalurkan bantuan tersebut. Bantuan tadi dimulai pada bulan Agustus 2006 dan berakhir pada tahun 2007.

“Saya dapat seekor lembu, mana tahu suatu saat anak saya butuh biaya sekolah, saya bisa jual lembu itu,” harapnya.

Harga satu ekor lembu mencapai Rp 4 juta.

Ariati bergabung dalam kelompok ternak Nurul A’la yang beranggotakan 31 orang. Tiap anggota kelompoknya dapat seekor lembu. Ia mengetahui adanya program bantuan untuk korban konflik dari orang yang datang ke warungnya untuk mendata para korban.

Sebelum bantuan diberikan, ada rapat-rapat di tingkat kelompok.

Namun, menurut Abdul Rahman, keterlibatan perempuan secara aktif dalam rapat-rapat di desa sangat minim. Abdul adalah petugas lapangan dari BRA-PPK di Peureulak.

“Mereka hanya mengikuti rapat dan setelah rapat selesai mereka pun lupa dengan apa yang telah dibicarakan tadi. Mereka juga sibuk dengan pekerjaan rumah mereka,” kata Abdul, yang ikut berkunjung ke rumah Ariati dengan saya.

“Kami malu berbicara di depan bapak-bapak,” sahut Ariati. Ada perasaan rendah diri dan segan.

Setelah perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia pada Agustus 2005 lalu. Ariati merasa lebih tenang mencari nafkah. Tiap hari perempuan paruh baya ini bangun di pukul empat pagi, karena harus menyiapkan kue untuk dijual kepada murid-murid Madrasah Ibtidaiyah Negeri Paya Meuligo yang gedung sekolahnya berhadapan langsung dengan warung miliknya.

Dari rumah, ia harus berjalan kaki sejauh dua kilometer ke warung tersebut: sebuah ruang 3×4 meter persegi, berlantai tanah, dengan atap daun rumbia dan dinding papan.

Penghasilannya sehari Rp 20 ribu.

Ketika suaminya masih hidup, Ariati dan anak-anaknya serba berkecukupan. Tetapi kini ia termasuk dalam daftar masyarakat miskin di Paya Meuligo. Ia dapat bantuan beras miskin dan dana kompensasi Bahan Bakar Minyak.

Ariati ingin perdamaian langgeng dan berharap tujuh anaknya dapat beasiswa pendidikan dari pemerintah Aceh.

DI desa Seunebok Teungoh, kecamatan Peudawa, Aceh Timur, masa lalu menimbulkan rasa sedih sekaligus terhina dalam diri Ratnawati. Ia ditelanjangi TNI di hadapan warga kampung kelahirannya dan dipaksa memberitahukan keberadaan suaminya. Ia juga dipaksa menunjukkan persembunyian para gerilyawan GAM dan dibawa ke hutan. Meski peristiwa tersebut sudah bertahun-tahun lewat, tapi rasa terluka dan pedih selalu datang tiap kenangan pahit tadi tiba-tiba muncul lagi.

Suaminya, Nurdin, memang anggota GAM. Militer Indonesia tahu namanya, tetapi tak mengenal rupanya, sehingga Ratnawati dipaksa membawa mereka pada sang suami. Nurdin bergabung dengan GAM pada tahun 1998.

“Saya takut suami saya ditembak,” kenangnya.

Ratnawati kelahiran Seuneubok Teungoh, kecamatan Rambong, Aceh Timur. Usianya 27 tahun.

Tiga tahun lamanya perempuan ini ikut masuk hutan bersama suaminya. Ia sempat melahirkan anak kedua di tengah belantara. Persalinan tersebut tak mudah, sehingga sang suami harus turun ke desa terdekat dan menempuh jarak 13 kilometer untuk meminta bantuan bidan.

Tiga jam setelah kelahiran anak mereka, terjadi kontak senjata. Ratnawati harus melarikan diri bersama suami dan anggota GAM yang lain untuk menyelamatkan diri.

“Awalnya dia tidak mau ikut dengan saya, tetapi saya paksa agar mau ikut,” kata Nurdin, teringat masa itu.

Mengajak sang istri masuk hutan dianggap lebih aman ketimbang meninggalkannya di desa dan jadi sasaran pelecehan serta kekerasan pihak lawan.

“Pokoknya kami sedih sekali di hutan,” kenang Ratnawati. Ia harus pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelamatkan diri. Namun, ia menganggap perjuangan yang dilakukan suaminya saat itu adalah sebuah jihad di jalan Tuhan.

Kondisi yang dialami pasangan ini makin buruk saat Megawati Soekarno jadi presiden Indonesia. Aceh ditetapkan sebagai daerah Darurat Militer pada 19 Mei 2003.

Status ini berlangsung selama setahun, sampai akhirnya diturunkan menjadi Darurat Sipil yang juga berlangsung setahun.

PASCATSUNAMI 2005, Ratnawati baru kembali lagi ke desa asalnya. Ia juga menengok rumahnya di Ulee Rebek, kecamatan Seuneudon, Aceh Utara, yang hancur kena bencana. Tak ada harta benda yang tersisa. Ia korban konflik sekaligus bencana. Ibarat dari mulut singa, masuk ke mulut buaya.

Perdamaian di Aceh yang terjadi tahun itu juga membuat Ratnawati dan suaminya senang bukan kepalang. Mereka berdua bisa hidup lebih aman.

“Senang sekali sekarang sudah damai, mudah-mudahan tidak perang lagi,” katanya, sambil berharap.

Nurdin berharap pemerintah Aceh memperhatikan mantan GAM. Misalnya, kata dia, “Memberikan pelatihan kepada kami mantan kombatan. Syukur, kalau kemudian pemerintah juga menyediakan lapangan kerja yang layak bagi kami.”

Meski konflik sudah selesai, tapi kehidupan tetap berat. Nurdin belum mempunyai pekerjaan setelah tak lagi memegang senjata. Rumah yang mereka tempati hanyalah sebuah ruang berukuran 3 x 4 meter persegi. Di depan bangunan itu tertulis: POSYANDU.

Ya, itu Pos Pelayanan Terpadu milik kecamatan setempat yang mereka tinggali sementara. Dan sewaktu-waktu keluarga ini harus angkat kaki dari situ.

Ketika saya mengunjunginya, Ratnawati sedang sibuk mengupas pinang hasil kebun sendiri. Kulit pinang berserak di sekelilingnya. Pinang-pinang dibelah, lalu dijemur. Harga buah pinang biasanya Rp 4.000 per kilogram. Ia harus menjual dua kilogram buah pinang kering untuk mencukupi kebutuhan beras per hari keluarganya. Selain mengupas pinang, Ratnawati juga bekerja di sawah peninggalan orang tuanya.

Dari BRA-PPK, ia memperoleh bantuan sebesar Rp 3.550.000. Ia menggunakan uang itu untuk membeli seekor kerbau seharga Rp 4 juta. Kekurangan dana sebesar Rp 450 ribu ditutupinya dengan uang sendiri.

“Kerbau itu nantinya akan saya gunakan untuk membajak sawah,” ujarnya, bersemangat.

“Bagaimana ibu mendapatkan dana BRA-PPK?” tanya saya.

“Saya diberitahu pak keuchik dan pernah sekali mengikuti rapat. Tapi saya tidak tahu prosesnya seperti apa, tiba-tiba saya dapat dana itu,” ungkapnya.

Ratnawati mengaku tidak mau protes ataupun marah-marah agar mendapatkan bantuan. Ia pasrah dengan apa yang telah diberikan oleh pemerintah maupun BRA-PPK.

“Sudah capek berperang terus, kita sudah lelah, pasrah aja dengan keadaan,” ujarnya.

Ada sekitar 67 kecamatan di 17 kabupaten di Aceh yang akan mendapat bantuan pada tahun 2006 sedangkan sisanya, sekitar 154 kecamatan lagi, akan mendapat bantuan pada tahun 2007.

Bentuk program bantuan untuk Seunebok Teungoh ada dua, pembelian ternak dan perawatan sawit.

Namun, Ratnawati ingin program ini tak hanya berbentuk dana bantuan.

“Tetapi juga keterampilan dan modal usaha,” katanya.

“Ibu-ibu korban konflik kalau bisa diberikan keterampilan menjahit ataupun memasak, mengemas masakan dan bagaimana menjualnya. Sehingga mereka bisa hidup mandiri,” sambung Nurdin, sang suami.

Tapi ternyata tak cuma di Paya Meuligo, kaum perempuan kurang aktif dalam rapat kelompok, di Seunebok Teungoh pun demikian. Apa pasalnya?

“Ibu-ibu di desa Seunebok Teungoh banyak sekali pekerjaannya. Mereka harus mengurusi pekerjaan rumah tangga dan juga harus ke sawah. Itu sebabnya perempuan malas ikut rapat,” ungkap Rosnah dari BRA-PPK yang bertugas di Seuneubok Teungoh.

Terus, apa yang dikerjakan kaum lelaki? Hanya mampir dan ngobrol di kedai kopi?*

*) Siti Rahmah adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh. Ia bekerja di World Bank.

kembali keatas

by:Siti Rahmah